Putri Matahari & Pangeran Salju
Nasi goreng, segelas susu khusus untuk usia emas alias kalangan lanjut usia dan potongan pisang telah tersedia di meja makan. Avelia menatap puas sambil meletakkan gelas berisi air mineral hangat, untuk melengkapi sarapan khusus untuk Papa. Semua yang terhidang ini adalah kesukaan Papa.
Semoga dengan menyediakan semuanya, mood Papa yang mudah melayang ke sana ke mari itu akan bergerak menuju ke arah yang akan memudahkan rencana Ave. Ia sudah menanti cukup lama untuk sampai ke titik ini. Setelah mengikuti semua keinginan Papa dan sebentar lagi... saat Lily, sahabat sekaligus iparnya melahirkan nanti, semuanya akan lengkap.
My Little Kingdom Cafe
Nama yang sudah dipilih Ave untuk cafe yang akan dibangunnya nanti. Sebuah cafe dengan tema kerajaan dengan target untuk keluarga. Ia bahkan sudah berkonsultasi dengan beberapa temannya saat di Sydney dan juga di Jakarta, juga mengumpulkan berbagai lay-out ruang cafe yang menarik dari berbagai cafe yang ia survei saat berkunjung ke berbagai negara. Selama di Sydney, Ave juga sengaja mengambil pekerjaan paruh waktu di beberapa cafe untuk mempelajari jenis usaha ini. Tak lupa ia mengikuti dua kursus singkat menjadi Barista.
Tapi namanya juga rencana, untuk mewujudkan sudah pasti ia perlu dana. Papa adalah investor utama yang ia pilih. Berbulan-bulan menunggu dengan sabar, sambil berusaha mengambil hati Papa, dan sekaranglah waktunya.
"Waaah, harumnya! Masak apa, Ve?" tanya Papa sambil memasuki ruang makan dengan wajah sumringah. Wajah Papa sedikit memerah setelah berjalan kaki di sekitar komplek perumahan.
Ave menoleh. "Kesukaan Papa. Nasi goreng!" sahutnya.
Papa mendekat dan duduk di depan hidangan yang dibuatkan Ave itu. Ave memang jago memasak. Sejak ia remaja, gadis ini suka sekali berada di dapur. Kelezatan masakannya sudah tak usah diragukan. Sejak ia pulang, Ave memasak sendiri semua makanan untuk Papa dan abangnya, sebelum Ajie menikah.
Papa menatap nasi goreng. Mulutnya sedikit terbuka. Seleranya langsung menggelora. Tapi kemudian keningnya berkerut. "Telor Papa mana, Ve?"
Ave yang baru hendak duduk di seberang Papa terpaku diam. Otomatis menjawab, "Ya sama Papalah. Ave kan cewek, gak punya telor." Lalu ia duduk di depan Papa. Ia sudah makan tadi, langsung dari wajan penggorengan.
"Sembarangan!!" Lap di atas meja melayang dan hinggap di kepala Ave. "Telor buat nasi gorengnya, Little Monkey!"
Ave tertawa, mengangguk-angguk. "Maunya telor apa, Pa? Dadar, Mata sapi, omelet, scramble, benedict, rebus atau panggang? Setengah matang atau full-cooked?"
Papa bengong. Itu apa? Hidangan telur semua?
Bicara sama anak yang kursus memasak puluhan kali memang membingungkan. Hanya minta telur goreng saja, Papa harus memutar otak untuk memahami menunya.
"Mata sapi, setengah matang aja deh. Pusing Papa dengerin yang lain," kata Papa akhirnya sambil meraih gelas berisi air putih hangat. Menyesapnya. Menghadapi satu anak perempuan itu melelahkan. Sungguh melelahkan.
"Ok, Big Monkey!" sahut Ave penuh semangat sambil berdiri.
Air menyembur dari mulut Papa yang sedang minum. Matanya mendelik kesal. Punya anak gadis satu-satunya, tapi mulutnya pahitnya nauzubillah. Didikan luar negeri membuat gadis cantiknya terlalu berani bahkan terhadap Papanya sendiri.
"Ve, udah ada rencana nerusin di mana?" tanya Papa sembari bersandar di kursi. Sudah lama ia ingin membicarakan rencana pendidikan Ave. Mumpung mood anaknya sedang bagus, rasanya inilah saat tepat untuk membicarakan.
Ave menoleh sedikit. "Nah, Pa... kebetulan Ave mau ngomong soal itu juga. Bentar Pa!" Ave menuju kulkas, mengambil sebutir telur dan kembali ke depan kompor. Tangannya bergerak lincah mengambil penggorengan dan menyalakan kompor.
"Papa rasa mending kamu ambil di UI aja, dekat juga dari rumah. Jurusan Susastra tuh selaras sama jurusanmu di Sydney. Ambil itu aja!"
"Tapi Pa, Ave gak pengen kuliah dulu. Ave capek."
"Maksudmu?" Kening Papa berkerut.
"Ave ingin mulai usaha dulu, Pa. Kerja yang menghasilkan uang."
Oh, itu maksudnya. Papa berpikir sejenak lalu berkata, "Kalau begitu, mulai bulan depan kamu bisa ikut Abangmu kerja deh. Papa rasa kamu bisa belajar kerja di bagian General Affair atau Creative Dept. di kantornya. Itu sesuai dengan bidangmu kan?"
"Papaaa, Ave juga gak mau kerja di kantor Mas Ajie," seru Ave dari balik kitchen island.
"Lalu kamu maunya apa?"
"Ave ingin membangun Cafe, Pa. Kebetulan... " Ave mematikan kompor, mengambil sesuatu dari laci dapur, dan mendekati Papa dengan sebuah dokumen. Ia menyerahkannya ke Papa. "... Ave ada proposalnya nih, Pa. Papa lihat dulu deh!"
Papa memandangi proposal yang didominasi warna ungu, pink dan putih itu. Sebuah rencana Cafe bertema kerajaan. Dengan ragu, Papa membaca setiap lembaran proposal tersebut sebelum akhirnya ia menatap putrinya.
Lalu kepala Papa menggeleng dengan raut meremehkan. "Tidak! Kamu belum pengalaman, belum pernah kerja, belum pernah ngerasain kejamnya bisnis di kota ini. Kamu bahkan gak tahu susahnya nyari investor seperti Papa atau Ajie. Tidak! Pokoknya tidak!"
"Ayolah, Papa! Pengalaman itu kan bisa didapat saat kita mulai. Kalau gak mulai, Ave mau dapat dari mana? Ya paling enggak, sekarang Ave harus punya cafe dulu kan?" ujar Ave meyakinkan sambil duduk lagi.
"Kamu pikir bangun cafe itu hanya perlu proposal dan impian aja?"
"Ya enggaklah, Pa. Makanya Ave minta sama Papa. Sampe bikin proposal resmi begini. Ave pinjam dana ke Papa, nanti Ave bayar pelan-pelan. Bukannya Ave juga udah bikin perkiraan resiko juga?" Ave membuka bagian dari proposal yang memprediksi resiko.
Papa menggeleng-geleng. Lalu tangannya menunjuk-nunjuk proposal itu berulangkali. "Ini resiko di sini enggak realistis, Ave! Yang kamu survei ini cafe mana? Yang di Sydney, yang di mal-mal mewah sini? Kamu mau bangun di mana memangnya? Pokoknya tidak! Terlalu beresiko. Terlalu tinggi."
Bibir Ave mulai melengkung. Tapi ia terus berusaha. "Pa, Ave bisa perbaiki proposal ini. Kalo perlu Ave sendiri yang survei. Tapi... Papa harus setuju ya. Kalo enggak... "
"Enggak! Cafe kamu terlalu idealis. Coba kamu tanya teman-teman cowokmu? Apa mereka mau datang ke cafe feminim gitu? Walaupun sama anaknya. Itu memalukan, tahu! Mana ada bapak-bapak gagah nyinggahin cafe princess-princess gini!" kritik Papa lagi sambil menunjuk lay-out gambar di proposal Ave.
