Ya Allah bukakanlah pintu hati Mas Alfian Wijaya. Berikanlah Rahmat dan hidayah-Mu dan jadikan dia sebagai Suami ku kelak.
Amiin ya Allah.
Jika memang dia jodoh ku Alhamdulillah, kalau kami tidak berjodoh aku yakin rencana Allah lebih baik. Allah yang tahu segalanya.
Paginya, seusai subuh Dayat mengajak ku jalan-jalan menyusuri jalanan dekat-dekat rumah sambil menghirup udara segar dominan dingin. Aku juga memakai jaket tebal dan kaus kaki.
"Kak, mau kemana kita?" aku menggandeng lengan Dayat, takut saja jika tiba-tiba dia lari. Dayat salah satu orang jahil yang mengajari ku usil.
"Ikuti saja langkah ku. Kalau kamu sudah ke pesantren pasti merindukan ku. Santri putri itu tidak boleh keluar asrama. Kalau putra mah bebas" Dayat menepuk dadanya yang sengaja di busungkan.
"Dingin, Kita mau kemana."
"Kepo" Dayat mengacak rambut ku yang terhalang kerudung. Yang acak-acakan bukan rambutnya, tapi kerudungnya.
"Okey, jangan tinggalkan aku. Awas saja jika kamu lari, ku hajar nanti."
"Kalau aku lari kejar saja, maka lari mu juga ringan."
"Ciihhh!" Aku semakin kesal dengan Dayat, namun tetap menggandeng lengannya.
Kami menyusuri jalanan, entah ke mana Dayat akan membawa ku.
Pukul tujuh lebih lima belas menit waktu setempat udaranya masih sangat dingin sampai di sebuah pasar. Pasar Kalibawang Wonosobo. Tidak jauh jika naik ojek, namun jika jalan kaki lumayan menguras tenaga. Jalannya naik turun. Ketika naik harus siap-siap memegang dengkul menahan nafas, jika turun harus siap mengerem. Karena memang jalannya seperti itu di lereng gunung.
"Aku tidak membawa uang kak, tidak bilang kalau mau ke pasar" keluh ku.
"Khusus buat adik ku tercinta, hari ini kakak yang traktir. Boleh membeli apa pun" sepertinya Dayat baru mendapat uang tambahan dari Ibu, atau mendapat gaji dari main game.
"Okey, aku akan membeli banyak makanan."
Aku mulai memilah jajanan pasar di sana takkan pernah tertinggal menu bakso super pedas. Aku juga membeli persiapan ke Ponpes karena aku memang belum mengetahui secara langsung kehidupan di sana nantinya. Hanya mendengar sekilas dari Dayat dan guru ngaji ku yang ada di Kalimantan.
Lebih jelasnya nikmat-nikmatnya saja. Bukan yang serba susah, entah susah yang seperti apa aku juga belum paham.
...***...
Hari ketiga di Wonosobo.
Aku bersiap ke Pondok Pesantren Balekambang Jepara di bantu oleh Dayat. Yang akan mengantar Ayah, Bu De, Sepupu ku, dan Dayat pastinya.
Semua barang-barang dimasukkan ke dalam mobil. Sepupu ku mengemudi, di samping kemudi ada ayah. Aku duduk di jok belakang bersama Dayat di samping kanan ku, Bu De di samping kiri ku.
Kami langsung menuju kota Jepara. Siang hari kami sudah sampai di Tugu Selamat Datang Jepara. Jepara Bumi Kartini.
Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota yang terkenal ukirannya. Kami terus melaju menuju lokasi melalui google maps.
Tak begitu lama aku takjub dengan sebuah Tugu, Tugu Kartini. Teringat perjuangan beliau pada masanya memperjuangkan kaum wanita, mampu menambah semangat belajar ku.
Aku kagum dengan keindahan kota ini. selama perjalanan banyak sekali motivasi yang secara tidak langsung menambah semangat rasanya tidak salah memilih belajar di sana.
Dengan bantuan google maps kami mencari titik letak Pondok Pesantren Balekambang. Dengan bantuan bertanya warga setempat ketika kami sampai di kecamatan Nalumsari. Di situlah letak Pondok Pesantren tujuan ku. Ponpes modern yang sangat terkenal di sana.
Suasananya sepi, karena menurut informasi semua santri akan kembali esok hari. Aku datang hari ini karena tidak ingin ribet harus berkerumun dan mengantri. Lebih tepatnya supaya tidak terlalu lelah. Sudah pasti semua santri akan ada daftar ulang jadi kemungkinan akan ramai.
Santri nya juga ribuan, jadi tidak mungkin kalau tidak lelah dan antri.
"Siapkan mental mu, pengurus putri banyak yang jutek jika menghadapi santri putri" kata Dayat.
"Iya kah?."
"Iya, nanti biar Kakak saja yang bertanya-tanya pasti mereka akan ramah" lanjutnya. Inilah gunanya memiliki Kakak ganteng ha ha ha.
"Alhamdulillah, tidak nyasar" Dayat mengucap syukur. Dengan selamat kami sampai di Ponpes Balekambang.
Ada secercah harapan yang akan membawa ku sukses nantinya.
Tujuan utama ku ingin belajar Birrul Walidain, yang kedua memang paksaan dari Ayah untuk mengambil sekolah jurusan jahit-menjahit.
Aku pribadi suka pelajaran Matematika. Awalnya ingin mengambil jurusan itu di sebuah SMA di Kalimantan, tapi Ayah menolak tegas.
Tujuan Ayah supaya setelah lulus langsung bisa bekerja tanpa harus melamar pekerjaan. Alasan Ayah masuk akal, karena memang belum tentu aku akan kuliah. Dayat juga tidak kuliah, tapi menambah ilmu agamanya saja di Ponpes Al-Asy'ariyyah.
Ayah sudah mempengaruhi ku dengan jurusan busana sejak aku kelas 5 SD. Dari sini bisa di tarik kesimpulan, pandangan masa depan Ayah sangat jauh, sampai aku masuk SMK pun masih kukuh dengan jurusan itu.
Tapi tidak ada salahnya nurut orang tua. Ini salah satu birrul walidain.
...***...
"Yang betah mondoknya ya Nduk" Bu De merangkul ku, namun tatapannya lurus ke depan.
"Iya Bu De."
"Yang rajin ngajinya" Sepupu ku menimpali.
"Okey."
"Ra, kita langsung ke koprasi saja mencari kasur dan kawan-kawannya" maksud Dayat selimut dan bantal.
"Iya Kak, lagian masih sepi."
Setelah parkir Bu De ke koprasi dengan sepupu ku. Aku tidak ikut karena harus mendaftar ulang di kantor bersama Ayah dan Dayat. Pendaftaran ku sebelumnya melalui online ketika aku masih di Kalimantan. Itu rekomendasi dari lurah Pondok.
Ku baca setiap kertas formulir yang ku terima. Ku cermati bersama Dayat. Dengan mantap hati aku mengisi keseluruhan data sesuai data diri ku.
"Mbak, ayo ke kamar asrama" seorang pengurus putri membimbing ku ke asrama. Letaknya di belakang kantor pusat tempat ku menimba ilmu.
"Maaf Kang, putra di larang masuk asrama putri" kata pengurus tadi.
"Iya Mbak saya paham, tapi kan ini Adik saya dan juga belum ada santri lain selain pengurus. Jadi izinkan saya mengantarnya. Saya juga santri di Wonosobo" kata Dayat mengeluarkan jurusnya.
"Baiklah Kang."
"Namanya siapa Mbak, nanti kalau Adik saya butuh sesuatu biar saya tidak kerepotan mencari sampean."
"Aku Rinda."
"Okey" Dayat mengedipkan satu matanya padaku. "Ra, Ini mbak Rinda. Kalau butuh sesuatu bilang saja nanti biar di sampaikan ke Kakak."
"Okey."
Aku merapikan bawaan ku ke dalam lemari yang di sediakan sebagiannya lagi masih di dalam koper. Sambil menunggu ku Dayat tertidur.
Pakaian belum ku keluarkan dari dalam koper. Aku keluar lagi menemui keluarga ku. Sekalian pamitan pulang.
Siang itu aku merapikan pakaian ku ke dalam lemari. Aku sudah benar-benar sendiri di sini.
"Nera, ini ada titipan dari Kakak mu" Mbak Rinda memberikan bungkusan untuk ku. Dari aromanya ini pentol bakar bumbu sate.
"Makasih Mbak."
Rinda sudah pergi lagi. Aku sendiri di dalam kamar. Di aula asrama ada dua orang santri sedang menonton televisi.
Aku membuka ponsel ku. Fian diam tanpa kabar. Ia sudah ku beri tahu jika hari ini aku terakhir memegang ponsel. Semalaman juga aku menelpon untuk berpamitan jadi wajar jika hari ini tidak mengirimkan sebuah pesan.
Terlihat Rinda bergabung dengan santri lain di aula, aku juga berniat ingin bergabung.
"Mbak, ini ada pentol bakar" ku sodorkan bungkusan itu.
"Boleh dong" Rinda tanpa ragu. Dua santri yang lain masih canggung. Mungkin belum kenal.
"Ini Mbak, di makan" Rinda menawari temannya. "Ini Mbak Rika dan Mbak Shofa, Ra" Rinda mengenalkan mereka pada ku.
"Aku Nera" kami saling berjabat tangan.
Sambil menonton televisi mereka menikmati pentol bakar. Aku sibuk membuka ponsel. Aku memberi pengumuman ke aplikasi noveltoon jika berhenti menulis sementara waktu.
"Ra, hp nya tidak di bawa pulang kan tidak boleh membawa hp" kata Rika.
"Aku tidak akan di jenguk. Jadi hp nya dititip di kantor saja. Jika liburan akan ku ambil. Aku juga tidak akan pulang sebelum lebaran" jelas ku.
Seringan itu aku berkata. Aku berfikir Kakak saja mampu, kenapa aku tidak. Tapi di sini aku tidak di jenguk, sedangkan Kakak di jenguk dan pulang ke rumah Kakek. Dua tahun sekali ke Kalimantan.
Aku tidak di jenguk tapi langsung terbang ke Kalimantan.
"Senekat itu kamu mondok disini" Rinda terperanjat.
"Iya Mbak. Lagian Ayah tidak cukup biaya kalau aku pulang setiap liburan."
"Memangnya rumah mu dimana?" Shofa bersuara.
"Kalimantan."
"Tidak ada saudara dekat di sini."
"Jauh, di Wonosobo."
"Di sini banyak anak Kalimantan tapi punya saudara di area Kudus Demak Jepara. Jadi setiap liburan tetap pulang, dan tetap di jenguk". Wajah Rika terlihat sendu meratapi nasib ku.
"Iya Mbak" hanya itu.
...***...
Malam ini aku tidur bersama Rinda, Rika dan Shofa di aula.
Alhamdulillah, pengurusnya baik-baik. Mereka sedang kuliah semester 4 di sini.
Di Balekambang wajib mondok. Disini tidak hanya santri SLTA sederajat saja dan bukan pelajaran umum saja. Ada yang masih MI atau setara dengan SD. MTs, MA, SMK, AKB (Akademi Komunitas Balekambang) inilah santri mahasiswa, Tahfidzul Qur'an, dan Salafiyah.
AKB adalah Akademi Komunitas perdana di Indonesia yang berlokasi di Pondok Pesantren. Yang mendapat ijin operasional dari Kemendikbud lahir di Ponpes Roudlotul Mubtadi'in Balekambang, Gemiring Lor, Nalumsari, Jepara.
Lembaga pendidikan yang diberi nama Akademi Komunitas Balekambang (AKB) telah di resmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan telah operasional pada tahun akademik 2014/2015 Silam.
...***...
Pagi yang cerah, aku menyimpan ponsel ku di dalam kantong kecil beserta charger dan headset nya bersiap mengantarkan ke kantor.
sudah ada beberapa santri yang datang. Semakin siang semakin ramai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
masih nyimak thor.....
2023-11-09
1