Hari-hari berlalu begitu saja, selain tugas menumpuk Dhani juga tak hilang dari fikiranku. Sudah setengah bulan aku tak melihatnya. Aku rindu akan dirinya. Rasa ini sungguh beda ketika aku meninggalkan Fian di Kalimantan. Rindu ini sangat menyiksaku.
Tapi apakah Dhani masih sudi sekedar tersenyum padaku. Aku makin merasa bersalah, ketika mengucapkan kata terakhir sebelum Dhani benar-benar menjauhiku.
"Ya Allah berikanlah yang terbaik untukku". Batinku.
Ku ambil sandal swalow biru yang biasa aku pakai kemana pun. Hari ini jadwalku mengikuti ekskul pencak silat. Dalam hal ini aku menargetkan diri sendiri supaya bisa memenangkan pemilihan kandidat untuk tiga bulan lagi.
Aku sedikit percaya diri dengan bekal sebelum berangkat ke ponpes ini. Semoga saja penyamaranku tidak terbongkar sebelum benar-benar aku mengharumkan ponpes ini.
"Ra, kamu akhir-akhir ini sering melamun". Rani menjajariku berjalan menuju tempat latihan.
"Biasa saja Ran, aku lagi mager saja".
"Magermu itu tidur, bukan melamun. Aku saja tahu masa kamu lupa dengan kebiasaanmu".
"Hehe". Aku hanya nyengir kuda.
...***...
Sesampainya di tempat latihan aku merasa sangat bosan. Entah dari mana datangnya bosan benar-benar menghampiriku.
Semua teman-temanku sibuk dengan latihannya, tapi aku sendiri malah duduk di bawah pohon mangga.
"Ra, kamu baik-baik saja?". Mbak pelatih mendekatiku.
"Aku baik-baik saja. Aku bosan".
"Kamu bosan? Bosan dengan latihan ini atau bagaimana. Padahal atas dasar pertimbangan ku dengan Mas Ferdinan kamu sudah terpilih karena latihannya sangat mumpuni".
Ferdinan disini bukan wakil ketua OSIS, namun pelatih pencak silat kebetulan memiliki nama panggilan yang sama dengan wakil ketos.
"Iya mbak, aku mengerti".
"Baiklah, semangat untuk kedepannya".
"Mbak, apa ada event juga buat tingkat pelatih. Serasa tidak adil kalau sudah lulus dan tidak ada event buat yang sudah di sahkan menjadi anggota silat ini".
"Ada, dan hadiahnya lebih besar. Juara satu tingkat kecamatan saja mendapat lima juta. Tapi kalau tingkat siswa hanya satu juta".
"Oh ya, apa desa ini sudah ada yang mewakili". Aku berbinar.
"Setiap tempat latihan boleh mengirimkan anggotanya tidak perduli satu desa. Asalkan satu tempat latihan satu orang putra dan putri".
"Hmmm, boleh lah. kalau di sini warganya sampean yang ikut lomba atau siapa mbk. Sepertinya hanya sampean pelatih putri".
"Aku sudah cukup dengan melatih saja, lumayan besar bayarannya dari Abah. Aku juga memiliki seorang putra. Sudah berusia dua tahun".
"Oh, ya! Suami mbak jaga anak di rumah?". Aku sangat antusias dengan kehidupan Riah.
"Itu". Bibir Riah di manyunkan menunjuk Ferdinan, ternyata mereka suami istri.
"Wah, keren. Atlit senior nih. mbak pengesahan tahun berapa?".
"2017".
"Keren sih, 2017 sudah menjadi pelatih, atlit pula".
"Iya Ra, makasih".
"Oh, ya mbak, tadi katanya pertimbangan dari sampean aku yang mewakili?". Aku memastikan lagi.
"Iya, kalau kamu ada halangan Mia yang akan menggantikanmu. Sudah jauh hari Mia latihan dengan keras, namun setelah kedatanganmu, ternyata kamu lebih baik". Aku manggut-manggut mendengarkan penjelasan Riah.
"Biar Mia saja mbak". Fikiran ku berubah, aku ingin memberitahukan identitas ku, aku bisa mengikuti event dan hadiahnya lebih besar.
"Loh! kamu yang terbaik Nera, itu sudah di ajukan ke ndalem".
"Hmm, atas pertimbangan ku pribadi juga begitu mbak. Mia sudah bekerja keras, bahkan dia sangat semangat. Biarkan dia saja".
"Tapi kamu lebih baik".
"Okey, aku akan mewakili tinggat warga". Warga disini sebutan untuk anggota yang sudah di sahkan.
"Loh". Riah terpaku menatapku bingung. "Tapi kamu belom di sahkan".
"Harus pengesahan Jawa ya mbak, sebenarnya aku sudah di sahkan di Kalimantan. Aku juga punya tiga siswa atlit yang sudah mencapai tingkat nasional". Jelasku.
"Hah!". Riah bengong.
"Sampean tahu tidak bocah 12 tahun asal Kalimantan yang mengikuti ajang tingkat nasional sekitar delapan bulan lalu, namanya Ashif Barkhiya. Dia bocahku".
"Heh, yang benar saja kamu". Riah menampol punggungku dengan lengannya.
Aku berlari menghindari pukulan selanjutnya, namun tetap dikejar oleh Riah.
"Sialan kamu Ra! Beraninya ya!!". Aku tetap berlari.
"Jangan lari, kemari kamu. Rasakan ini". Riah menendangku berulang kali di area bokong. Sehingga aku kesusahan menghindari lari sambil lonvat-loncat seperti sirkus saja. Larinya sangat kencang, aku hampir terkejar.
