Ku sambut mentari pagi ini dengan senyuman. Hati ku deg-degan tak sabar menunggu hasil Ujian Nasional. Inilah penentuan ku selama di sekolah menengah pertama. Semoga Ayah Ibu ku tidak kecewa. Dan akan membawa ku mewujudkan cita-cinta ku.
Pondok Pesantren Balekambang, menjadi tujuan ku. Aku ingin sekali memiliki seragam identitasnya. Aku jatuh cinta pandang pertama dengan sarungnya.
Itulah mengapa aku rela sekolah jauh. Aku merasa Pondok Pesantren itu cocok dan sesuai dengan pilihan hati ku.
"Hai, Nera. Tumben ambil raport hahaa" Dhani cengengesan mengejek ku. Ini pertama kalinya aku mengajak orang tua ku mengambil hasil ujian.
"Tidak masalah. Semoga saja tidak ada teguran lagi" ku lipat kedua tangan ku di depan dada.
"Okey" Dhani manggut-manggut. "Kamu jadi sekolah di Jawa? Dimana nya?" Lanjutnya.
"Kepo."
"Okey, jika kamu tidak memberi tahu ku, aku akan mengetahuinya" Dhani merasa hanya dirinya yang paling sakti.
"Sekolah yang bener, ngaji yang bener, supaya jadi orang sakti. Esok aku akan berguru."
Itu lah aku jika bertemu dengan Dhani. Hanya kawan debat saja, tidak lebih. Jadi tidak usah terlalu lebay menanggapi rasa ini. Meski diam-diam aku menggemarinya. Atau berubah menjadi cinta? Aku pun tak tahu.
Tingg...
Pesan WA masuk dari Fian.
[Semangat pagi Sayang]
[Pagi]
Centang dua abu-abu. Ku masukkan lagi ponsel ku ke saku baju.
Apa kerjaannya, jam segini bisa main ponsel. Apa hanya sekedar menengok jam. Apa memang menyempatkan waktu untuk ku.
Mengapa rasa ku seperti ini mendapat kabar darinya, bahagia. Sama juga jika aku dekat dengan Dhani. Tidak mungkin aku mencintai dua lelaki dalam waktu yang sama.
"Cie, ada yang berduaan" aku terkejut dengan kedatangan Mahen, teman dekat Dhani.
"Kamu saja yang merasa kita hanya berdua" sahut Dhani.
"Kamu tidak melihat di belakang kita juga ada siswa lainnya?" Timpal ku.
"Iya deh."
Sebenarnya tidak ada urusan bagi siswa ikut ke sekolah. Aku hanya datang untuk menemani bicara selama Ayah di perjalanan.
Mereka yang ikut mungkin memiliki tujuan. Seperti pertemuan terakhir bagi yang ingin sekolah jauh, ada yang sekedar bermain, ada juga yang datang hanya untuk nongkrong.
Ayah keluar dari ruangan yang digunakan untuk menyelenggarakan acara. Beliau membawa sebuah amplop yang pasti berisi pengumuman ujian. Di rangkap dengan sebuah raport.
"Ayo kita pulang" wajah Ayah tegang.
Tidak seperti biasanya. Apa aku mempermalukan Ayah dengan nilai ku.
Tidak ada percakapan hingga sampai rumah. Ayah langsung masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
"Lihat apa hasil mu selama ini, heran deh!" Suara Ayah lantang.
Aku dan Ibu hanya saling tatap. Inilah yang aku takutkan selama ini.
Ibu meraih amplop yang di lempar oleh Ayah ke meja. Dengan cepat Ibu membukanya.
"Ayah heran kenapa, ini hasil yang memuaskan" Ibu berbinar, Ayah mulai tersenyum.
Ku ambil kertas pengumuman yang di pegang Ibu. Alhamdulillah, aku lulus.
"Kenapa Ayah tadi diam dan tegang wajahnya" ku lirik sekilas Ayah ku.
