~ Antara hukuman atau hadiah yang tak lagi bisa dibedakan ~
"Tapi... saya gak bilang kamu bisa lolos gitu aja setelah gosipin saya seenaknya gitu ya."
Usai mengatakan kata-kata itu dengan nada yang manis namun membuat kuduk Ave merinding lagi, Zaid malah meninggalkan gadis itu begitu saja.
Ave memandangi punggung si Boss berhati dingin itu kuatir. Ia makin yakin, usianya sudah semakin berkurang sejak bertemu dengan pria itu.
Makanya Ve, jangan suka iseng! Inilah akibatnya. Sekarang maju kena mundur kena, pikir Ave dalam hati menyalahkan dirinya sendiri. Dengan lesu, ia berjalan kembali menuju ruang kerjanya.
Tapi Zaid tak melakukan apapun. Setidaknya ia sama sekali tak terlihat berusaha mempersulit Ave. Pria itu malah sibuk sendiri di ruang kerjanya, dengan Hazmi dan Jenny yang keluar masuk. Banyak dokumen yang mereka bawa, membuat Ave penasaran. Jangan-jangan sekarang ruang kerja Zaid berubah menjadi gudang arsip.
Ave tak sempat memikirkan lebih lanjut soal itu. Pekerjaannya sendiri sudah menumpuk. Semua staf di Departemen Manajemen seperti tak punya kaki. Mereka menyuruhnya memfotokopi berkali-kali, membuat kopi setiap kali gelas mereka kosong, bahkan sekedar mengambil alat tulis yang hanya berjarak beberapa meter. Mereka bahkan terlalu malas untuk memindahkan tatapannya dari monitor laptop masing-masing.
Sampai akhirnya Ave teringat janjinya dengan Lily. Menemani calon ibu muda itu ke dokter. Dengan bekal surat izin pulang lebih cepat, Ave pun berdiri, bersiap-siap. Tapi tiba-tiba tangan Jenny menepuk punggungnya.
"Ve, dipanggil sama Pak Zaid!" katanya.
Alis Ave menyatu. "Loh, Ave kan udah izin Mbak. Ave mau antar kakak ke dokter."
Jenny mengangkat bahu. "Udah saya bilangin Pak Zaid, tapi dia cuma bilang kamu masuk dulu."
Mau tak mau, rela tak rela, Ave hanya bisa patuh. Dengan langkah gontai, Ave pun mengetuk pintu ruang kerja Zaid.
"Masuk!" Suara berat terdengar dari dalam.
Perlahan Ave membuka pintu, tatapannya langsung tertuju pada Zaid, yang berlindung di balik tumpukan dokumen. Tanpa sadar bibirnya berdesis, "Wow!"
Meja kerja Zaid yang biasa bersih dan hanya ada laptop dan alat tulis seadanya, kini dipenuhi tumpukan dokumen di setiap sudutnya. Mungkin ini semua yang tadi dibawa masuk bergantian oleh Hazmi dan Jenny. Mendadak Ave kuatir ia akan diminta mengangkut semua dokumen itu lagi seperti dulu.
Tapi begitu Zaid melihatnya di antara tumpukan dokumen, tangannya segera melambai memanggil. "Tolong sini kamu bantuin saya! Tolong cariin quotation 2018 yang iklan makanan, pisahin!"
"Iya, Pak!"
Ave tak bisa menolak, saat melihat Zaid yang telah menggulung lengan bajunya hingga ke batas siku. Mendadak ia merasa kasihan melihat pria itu begitu sibuk.
Dengan sigap Ave memindahkan dokumen ke sofa tamu, dan mulai melakukan seperti perintah Zaid. Saat ia melihat Zaid tampak membaca salah satu dokumen dengan tekun, Ave mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Lily.
[Ave: Kak, kayaknya Ave baru bisa pulang nanti. Masih ada kerjaan.]
Ave meletakkan ponsel di atas meja dan mulai bekerja. Sesaat mereka berdua tenggelam dalam pekerjaannya masing-masing sampai bunyi WhatsApp masuk membuat kepala Ave dan Zaid sama-sama tertuju pada ponsel Ave.
Bergegas Ave membaca pesan itu.
[Lily: Ya udah, Cinta. Kerja aja. Gue udah ganti malam kok. Gak masalah.]
Ave tersenyum dan meletakkan kembali ponselnya, tapi ia hampir melompat ketika Zaid yang sudah berdiri di belakangnya berkata, "Mbak Lily ya?"
"Anj... Aduuh, Pak! Kok diam-diam gitu sih? Ave sampe kaget!"
Zaid duduk di sofa. Lebih tepatnya, di sisi Ave. Bibirnya sedikit naik. "Kamu mau nyumpahin saya tadi ya?"
Hehe, hampir! Dalam situasi normal, itulah yang terjadi.
