~ Aturan dibuat untuk dipatuhi, bukan? ~
Seorang penyihir?
Zaid menatap Ave yang tersenyum lebar padanya, sebelum menghela napas. "Kalo becanda itu jangan kelewatan, Ve. Gak semua orang suka."
Ave mengangkat bahu. "Ya udah kalo gak percaya. Gak maksa kok. Yang jelas someday, somehow... I'll prove it!" kata Ave dengan tatapan penuh arti. Lalu ia berdiri dan meninggalkan Zaid. Tapi baru beberapa langkah, gadis itu kembali lagi dengan terburu-buru.
"Eeeh, Ave sampe lupa," serunya sambil meletakkan kantong kain yang sedari tadi dipegangnya di atas kursi. "Ini untuk Bapak."
Zaid menunduk menatap kantong itu. "Apa itu?"
"Rujak!" jawab Ave ringan.
"Saya gak suka rujak, Ve. Kamu tau itu kan?"
Ave menyeringai. "Iiih, ini kan bukan dari Ave. Ave cuma nyampein amanah, Pak."
Zaid mendongak. Lurus menatap Ave. "Dari siapa?"
"Dari Ratu Penyihir!" jawab Ave cepat.
Zaid melongok.
Ave tertawa kecil lalu tangannya mengibas pelan. "Gak usah kaget, Pak. Ave becanda kali. Ini dari Kak Lily. Semalam Ave kan pu... ketemu Kak Lily, terus sama dia dititipin pesan buat bawain ini ke Bapak. Kebetulan kemarin Kak Lily bikin banyak buat teman-temannya yang lagi datang, termasuk Ave. Karena waktu Kak Lily acara nujuh bulanan, Bapak gak diundang, ya udah dikasih sekarang," lanjutnya tanpa mengatakan kalau ia bertemu Lily karena semalam ia pulang menemui Papa. Sayangnya, Papa ternyata sedang keluar rumah bersama teman baiknya. Hanya ada Lily dan teman-temannya. Rujak itu juga buatan Ave yang spontan didaulat setengah paksa oleh Lily dan teman-teman kantornya yang cerewet itu.
"Hmm... saya gak diundang. Kenapa? Dilarang Ajie?" tebak Zaid sedikit sinis.
Ave duduk lagi. "Ih Bapak, negatif thinking aja! Kan waktu itu belum kenal sama Kak Lily. Sekarang aja udah mau nunggu lahiran. Lagian ye Pak, mending gak usah datang deh!"
Zaid tersenyum masam. "Kok gitu? Kenapa?"
"Waktu itu Ave malah dimarahi sama Mas Ajie, dan diginiin terus sama Kak Lily... " Ave mengelus-elus perutnya yang dimajukan seperti orang hamil dan meniru gaya Lily. "... Amit-amit jabang bayi! Amit-amit jabang bayi! Jangan niru tantemu ya!... Tuuh gitu tuh, Pak!"
"Memangnya kamu habis melakukan apa sampai Lily begitu?" tanya Zaid masih dengan senyum tertahan.
Kening gadis itu berkerut sebelum menggeleng. "Gak ada! Malah Ave nawarin bantuan jagain anak-anak kecil yang ibu-ibunya lagi pada ngaji. Ave ajakin ke ruangan lain supaya mereka gak gangguin ibunya."
Zaid bingung. Tak ada yang salah. Tapi kalau Lily sampai mengatakan hal itu, pasti ada sesuatu. Ia jadi makin ingin tahu.
"Terus? Kenapa Ajie marah dan Lily sampe gituin kamu?" selidik Zaid. Ia jadi ingin tahu lebih banyak. Jangan-jangan Ajie masih seperti dulu. Marah untuk sesuatu yang sebenarnya tak perlu diambil hati.
Ave mengangkat bahu. "Waktu itu ada anak kecil, nyolok-nyolok hidungnya. Terus Ave tanyain dia kenapa. Nah dia bilang hidungnya gak enak. Karena Ave jijik ngambil *** hidungnya anak itu, jadi Ave ajarin tuh cara ngupil."
