~ Putri sejati dilahirkan oleh keadaan, termasuk Cinderella... ~
Avelia tak menyangka kalau Papa benar-benar serius dengan kata-katanya. Hanya dalam beberapa hari menyiapkan dokumen, pria tua itu telah berhasil tersenyum lebar di depan notaris dengan perjanjian resmi di tangannya.
Jadi dengan perasaan campur aduk, Avelia benar-benar keluar dari rumah Papa, hanya dengan uang tabungan tunai sebesar 5 juta rupiah dan sebuah koper juga ransel. Untunglah, apartemen Jaya sudah lama kosong dan ia bersama istrinya, Tiar tinggal di rumah dinas.
"Hitung-hitung ada yang bersihin!" Itu alasan Tiar saat Avelia berterima kasih untuk biaya sewa yang teramat murah. Ia harus membayar Tiar sesuai perjanjian dengan Papa. Kecuali ia mendapat fasilitas dari tempatnya bekerja, semua akomodasinya harus dibayar.
Padahal Avelia masih belum tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghasilkan uang dengan cepat. Ia sudah mencoba melamar menjadi koki di beberapa restoran, tapi gajinya jauh dari harapan. Avelia belum pernah bekerja di restoran manapun di Indonesia, dan beberapa kali melakukan pekerjaan part-time selama di Sydney ternyata tak banyak membantu.
Yang membuat Avelia mengerti kemudian, alasan Papa begitu senang saat ia menandatangani perjanjian adalah... Papa telah menghubungi semua perusahaan yang ia tahu dan ia kenal, bahwa seorang gadis bernama Avelia Shamsiah Al Farizi sedang mencari pekerjaan. Dengan caranya yang halus, hampir semua perusahaan yang didatangi Avelia selalu menolaknya.
Bahkan yang menyebalkan Avelia saat mendengar informasi dari Lily.
"Ve, lo mau merit sama siapa?" tanya Lily melalui telepon.
Kening Ave berkernyit. "Maksud lo apa, Kak?" tanya Ave. Sekarang ia harus memanggil Lily dengan sebutan itu. Ajie sudah berkali-kali menegurnya. Pria itu tak mau saat anaknya lahir melihat sang adik yang tak sopan pada istrinya.
"Ini loh... Papa minta bantuan Emak buat nyariin perancang baju pengantin dan kebaya buat nikahan. Trus Emak gue nanya ke gue, emang lo mau nikah ama siapa?"
Ave menghembuskan napas kuat-kuat. Duh Papa. Belum juga seminggu!
"Gak ada, Kak. Papa pasti ngerasa udah menang, makanya dia siap-siap gitu. Enggak deh! Lupakan! Bilang aja ke Emak kalo gue gak mau nikah."
"Hahaha. Nikah aja, Ve. Enak kok nikah itu! Ada yang lo bantai suka-suka lo tiap hari. Ada yang lo jahilin tiap hari. Tapi yang paling nyenengin itu ada yang belain lo depan siapapun. Beneran. At least gue udah buktikan." cerita Lily penuh semangat. Terdengar suara berat seseorang di dekat Lily. Lalu Ave bisa mendengar suara perdebatan disertai tawa di ujung telepon. Ave ikut tersenyum. Pasti itu Ajie yang sedang protes.
"Eh itu mah elo kali, Kak! Mas gue aja **** mau punya bini model lo." Tawa Lily terdengar, membuat senyum Ave mengembang lagi, teringat wajah Masnya yang juga sering tertawa sendiri sekarang. Mungkin kekonyolan istrinya sudah menular padanya. Tentu saja, Ave juga ingin punya pernikahan bahagia seperti itu. Tapi tidak sekarang.
"Yee makanya. Lo gak ngiri punya laki model gitu?"
"Masalahnya gue mau dijodohin sama anaknya teman Papa yang gue juga gak tahu siapa," kata Ave murung.
Terdengar helaan napas Lily. "Hmmm, iya juga ya."
Untunglah, beberapa hari kemudian, sebuah petunjuk akhirnya datang juga. Saat ia menerima pesan Whatsapp dari Natasha.
[Natty: Ve, can we meet?]
[Ave: Sure, Mbak. Where? Now? I'm in the apt now.]
[Natty: Wait for me in the cafe apt ya. 3 pm ya.]
[Ave: Yes, OK.]
Sore itu, saat Ave memasuki cafe, Natty sudah duduk dekat jendela. Seperti biasa, gadis cantik itu menggunakan kacamata hitam meskipun berada di ruang tertutup. Baru beberapa kali Ave bertemu dengannya, tapi ia menyukainya. Meski usia mereka berselisih hampir empat tahun, tapi sejak Ave tahu kalau Natty dekat dengan Elang, ia ingin menjadikannya sebagai sahabatnya juga.
"Sudah dapat pekerjaan, Ve?" tanya Natty begitu Ave duduk.
Ave menggeleng dengan cepat.
"Lily cerita ke gue, kalo lo dipersulit sama Papa. Trus gue tanya ke Ajie juga, kalo dia diancam kalo bantuin lo. Nah Ajie pengen gue bantuin lo. Gimana? Mau?"
"Iya iya iya mau, Mbak. Ave mau banget, Mbak!" jawab Ave penuh semangat.
Natty melepas kacamata hitamnya. "Tapi dengan satu syarat."
"Apa itu, Mbak?" tanya Ave.
Wajah perempuan di depannya tampak ragu. Lalu setelah melipat bibirnya sebentar, Natty pun membuka suara. "Mmmm... Tolong ceritakan gimana kamu ketemu sama Mas Elang. Tapi yang jujur. Please, Ve!"
Ave mengerjapkan matanya dua kali. Berusaha memahami situasi di antara dirinya dan Natty, sebelum berpikir mengenai Elang. Lalu ia teringat kata-kata Lily soal Natty dan Elang. Ia paham sekarang.
"Mbak\, Mas Elang sama Ave itu kenalnya waktu di Sydney. Kami sama-sama kuliah di UTS*. Mas Elang ambil ElMec*\, Ave ambil CW* (Baca. si double u). Kebetulan dia itu senior yang sama-sama orang Indonesia. Kami ketemu waktu Ave baru masuk dan kesulitan lulus ujian English. Mas Elang itu juga bantuin Ave waktu nyari kerja di sana."
{A/N: UTS: University of Technology Sydney, Elmec: Electrical and Mechatronic - Engineering, CW: Creative Writing - Communication}
"Terus... berapa lama kalian begitu? Selama kamu kuliah?" selidik Natty sambil menghirup kopinya.
Ave menggeleng. "Enggak! Hanya sekitar dua tahunan karena habis itu Mas Elang langsung balik ke Indo. Kan dia udah selesai."
Natty menatap Ave, lalu tersenyum tipis. Tangannya saling terkait. "Apa... hubungan kalian murni hanya teman?"
Untuk sesaat Ave ingin berbohong tapi kemudian ia mengangguk pelan. "Bisa dibilang, Ave juga pernah punya perasaan sama Mas Elang... Oh, tolong dengerin dulu, Mbak!" Tangan Ave terangkat menahan pertanyaan Natty. "Siapa yang gak jatuh cinta sama cowok setampan Mas Elang? Sudah gitu dia doang yang baik sama Ave di sana, Mbak. Ave belum pernah kenal sama cowok sedekat itu dan kakak sendiri... Mbak tau kan? Kami terpisah karena orangtua. Apalagi saat itu Mama juga udah gak ada. Ave sendirian dan ada Mas Elang."
"Lalu Mas Elang sendiri?" tanya Natty.
Ave menggeleng. "Gak pernah, Mbak. Mas Elang benar-benar hanya nganggap Ave temannya. Setidaknya itu yang dia jelaskan ketika Ave tanya kenapa dia gak punya pacar dan kenapa gak jadiin Ave pacarnya aja biar gak usah capek nyari. Tapi Mas Elang bilang, bahwa selamanya Ave adalah adik paling ia sayangi."
"Itu saja?" tanya Natty. Ave mengangguk.
Senyuman mulai menghiasi wajah Natty saat ia menyandarkan punggungnya yang tegang ke sandaran kursi. Rupanya penjelasan Ave berhasil melenyapkan semua rasa penasarannya setelah melihat kedekatan hubugan Ave dan Elang. Lily memang menjelaskan, tapi tak cukup meyakinkan.
Sementara Ave berusaha tetap tersenyum manis. Ada satu hal yang tak ia ceritakan seutuhnya. Bahwa saat Elang menolak cintanya, Ave-lah yang menghilang dari pria itu. Berhenti dari tempat kerjanya dan pindah apartemen. Saat yang sama, Elang juga harus kembali ke Jakarta. Hampir setahun setelah mereka berpisah, Ave bertemu dengan Elang secara tak sengaja saat di kampus mereka lagi. Saat itu Elang sedang mengunjungi mantan dosennya sambil berlibur. Barulah, keduanya kembali berhubungan selayaknya dua teman biasa. Walaupun kini hanya sekadar bertegur sapa dan saling bertanya kabar.
Satu hal yang membuat Avelia takut untuk jatuh cinta lagi. Karena sebuah penolakan, tak hanya meninggalkan luka di hati tapi juga trauma malu.
"Tapi... Kalau Elang alumni kampus di Sydney, kenapa ia bekerja sebagai satpam?" tanya Natty bingung.
Ave tersenyum pada Natty. "Mbak udah coba nanya ke Mas Elang?" tanyanya kalem.
Natty menggeleng. "Gue ragu, Ve. Dia punya banyak rahasia. Gue gak tau apa-apa soal dia, tapi semua tentang gue, dia tahu. Gue takut... diperalat. Gue udah terlalu sering digituin."
Ave teringat cerita Lily tentang hubungan dekat Ajie dan Natasha yang bahkan ditandai dengan sebuah kontrak resmi. Ajie dan Papa memang mirip sekali.
"Ave gak bisa ngomongin alasannya, Mbak. Sebaiknya Mbak yang tanya. Yang jelas, menjadi satpam itu bukan pekerjaan utama Mas Elang. Dia juga tinggal di apartemen itu kok. Mas Elang punya pekerjaan lain. Ave juga gak tau tepatnya apa."
Natty mencondongkan tubuhnya. "Tapi kamu tahu soal ini dari mana?"
"Itu karena Ave nanya."
"Lalu apa yang terjadi? Kenapa masih diterusin kalo dia punya kerjaan lain?"
Ave menggeleng. "Ave gak tau kalo soal itu, Mbak. Tapi yang jelas Mas Elang itu hanya malam aja kerja sebagai satpam. Itupun paling 2-3 jam. Kalo siang dia ngerjain pekerjaan utamanya itu. Tapi Ave gak tau ini bener atau enggak. Mbak bisa konfirmasi langsung aja ke Mas Elang, hehehe."
Suasana cafe yang sepi, makin terasa sepi saat Natty diam tanpa merespon apapun. Ave jadi tidak enak.
Ave tersenyum pada Natty. "Kami udah gak seakrab dulu sejak di Jakarta, Mbak. Ave malah baru ngobrol lama ya pas kita ketemu kemaren waktu di cafe itu. Kalo ngelihat dia pas lagi tugas, biasanya hanya sapa-sapa aja. Cuma setahu Ave nih Mbak... dari dulu dia suka nonton film dan drama Mbak. Sejak di Oz*."
{A/N: Oz: Australia - Oz from Aus}
"Masak sih?" Wajah Natty merona mendengar itu. Tapi Ave senang, itu artinya Natty tak lagi curiga padanya.
"Ada lagi yang Mbak pengen tahu soal Mas Elang?" tanya Ave. Ia tak sabar ingin menejelaskan semua pada Natty. Jadi jika bisa membersihkan namanya dari dugaan yang tidak-tidak, itu harus dilakukan segera.
Tapi Natty malah menggeleng dan menyodorkan sebuah kartu nama. "Kalo begitu, ini lo coba lamar ke sini. Ini perusahaan teman gue. Perusahaan iklan. Dia nawarin gaji yang lumayan buat tenaga magangnya, apalagi kalo sering lembur atau ada proyek, bonusnya bakal bikin tabungan lo cepet nambah."
"Eh, iklan? Tapi kantornya Mas Ajie... "
Telunjuk Natty bergoyang bolak-balik di depan hidungnya. "Tenang aja! Yang satu ini pasti menghindari dan dihindari oleh semua perusahaannya Ajie. Gue bisa pastiin itu!"
"Benarkah? Oh makasih banget ya, Mbak. Makasiiiih banget." Ave meraih tangan Natty penuh rasa terima kasih.
Tangan Natty yang lain menepuk balik tangan Ave perlahan. "Satu hal lagi, lo harus tahu kalo direktur perusahaan ini tak mau berurusan dengan Ajie. Itu artinya lo harus ngerahasiain siapa kamu, Ve. Bisa?"
Ave mengangguk penuh keyakinan. "Tapi dia gak tau siapa Ave kan, Mbak?"
Ganti Natty yang mengangguk. "Iya, dia gak tahu. Hanya saja sebaiknya lo gak bilang lo lulusan UTS. Pakai saja ijazah SMA karena kalo tenaga magang di kantornya gak perlu lulusan sarjana. Hanya perlu lulusan SMA."
"Oh begitu? OK!" kata Ave. Dalam hati ia bersyukur. Akhirnya ada juga petunjuk yang tampak menjanjikan.
Itu sebelum ia kembali ke apartemen, melewati jajaran kotak surat dan menerima tumpukan surat-surat serta informasi tagihan bulanan. Matanya hampir keluar ketika melihat tagihan utilitas bulanan apartemen kecil mungil itu. Hampir separuh dari uang tunai yang diberikan Papa!
Dengan panik, Avelia berlari menuju unitnya, membuka secepat kilat dan mulai mematikan semua yang memakai listrik.
Tagihan bulan ini memang masih dibayar oleh Tiar dan Jaya, tapi bulan depan ia sudah harus menanggungnya sendiri. Ave teringat kebiasaannya yang praktek memasak dengan gas sesuka hati, memanaskan makanan dengan memakai microwave begitu sering, mandi berendam dengan air memenuhi bak, lampu-lampu yang terang benderang di seluruh ruangan dan AC yang selalu diputar maksimum untuk mendinginkan seisi rumah. Kalau ia ingin selamat dari tagihan luar biasa seperti yang sekarang tertera dalam tagihan.
Dalam keheningan malam yang gelap, Ave duduk di sofa ruang tamu yang gelap gulita. Hanya ada satu lampu tidur yang temaram. Kain tipis gorden bertiup melalui sela jendela yang sengaja dibuka Ave untuk memberi hawa pada ruangan yang tak lagi berpendingin itu. Ave memilih tidur di ruang tamu menghadap jendela terbuka, agar tak kepanasan.
Sepanjang malam, ia sibuk memikirkan program penghematan. Mungkin memasak sekali sehari bisa menghemat gas. Atau tidur dalam keadaan gelap seperti ini tiap hari. Juga ide untuk mandi ketika tubuhnya sudah benar-benar tak tertolong lagi baunya. Entahlah... saat ini menghemat adalah cara lain untuk mengurangi beban pengeluaran. Tak apa ia bau. Tak apa ia makan seadanya. Nanti ketika cafenya terwujud, Ave akan memakai listrik, gas dan air sebanyak-banyaknya. Kalau perlu ia mandi berendam dua kali sehari. Terakhir ia sudah harus berpikir untuk tinggal di kamar kost saja. Hidup di apartemen terlalu mewah bagi seorang gadis mendadak miskin sepertinya. Bahkan dengan harga sewa hampir gratis.
Sebelum matanya terpejam, Ave mengambil kesimpulan.
Aku adalah seorang Cinderella nyata di dunia modern. Seorang putri yang termakan oleh omongannya sendiri.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Ika Maimunah
😁😁 lucu ny si ave.. mask d bela 2 in gelap ? ap ? rencna gk mandi ? iuuu.. ada 2 aj.. hehe
2024-12-30
0
Aqiyu
😃😃😃😃😃
2022-11-12
0
ein
😁😁😁😁
2022-03-12
0