Tapi Ave malah tersenyum. "Enggak, Pak Zaid yang manis! Keserimpet aja tadi lidah Ave. Dikiiit!" Buru-buru Ave menunjuk ke arah beberapa dokumen yang sudah ia pilah. "Ini, Pak! Ini yang udah Avek cek sebagian" katanya mengalihkan percakapan.
Sambil bersandar di sofa, Zaid mengambil dokumen paling atas dari tumpukan yang sudah dipilah Ave.
Sekarang dalam posisi yang dekat begini, dengan bahu nyaris bersenggolan dan paha yang menempel tanpa sengaja, jantung Ave mulai berpacu lebih cepat. Pelan-pelan Ave menggerakkan pahanya agar tak lagi menempel, sambil mengangkat tubuhnya sedikit untuk bergeser. Mumpung si pemilik tubuh di sebelahnya tampak asyik membaca dokumen itu.
"Kalo kita modif iklan yang ini lagi menurutmu gimana, Ve?" tanya Zaid tiba-tiba.
Ave yang hampir berhasil mengangkat tubuhnya, kembali duduk dan mengangguk-angguk pada Zaid. Tersenyum-senyum menyembunyikan jantungnya yang tak karuan saat tatapannya bertemu dengan Zaid.
Kenapa rambut yang berantakan itu justru jauh lebih menarik dibandingkan saat disisir dengan rapi dan gaya sih? Kenapa juga sudut bibir tanpa seringai itu jauh lebih menggoda? Kenapa ia harus menggulung lengan baju dan memperlihatkan otot-otot yang tampak tiap kali ia bergerak? Dan kenapa bola mata yang menatap Ave saat ini terlihat begitu teduh seakan bisa menghangatkan seluruh dunia?
Kenapa oh kenapa?
Apa itu sebabnya tak ada perempuan di departemen ini? Mereka semua pasti terlalu takut untuk mati karena serangan jantung! Karena sekarang Ave tahu jantungnya berdetak lebih cepat dibandingkan seorang atlit lari cepat.
"Ve? Ve?"
"Heh?"
"Ditanya malah bengong," ujar Zaid menggeleng-geleng. Matanya menyipit saat menatap Ave. Curiga.
Merasa tertangkap basah, Ave memasang senyum manis lagi. "Ave gak ngerti soal itu, Pak. Jadi Ave gak tau harus jawab apa?"
Zaid tetap membaca dokumen. "Saya nanya kamu sebagai konsumen, bukan sebagai staf di sini."
Ave melirik dokumen di tangan Zaid. Itu adalah data presentasi sebuah iklan televisi sekitar dua tahun lalu. Ave tahu iklan itu. "Ave suka! Tapi ini terlalu... terlalu terang-terangan. Monoton. Gak ada unsur misteriusnya. Gak menarik untuk disimak lama-lama. Bosenin. Kecuali dibikin kayak storyline gitu."
"Iklan model gitu, durasi lebih panjang dan lebih mahal."
"Kalo gitu, mending nyari versi yang baru, Pak. Atau bangun imej dari iklan lama, ngingetin kalo produknya udah dari dulu."
Kali ini Zaid mengangkat kepalanya. Menatap Ave. "Maksudmu?"
"Ave kasih contoh masakan aja deh, Pak. Kan semua orang tahu soal rendang. Tapi sekarang itu udah zaman modifikasi, nah muncul deh aneka jenis bumbu rendang. Gak ada salahnya kita ngiklanin bumbu rendang misalnya dengan ngangkat sejarahnya dulu. Terus kita tekankan rendangnya lebih ke masakan tradisional khas Indonesia yang family-oriented, yang khas asli Indonesia. Sama dengan yang ini... " Ave menunjuk dokumen di tangan Zaid.
Kedua tangan Ave bergerak-gerak saat ia meneruskan kata-katanya. "Kita bisa bilang kalo produk ini udah ada tahun sekian-sekian, melewati proses panjang, dinikmati banyak anggota keluarga dan tumbuh bersama. Sekarang dalam wajah baru, produk ini tampil lebih baik dan lebih bergizi. Dunia boleh berubah, sejarah selalu dikenang, kebutuhan menyesuaikan. Bagus kan, Pak?"
Saat Ave menjelaskan panjang lebar idenya yang keluar tanpa ia sadar, Zaid memandangi gadis itu tanpa ekspresi. Tapi dalam hatinya, ia menilai sesuatu. Kadang ia merasa ada sesuatu yang bersinar terlalu kuat dalam diri gadis ini, hanya Ave selalu berusaha menutupinya. Sesuatu yang terpikir olehnya barusan, takkan mungkin keluar dari pikiran gadis lulusan sekolah menengah biasa yang belum pernah bekerja.
"Lalu untuk iklan majalah, kita bisa nambahin dengan foto-foto produk yang dulu jadi bisa dibedain. Untuk radio, kita bisa tekankan ke rasa atau ciri produk yang khas. Jadi saat orang beli mereka akan mengenali nama dan ciri tertentu yang khusus," lanjut Ave sambil menggerakkan kedua tangannya.