Tidak ada yang salah. Wajar kalau Ave tak terbiasa mengurus anak kecil. Dia saja masih seperti anak kecil. Tapi gadis ini sudah benar mengajari anak itu.
"Terus... pas anak itu selesai dan nanya upilnya diapain kalo udah dapet, waktu Ave mau jawab, ada anak yang lebih besar nyamperin Ave dan nanya juga. Ave cuma jawab satu kalimat, eh... malah disalahin. Gitu aja kok, beneran!" lanjut Ave.
Zaid makin bingung. Lalu tiba-tiba ia terpikir sesuatu. "Anak yang udah gede itu emang nanya apa sama kamu?"
Ave menatap Zaid. "Dia nanya, kue di atas meja dapur itu boleh dimakan gak? Ya Ave spontan noleh dan ngejawab... Iya, makan aja!... Pas Ave ngelihat ke anak yang ngupil tadi eh semua anak sudah pada teriak."
"Teriak apa?"
"Pada teriak... Tanteee, upilnya dimakan!" jawab Ave polos.
Tawa Zaid tak lagi bisa ditahan. Ia tertawa terkekeh-kekeh. Astaghfirullah, Ave! Pantas saja kalau Ajie marah dan Lily ikut panik. Siapa yang mau punya tante sebego Ave?
"Laaah, Bapak malah ketawa!"
"Pantas aja kamu digituin Lily. Saya aja belum punya anak, bakal bilang amit-amit jabang bayi," kata Zaid saat tawanya mulai reda. Bibir Ave makin maju, cemberut. Ternyata Zaid sama saja seperti yang lain. Lagipula, Ave sendiri ingin bilang amit-amit jabang bayi kalau nanti anaknya sedingin lelaki ini.
Saat Ave berdiri, Zaid kembali berkata, "Kamu bawa aja, Ve. Saya benaran gak bisa ngerujak. Perut saya sekarang juga lagi gak enak."
Ave mengurungkan niatnya. "Bapak belum makan? Mau Ave beliin? Deket sini ada orang jualan bubur. Dekat kok! Cuma nyebrang dikit."
Menyeberang? Tidak. Zaid tak ingin membayangkan Ave menyeberang jalan lagi. Cukup sekali jantungnya hampir copot melihat Ave nyaris tertabrak. Gadis ini sangat ceroboh. Ia pun menggelengkan kepala.
"Gak usah, Ve! Tadi pagi saya hanya gak sempat sarapan. Jangan kuatir! Pergilah! Kamu belum makan siang, kan?" Sekali lagi Zaid menolak. Ia tak ingin berlama-lama di dekat Ave. Gadis ini memancing terlalu dalam. Zaid mulai merasa tak nyaman.
Gadis itu tetap diam. Tak beranjak sama sekali.
"Pergi sana! Saya mau istirahat. Kalo kamu di sini, saya gak bakal istirahat," kata Zaid.
Bibir Ave mulai cemberut. "Pak, sarapan itu walaupun sedikit harus dilakukan supaya pencernaan kita gak kaget. Puasa aja kita masih disuruh sahur sebelum puasa, apalagi ini. Kalo Bapak udah tau punya penyakit pencernaan gitu, ya harus diperhatiin dong makannya. Gak bisa masak, ya cari koki atau tukang masak yang cocok sama lidahnya Bapak biar ada selera."
Zaid tak menjawab. Ia tak sedang ingin bicara serius. Ave takkan mengerti dirinya.
"Bapak, dengerin Ave dong! Emangnya Ave ondel-ondel yak? Cuma buat diliatin doang!" cerocos Ave.
Zaid menghela napas. "Pergilah, Ve! Saya serius."
Tatapan mereka bertemu beberapa detik, sebelum Ave melengos. Tak lupa ia menyambar rujak yang ia bawa. Sekali lagi Zaid menghela napas. Akhirnya... dunia tenang lagi.
Sepuluh menit sebelum waktu istirahat selesai, Zaid berjalan kembali ke ruang kerjanya. Semua staf tampak sibuk, saat mereka melihat Zaid, tak lupa mereka memberi salam atau anggukan. Zaid menjawab seperlunya sebelum matanya melihat kursi Ave yang kosong.
"Ave ke mana?" tanya Zaid pada Pak Wiryo yang sedang berdiri paling dekat dengannya.
Pria tua itu juga melirik kursi yang kosong, sebelum menjawab, "Tadi ke bawah sebentar, Pak. Dia mesen makanan."
"Delivery?" tebak Zaid.
Pak Wiryo mengangguk.
"Loh waktu makan siang sudah selesai. Dia belum makan?" tanya Zaid lagi. Sudah tahu belum makan, kenapa tadi gadis itu malah berlama-lama di lantai 9?
"Ave memang jarang makan siang, Pak. Kalau makan juga ya agak sorean. Katanya udah kebiasaan. Biasanya dia makan juga gak lama. Paling 5 sampai 10 menit. Makannya gak banyak," kata Jenny yang baru mendekatinya menjelaskan.
Zaid diam sejenak. Bagaimana bisa gadis itu mengomelinya tentang sarapan ketika ia sendiri makan tak teratur? Ini tak bisa dibiarkan.
"Tegur dia, Jen! Kasih warning satu. Siapapun orangnya, waktunya makan ya harus makan. Saat bekerja, ya harus kerja. Jangan ngikut aturan sendiri. Buat apa ada aturan perusahaan kalo gak dipatuhi!" seru Zaid dengan nada tegas. Lalu ia menoleh pada staf-staf lain yang ikut memperhatikan. "Kalian juga perhatiin ini ya. Kalian juga harus jadi contoh untuk Ave. Jangan sampai kebiasaan makan di luar jamnya ini jadi budaya di sini."
"Baik, Pak!" jawab semua staf hampir bersamaan.
Sekali lagi Zaid menghembuskan napas kesal. Ave benar-benar toxic! Racun yang bisa mengkontaminasi semua stafnya. Zaid makin yakin, Ave memang penyihir. Ia penyihir yang jahat. Menyihir semua orang untuk bersikap seenaknya. Zaid harus bersikap tegas, sebelum kelakuan Ave makin menjadi.
Belum ada lima belas menit sejak Zaid masuk ke ruangannya dan duduk memperhatikan angka-angka dalam laporan keuangan, pintu ruang kerjanya diketuk.
"Masuk!"
Pintu terbuka dan Jenny muncul dengan bungkusan plastik di tangannya. Gadis itu mendekati meja Zaid.
"Pak, Ave sudah kembali. Tadi sudah saya tegur secara lisan dan ini... surat warning-nya," lapor Jenny sambil menyerahkan selembar kertas ke atas meja Zaid.
Tanpa menunggu perintah Zaid, Jenny bergerak menuju meja sofa, membuka bungkusan dan mengambil mangkuk plastik keluar. Aroma khas tercium menggelitik hidung Zaid. Perutnya yang melilit mulai menunjukkan minat.
"Itu bubur, Jen?" tanya Zaid. Untunglah punya sekretaris yang paham kebutuhannya.
Jenny tampak bingung sebelum akhirnya mengangguk. "Katanya Ave sih bubur, Pak. Tapi saya belum liat."
"Ave? Dia yang beli?" tanya Zaid mulai merasa tak enak. Ia baru ingat, tadi siang ketika Jenny ingin menyiapkan makan siang, ia telah menolaknya. Hanya Ave yang tahu kalau perutnya sedang tak nyaman.
Kepala Jenny mengangguk lagi. "Iya, Pak. Tadi dia turun sebentar karena memesan bubur untuk Bapak. Hanya yang nganter itu sempat salah alamat, makanya agak lama."
Bibir Zaid terkunci rapat. Gadis itu bukan makan siang, tapi sedang mencarikan dirinya makan siang yang sesuai dengan perutnya yang sakit. Jenny mungkin bisa membaca rasa bersalah itu di wajah Zaid.
"Apa... sebaiknya saya batalin suratnya, Pak? Ave hanya mencari makan siang untuk... " tanya Jenny ragu-ragu.
"Suruh dia masuk!" perintah Zaid singkat. Ia memandangi mangkuk bubur yang masih terlihat beruap itu.
Ada senyum membayang di wajah Jenny sebelum ia keluar. Itu ciri khas Zaid ketika merasa bersalah. Ia akan menyelesaikannya secara langsung, tidak pernah menitip maaf melalui siapapun.
Suara ketukan singkat terdengar, Zaid belum menyuruh masuk tapi pintu sudah terbuka cepat. Begitu tertutup, celoteh riang di belakang Zaid sudah bergema.
"Udah dimakan, Pak? Enak gak?" cecar Ave penuh tanda tanya. Tanpa disuruh, Ave duduk di sofa dekat Zaid.
Zaid menoleh pada Ave. Menatap wajah riangnya. Gadis itu tak tampak sedih atau murung, padahal jelas tadi Jenny bilang kalau ia menegur Ave. Mata bening itu masih tampak sejernih air, begitu bersih. Tak ada kesedihan.
"Yaaah, belum dimakan ya," seru Ave saat melihat mangkuk plastik yang masih tertutup dengan rapi. Sembari memamerkan lesung pipitnya, ia melanjutkan, "Mau Ave suapin, Bapak Boss yang tampan?"
"Maaf, Ve. Tadi kamu... "
Ave malah sibuk membuka tutup mangkuk. "Dimakan sekarang ya, Pak. Kalo lama-lama nanti perut Bapak makin sakit," potong Ave.
"Tapi tadi... saya... "
Ave mengangkat wajahnya, menatap Zaid sambil tersenyum. "Bapak, sudahlah. Mbak Jenny cuma ngasih tau Ave baik-baik. Itu wajar kok. Ave juga salah gak ngasih tau Mbak Jen kalo tadi lagi nyariin makanan buat Bapak. Sekarang Bapak makan dulu, jam tiga nanti ada meeting sore di studio kan? Ave juga harus kerja lagi. Buruan!"
Dengan patuh, tangan Zaid menerima mangkuk yang disodorkan Ave dan ia mulai makan. Ia mencoba menghabiskan, tapi setelah separuh, Zaid menyerah. Melihat mangkuk yang berkurang cukup banyak, Ave tersenyum puas. Setidaknya ada makanan yang masuk ke perut pria di depannya. Bias pucat di wajah Zaid perlahan berganti warna.
Setelah membereskan semuanya kembali, Zaid bersiap untuk duduk kembali meneruskan pekerjaannya. Sebelum Ave pergi, Zaid bertanya, "Udah selesein proposalmu, Ve?"
Ave menatap Zaid penuh arti. "Minggu ini deh Ave setor. Janji!"
Zaid mengangguk. "Hari ini kamu ngerjain apa? Kamu ikut saya ke studio."
Rasa bersalah itu masih ada di hati Zaid. Ia memang merasa lebih baik setelah makan. Dengan membawa Ave ke studio, ia bisa sekalian mengajak gadis itu makan malam. Ia ingin membalas perhatian Ave.
Sementara Ave sudah punya rencana lain hari ini dan ia tak ingin berduaan dengan pria yang selalu membuat jantungnya terlalu sering berolahraga ini. Pria tampan tapi pemarah itu sulit dihadapi. Ave belum pernah bertemu pria yang hatinya sulit sekali digerakkan dengan godaan, rengekan bahkan permohonan.
"Ave sibuk eh, Pak," jawab Ave buru-buru.
"Sibuk? Sibuk apa? Apa harus sekarang? Gak bisa ditunda?"
"Iya, harus sekarang. Ave mau bikin surat warning."
"Warning? Untuk siapa?"
Mata Ave membulat. "Ya untuk Bapaklah! Bapak kan barusan makan di jam kerja. Bapak sendiri yang bilang jangan bikin aturan sendiri. Ave sih hanya mencoba menjadi karyawan yang patuh pada aturan. Betul gak, Pak?"
Zaid terdiam seribu bahasa. Sementara Ave cekikikan sambil keluar dari ruang kerja bossnya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Aqiyu
dasar Ave somplak
2022-11-12
0
fidivrotary
kena batu nya zaid....gk ada dua ave...
2022-01-22
0
Ife
hahahahaa...Ave dilawan, gak bakalan sanggup deh pak 🤧
2021-01-19
0