Bab 8

Jam delapan malam dirumah sakit. "Saya dimana ini?" Kartika sudah bangun dari pingsanya menyibak selimut lalu melemparnya panik, kemudian turun dari ranjang pasien.

"Kamu sudah sadar?"

Devano yang sedang menunggunya sambil mantengin lap top merampungkan perkerjaan yang tertunda.

Devan segera meniggalkan pekerjaannya, bergegas menahan tangan Kartika agar jangan turun.

"Saya mau pulang Pak, anak saya pasti menunggu!" Kartika kekeh dengan pendiriannya.

"Kata dokter kamu harus dirawat, siapa keluargamu yang bisa di hubungi? saya akan memberi tahu." Devano membujuknya.

"Nggak! saya mau pulang!" Kartika menarik selang kabel infus di lengannya hingga terlepas lalu beranjak ingin keluar.

Lagi-lagi Devano menahan tanganya.

"Lepas! saya mau pulang!" Kartika ingin melepas tangan Devan, tetapi pegangan Devan lebih kuat.

"Tolong Pak, saya mau pulang, hiks hiks" Kartika menangis.

"Okay... kamu boleh pulang, tapi saya antar"

Kartika menatap Devan.

"Jangan khawatir, saya hanya ingin mengantarmu, tidak bisa membiarkan kamu pulang sendirian"

"Menurut dokter, kamu kena serangan jantung ringan, jadi mohon izinkan saya mengantarmu. Saya tidak punya maksud apa pun." tutur Devano lembut.

"Terimakasih" ucap Kartika pada akhirnya sambil menunduk.

Devan kemudian memanggil dokter lalu menanyakan keadaan Kartika. "Boleh pulang, tapi besok kontrol lagi ya, ini resep yang harus dibeli" dokter menyerahkan secarik kertas.

"Baik dok" Devan yang menjawab.

Devan mengajak Kartika, keluar dari ruang rawat, setelah mengambil lap top. Mereka berjalan menuju apotik.

Devan mengeluarkan resep, menyerahkan kepada petugas apoteker.

"Semua 500 ribu Pak" petugas apotik menyerahkan obat berikut kwitansi.

"Yah, tas saya masih di pabrik Pak" Kartika baru ingat barang-barang nya masih ditinggal.

"Jangan khawatir, barang-barang kamu ada pada saya," Devan lalu mengeluarkan uang dari dompet, membayar tunai.

"Tas saya mana Pak" tanya Kartika tidak sabar ingin segera mengembalikan uang Devan. Ketika mereka sedang berjalan keluar.

"Di mobil saya"

"Apa yang terjadi Pak? kenapa saya bisa berada dirumah sakit?" tanya Kartika setelah duduk di samping pengemudi.

"Saya tidak tahu, saya temukan kamu di toilet sedang pingsan."

Mengingat toilet, Kartika memutar ingatanya.

Kata-kata Angga sungguh melukai perasaannya.

Bukan hanya tidak menerima kehadiran Jenita, lebih-lebih, Angga tidak mengakui Jeni sebagai darah dagingnya, dan justeru menuduhnya tidur dengan pria lain.

"Hiks hiks" tangis Kartika kembali meledak.

Membuat Devan terkesiap lalu menepikan mobil. Devan memutar bola matanya. "Kamu kenapa?" Devano bingung entah mau melakukan apa. Menatap wajah lelah Kartika merasa iba.

"Jika ada masalah cerita kepada saya, barang kali bisa membuat perasaan mu lebih lega."

"Maaf Pak, saya ingin segera pulang, anak saya pasti kebingungan" Kartika mengalihkan ambil tissue yang terlatak di mobil tanpa permisi, lalu menghapus air matanya.

"Oh iya, tas kamu di jok tengah, tadi teman kamu yang membawa"

"Teman saya Pak? siapa?" Kartika mendadak mengangkat kepalanya.

"Sekar" jawab Devan pendek, lalu menjalankan mobinya kembali, setelah Kartika agak tenang.

"Oh, sekar tadi mengantar saya kerumah sakit ya Pak?"

Devan mengangguk, keduanya saling diam, hingga beberapa menit.

"Lalu Sekarnya kemana Pak?"

"Dia pulang sore tadi, Ibunya telepon terus soalnya," terang Devan.

"Kamu tinggal dimana?" Devan Akhirnya bertanya. Pasalnya dia belum tahu ingin mengantar Kartika kemana.

"Di jalan merpati Pak?"

"Oh, saya kira dijalan merak," Devan terkekeh, mencoba berseloroh.

Kartika tidak menyahut, duduk miring sambil termenung.

"Kamu nggak mau memberi kabar suami kamu, kalau saya mengantar mu sampai rumah apa tidak ada masalah?" Devano khawatir juga, nanti dikira selingkuh dengan istri orang.

"Suami saya sudah mati!" jawab Kartika sekenanya.

"Maaf" satu kata dari Devan.

"Saya turun, di gang depan itu Pak, biar saya jalan kaki saja" Kartika menunjuk gang.

"Gang nya masuk mobil kan?" Devan melongok gang ternyata gang nya lumayan besar. Tanpa menunggu persetujuan Kartika Devan langsung belok masuk kedalam gang.

"Saya turun di sini saja Pak, saya jadi merepotkan" Kartika merasa tidak enak sudah di antar kerumah sakit, di tunggui, masih di antar pulang pula.

Tidak menjawab Devan mengalihkan. "Ambil tas kamu di belalang" Devan mengulangi.

Tidak menjawab, Kartika bergeser melihat tas dari celah samping kemudi, lalu memutar tubuhnya kebelakang, netranya tertuju, tas yang tergeletak di jok. Tanganya menggapai.

Setelah berhasil mengambil tas. Kartika merogoh dompet dan mengambil uang 500 ribu untuk mengembalikan uang Devan.

Kartika masih memandangi uang yang baru gajian beberapa hari yang lalu. Padahal Kartika kemarin sudah berjanji ingin membelikan boneka untuk Jeni. Jeni, sudah menginginkan boneka besar sejak masih berumur empat tahun yang lalu.

Kartika hanya berkata. "Nanti ya nak, doakan bunda punya rejeki." wajah Kartika berubah sedih. Niat gaji pertamanya untuk membelikan boneka anaknya, justru musibah menimpa. Gaji pertamanya untuk berobat.

Berkali-kali Kartika istighfar dalam hati.

"Kamu mikirin apa?" Devano ternyata diam-diam memperhatikan kegelisahan Kartika, padahal sedang menyetir.

"Ini uanganya tadi Pak, sekali lagi saya terimakasih, Bapak sudah membantu saya" Kartika meletakkan uang di kotak penyimpanan uang di samping pengemudi.

"Nggak usah di kembalikan, saya ikhlas kok, lagian kamu dengar sendiri kan? besok kamu harus kontrol."

"Saya tuh nggak kenapa-kenapa Pak, ngapain juga sih musti kontrol!"

"Terserah kamu saja" Devan tidak mau debat.

"Sudah sampai Pak, itu rumah kakak saya" Mereka sampai di rumah. Ternyata benar yang dipikirkan Kartika. Jenita menunggu di teras ditemani Aldi .

"Assalamualaikum... " ucap Kartika.

"Waalaikumsalam..." jawab Aldi.

Kartika berjalan cepat setelah melihat Jeni menangis di gandeng Aldi.

"Anak bunda kok nangis? kenapa?" Kartika berjongkok di depan Jeni.

"Huaaa..." Alih-alih menjawab, Jeni justeru menangis memeluk bundanya.

"Dari tadi menangis terus, Tik. Memang kamu darimana? handphone kamu tidak bisa di hubungi lagi" tutur Aldi.

"Ceritanya panjang Kak" Kartika langsung duduk di teras mengusap air mata Jeni.

"Assalamualaikum... " Devano menyusul. Kontan semua menoleh.

"Waalaikumsalam..." Aldi menatap pria asing yang baru dilihatnya itu. Kemudian menoleh Kartika.

"Kenalkan kak, ini namanya Pak Devano, atasan saya di kantor." Kartika tahu apa maksud Aldi.

"Oh silahkan masuk Pak"

"Terimakasih"

Aldi mengajak, Devan masuk. Sementara Kartika menuntun Jeni. Mereka duduk di kursi. "Saya panggil istri saya dulu Pak" Aldi masuk memanggil Rumi setelah di iyakan Devan.

"Sebenarnya ada apa Tik? kok kamu pulang sampai jam segini?" Rumi yang baru keluar langsung memberondong pertanyaan.

Kartika melirik jam dinding memang sudah jam sembilan malam.

"Sayang... kamu masuk kamar dulu ya, nanti bunda menyusul" tidak mungkin Kartika bercerita di depan anaknya.

"Iya bun" Jeni bangun dari pangkuan Kartika.

Devan tersenyum kepada Jenita yang melintas di sampingnya. "Namanya siapa?" Devan memegang tangan Jenita.

"Jenita" ucapnya lirih, sambil mengusap sisa air matanya.

"O, o... nama yang bagus, kapan-kapan... main sama om Devan ya"

"Iya Om" Jenita pun kekamar meninggalkan ruang tamu.

"Begini kak" Kartika bercerita kepada Rumi dan Aldi bahwa dia pingsan lalu di bawa kerumah sakit. Namun Kartika tidak menceritakan pertemuannya dengan Angga. Sebab disitu ada Devan Kartika tidak ingin masalah rumah tangganya di ketehui orang lain.

Terpopuler

Comments

Uneh Wee

Uneh Wee

semoga jodoh nya devano ...buat kartika

2022-12-02

0

Lady Meilina (Ig:lady_meilina)

Lady Meilina (Ig:lady_meilina)

devanoo

2022-05-01

0

Elwi Chloe

Elwi Chloe

Skip devano dan kartika

2022-04-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!