Setelah jarak lumayan jauh, aku salto belakang beberapa kali supaya Riah semangat mengejar ku.
"Mas Ferdinan, istrimu minta di tenangkan".
"Sialan kamu Ra".
Lelah sekali akhirnya aku menyerah dari kejaran Riah. Kami duduk lagi di bawah pohon mangga sebelumnya bersama Riah.
"Dasar kamu Ra, sikap kamu tidak memperlihatkan. Pantas saja langsung nyangkut materinya. Kamu pengesahan tahun berapa". Nafas Riah terdengar ngos-ngosan.
"2012 mbak". Sahutku tenang.
"What!!". Mata Riah melotot, hampir copot. "Ini sudah tahun 2022, sudah 10 tahun kamu melatih". Riah lebih terkejut lagi.
"Tidak penting mbak, yang penting apakah aku bisa mewakili event ini?".
"Bisa, sangat bisa. Nanti aku ajukan". Riah merangkul ku. "Tapi apa kamu bodoh, mau capai-capai latihan seperti kemarin". Lanjutnya.
"Aku bosan saja, tidak ada hal yang membuatku diet, hahaha".
"Dasar kamu ya!". Riah menyubit perutku. "Benar, perutmu tidak ada lemak, hanya kulit".
...***...
"Ra, benar kamu udah jadi pelatih". Angga duduk di sampingku.
"Iya kak, memangnya si Dhani tidak cerita kala kakak bercerita aku ikut latihan ini".
"Dia hanya bilang, kamu sok bodoh padahal pandai dalam segala hal".
"Aku rindu, tapi Dhani terlanjur menjauhiku".
"Biar ku sampaikan salammu untuknya, tapi apakah kamu tidak memiliki seseorang selain dia?".
"Hmmm". Aku ragu untuk menjawab. "Tidak ada, aku hanya tidak ingin ada wanita lain masuk di antara aku dan Dhani".
Ya Allah maafkan aku, bukannya ingin berkhianat, hanya saja masih belum sah menjadi istri Fian.
"Kalau kamu memiliki orang disana selesaikan. Jika sudah selesai kembalilah ke Dhani".
Angga seperti mengetahui isi hatiku. Aku hanya diam tanpa berkomentar lagi.
"Ya sudah, kalau gitu aku kembali ke asrama dulu".
"Iya kak".
Tak berselang lama Mia datang menghampiriku. "Mbak, kalau sampean warga harusnya punya sikap".
"Ya".
"Bukannya ngajarin yang benar malah nyamar jadi siswa supaya mewakili lomba".
"Ya".
"Jangan bodoh gitu mbak, apa sampean tidak malu kepergok udah jadi pelatih sama mbak Riah, pantas mbak Riah marah ngejar-ngejar sampean".
"Ya".
"Ya doang, punya mulut tidak toh mbak ini".
"Apa matamu buta! Mulutku ada, apa kamu tidak di ajari sopan santun sehingga bicaramu seperti itu pada seseorang yang lebih tua!!". Aku berlalu begitu saja kebetulan Rani sudah mendekatiku.
Malas sekali aku, jika harus berdebat. Apa tidak ada satu orang pun yang sayang padaku disini. Apa tidak ada satu orang pun yang mendukungku disini. Apa tidak ada satu orang pun yang menjadi penyemangat ku disini. Apa tidak ada seorang pun.
"Haaachhhhh, apa aku akan tetap mondok disini".
"Tetap dong Ra, banyak yang mengagumimu. Termasuk aku". Rani menjawab dengan tenang.
"Hanya kamu, tidak ada yang lain".
"Banyak, jika kamu ingin membuka hatimu. Kamu ingin membuka lembaran baru, jadilah dirimu sendiri. Aku merasa kamu banyak menyimpan sesuatu". Rani menatap selidik padaku.
"Okey, aku akan menjadi diriku sendiri".
"Ya, mulailah".
"Ran, antarkan aku membeli sebuah buku tebal".
Tanpa menjawab Rani mengantarkanmu ke koperasi sebelum kembali ke asrama.
"Assalamualaikum". Aku memanggil kang santri senior yang sedang menjaga koperasi.
"Wa'alaikumsalam, mau cari apa mbak".
"Buku gelatik besar, yang isinya 400 lembar".
"Berapa biji?".
"Satu aja dulu kang. Kalau memang ada, lain kali ku memesan lagi".
"Siap mbak, apa lagi?".
"Ice cream Cornetto rasa coklat dua".
"Apa lagi?".
"Sudah".
"Bukunya 21 ribu, es nya dua 16 ribu, jadi totalnya 37 ribu".
"Terimakasih kang".
Aku dan Rani kembali ke asrama, dipertengahan jalan antara asrama dan koperasi aku melihat Dhani sedang ngopi bersama temannya yang selalu dengannya. Aku juga tidak tahu siapa dia.
Aku melirik sekilas, dia menatap ku datar. Sama sekali tidak menunjukkan hal romantis sedikit pun. Tidak tebar pesona sedikit pun. Wajahnya datar dan acuh, menjadi dingin.
Temannya menyenggol lengannya dua kali tapi tetap diam.
"Apakah dia masih menantikan ku dan anak-anakku di surga?". Batinku.
Aku jadi tertantang, sampai kapan dia akan mendiamkan ku. Apa aku harus benar-benar kehilangannya. Ku buang nafasku kasar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments