~ Tipuan adalah cara damai meraih hati Pangeran... atau sebaliknya? ~
Pekerjaan.
Alasan yang menyebabkan Avelia sekarang berdiri di sini, di antara puluhan pelamar kerja. Tadinya sih duduk... tapi kemudian ia dipaksa berdiri setelah dipelototi dan diusir oleh dua orang gadis yang sedari tadi menyindirnya. Hanya karena sepatu yang dikenakan Ave bukan berjenis high heels seperti yang mereka pakai, kedua nenek sihir bertampang gadis cantik itu berhasil mengusir Ave dan seorang pria muda yang duduk di sebelahnya. Berulangkali mereka mengeluh di depan Ave dan pria muda itu. Awalnya nada bicara mereka cukup pelan dan santun, tapi lama-lama mereka bicara nyaris seperti berteriak marah 'Mbok ya lo-lo pada berdiri, gantian kenapa?'
Iiih, siapa suruh memakai sepatu setinggi itu untuk melamar kerja? Apakah tiap calon karyawan di bagian administrasi biasa harus pakai high heels tiap hari? Mereka itu melamar kerja atau mencari suami? High heels setinggi itu tentu sangat menyakitkan saat dipakai. Bisakah mereka menyelesaikan wawancaranya dengan baik kalau kaki terasa sakit? Entahlah, Ave tak peduli dan tak mau tahu. Mungkin itulah standar mereka. Pakai high heels supaya kelihatan canggih, supaya terpilih dan bisa diterima. Sementara menurut Ave, sepatu tinggi itu bukan high heels tapi high hell!!
Ave mengangkat bahu. Untuk apa sibuk memikirkan orang lain? Dia sedang menjalankan misi. Pakaiannya dipilih sesederhana mungkin. Hanya satu kemeja putih biasa yang dilapisi blazer warna pastel dengan rok hitam sampai lutut. Saat keluar dari rumah, Ave tak membawa banyak pakaian. Hanya beberapa yang berjenis kasual. Lebih pantas untuk dikenakan sehari-hari atau sekadar jalan-jalan. Untuk pulang, Ave segan. Masak belum seminggu dia sudah pulang lagi? Papa akan menertawainya nanti. Untungnya, Tiar bersedia meminjamkan satu stel pakaian yang memang biasa digunakannya saat melamar pekerjaan dulu.
"Udah berapa kali lo pake ini, Yar?" tanya Ave saat menyetrika pakaian. Saat itu Tiar berkunjung ke apartemen, membuka kamarnya dan Jaya yang terkunci agar Ave bisa memakai pakaiannya.
Kepala Tiar miring sedikit. Mengingat. "Entahlah. Sekitar 10 atau 15 kali."
"Untuk melamar kerja?" tanya Ave. Tiar mengangguk.
"Dari semua wawancara itu berapa kali diterima?" tanya Ave lagi. Tangannya meraih gantungan baju, memasukkan pakaian untuk digantung.
"Satu kali! Waktu gue diterima kerja di studio. Itu juga cuma gue pake sebentar. Habis itu pemilik studio olahraga itu mau liat cara gue ngelatih. Pake baju training. Jadi ya nyaris gak pernah sih." Tiar menggeleng-geleng sejenak, sebelum kembali asyik menekuri ponselnya.
What??
Ave memandangi pakaian yang baru disetrikanya itu. 15 kali melamar dan tak ada satupun diterima? Dan besok ia memakainya...
Tapi akhirnya Ave tetap memakainya. Ia tak punya pilihan. Ia harus bisa berbaur menjadi orang biasa dan tidak boleh mencolok, seperti pesan Natty. Ia berhasil. Malah mungkin terlalu berhasil. Saat tadi membanding-bandingkan, Ave merasa penampilannya paling sederhana di antara semua pelamar. Begitu melihat mereka, Ave langsung kehilangan kepercayaan diri. Ia tak lagi yakin bisa diterima bekerja.
