~ Saat Pangeran Salju ingin jadi Imam... ~
Tak ada penasehat paling mengerti kecuali Lily. Setidaknya wanita itu pernah berada di posisi Ave saat ini, walaupun Ave yakin kakaknya tak sekejam Zaid si Mr. Snowy itu. Akhirnya ia curhat pada Lily dan menghasilkan sebuah jawaban yang paling masuk akal.
[Ave: Gue harus gimana, Kak?]
[Lily: Boss lo cakep gak Ve?]
[Ave: Cakep tapi pemarahan, Kak. Gue ngeri]
[Lily: Hindari, jauhi, acuhi!]
[Ave: Kalo dia masih kesal?]
{Lily: Rayu, bujuk, taklukkan!]
[Ave: Kayak lagi di medan perang]
[Lily: Terus lo pikir lo di mana? Taman kanak-kanak?]
[Ave: Maaf, Buuuu! Jangan galak-galak kek Mas Ajie dong!]
[Ave: Love u, My Love-In-law! Bye, I've to work!]
Maka saat Zaid tiba ke kantor, Avelia akan sibuk mengatur dirinya agar 'menghilang' dari ruang kerjanya. Apalagi sekarang Avelia menemukan tempat-tempat untuk menghindar. Ia bisa bersembunyi di ruang fotokopi sambil berpura-pura memfotokopi apa saja, ia bahkan memfotokopi telapak tangan, sebagian wajahnya dan aneka alat tulis ketika kehabisan tulisan yang akan difotokopi. Atau berpura-pura sibuk membuat kopi, mencuci mug dan mengisi stok pantry. Atau melakukan tugas paling menyenangkan di antara seluruh tugas, mengantar sesuatu untuk departemen lain.
Mengantar data, mengambil invoice, mengambil stok dan sebagainya jadi bagian dari pekerjaan yang paling disukai Ave. Terlepas dari tenaganya yang terkuras habis, Ave menikmatinya karena ia bisa mengenal banyak orang. Ave selalu suka berbicara, suka bercanda dan bertemu beragam orang. Itu mengurangi ketegangannya selama bekerja di kantor. Para pria di departemen Ave selalu menjaga jarak dan bersikap kaku, kecuali Hazmi. Tapi Hazmi terlalu sibuk.
Tempat terakhir yang menjadi tempat persembunyiannya adalah ujung lorong lantai 9. Tempat ia dulu bertemu dengan Zaid. Itu tempat paling sepi saat makan siang dan paling menyenangkan untuk tidur siang sejenak sambil memandang kota Jakarta. Hitung-hitung Ave belajar pelan-pelan mengatasi rasa takutnya pada ketinggian dengan berdiri makin dekat di jendela besarnya.
Hari ketiga setelah ia berhasil melakukan semua saran Lily dan duduk di tempat itu, barulah seseorang menepuk bahunya saat tertidur sambil duduk di kursi tunggu menghadap jendela itu lagi.
"Hmmm," dengung Ave tanpa membuka matanya.
Tangan itu kembali menyenggol bahu Ave. Kali ini lebih kuat dan lebih sering. "Hei! Hei!"
"Apaan sih!?" seru Ave sambil mendongak, menatap emosi pada si pemilik tangan.
Zaid menatapnya tajam.
"Eeeh, Bapak! Maaf, maaf. Tadi Ave kira siapa."
"Kenapa tidur di sini?"
"Hah? Oooh itu... Ave ngantuk. Semalam... " Tak mungkin Ave menceritakan kenyataan yang terjadi padanya semalam. Karena ingin berhemat listrik, ia hampir mati kepanasan dalam apartemen, sebelum akhirnya ia memutuskan menyalakan listrik hanya di bagian kamar.
"Kenapa? Kebanyakan nonton drama?" tebak Zaid. Anehnya ia malah duduk di sebelah Ave.
Ave bergeser sedikit. Hanya beberapa senti, kuduknya sudah merinding. "Ya enggaklah, Pak. Ngantuknya Avelia itu karena sholat tahajud, bukan karena nonton drakor."
Zaid menoleh dengan senyum tertahan sebelum memandang lurus ke jendela. Mengira Zaid sedang membutuhkan waktu sendiri, iapun berdiri, tapi malah mendengar pertanyaan Zaid.
"Gimana setelah kerja? Kamu ngerjain apa aja?" tanya Zaid tanpa menoleh.
"Itu... itu... "
Zaid melirik Ave dengan senyum tipis. "Katanya mau buktiin saya ini pria tulen atau tidak, tapi kok saya lihat kamu menghindar terus?"
"Itu karena... " Ave kehilangan kata-kata. Otaknya kosong saat berusaha mencari alasan.
"Karena kamu pernah nyebut saya monyet?" Akhirnya malah Zaid yang membuka jalan untuk Ave.