Mata Ave menyorot kesal. "Hanya karena Papa bukan bapak-bapak gagah yang gak pernah mau ngajak Ave, jangan disamain dong!"
Papa terdiam. Sebelum akhirnya ia mendesis pelan, "Papa... tidak... setuju... "
"Kalau begitu, Ave akan balik ke Aussie. Grandpa Wilson pasti mau bantu. Huh!" Ave berdiri.
"Tunggu! Apa maksudmu?" tanya Papa. Tatapannya begitu tajam.
Ave tak peduli. Ia membalas tatapan Papanya dengan berani. "Grandpa Wilson pasti mau bantu Ave. Ave hanya ingin minta bantuan Papa dulu baru ke Grandpa. Tapi kalo Papa gak mau... "
"Baik! Tapi Papa punya syarat!"
"Syarat apa, Pa?" tanya Ave penuh semangat.
Papa tersenyum licik. Matanya bersinar saat berkata, "Kamu menikah dengan Farhan... "
"TIDAK!"
"Atau kumpulkan uang 50 juta dalam setahun!" lanjut Papa tegas.
"Baik!"
"Tanpa fasilitas apapun dari Papa, bukan sebagai anak Papa atau keluarga dari semua orang yang ada dalam keluarga besar kita," tambah Papa lagi.
"Baik!"
"Itu termasuk Emak, Ayah, Lily, Ajie... " ujar Papa memastikan putri cantiknya ini agar tidak menganggap perjanjian ini mudah.
"Ada lagi?" tanya Ave menantang.
"Kamu harus rinciin setiap pemasukan uang itu asalnya dari mana? Juga termasuk pengeluaranmu!" kata Papa mengakhiri syaratnya.
"Oke! Tanpa bantuan siapapun! Perincian pemasukan? Oke, Ave paham, Papa. Sudah itu aja? Kapan kita bisa mulai?" tanya Ave dengan penuh keyakinan dan semangat tinggi.
"Mulai sekarang."
"Oke, setuju! Deal, ya. Papa gak akan ngerubahnya kan?"
Papa menggeleng. "Papa akan suruh pengacara bikin perjanjian notarisnya besok. Perjanjian secara hukum."
Ave menghela napas, bangkit dari tempat duduknya dan berjalan naik tangga.
"Loh kamu mau ke mana? Telor mata sapi Papa gimana?" tanya Papa. Ia menatap nasi goreng di depannya dengan bingung.
Santai Ave menjawab, "Sekarang Ave bukan anak Papa lagi ya, Ave mau siap-siaplah."
"Telor mata sapi Papa?" ulang Papa lagi.
"Goreng sendiri!" jawab Ave sebal sambil keluar dari ruang makan, meninggalkan Papa yang memandangi nasi gorengnya. Untuk apa lagi memasak buat si Demon Loan Shark berkedok Papa itu?
Tapi belum lagi keluar, kakinya berhenti melangkah dan kembali ke meja makan. "Mau digorengin, Pa?"
Papa mengangguk-angguk. Matanya kembali bersinar penuh harap.
"Bayar 50 juta ya, Pa? Ave gorengin tiap hari sampe tahun depan. Gimana?" tawar Ave dengan mata berbinar.
Bibir Papa membentuk garis lurus. "Enggak! Gak usah!" jawab Papa kesal. Tangannya menyendok nasi dengan kasar, memasukkan nasi ke mulut sebanyak-banyaknya. Menganggap ia sedang ******* putrinya yang pelit itu.
Ave mengangkat bahu. Tersenyum masam. Ya sudah. Paling tidak dia sudah memulai usahanya.
Di kamar, Ave duduk di kursi belajarnya. Sekecil apapun, ia harus mengambil kesempatan. 50 juta? Tak masalah. Itu jumlah realistis dan ia pasti bisa membuktikannya. Sekarang, ia hanya harus memulai rencananya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Jeine Sompie
OMG..ayah dan anak😂😂😂
2023-07-21
0
Aqiyu
little monkey vs big monkey 😃
2022-11-12
1
Eka Yunita Noviyanti
😂😂😂 aku mampir thour
2022-02-11
0