~ Avelia adalah seorang penyihir (Zaid) ~
Ave benar-benar bersyukur, hubungannya dengan Zaid membaik sejak kejadian itu. Meski belakangan Zaid lebih sibuk dari biasanya, Ave bersyukur bossnya tak lagi bersikap keras padanya. Setidaknya kepala Zaid masih mau mengangguk saat Ave menyapanya. Zaid juga masih mau menekan tombol buka ketika Ave berteriak meminta siapapun yang ada dalam lift untuk menunggunya. Bahkan ketika Ave menumpahkan kopi di atas sofa di ruang kerja Zaid, pria itu hanya menoleh dan menghela napas sebelum menyuruh Ave membersihkannya.
Tak ada lagi teriakan. Tak ada lagi kemarahan.
Tapi tak berarti masalah Ave selesai. Ia justru baru mulai sekarang.
Ave mengira, setelah bulan pertama ia bisa pindah ke tempat kost. Nyatanya, mencari tempat kost layak tapi murah itu sulit sekali. Beberapa kali teman-teman di kantor membantunya. Bahkan si Bapak tua, Pak Suwiryo ikut memberinya rekomendasi.
Namun semua tempat kost layak menurut harga murah itu adalah ruang kotak 2x3 meter tanpa jendela bahkan tanpa sirkulasi udara yang sehat. Tempatnya sempit dan Ave tak bisa memasak. Lalu ketika ia mencoba menyewa rumah. Yang terjadi sama saja. Ia harus membayar minimal setahun kontrak dengan rumah kosong melompong tanpa furniture.
Gaji pertama yang ia harapkan mampu memberinya harapan, malah makin membuatnya pusing tujuh keliling untuk mengaturnya. Hidup di apartemen mewah, semurah apapun sewanya, jika menggunakan semua utilitas di dalamnya sama saja seperti menyerahkan seluruh hasil kerjanya dalam sebulan.
Dengan lesu, Ave membaringkan kepalanya di atas meja usai melunasi semua tagihan rutin bulanan apartemen. Belakangan ia sulit tidur memikirkan jalan keluar dari semua masalah ekonomi yang memusingkan ini.
"Bangun, Ve! Kamu kok malah tidur? Tadi kan disuruh nyariin solusi supaya besok studio bisa dipake," kata Akbar sambil menepuk punggung Ave yang benar-benar tertidur. Ia baru saja tiba dari studio.
Buru-buru Ave menegakkan punggung. Mengira ada Zaid. Tapi saat melihat Akbar yang duduk di kursinya sendiri, Ave menyeringai. "Ih, kenapa dibangunin sekarang sih, Mas?"
Akbar melongok. Menatap bingung.
"Itu tadi Ave lagi mimpiin solusinya. Dikiiiit lagi bakal dapet! Mas sih bangunin, gak jadi dapet deh," kata Ave sambil mengangkat bahu. Seringai jahilnya terlihat di wajahnya yang cantik.
Akbar menatapnya dengan kesal. Gadis ini kalau sedang jahil seringkali tak kenal waktu dan tempat. Hanya saja, sekesal-kesalnya Akbar, ia tak pernah bisa marah pada Ave. Mata Ave mungkin terlihat bersinar setiap waktu, tapi kalau seseorang menegur atau memarahinya dengan keras, cahaya mata itu langsung berubah sendu dan menyedihkan. Akbar tak tega tiap kali melihatnya. Ave jadi terlihat rapuh.
"Ada apa sih? Belakangan ini kamu sering banget ketiduran di kantor. Masih nyari tempat kost? Belum ketemu?" tanya Akbar sambil menyerahkan sebuah map plastik pada Ave.
Ave berdiri meraihnya sambil menggeleng lesu.
"Sabar aja, Ve. Pasti nanti ada yang cocok buat kamu. Jangan kuatir! Rajin sholat, rajin nyari, insya Allah dapet," hibur Akbar. Ave hanya mengangguk.
Tak lama terdengar nada pesan masuk di ponsel Ave. Dengan santai gadis itu membacanya.
[Papa: Halo Nona, kapan mau menyerah?]
Ave mendengus kesal. Dengan jari-jari mengetuk cepat di atas layar ponsel, ia menjawab pesan itu.
[Avelia: Enak aja! Ave malah mau nanya Papa, udah siapin uangnya belom?]
Lalu balasan Papa muncul dengan cepat.
[Papa: Sorry Ve, Papa selalu siap kalau emang kalah. Tapi kamu siap enggak untuk menikah?]
Ave ingin sekali membanting ponselnya melihat emo tertawa lebar di belakang pesan Papa yang muncul beruntun.
[Ave: Ave gak bakal kalah Papa!]
Jawaban Papa sedikit lebih lama. Karena tak kunjung muncul, Ave pun meletakkan ponselnya kembali. Tapi perubahan wajahnya terlihat oleh Akbar.
"Siapa Ve? Kamu jadi keliatan kesal gitu?" tanyanya penuh perhatian.
Ave menatap Akbar. "Kok Mas tau Ave lagi kesal?"
"Sudah, sudah. Siapa sih yang bikin kamu kesal? Sini biar Mas yang teleponin! Biar Mas sumpahin tuh orang." Akbar berdiri dan bersandar di meja Ave. Ia ingin menghapus gundah di mata Ave.
Ave menyodorkan ponselnya pada Akbar yang kemudian menerimanya dengan penuh semangat.
"Siapa namanya?" tanya Akbar sambil melihat ke layar ponsel Ave.
"Papa Ave!" jawab Ave santai.
Tangan Akbar berhenti di udara. Ia menoleh, menatap pada Ave. " Hah?"
Ave mengangguk. "Iya, Papa Ave. Barusan ngeledekin Ave! Marahin deh Mas!"
Bergegas Akbar meletakkan ponsel Ave di atas meja kembali, sebelum beranjak menuju kursinya. Wajahnya berubah masam. "Emmm, maaf Ve. Saya lagi banyak kerjaan!"
Senyum dikulum Ave muncul saat melihat raut wajah Akbar yang pura-pura cuek tapi jelas gugup. Walaupun hatinya sempat kesal karena Papa, tapi bisa menggoda teman kerjanya itu ternyata cukup bisa menghibur. Sementara Akbar benar-benar tak bisa mengerti, kenapa ia selalu terjebak oleh kejahilan Ave?
Tepat saat itu terdengar nada pesan masuk lagi.
[Papa: Tapi masak saking sibuknya nyari uang, gak sempat pulang? Papa udah dateng sejak 2 hari ini loh, Neng.]
Melihat pesan itu, kerut di kening Ave seperti terurai kembali. Sekali lagi ia menghela napas, sebelum mengirim chat balasan.
[Avelia: Ave janji malam ini ke rumah. Papa jangan kuatir!]
Setelah itu, sederet emoticon tanda cinta berjejer muncul menjawab, yang berhasil memancing senyum Ave.
"Udah baikan sama papanya?" Lagi-lagi kepala Akbar menyembul dari balik pemisah kubikal. Ave hanya menjawab dengan anggukan. Lalu terdengar lagi, "Anak zaman now. Sebentar ngambek sama papanya, sebentar udah baikan."
Ave tentu tak mau kalah. "Ya, Bapak zaman old. Sebentar katanya mau bantuin, sebentar kemudian udah nolak lagi."
Tawa keduanya pun membahana di ruang kantor Management Department itu, membuat Jenny sampai menoleh. Untungnya mereka hanya bertiga dengan Jenny, yang cukup jauh untuk mendengar obrolan mereka. Jenny juga sudah paham benar seperti apa saat Ave dan Akbar, dua biang keriuhan itu berkumpul. Selalu ada gelak tawa dan canda. Jadi sekretaris Zaid itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Namun, saat ia berbalik, Zaid berdiri di depan pintu, menatap kedua stafnya yang masih belum menyadari kehadirannya. Jenny yang ingin memberitahu, juga hanya menerima gelengan kepala sebelum Zaid kembali masuk ke ruangannya sendiri.
Zaid tahu kalau selama ini ia salah besar. Awalnya ia mengira hanya ia yang mendapat makanan spesial dari Avelia. Ternyata sampai di kantor, semua staf Management baru selesai menyantap hidangan yang sama persis dengannya. Perasaan Zaid yang sempat berbunga-bunga langsung terbang saat melihat semua staf memegang kotak makan sama persis dengannya. Itu tak hanya terjadi sekali. Dalam seminggu, ada saja makanan yang dibawa Ave. Tidak hanya untuk Zaid, tapi juga semua orang.
Saat ia mengira Ave hanya bercanda dengan dirinya, ia malah sering menangkap basah Ave bercanda dengan para staf lain. Begitu juga saat ia mengira hanya dirinya yang dirayu Ave, sekarang di depan matanya Ave tertawa terbahak-bahak dengan Akbar. Apapun yang mereka bicarakan, terlihat jelas kalau mata Akbar menatap Ave dengan sayang.
Gadis itu mungkin seorang penyihir.
Lihat saja bagaimana Hazmi yang dulunya jarang menyinggahi kubikal staf Management Department kecuali ada pekerjaan, kini rajin bertandang dan duduk santai dekat meja kerja Ave. Jenny yang seharusnya cemburu karena pria yang ia sukai justru makin dekat dengan Ave, malah ikut meramaikan suasana bersama mereka.
Padahal saat Zaid pernah bertanya dengan Jenny. Gadis itu malah berkata dengan senyum tertahan. "Coba aja Bapak ngobrol sedikit dengan Avelia. Asal jangan ambil hati candaannya, pasti Bapak tertawa. Jadi sehat kita kalo dekat anak itu. Lucu!"
Benarkah?
Zaid justru merasa ia mulai terserang beragam penyakit sejak bertemu Avelia. Untung jantungnya kuat, kalau tidak... saat Ave hampir tertabrak, mungkin dia yang berada di rumah sakit. Belum paru-parunya yangbekerja tidak karuan tiap kali menahan geram saat Avelia bercanda dengan para pria yang makin lama makin banyak di sekitarnya.
Lalu saat tanpa sengaja mereka bertemu lagi di lantai 9. Di tempat duduk panjang menghadap jendela. Zaid tak tahan untuk bertanya.
"Sekarang udah banyak teman, kenapa masih nongkrong di sini?" tanya Zaid.
"Lagi pengen sendiri, Pak. Ave capek ngobrol sama mereka. Capek ketawa," jawab Ave dengan jenaka.
Jangankan tertawa, senyumpun tak muncul di wajah dingin Zaid. Ave pun mengangkat bahu. Ia sudah terbiasa menghadapi wajah sedingin es ini. Mr. Snowy is Mr. Snowy. Takkan berubah.
"Kamu apain mereka sampai sesenang itu ngobrol sama kamu?" tanya Zaid lagi. Lalu ia keceplosan. "Disihir ya?"
Seringai jahil dan sorot mata jenaka Ave seketika muncul. "Kok Bapak tahu Ave ini penyihir?"
"Maksudmu?" Giliran Zaid yang bingung. Ia menatap gadis itu penuh tanda tanya.
Ave melipat kedua tangannya di dada. "Ya, Pak. Ave ini seorang penyihir. Percayalah!"
Hah?
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Karate Cat 🐈
pantesan cucok sohiban sama lily, wong satu server jahilnya 😂
2023-10-05
0
fidivrotary
ih lucu bgt sih...asli ngakak...gmn ave menyihir d gunung es...🤭🤣🤣
2022-01-22
0
Bing Ruyue
akupun kayaknya udah kena sihirmu veee 😅
2021-12-28
0