"Kejutan saja, lagian kamu selama ini tidak pernah belajar. Dan Ayah menyesal tidak pernah mengambil raport mu" tukas Ayah.
Aku dan Ibu lempar pandang lagi.
...***...
Pov Ayah
"Bapak bisa ikut saya ke kantor?" Seorang Guru muda mengajak ku untuk berbicara. Kelihatannya serius.
"Baiklah" hanya itu yang keluar dari mulut ku.
Aku mengikuti langkah beliau ke sebuah ruang guru. Aku di persilahkan duduk di sebuah kursi lain di sampingnya.
"Bapak, maaf mengganggu waktunya. Saya wali kelas Nera. Dulu di kelas tujuh dan dikelas sembilan" Guru itu menarik nafas dalam. "Saya heran saja orang tua nya tidak pernah mengambil raport selama ini. Dan baru kali ini anda mengambilnya. Mengapa demikian?."
"Maaf pak, bukan berarti saya mengabaikan putri saya, tapi memang begini. Ketika kelas tujuh semester pertama Istri dan putri saya berniat mengambil, namun di tengah perjalanan kecelakaan ringan sehingga kami memutuskan untuk kembali."
"Kemudian, semester yang lain?"
"Maaf, putri saya meremehkan. Nera melarang saya untuk mengambil saya tidak tahu apa alasannya. Yang saya dengar dari Istri saya Nera nilainya naik turun sehingga takut dan malu jika tidak mendapat peringkat" ku tarik nafas dalam.
"Ketika kelas sembilan semester awal saya sudah siap ingin mengambil, keadaan hujan di daerah saya. Namun tiba-tiba Bapak Kepala Sekolah datang berteduh, tidak mungkin saya tinggalkan. Kebetulan saya kenal dengan Beliau" lanjut ku.
"Jadi begitu. Maaf ya Pak, saya kira Nera tidak memberi tahukan jika ada pengambilan raport. Karena selalu di ambil ketika awal masuk semester."
"Maafkan putri saya pak."
"Putri Bapak anak yang berprestasi."
"Terimakasih, saya permisi."
Aku percaya Nera anak ku, anak yang bisa di banggakan. Dari kecil sudah menunjukkan wataknya. Dia berprestasi sejak kecil.
Alhamdulillah, semoga aku tidak gagal mendidik anak-anak ku.
...***...
Pov Dhani
Aku masih belum siap untuk lulus dari sekolah menengah pertama ini. Aku belum siap merindukan dirinya.
Ku tatap foto Nera dalam-dalam. Aku terobsesi dengan kebaikannya. Nyata, ini bukan cinta, tapi nyaman jika dekat dengannya.
"Apakah dia memiliki rasa yang sama, tapi dia terlihat bahagia mendapat pesan masuk dari seseorang. Apakah rasa ini salah alamat" ku acak rambut ku asal.
Aku pengecut, demi menjaga image aku mengorbankan perasaan ku selama ini. Aku hanya takut jika rasa ini di tolak olehnya sehingga Nera menjauhi ku. Aku tidak sanggup.
Untuk mengirim pesan saja aku takut. Apa aku pantas bersanding dengannya.
"Biarlah, jika aku berjodoh dengan Nera pasti akan bertemu lagi. Jika dia mendapatkan jodoh selain aku, aku tak akan mengabarinya lagi. Biar rasa ini aku yang punya" aku semakin galau.
"Kak, ayo makan. Ibu sudah masak" Adik ku membuyarkan lamunan ku. "Buruan, nanti lagi siap-siapnya."
"Okey."
Aku malah baru kepikiran jika besok subuh berangkat menimba ilmu di luar kota. Ke sekolah tujuan ku. Aku akan belajar di pondok pesantren sambil sekolah".
"Biarlah rasa ini, akan aku lawan jika kamu memiliki yang lain, Nera."
Se-pengecut ini aku terhadap cinta ku. Mana Dhani yang pemberani? Mana Dhani yang cool? Mana Dhani yang serba bisa dalam segala bidang?
Biarlah mereka menganggap itu semua, nyatanya aku hanya seorang pengecut yang tak sanggup menggapai cinta ku.
Ku acak rambut ku lagi. Aku terlalu takut.
...***...
Sama. Dari hasil yang ku peroleh Ayah dan Ibu tidak memberikan ku surprise. Ini sudah terbiasa. Namun Ayah dan Ibu tidak pernah lupa akan kasih sayangnya. Mereka orang tua terbaik bagi ku.
"Apa lagi yang kurang?" Ibu membantu ku mengemas pakaian yang akan ku bawa ke Jawa.
"Sudah Bu, sudah semua. Tinggal uang sakunya saja" ku perlihatkan deretan gigi ku.
"Kalau itu mah, kamu selalu ingat. Besok sekalian masukkan ke kartu ATM mu" ATM junior milik ku. Karena usia ku baru 16 Tahun.
Ya, Lulus SMP usia ku sudah banyak karena ketika masuk SD usia ku sudah tujuh tahunan.
[Mas, besok aku berangkat ke Jawa, mau sekolah. Mas jangan selingkuh ya. Jaga mata dan hati untuk ku]
Ku kirim pesan WA kepada Fian. Centang dua abu-abu.
Inikah ujian cinta. Baru jadian langsung LDR an antara Jawa-Kalimantan. Tapi anehnya hati ku biasa-biasa saja. Tidak ada rasa galau atau sejenisnya.
Tingg...
[Kenapa tidak sekolah disini saja?]
Balasan dari Fian.
[Belum ada jurusan ku di SMK sini]
[Memangnya jurusan apa yang akan kamu ambil]
[Tata Busana]
[Keren, Semoga sukses]
[Semoga impian mu tercapai]
[Iya Mas]
[Jaga hati ya]
Lima belas menit tidak ada balasan dari Fian. Mungkin dia syok akan ku tinggal. Namun ini demi masa depan. Bukan tanpa alasan aku sekolah jauh. Aku ingin belajar Birrul Walidain di sana. Aku ingin menjadi wanita idaman mertua. Bukan begitu?
Walau pun nantinya Fian memilih yang lain aku harus siap, harus kuat. Karena belajar lebih ku utamakan dari pada lelaki yang belum jelas akan menjadi jodoh ku atau tidak.
Konsekuensinya akan aku terima. Apa pun Resikonya.
Sejenak aku galau. Fian tidak membalas pesan ku. Apa dia akan meminta putus dengan keputusan ku ini. Apa dia akan mempertahankan ku.
Pukul sembilan lebih empat puluh menit waktu setempat. Tidak ada balasan dari Fian.
...***...
Aku tidak bisa memejamkan mata. Entah karena menunggu balasan Fian atau menunggu jemputan. Taksi yang di booking orang tua ku akan datang pukul dua lebih empat puluh lima dini hari waktu setempat. Empat puluh menit dari sekarang.
Tingg....
[Maaf, tadi ponsel ku kehabisan baterai. Jangan marah. Ku akan baik-baik saja di sini]
Pesan masuk dari Fian.
[Kapan berangkatnya?]
[Sebentar lagi taksi datang]
[Secepat inikah? Kamu jangan nakal, baik-baik di sana Jangan lupa komunikasi]
[Aku mondok Mas, jadi tidak membawa ponsel setiap hari. Mas bisa minta kontak pondok pesantren nantinya]
[Baiklah]
[Aku tidur dulu, besok aku kerja. Semangat Sayang ku]
[Jaga hati mu juga]
Perpisahan yang menenangkan. Aku akan belajar giat nantinya.
[Okey, Sampai jumpa tahun depan ya Mas, hari raya Idul Fitri waktu ku pulang]
Tidak ada balasan, mungkin sudah tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments