Sudah ada beberapa santri yang datang pagi. Semakin siang suasana asrama semakin ramai.
"Ra, kamu nonton tv saja ya. Aku akan ke depan membantu penerimaan santri yang datang". Rinda memoles wajahnya dengan bedak bayi.
"Iya Mbak" hanya itu yang ku ucapkan.
Kini aku sendiri di dalam kamar. Ada satu santri yang memasuki kamar ku namun hanya meninggalkan tas besar dan keluar lagi. Mungkin isinya baju atau apalah.
Banyak santri keluar masuk kamar ku. Aku cuek saja mereka juga hanya melirik ku sinis.
Ada satu santri duduk di samping ku sambil menangis. Tiba-tiba di hampiri santri yang terlihat Senior.
"Sudah nangisnya. Tidak usah nangis terus nanti Ibu mu tidak tenang di rumah" kata santri Senior.
"Aku ingin pulang saja. Aku tidak mau mondok" sahut santri yang sedang menangis. Mungkin dia di paksa mondok. suaranya terdengar jelas, karena memang tepat di samping ku.
"Ida, Kamu harus tetap mondok. Kasihan Ibu Bapak mu sudah membayar semuanya" Senior memanggil dengan sebutan Ida. Itu nama santri yang menangis.
Tidak ada jawaban dari Ida. Namun terus menangis.
"Mbak, aku titip Adik ku ya. Aku ke asrama ku sebentar" kata si senior pada ku.
"Okey, jangan lama-lama. Kalau kabur aku yang bingung."
"Tidak akan kabur, orang tuanya sudah pulang. Oh ya, nama ku Dahlia" Senior tadi memperkenalkan diri.
"Aku Nera."
Dahlia kembali ke asramanya. Aku kurang tahu di mana letak asrama yang di tempati.
"Ida, kamu kenapa menangis? Kamu di paksa sekolah di sini?" ku usap punggungnya.
Ida hanya mengangguk.
"Sudahlah jangan berlarut-larut. Nikmati saja di sini sementara waktu. Kalau memang kamu tidak betah, dalam waktu satu bulan bisa konfirmasi orang tuamu" kata ku.
Ida hanya mengangguk lagi. Namun tangisannya usai.
Tak berselang lama Dahlia sudah kembali. Ia membawa kantung kresek berisi makanan ringan. Karena plastiknya sedikit transparan.
"Nera, kamu santri baru ya?" Dahlia membuka jajanannya.
"Iya Mbak."
"Kamu dari mana?" Maksud Dahlia aku dari kota mana.
"Kalimantan."
"Ada saudara mu di sini atau di sekitar Kudus Demak?" Ida mulai ikut bicara.
"Tidak ada saudara ku di Wonosobo."
"Dengerin Da, dia tidak ada sanak saudara tapi betah, kamu coba berteman dengannya. Siapa tau jadi betah di sini."
"Iya Mbak" kali ini Ida menyahut. Tidak lagi hanya anggukan kepala.
...***...
Hari semakin larut. Waktu tidur tiba. Aku membentangkan kasur busa yang hanya cukup untuk diri ku. Tiba-tiba ada yang datang.
"Hey Mbak, ini tempat ku tidur. Kamu cari saja tempat lain" kata santri sekamar ku.
Aku menggeser kasur ku.
"Situ temen-temen ku" katanya lagi.
Santri sudah pada memasang kasurnya sendiri-sendiri dan tidak ada celah untuk ku. Aku keluar kamar pun teras sudah penuh. Semalam aku masih tidur nyaman sesuka hati memilih tempat. sekarang sudah berubah.
Aula juga sudah penuh bahkan terasnya juga penuh. Ada beberapa santri membawa terpal besar dan membentangkannya di halaman.
"Ra, kita tidur di halaman saja" ada beberapa santri membawa kasurnya ke terpal dan tidur nyaman tanpa takut jika tiba-tiba datang hujan. Dan Ida mengajak ku.
"Okey" aku hanya mengikuti langkah Ida.
Di tempat yang di maksud Ida sudah ada Dahlia tiduran sambil membaca novel.
"Sini, di bentang kasurnya" Dahlia menyuruh ku. Ida sudah dari tadi membentangkan kasurnya dan tiduran menatap langit.
Aku membentangkan kasur di samping Ida. Ku perhatikan lingkungan di sini. Ada yang sedang tiduran, ada yang bergerombol. Ada yang membaca buku atau kitabnya. Ada juga yang sedang duduk di taman kecil yang tersedia di depan kamar mandi. Sebagian sudah tertidur.
"Ra, ini yang membuat ku ingin pulang. Tempat tidur juga tidak memadai" cetus Ida.
"Aku malah baru tahu dan kaget juga, ternyata kamarnya tidak muat untuk tidur" ku lirik sekilas wajah Ida yang terlihat sembab.
"Kakak kelasnya juga pada seenaknya. Apalagi yang alumni. Padahal seangkatan tapi karena dia alumni suka manja."
"Manja bagaimana?" aku terduduk di depan Ida. Dia sudah duduk dari awal berbicara.
"Ya begitulah. Seperti berkuasa begitu."
"Oh ya Da, kamu yang betah mondoknya nanti kalau ada yang macam-macam bilang aku saja" kataku mencoba membuat Ida tidak boyong.
Boyong adalah istilah Pondok Pesantren. Bisa di artikan pulang total.
"Heleeh, kamu saja santri baru dan tidak tahu apa-apa, sok mau menjaga ku. Kamu bisa jaga diri sendiri saja sudah Alhamdulillah. Bersyukur aku kalau kamu tidak terluka" kata Ida panjang lebar, sambil tertawa ringan.
"Iya sih, he he" ku garuk kepala ku bagian belakang padahal tidak gatal.
"Sudah ngobrolnya. Ini waktunya tidur kalau tidak tidur di ta'zir" Dahlia ternyata belum tidur. Tepatnya pura-pura tidur.
"Apa itu ta'zir."
"Ta'zir itu hukum" sahut Dahlia.
"Ta'ziran itu hukuman" lanjut Ida.
"Cerdas kamu da" aku bertepuk tangan pelan di depan Ida.
"Tinggal tambah kata an saja di bilang cerdas kamu da, he he" Dahlia terkekeh. "Semua yang tidak nyaman itu tergantung orangnya bukan Pondoknya dan jangan salahkan Pondok atau pengasuhnya. Kita dari berbagai penjuru jadi banyak sifat di sini. Semua butuh tirakat" Dahlia sangat bijak, aku dan Ida hanya manggut-manggut mengerti.
Akhirnya tertidur.
...***...
Pov Dhani
"Le, ayo bangun. Ini sudah subuh" Bu Endang, Ibunya Dhani membangunkan putra sulungnya.
"Dingin Bu Masih ngantuk juga."
"Tapi ini sudah subuh, kamu mau ke Pondok Pesantren nanti telat loh."
"Iya Kak, katanya bakal menemukan cinta di sana. Nanti cintamu di ambil orang baru tahu rasa" Adikku, Eli menimpali.
"Tujuan ku ngaji El, bukan pacaran" sahut ku ketus.
"Cinta Allah maksudnya" Eli berlalu.
"Aduh! Kena lagi ke perangkap Adik ku. Kan tidak lucu kalau seorang Dhani jatuh cinta. Ohhh Nera, kamu sudah memporak-porandakan hati ku. Apa kamu jodoh ku, atau hanya seseorang yang akan membuat ku sakit hati selamanya" batin ku meronta.
Udara sangat dingin, sudah bertahun-tahun aku di Kalimantan sehingga lupa rasanya air pegunungan.
"Dhani!! cepat, nanti sore Ibu mau belanja. Kamu tahu sendiri Ibu hanya diberi cuti empat hari" Ibu berteriak dari dapur.
"Iya Bu, ini baru mau mandi" aku juga sedikit berteriak.
"Astaghfirullah, ngapain saja dari tadi."
"Rindu air gunung Bu, dingin. He he."
Lima menit saja cukup untuk mandi.
Aku memakai seragam yang wajib di pakai ketika kembali ke Pondok. Meskipun ini pertama kali dan aku santri baru, Bu De sudah menitipkan seragam ku kepada Sepupu ku yang mondok di sana. Ini juga rekomendasi dari Sepupu ku.
Setelah sarapan aku dan Angga, Sepupu ku siap berangkat. Barang-barang sudah di kemas ke bagasi mobil.
"Dhan, kamu sudah siap semua?" Angga duduk berdampingan di jok belakang. Pak De mengemudi, dan di samping pengemudi ada Ibu.
"Insyaallah, sudah semua Kak" Dhani mengecek tas selempangnya. Ponsel dan kawan-kawannya.
"Nanti kalau ada yang kurang bisa di cari. Atau pesan di koperasi. Santri putra juga boleh keluar asrama ke warung terdekat sekedar ngopi" Angga menjelaskan pada ku.
"Okey" aku manggut-manggut mendengarkan penjelasan Angga.
Selama perjalanan aku mengingat kembali jalur menuju Pondok Pesantren. Aku pernah sekali ke sana menjenguk Angga ketika kenaikan kelas dua. Tepatnya setahun yang lalu.
Ini kedua kalinya aku ke sana, dan berharap menjadi manusia yang berbakti kepada orang tua. Semoga aku bisa belajar Birrul Walidain.
Sesampainya di Pondok aku dan Angga pendaftaran ulang di kantor pusat. Angga sudah hafal dengan alur Pondok Pesantren ini, secara dia sudah empat tahun mondok di sini. Dari SD di ponpes Al-Asy'ariyyah ketika kelas delapan pindah ke ponpes ini.
"Kak, di dalam sana seperti banyak santri" Dhani menunjuk ke arah asrama di belakang kantor pusat.
"Iya, itu asrama MA SMK putri kelas X dan XI."
"Oh."
"Ayo Bu, sudah selesai pendaftarannya" aku dan Angga hanya di temani Ibu. Karena Pak De hanya menunggu di mobil.
Sesampainya di mobil Ibu panik karena ponselnya tidak ada.
"Nak, hp Ibu tertinggal" secepat kilat Ibu kembali.
Tak berselang lama kembali lagi dengan wajah cerah. Sebenarnya itu ponselnya Dhani hanya saja Ibu meminjam karena ponselnya tertinggal di rumah di Wonosobo.
...***...
Di tempat yang berbeda.
"Ra, ke kantin yuk" Ida membenarkan sarung yang di kenakan. Tadinya jauh di atas mata kaki, dan kini harus di bawahnya. Karena kantin ada di luar asrama.
Tidak hanya santri putra, santri putri juga wajib memakai sarung kecuali santri MI atau setara dengan SD.
"Bukannya jajan kemarin masih ya" ku lirik sekilas wajah Ida. Kini sudah terlihat sedikit bersemangat untuk mondok.
"Pengen gorengan, mumpung masih pagi" kata Ida.
"Okey, aku ambil uang dulu."
Di kantin antriannya sangat panjang. Kami rela mengantri demi sebuah gorengan. Di Ponpes semuanya harus antri.
Mandi antri, ambil jatah makan antri, ke kantin antri, salim umi antri, bahkan keluar asrama berangkat sekolah juga harus antri. Semua serba antri.
Gorengan tinggal tiga biji dan ku relakan untuk Ida.
"Terimakasih Nera."
Aku dan Ida kembali ke asrama. Aku hanya membeli sosis so nice dua butir dan roti bantal satu bungkus karena jajan ku masih ada di kolong almari.
Di dalam almari tidak di isi makanan, jika di isi makanan terkesan pelit oleh santri yang lain. Dan satu lagi, kalau semut berbondong-bondong masuk almari juga kita repot sendiri.
"Ra, tadi di panggil ke kantor" Dahlia mengunyah gorengan hasil perjuangan Ida.
"Ada apa aku harus ke sana?" Nera mengangkat alis sebelah kanannya sembari melirik sekilas ke Dahlia.
"Ukur baju."
Tanpa menjawab atau menyanggah, Nera berlalu ke kantor pusat. Sesampainya, sudah di tunggu oleh Bapak Penjahit langganan Ponpes.
Aku di sambut oleh Rinda dan Bapak Penjahit dengan senyum ramah nan sopan.
"Di ukur dulu Ra."
"Iya Mbak" hanya itu jawaban ku pada Rinda.
"Mbak, apa sampean melihat ponsel di atas meja" Ibu-Ibu datang dengan wajah panik.
"Hp apa Bu?" Rinda seperti menyelidik.
"Realmi 7 i berwarna biru muda."
"Oh, ini Bu. Lain kali hati-hati jangan sampai tertinggal" Rinda menyodorkan ponsel yang memiliki ciri-ciri sama yang di sebutkan Ibu tadi.
"Terimakasih nak" Ibu itu kemudian berlalu.
"Ponselnya tidak asing, tapi tidak mungkin jika cassing hp di produksi hanya satu. Kecuali memang pesanan dan pasti akan membayar mahal" batin ku. Karena cassing seperti itu limited edition.
Sesuai pengukuran aku kembali ke asrama.
...***...
Note,
Ceritanya hanya fiksi. Jika ada kekerasan atau hal yang tidak wajar itu hanya pemanis konflik saja. Namun Pondok Pesantrennya nyata adanya.
Jika ingin mondok di Balekambang bisa hubungi author ya.
Nanti ku share brosur pendaftarannya.
Banyak santri berbakat alumni Balekambang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments