~ Mereka itu suami istri atau dua orang yang saling bermusuhan? ~
Avelia tak menyangka, Zaid mau menemaninya dan Lily ke dokter. Ia tak tampak canggung saat menyalami Lily dan mempersilahkan si calon ibu muda itu untuk duduk dalam mobil yang ia kemudikan sendiri. Lily yang masih mengira Zaid hanya rekan kerja Ave, santai saja mengobrol sepanjang perjalanan.
"Kok diam aja sih, Ve?" tanya Lily sambil menyenggol bahu Ave. Mereka berdua memang sama-sama duduk di belakang.
Zaid tersenyum sambil melirik kaca spion. "Lagi capek kali, Mbak."
Ave hanya menoleh sekilas sambil tersenyum masam.
"Ya udah deh, kalo gitu gue kasih lo pertanyaan biar gak bete." Wajah Lily tampak ceria.
"Gak mau!" tukas Ave. Ia tahu benar arti tatapan Lily. Ibu muda satu ini senangnya bercanda. Kalau ia bertanya pasti sesuatu yang bisa membuat orang tertawa. Ave kuatir pertanyaan itu bisa menjatuhkannya, membongkar identitas yang ingin ia sembunyikan. Lily mungkin bermaksud untuk melucu, tapi Ave takut ketahuan.
"Gak boleh gitu, Ve. Mbak Lily nanya ya harus kita bantu jawab," sahut Zaid.
Ave mendengus. Ya terserah kalau dia yang mau jawab. Gadis itu memilih menatap keluar jendela mobil.
"Ya udah, nanyanya sama Mas Zaid aja deh," kata Lily. Ia tersenyum jenaka. "Pertanyaannya, saat seperti apa wajah seseorang terlihat paling jelek ketika ia berada di tengah orang banyak?"
Dengan kening berkerut, Zaid mengulang kembali pertanyaan itu. "Terlihat paling jelek, di tengah orang banyak?"
Lily mengangguk penuh semangat. Ave yang tadinya tak ingin ikut menjawab, malah ikut berpikir.
"Saat ia gugup?" jawab Zaid.
"Salah!"
"Saat ia belum berdandan?" jawab Ave ikut terpancing penasaran.
"Salah juga!" kata Lily dengan senyum dikulum. Kepalanya bergoyang-goyang senang.
"Kalau begitu saat apa, Mbak?" tanya Zaid. Tangannya memutar kemudi, membelokkan mobil.
"Udah nih? Pada nyerah?" tanya Lily. Ave mengangguk. Zaid juga.
"Saat dia kentut, dikira bakal gak ada suaranya, tapi suara kentutnya malah berbunyi nyaring kayak senjata mesin dan didengar semua orang!" jawab Lily bersemangat sebelum tertawa kecil.
Tawa pun meledak memenuhi mobil. Baik Ave dan Zaid sama-sama tak bisa menahannya lagi.
"Kak Lily iih... jorok! Pengalaman pribadi ya?" ejek Ave di antara tawanya. Lily hanya tertawa-tawa.
"Habis kalian berdua diem-dieman gitu. Ada apa sih? Kan kasian ibu hamil ini kesepian," ujar Lily masih dengan senyum lebar di wajahnya.
Ave hanya tersenyum. "Gak ada apa-apa kok, Kak. Gak semua orang bisa diajak becanda. Kami memang biasa begini. Sama-sama gak suka bicara yang gak penting."
Tatapan mata Zaid yang sedang melirik ke kaca spion bertemu dengan mata Ave, tapi gadis itu melengos. Memilih untuk bertanya pada Lily tentang keadaan janinnya. Lebih aman. Untungnya Zaid juga tak lagi mengatakan apa-apa.
Hanya Ave jadi kebingungan saat Lily masuk ke ruang konsultasi, meninggalkannya bersama Zaid. Menunggu di luar. Ingin berdiri, itu tak mungkin. Ruang tunggu klinik itu dipenuhi dengan pasien dan hampir semua tempat duduk penuh. Ave harus rela berdiri jika ia meninggalkan tempat duduknya sekarang.
"Lagi periksa kandungan, Dek?" Pertanyaan di sebelah Ave membuat lamunan gadis itu buyar. Seorang wanita berwajah bulat telur berusia sekitar akhir tiga puluhan, dengan perut yang membesar bertanya ramah pada Ave.
Otomatis kepala Ave mengangguk. Ya tentu saja lagi periksa. Walaupun bukan dirinya.
"Sudah berapa bulan?" tanya ibu itu lagi. Tangannya sibuk mengipasi wajahnya yang tampak berkeringat.
Ave melongok. Ooh, mungkin maksudnya usia kehamilan. "Kalo gak salah sekitar 8 bulan, Bu," jawabnya tak kalah ramah.
Mendengar jawaban itu, mata si Ibu tampak bingung. Ia melirik perut Ave. "Wah, saya kira masih trimester pertama!"
Eh? Kok meliriknya ke perut Ave sih? pikir Ave. Jangan-jangan...
"Bukan saya yang lagi hamil, Bu. Tapi kakak saya. Lagi di dalam. Lagi konsul," kata Ave cepat. Buru-buru Ave menegakkan punggung dan menahan napas sedikit agar perutnya tak terlihat.
Hufh. Hfffh. Suara tawa tertahan terdengar di sebelah Ave. Dengan kesal, Ave melirik Zaid yang tengah sibuk menutup mulutnya sambil berpaling ke arah lain.
"Maaf ya, tadi saya pikir Mbaknya lagi hamil juga. Jadi nganter kakak aja?" tanya ibu itu lagi. Tampak ia berusaha memperbaiki suasana canggung karena salah paham tadi.
Ave mengangguk. Wajahnya masih sedikit masam karena dikira hamil. Tepat saat itu terdengar suara ponsel. Ponsel milik Zaid. Pria itu berdiri sambil memberi isyarat pada Ave yang mengangguk mengerti. Zaid menjauh untuk menjawab teleponnya.
Si Ibu muda itu ikut memperhatikan gerak-gerik keduanya. "Itu suami Mbak atau suaminya kakak?"
Ave menoleh. "Bukan dua-duanya, Bu. Dia itu... musuh besar saya!" jawabnya asal. Mulai lelah meladeni si Ibu yang serba ingin tahu ini.
Mata si Ibu membulat. Tapi kemudian ia tertawa, sambil mengangguk-angguk seakan memahami maksud Ave. "Benar, Mbak! Benar sekali!" katanya setuju.
Jawabannya itu malah membuat Ave menatap si Ibu bingung. Hanya ia sudah malas untuk bertanya. Tak lama Zaid kembali, duduk di tempat yang sama tanpa mengatakan apapun. Ave memilih sibuk dengan ponselnya sendiri.
Tak lama seorang pria setengah baya muncul mendekati si Ibu yang suka bertanya itu, "Kapan giliran lo sih? Lama bener!" tanyanya dengan wajah yang tak ramah.
"Bentar nape! Lo giliran bikin aja demen. Giliran nganter gue check-up, malah ngeburu-buruin pulang . Dua lagi baru giliran gue," jawab si Ibu galak dengan nada tak kalah tinggi. Berbeda dengan caranya saat bicara dengan Ave sebelumnya. Percakapan mereka membuat Ave ikut mendengarkan. Juga orang-orang yang duduk di sekitar mereka. Tapi pasangan itu tampak tak peduli.
"Gue tunggu di luar aja!" seru pria yang sudah pasti suami dari si Ibu tadi, sambil kembali berjalan keluar dari klinik.
Begitu suaminya menjauh, si Ibu menoleh pada Ave. "Nah, kalo yang tadi itu musuh besar saya, Mbak! Dulu pas pacaran aja mesranya bukan main. Sekarang ya gitu... udah kayak musuh bebuyutan sama saya. Ngajak berantem melulu!" ceritanya dengan kesal yang tak ditutup-tutupi.
Jawaban itu membuat Ave terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengerti. Ia ingin tertawa tapi takut menyinggung perasaan orang. Jadi ia menoleh pada Zaid, yang malah sedang melihat ke arahnya juga. Bibirnya yang menahan tawa, membuat garis lurus yang lucu.
"Kenapa?" tanya Zaid heran. Ave hanya menggeleng-geleng. Hanya tangannya yang sibuk mencubit-cubit lengan Zaid membuat pria itu mengaduh. "Sakit! Kamu kenapa sih?" tanyanya lagi sambil menarik tangannya. Keningnya berkerut. Nada suaranya tegas dan sedikit keras.
"Harus sabar sama istrinya, Mas. Kasian kalo digalakin," kata si Ibu lagi.
Kali ini Zaid yang terdiam bingung. "Istri?" ulangnya.
Ave yang berusaha menyembunyikan wajah dari si Ibu, sekali lagi bertemu tatapan dengan Zaid. Pria itu pun melemparkan tatapan penuh arti pada Ave. Melihat itu, Ave buru-buru menarik tangan Zaid untuk berdiri.
"Permisi Bu! Kami mau ke sana dulu," pamit Ave sambil tetap menarik tangan Zaid.
"Bukannya dijelasin siapa kita. Kenapa malah ditinggal?" tanya Zaid setelah mereka berada sedikit lebih jauh dari tempat duduk. Karena tak ada tempat duduk kosong, mereka hanya bisa berdiri.
Ave hanya menggelengkan kepala. "Tuh si Ibu kira kita ini suami istri, Pak. Padahal jelas-jelas tadi Ave bilang Bapak musuh saya."
"Maksudmu apa ngomong begitu? Masak gara-gara itu, dia kira kita suami istri sih? Kamu bohong lagi ya?"
Ave mengangkat bahu. "Enggak, Pak! Ave juga gak ngerti kenapa begitu. Tapi tadi Bapak denger sendiri kan? Suami Ibu tadi ngomongnya aja kasar gitu sama istri. Mungkin itu sebabnya dia nganggap suami itu selalu jadi musuh besarnya istri."
"Terus kenapa juga kamu bilang saya musuh kamu?"
"Ya masak Ave bilang Bapak itu suami Ave?"
"Buktinya sama saja. Tetap saja Ibu itu ngira saya ini suamimu kan?"
"Lagian Bapak kenapa sih ikut-ikutan masuk ke sini? Ini urusan pribadi Ave!"
"Saya itu sedang memastikan kamu itu sedang berbohong atau tidak. Lagipula ini masih jam kerja. Wajar kalau saya bersama anak buah saya!"
"Kenapa sama Ave selalu curiga sih, Pak? Ave kan gak pernah macam-macam."
"Cuma kamu yang satu-satunya yang bilang saya ini gay di depan hidung saya. Siapa yang tak curiga sama kamu? Lagipula Boss mana yang suka dimusuhi anak buahnya sendiri?" tukas Zaid tak mau kalah.
Ave menatap kesal. "Ya makanya Bapak nikah sana! Cari musuh Bapak sendiri!"
"Kamu tuh sudah jadi musuh saya sejak kita ketemu, Ve!" ujar Zaid lebih tegas.
"Nah itu... itu Bapak sendiri ngakuin kalo kita ini musuh. Jadi gak usah protes kalo Ave ngomong ke orang-orang."
Ganti Zaid yang menatap tajam mata Ave, sebelum akhirnya mendengus dan berpaling. Ave juga tak mau kalah. Ia membuang muka dan memilih mendekati ruang konsultasi, tepat saat Lily keluar dari sana. Bergegas Ave mendekatinya.
Lily yang terlalu bahagia usai memeriksakan kandungannya, malah sibuk menghubungi suaminya. Sepanjang jalan pulang, ia tak menyadari ketegangan antara Ave dan Zaid yang sama-sama membisu.
"...Semuanya sehat, Mas. Mas cepetan pulang ya. Lily mau kasih liat foto bayi kita.... iya iya, ini bareng Ave. Dianterin juga sama teman kerjanya... Hehehe, iya cakep... tapi masih cakepan suaminya Lily kok... Hehehe, coklat jangan lupa ya Mas... I love you too." Hanya suara Lily yang sedang menelpon Ajie yang terdengar selain suara deru mobil dan desis angin AC mobil.
Jarak rumah sakit dan rumah Lily memang tak jauh, hanya sekitar dua puluh menit, mobil sudah berhenti tepat di depan rumah baru Lily.
"Udah! Sampai sini aja deh! Ada Tiar tuh udah nungguin gue di dalam. Langsung pulang aja Ve, udah sore banget," seru Lily. Tak lupa ia berpamitan pada Zaid sebelum membuka pintu dan beranjak turun. "Mas, makasih banyak ya udah dianter jemput. Minta tolong anterin dedek saya sampe apartemennya ya?"
Zaid menurunkan jendela mobil, "Iya Mbak, sama-sama. Assalamualaikum!"
"Waalaikum salam! Dah Ave!"
Tapi meski Lily sudah berjalan melalui pagar besi, memasuki rumahnya, mobil tak kunjung bergerak. Zaid malah melirik lagi melalui kaca spion.
"Saya ini bukan supirmu, Ve. Pindah ke depan!" perintahnya dengan nada dingin.
Kalau saja Ave bisa meninggalkan pria itu begitu saja, naik taksi dan pulang sendiri, ia takkan mau melakukan keinginan si Pangeran berhati sedingin es itu. Tapi mau tak mau ia harus menuruti keinginan Zaid, kalau tak ingin pekerjaannya jadi taruhan lagi. Bisa-bisa besok Zaid meminta surat pengunduran diri lagi.
"Alamatmu. Masukkan ke GPS!" perintah Zaid lagi sambil menunjuk ke GPS mobil.
Dengan bibir melengkung ke bawah, Ave mengikuti keinginan Zaid. Memasukkan nama apartemennya dan suara perempuan yang jernih menyebutkannya. Zaid menoleh pada Ave.
"Untuk ukuran gadis pelit, kamu benar-benar cukup berada untuk tinggal di apartemen mewah itu!"
Ave menatap Zaid. Kapan pria ini pernah menanggapi apapun tentang dirinya secara positif? Tapi akhirnya ia membuka mulut.
"Itu apartemennya Bang Jaya, kakak sepupu Mbak Lily dari emaknya. Ave dipinjemi," kata Ave menjelaskan sebelum kembali memalingkan wajah menghadap jendela. Ia makin sebal pada Zaid, kalau pria ini membencinya, kenapa ia selalu berada di dekat Ave setiap saat?
Zaid diam saja. Ia hanya menghembuskan napas sebelum mulai menstarter mobil.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
fidivrotary
ih knp malh makin seru sih...seneng nya...,🥰🥰
2022-01-22
0
Ife
perang dingin...hiii....serem 🙈
2021-01-19
0
She Va Flava Cinamon
ceritanya bagus seru, lucu... suka2...
2020-09-17
0