Gadis itu menoleh cepat. Senyum manisnya merekah sumringah. "Aduuuuh, Pak! Coba Bapak inget-inget lagi. Emang ada ya Ave bilang gitu? Ave cuma bilang lagi lihat monyet, bukan nyebut Bapak gitu. Bapak sendiri yang ngaku-ngaku. Barusan ini ngaku sendiri lagi kan? Mbok ya ngaku itu jadi pangeran tampan gitu, Pak. Jangan jadi monyet! Kan kasian sama monyetnya, dibanding-bandingin sama Bapak. Face shaming itu namanya."
Wajah Zaid mulai kelam, buru-buru kedua tangan Ave terangkat. "Sorry, sorry, Bapak cakep. Beneran Ave cuma becanda. Cakepan Bapak kali dari monyet."
"Nah itu kamu bandingin saya lagi."
"Iih, Bapak gitu banget sih! Monyet kan tinggalnya di hutan, di kebon binatang. Bukan kayak Bapak, tinggalnya... di hati Ave dong," ujar Ave dengan nada merayu.
Tawa Zaid tak lagi tertahankan. Meski hanya sebentar. "Kamu ini bisa aja ngerayunya."
Ave tak menjawab, ia malah tergelak. Senang rasanya melihat ada senyum dan tawa muncul di wajah si tuan bermuka dingin ini.
"Sudah makan?"
Ave menggeleng. "Ave gak biasa makan jam segini, Pak. Dulu kerja di restoran, biasa ngelayani paling sibuk itu justru pas waktu makan siang, jadi... " Ave terdiam. Ia baru teringat kalau baru saja menceritakan satu rahasianya. Tubuhnya membeku.
"Kamu pernah kerja di restoran?" ulang Zaid tak percaya dengan tanda tanya. Gadis yang berwajah bak seorang putri ini menjadi pelayan?
Merasa sudah telanjur mengucapkannya, Ave pun meneruskan ceritanya. "Iya, Pak. Dulu, setelah lulus SMA. Daripada gak ada pemasukan, Ave kerja apa aja. Ya jadi tukang cuci piring, waitress, penjual bunga. Jagain balita." Ini memang terjadi, walaupun Ave tak menceritakan kalau ia melakukannya karena ingin mencari pengalaman semata saat kuliah dan bekerja paruh waktu di negeri orang.
"Keluargamu gak ngelarang?"tanya Zaid ingin tahu.
Ave mengenang saat itu. Sepertinya tak ada yang keberatan, jadi ia menggeleng. "Enggak! Mereka malah ngedukung. Kerjaan apa aja yang penting halal dan Ave gak pulang malam."
Dada Zaid tampak turun setelah menghela napas. Rupanya tetap ada aturan dari orangtuanya yang tetap berlaku bagi gadis cantik ini. Tak terbayangkan dalam benaknya, gadis mungil ini pulang sendirian di malam hari di kota yang terkenal dengan tingkat kejahatan cukup tinggi di dunia.
"Bapak kuatir sama Ave ya?" tebak Ave. Tubuhnya bergerak mendekat pada Zaid.
Zaid tak menjawab. Hanya memasang wajah dingin lagi. Senyumnya lenyap dan matanya memandang lurus ke depan. Bibir Ave pun maju melihatnya.
"Pak Zaid kenapa gak makan siang?" tanya Ave berusaha memecahkan keheningan.
"Diet," jawab Zaid singkat, masih tanpa melihat ke Ave.
Orang ini mungkin terbuat dari es batu. Udah diajakin becanda. Udah ngobrol serius bahkan empat rius. Tetap aja gak bergeming. pikir Ave kesal.
Merasa mulai tak betah, Ave bangkit dari kursinya. "Ave tinggal dulu, Pak. Ave mau sholat dhuhur. Bentar lagi jam istirahat selesai."
"Tunggu! Saya juga belum. Sholat di sini saja, saya biasa sholat di sini kok," kata Zaid seraya menunjuk pintu tertutup tak jauh dari mereka berdiri. Pria itu berdiri lalu menoleh pada Ave. "Kamu mau saya imamin?" lanjutnya lagi tanpa berpikir.
Ave melongok mendengar pertanyaan itu. Menutup mulutnya dengan tangan. Ekspresi yang membuat Zaid malah bingung.
"Loh kenapa? Ada yang salah?"
"Bapak gak salah pengen jadi imam Ave?" tanya Ave. Kedua alisnya menyatu, matanya menatap Zaid penuh rasa haru sambil berkedip-kedip dengan kedua tangan ditekan ke dadanya.
Tiga detik berlalu sebelum Zaid mengerti maksud Ave. Kontan ia terbatuk-batuk dengan wajah merah padam sementara tawa Ave berderai melihatnya.
Ooh ternyata pangeran salju juga bisa malu ...
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Aqiyu
bacanya jadi senyum-senyum sendiri😊😄😁
2022-11-12
1
Cita N
demi apa...cerita sebagus ini, kenapa yg baca nya sedikit 🤧
2022-05-14
0
Eka Yunita Noviyanti
owh.... so sweeeeetttt
2022-02-12
0