Setiap sudut lobby yang ada kursinya sudah diduduki orang. Hampir semuanya memegang map dan isinya pasti CV. Satu demi satu mereka dipanggil, hingga tiba saat makan siang. Seorang perempuan cantik keluar dari ruangan yang tadi dimasuki para pelamar kerja yang dipanggil secara bergantian. Ia menyebarkan senyuman manis sebelum akhirnya memberitahu pengumuman.
"Mohon perhatian sebentar, semuanya. Karena hampir pukul dua belas, para penguji akan istirahat dan makan siang dulu. Bagi para calon pelamar yang belum dipanggil bisa istirahat dan makan siang di ruang cafetaria karyawan di lantai dasar. Interview akan dilanjutkan tepat pukul satu. Siapa yang tidak hadir tepat waktu akan didiskualifikasi. Terima kasih."
Selesai perempuan cantik itu bicara dan kembali masuk ke ruangannya, gumam dan desah terdengar di antara kerumunan orang-orang itu. Satu persatu mereka pun meninggalkan ruang tunggu, bergerak menuju lift dan turun ke lantai dasar, menuju cafetaria. Hanya dalam beberapa menit, lantai itu sudah terlihat kosong.
Dulu, karena jam kuliah yang padat dan pekerjaan part-time di restoran, Ave terbiasa makan setelah lewat waktu makan siang. Kalaupun bisa makan, paling-paling hanya nasi sepiring kecil. Jika terlalu banyak, perutnya malah sakit. Karena itu, daripada nanti ia mules saat diwawancara, Ave lebih suka mengikuti pola makannya yang biasa.
Sambil mengistirahatkan kakinya yang pegal karena berdiri cukup lama, Ave duduk bersandar di kursi yang menghadap jendela besar kaca. Diangkatnya kaki kirinya, lalu memijat-mijatnya pelan-pelan sambil mengangkat wajah dan menatap keluar.
Pemandangan dari lantai 9 itu sebenarnya luar biasa untuk orang lain. Apalagi sudah lama sekali Ave tak memandang kota Jakarta yang dirindukannya selama lima tahun terakhir dari tempat setinggi ini. Kunjungannya ke gedung GE milik kakaknya bisa dihitung dengan jari dan kebanyakan hanya di ruang kerja Lily. Dulu saat masih kecil, bersama Ajie, ia sering diajak Papa dan Mama berkeliling Jakarta, mengunjungi banyak tempat menarik. Kebon Binatang Ragunan, Monas, Taman Impian Jaya Ancol, Sarinah Plaza, Museum Nasional, Planetarium...
Tapi Ave selalu takut pada ketinggian. Ia tak bisa mendekati jendela itu dengan kaki yang kokoh. Seluruh tubuhnya, terutama kakinya akan gemetar dengan hebat. Jadi ia memilih duduk dan memandang dari jauh saja. Lagipula, dari tempatnya ia masih bisa memperhatikan jejeran gedung-gedung di luar sana.
Mata Ave menyipit memastikan gedung-gedung yang pernah dikenalnya. Sesekali ia menggeleng dan dahinya berkerut. Tak yakin nama gedung yang dilihatnya dan mungkin itu gedung yang baru berdiri. Entahlah. Ave harus mempelajari banyak hal lagi sekarang. Ia mulai kuatir, jangan-jangan karena terlalu lama tinggal di luar negeri, kini ia menjadi tamu di negerinya sendiri.
Papa, kau benar-benar mengubahku menjadi orang asing sekarang.
"Kakimu kenapa?" Pertanyaan itu terdengar dari belakang Ave. Ave menoleh.
Seorang pria berdiri di situ. Ia memakai kemeja putih polos, dengan lengan baju yang digulung hingga siku dan dua kancing baju di bagian paling atas dilepas begitu saja. Celana panjang berwarna hitam dan licin menutupi sepasang kaki panjang yang berdiri dengan santai. Kedua tangan pria itu bertengger di pinggangnya.
Refleks, Ave langsung berdiri. Tinggi Ave hanya 155 cm, dan ia hanya sampai pundak pria itu. Berarti tinggi lelaki ini sekitar 175-180an cm. Gadis itu melirik perut lelaki itu dan... rata. Ave menahan napas tak sadar. Otot-otot tubuh tanpa lemak, pundak yang tegap, dan dada yang bidang. Check list done! Tubuhnya sempurna. Ave pun mendongak. Wajahnya itu...
Haduh, ini si pangeran tampan!!... ini sih tipe-tipe favorit gue! Tunggu! Let's see... which prince? Eugene? Philip? Charming? Beast setelah kutukan luntur? Aladin? Naveen? Aaah, mari kita nilai dulu...
Rambut lurus yang dipangkas rapi dan terlihat sedikit basah di bagian dahi. Hidung tinggi dan mancung yang sedikit bengkok di bagian ujungnya, alis matanya yang tebal dengan tatapan tajam namun teduh yang dipancarkan sepasang mata hitam kecoklatan. Ada bayang lesung pipit di sebelah kanan pipinya saat ia bicara. Rahangnya yang tampak kokoh itu bergerak-gerak menggoda Ave. Tak sadar, Ave langsung mundur dua langkah.
Ok, Orang di depannya ini seperti keluar dari majalah pria yang tadi tergeletak di meja lobby tadi. Mata Ave kembali menelusuri sepasang kaki bercelana hitam itu lagi. Kedua kakinya menapak ke lantai, memakai sandal dengan ujung celana yang seperti habis digulung asal-asalan dan belum dirapikan. Setidaknya Ave bisa yakin, pria ini bukanlah roh jadi-jadian atau hantu gedung ini. Lagipula, mungkinkah ada hantu setampan ini?
"Kakimu kenapa?" Pria muda itu kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini Ave menunduk.
Ada sepasang kaki dengan warna kulit putih bersih menapak di lantai keramik tanpa menggunakan alas apapun terlihat di bawah sana. Jari-jari kaki Ave seperti tertawa keras saat memamerkan diri mereka yang sedang menikmati dinginnya lantai marmer itu. Mulut Ave menganga lebar, sebelum akhirnya ia buru-buru menunduk mengambil sepatu tanpa hak miliknya yang terlempar jauh di bawah kursi. Ia menemukan sepatu sebelah kanan, tapi yang sebelah kiri... Ave menengok makin ke bawah. Tidak ada, dan ketika ia mengangkat kepalanya, sepatu kirinya tegak berdiri di atas kursi. Aaargggh!
"Ma, maaf... saya lupa pakai sepatu, Mas! Tadi kaki saya pegel, jadi lepas sepatu deh," jawab Ave gugup, lalu duduk di kursi dan memasang sepatunya kembali dengan terburu-buru.
Pria itu memandangi Ave tanpa ekspresi. Ave berusaha tenang walaupun jantungnya berdebar kencang diperhatikan seperti itu. Ia tetap menunduk sampai debaran jantungnya sedikit mengendur. Pria itu bergerak dan duduk di kursi paling ujung. Kali ini Ave sudah berani melirik sedikit ke arahnya.
Setelah pria itu duduk, ia bersandar santai di kursi, mengeluarkan ponsel dan earphone-nya, memasang di kedua telinganya lalu meletakkan ponselnya di kursi sebelah Ave sambil memandang keluar jendela besar.
Ave mulai menilai pria itu dari kejauhan. Pakaiannya sederhana, tidak terlalu mentereng seperti Papa atau Ajie. Ave memang tak terlalu mengenal pakaian atau jas bermerk dengan sekali memandang kain saja. Tapi, ia tahu sekali kalau pakaian yang dikenakan pria ini juga tidak murah dan itu terlihat dari kainnya yang jatuh dengan lembut. Namun, melihat bentuknya yang sederhana, Ave menyimpulkan kalau pria itu sama seperti para calon karyawan yang tadi duduk bersamanya.
Benar, pria ini pasti salah satu pelamar kerja juga. Pasti ia juga sedang istirahat. Ave tersenyum. Sebuah ide muncul di benaknya. Tanpa ragu, ia menggeser duduknya agar lebih dekat pada pria yang sedang bersandar sambil memejamkan mata itu. Seperti merasakan sesuatu yang mendekat, pria itu mendadak membuka mata. Secara otomatis, tangannya melepas earphone yang menempel.
"Mas sudah dengar informasi belum?" tanya Ave, sambil duduk. Mengeluarkan kotak permen mintnya, dan mengambil satu untuk dimakan. Ia juga menawarkan pada pria itu. Tapi pria itu menggeleng.
"Apa?" Pria itu tampak bingung.
Ave kembali tersenyum ramah. Ia berusaha terlihat tulus. "Sebenarnya saya itu gak pengen cerita. Tapi Mas ini keliatan baik dan... saya yakin, Mas pasti terpilih jadi karyawan di sini. Hanya saja..."
"Saya?" Tampak kening pria itu berkerut sedikit mendengar kalimat Ave. Ia melirik ke sekeliling mereka. Tak ada siapa-siapa.
Ya kamu yang aku maksud, greget Ave dalam hati. Tapi ia tersenyum lagi.
Kemudian Ave menghela napas, terlihat kuatir. Ia mencondongkan tubuhnya hingga mendekat ke pria itu. "Teman cowok saya dulu pernah kerja di sini. Tapi kemudian dia sakit keras sebelum akhirnya... " mata Ave meredup sedih. Lalu ia menoleh lagi. Makin dekat.
"Mending kalo sakitnya itu normal, ini dia kena penyakit... ituuu loh," kata Ave berbisik sambil menunjuk bagian celana pria itu. Kedua kaki pria itu otomatis bergerak menutup. Tapi Ave melanjutkan, "Sebelum dia... pergi, dia sempat cerita penyebabnya. Dia sakit karena direktur sini."
Kening pria di sebelah Ave berkerut. Ia menoleh. Agak kaget melihat wajah Ave yang begitu dekat dengannya. Ia menatap Ave penuh tanda tanya. "Karena direkturnya? Maksudmu?"
"Teman saya itu sakit karena... mmm... ketularan oleh Direkturnya."
Mulut pria itu terbuka sedikit. Ia terlihat makin kaget. Ave makin bersemangat untuk bicara. Tepat saat itu, ada bunyi pesan masuk dari ponsel yang ada di saku baju pria itu. Ia mengambilnya dan sedang membaca, ketika Ave melanjutkan cerita bohongnya.
"Jadi Direktur di sini itu, kata teman saya, suka... " Ave sengaja melirik ke kanan dan ke kiri dulu, sebelum mendekatkan wajahnya ke telinga pria itu lagi, menutup bibirnya dengan satu tangan, sebelum berbisik melanjutkan, "... katanya suka pada sesama pria!"
Pria itu menoleh dengan tiba-tiba, hingga tak sengaja bibirnya menyentuh hidung Ave. Keduanya sama-sama terkejut dan menjauh. Pria itu berdiri cepat, Ave mundur. Tapi Ave tak siap. Ia terguling jatuh dari tempat duduk dalam keadaan terjengkang, membuat isi roknya terlihat jelas oleh pria itu.
Pria terperangah beberapa detik sebelum terbatuk-batuk memalingkan wajah. Wajahnya berubah warna. Awalnya gelap sebelum memerah dan lama-lama pucat...
Ave buru-buru berdiri, menyembunyikan rona wajahnya yang mendadak sama pucatnya dengan kulitnya. Mereka sama-sama saling menghindari tatapan satu sama lain. Tapi dengan cepat Ave menguasai diri, seringai jahilnya muncul di wajahnya.
Yess, tak percuma belajar jahil, akting sekaligus bohong dari sahabat-sahabatnya. Buktinya pria itu sampai sekaget itu.
Menipu untuk melancarkan jalan menuju pekerjaan yang halal, dibolehkan bukan?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
iYind Dewi
quw udh baca 2x lho
2024-03-10
0
Aqiyu
kocak loe Ave
2022-11-12
0
Eka oktavia
dan ternyata yang kamu jahilin itu direktur mu ave... wkwkwkwk
2022-01-14
0