Lima tahun pun berlalu. Zayn sudah tumbuh semakin besar. Kini dia sudah berusia enam tahun dan sudah duduk di kelas satu SD. Zayn mempunyai seorang adik laki-laki bernama Wildan Bastian Anggara. Orang-orang terdekatnya biasa memanggilnya Willy. Kini Willy sudah berusia tiga tahun dan sudah bersekolah di PAUD.
Esha dan Raffi sangat menyayangi kedua anak mereka. Esha selalu berusaha bersikap adil kepada kedua anaknya. Dia selalu membelikan barang yang sama untuk mereka. Baju yang sama, sepatu yang sama, tas sekolah yang sama. Semua serba sama hingga Zayn dan Willy terlihat seperti saudara kembar. Jika membeli mainan pun, Esha dan Raffi harus membeli dua mainan yang sama agar Zayn dan Willy tidak saling berebut.
Pak Salman dan bu Debby juga sangat menyayangi cucu-cucu mereka. Mereka sangat bahagia karena mempunyai dua cucu laki-laki yang sangat tampan dan menggemaskan. Hampir setiap bulan mereka meluangkan waktu untuk pulang ke Indonesia demi mengunjungi anak, menantu dan cucu-cucu mereka. Tidak lupa mereka selalu membawakan mainan untuk menyenangkan hati cucu-cucu mereka.
Suatu hari, pak Salman dan bu Debby baru datang dari Amerika. Begitu turun dari mobil, mereka disambut dengan meriah oleh anak, menantu dan cucu-cucu mereka.
"Opaaa ... Omaaa ...!" teriak Zayn dan Willy sambil berlarian menghampiri kakek dan nenek mereka. Esha dan Raffi mengikuti anak-anak mereka dari belakang.
"Assalamu'alaikum," ucap Pak Salman dan Bu Debby sambil tersenyum.
"Wa'alaikumussalam Oma, Opa," sahut Esha, Raffi, Zayn dan juga Willy.
"Zayn, Willy, Oma punya sesuatu buat kalian berdua," ucap Bu Debby seraya menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya.
"Mainan ya Oma? Mana Oma?" tanya Zayn sudah tidak sabar lagi. Anak itu begitu hafal karena tiap kali datang, neneknya itu selalu memberikannya mainan baru.
"Taraaaa ...!" Bu Debby pun mengeluarkan dua buah mainan yang disembunyikannya lalu memberikannya kepada Zayn dan Willy masing-masing satu.
"Waahh ... pesawat terbang. Makasih ya Oma," ucap Zayn dengan gembira.
Esha dan Raffi tersenyum melihat tingkah anak-anak mereka.
"Willy, bilang apa sama Oma?" tanya Esha kepada anak bungsunya.
"Makasih Oma," ucap Willy kemudian.
"Pinternya anak Papa," ucap Raffi sembari mengacak-acak rambut Willy.
"Ma, Pa, apa kabar?" tanya Esha kemudian mencium punggung tangan kedua mertuanya secara bergantian.
"Alhamdulillah kami baik-baik saja. Ya ... seperti yang kalian lihat," sahut bu Debby sambil menyimpulkan senyumnya.
Setelah itu mereka semua pun masuk ke dalam rumah. Esha dan bu Debby pergi menemani Zayn dan Willy bermain di kamar mereka. Sementara pak Salman dan Raffi duduk di sofa di ruang keluarga. Mereka berbincang-bincang sambil menikmati kopi hitam kesukaan mereka.
"Raffi, bagaimana pekerjaanmu di kantor? Lancar?" tanya pak Salman mengawali perbincangan setelah ia menyesap kopinya.
"Alhamdulillah, lancar Pa," sahut Raffi.
"Lalu bagaimana dengan Dahlia Resto & Catering?"
"Alhamdulillah berkembang pesat Pa. Bu Dahlia sangat mahir dalam mengelola restoran dan catering itu."
"Alhamdulillah kalau begitu. Papa juga salut sama mertua kamu itu. Papa nggak menyangka kalau dia mempunyai jiwa bisnis dan sangat kompeten dalam mengelola restoran."
"Iya, Pa. Bu Dahlia memang hebat. Kalau restoran Papa di Amerika gimana Pa?"
"Alhamdulillah makin ramai. Papa dan Om Mirza berencana membuka cabang baru dalam waktu dekat ini."
"Alhamdulillah ... bagus lah Pa, Raffi ikut senang mendengarnya. Oh ya Pa, apa om Mirza dan tante Kania nggak ikut pulang ke Jakarta?"
"Mereka juga pulang kok. Katanya mereka juga kangen sama Amira, cucu mereka satu-satunya."
"Kalau begitu besok kita undang saja mereka untuk makan siang di sini Pa. Sudah lama kan kita nggak ngumpul bareng sama mereka. Pasti Zayn sama Willy seneng banget main sama Amira."
"Ide yang bagus, Fi."
"Oke, Pa. Kalau gitu biar Raffi telfon Lia sekarang."
Pak Salman menganggukkan kepalanya tanda setuju. Raffi pun meraih ponselnya yang ada di atas meja lalu segera menghubungi Aulia.
"Halo, assalamu'alaikum Kak Raffi," sahut Aulia di ujung talian.
"Wa'alaikumussalam Lia."
"Ada apa Kak?"
"Lia, aku dengar om Mirza sama tante Kania juga pulang ke Jakarta ya?"
"Iya Kak. Mereka baru aja sampai di rumahku. Memangnya kenapa Kak?"
"Lia, besok kami ingin mengundang kalian untuk makan siang di rumah kami. Apa kalian bersedia?"
"Tentu saja Kak. Insyaallah besok kami sekeluarga akan datang ke sana."
"Makasih Lia. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Raffi pun mengakhiri panggilannya lalu meletakkan kembali ponselnya ke atas meja.
"Lia bilang besok mereka sekeluarga akan ke sini Pa," kata Raffi.
"Baguslah kalau begitu," sahut Pak Salman.
"Huwaaaaaaaa ...!" Tiba-tiba saja terdengar suara tangisan Willy. Raffi dan pak Salman sampai kaget mendengarnya. Mereka berdua pun saling memandang.
"Itu sepertinya suara tangisan Willy Pa," tutur Raffi.
"Iya. Kenapa Willy menangis?" tanya pak Salman. Mereka berdua pun berdiri lalu bergegas menghampiri Willy di kamarnya.
Di dalam kamar putranya, Esha tampak sedang mendekap Willy yang sedang menangis di pangkuannya. "Ssssttt ... cup sayang! Jangan menangis lagi ya!" Esha membelai lembut kepala Willy dan berusaha menenangkannya.
"Willy kenapa Sayang?" tanya Raffi dengan panik begitu dia memasuki kamar putranya.
"Zayn sama Willy berebut mainan Pa," sahut Esha.
"Kenapa bisa berebut? Mereka kan sudah punya mainan sendiri-sendiri," tanya Raffi.
"Sudahlah Raffi, namanya juga anak-anak. Wajar saja kalau mereka sering berebut mainan," Bu Debby menimpali.
"Zayn, kamu ini kan lebih besar dari adik kamu. Seharusnya kamu mengalah dong sama adik kamu!" Raffi mencoba menasehati anak sulungnya.
"Tapi kan Willy udah punya mainan sendiri Pa. Kenapa dia selalu saja merebut mainanku?" protes Zayn.
"Adek kamu kan masih kecil Sayang, dia belum mengerti apa-apa." Esha menimpali.
"Kenapa sih Mama sama Papa selalu saja membela Willy? Nggak ada yang mau membela Zayn. Apa Papa sama Mama nggak sayang lagi sama Zayn?" tanya Zayn dengan mata yang berkaca-kaca. Anak itu hampir saja menangis.
"Bukan begitu Zayn. Kami semua sayang kok sama Zayn." Raffi mendekati Zayn dan berjongkok di hadapannya.
Raffi memegang kedua pundak anak sulungnya itu kemudian memberinya nasehat. "Sebagai anak yang lebih besar, memang seharusnya kamu mengalah sama adik kamu, Zayn. Willy kan masih kecil. Dia belum mengerti apa-apa. Zayn kan sudah besar. Zayn sayang nggak sama adek?"
"Sayang Pa," sahut Zayn.
"Bagus. Kalau begitu lain kali kamu harus mengalah sama adik kamu ya? Jangan berebut mainan lagi!"
"Iya Pa," ucap Zayn sembari menganggukkan kepalanya.
"Anak pinter." Raffi pun mendekap tubuh Zayn lalu mengusap lembut punggung anak sulungnya itu. "Papa sayang sekali sama Zayn."
"Zayn juga sayang sama Papa," sahut Zayn.
Sejak saat itu, Zayn tidak pernah berebut mainan lagi dengan adiknya. Semua mainan yang Willy inginkan, selalu saja Zayn berikan. Zayn selalu ingat dengan pesan papanya untuk selalu mengalah dengan adiknya.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG......................
Jangan lupa tekan 👍 , vote dan komentarnya setelah membaca ya! Makacii.. 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Nawangsih
bisa2 rebutan amira deh
2021-08-18
0
Nancy Adnan
Menarik
2021-05-04
1
al - one ' 17
selalu mengalah amoe besar dan suka ama seseorang pun mengalah 😀
2020-09-16
2