Zaid menatap Ave dan mengangguk mengerti sambil menghela napas. "Baiklah! Sudah selesai. Kita bisa pergi sekarang. Tinggalkan saja semuanya di sini!" katanya seraya meletakkan dokumen itu kembali ke atas tumpukan.
"Loh, gak jadi dipilah, Pak?" tanya Ave heran.
"Barusan kamu udah kasih presentasi proposal. Buat apa lagi? Tinggal eksekusi aja!"
"Maksud Bapak?" Ave tak ingin menebak. Jantungnya berdebar lagi. Seringai di wajah Zaid itu pertanda hal buruk untuknya.
Zaid berdiri dan mengambil sebuah folder dari mejanya yang dipenuhi dokumen. "Ini! Ini brief produk yang akan kita kerjakan. Kamu buat proposal untuk yang barusan kamu katakan ke saya. Senin ini serahkan ke saya dan kamu ikut project meeting tim kreatif sama saya. Kamu boleh minta laptop khusus ke Jenny dan boleh kerja di lantai 7."
"Hah? Tapi... tapi Pak... " Tetap saja tangan Ave meraih brief itu.
"Gak ada tapi-tapian, itu hukuman buat kamu!" Zaid meraih kunci dan jaketnya. "Ayo!" ajaknya.
Ave makin bingung. Ia bahkan belum sempat membuka dan membaca brief produk itu. "Loh kita mau ke mana, Pak?"
Zaid berbalik. "Kamu ini gimana sih? Mbak Lily udah nungguin. Kita udah telat."
"Hah?"
Ave tak sempat bertanya, karena Zaid sudah keluar ruangan. Dengan langkah cepat, Ave berusaha menyusulnya. Sambil menjajari langkah cepat Zaid, Ave sempat meraih jaket dan tasnya sendiri. Ia masih bingung, tapi memilh mengikuti keinginan Zaid.
"Alamatnya di Cluster Melati ya?" tanya Zaid. Suara 'tet toet' dari pintu mobil yang dibuka dengan remote jarak jauh terdengar saat Zaid mengarahkan kunci ke mobilnya.
Ave hanya bisa mengangguk.
Dalam mobil yang meluncur, Ave mulai berpikir. Ia hanya staf magang, tapi malah disuruh membuat proposal. Padahal proposal itu biasanya dibuat oleh staf tim kreatif. Jelas sekali, melakukan ini seperti melewati teritorial titik nyaman seorang staf magang dari departemen biasa untuk menjadi staf kreatif. Departemen terbaik yang paling dihormati dan paling diinginkan setiap karyawan di seluruh departemen yang lain, karena Creative Department adalah jantungnya perusahaan.
Ave pernah mengintip ruang kerja tim ini saat mengantar dokumen dan barang. Ruangan tim ini sangat jauh berbeda dengan semua ruangan departemen lain. Seluruh lantai 7 dikuasai oleh departemen ini, yang diubah menjadi ruang-ruang nyaman bergaya modern dengan desain minimalis. Stafnya bekerja di manapun mereka suka, tak ada kubikal pembatas yang membosankan seperti di departemen lain.
Di antara seluruh ruangan departemen, Ave paling suka lantai 7 karena banyak yang bisa ia lakukan di situ. Ada ruangan yang dipenuhi dengan bantal besar, ada ruang berisi sofa-sofa dengan bantal serta boneka bermotif lucu dan unik, fasilitas pelepas stress yang menyenangkan dan ada pantri dengan deretan snack yang menggoda lidahnya. Fasilitas pelepas stress itu adalah aneka alat musik, meja bilyar, video games, catur, dart dan bahkan tenis meja pun ada.
Yang paling menarik, di departemen itu tak ada aturan kerja yang formal. Para stafnya bekerja bahkan dengan celana pendek dan kaos oblong biasa. Boleh pulang lebih cepat. Boleh datang kapanpun mereka suka. Selama pekerjaan dan meeting tim tetap berjalan sesuai rencana. Sesuatu yang paling diimpikan Ave. Bekerja tapi tak seperti bekerja.
Tapi aturan itu hanya berlaku staf tim kreatif. Jadi jelas, membuat proposal bukanlah hukuman, melainkan hadiah. Seperti kejatuhan durian. Sekarang Ave mendapatkan kesempatan itu.
Namun, di sudut hatinya, Ave sedikit kuatir. Ini pertama kalinya ia melakukannya dan Zaid seseorang dengan pribadi yang tak terduga. Entah mengapa Ave justru merasa kuatir.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
fidivrotary
mulai suka deh sama sosok zaid...hmmm...s dingin es...dingin tp ngangenin...🥰🥰😍😍
2022-01-22
1
Ife
terpanah deh hati si boss...
2021-01-19
0
Dyah Retnowati
nah lo jd baik pak bos..
2020-08-12
0