Pov Dhani
Apa yang harus aku lakukan jika berhadapan dengan Nera. Semoga saja aku bisa jaga image didepannya. Sekarang Nera pasti acuh padaku. Seperti ketika SMP. Jangan sampai sia-sia Istiqomah selama ini.
Allah tidak tidur, pasti mendengar rintihan ku selama ini. Mungkin jika tidak jodoh aku akan diberikan yang terbaik.
Tapi apakah aku bisa mencintai seseorang seperti mencintai Nera. Apakah aku bisa berpaling ya Allah. Tapi sebesar apa cintaku pada Nera engkau yang utama ya Allah, kemudian kekasihmu Muhammad SAW.
Aku rela jika Nera bukan jodohku, asalkan engkau ridho denganku. Semoga engkau mendengar doa-doaku. Aku ingin mencapai suksesku dengan jalanmu.
Aku terus berjalan menuju lab BB. Ruangan yang akan menjadi saksi bisu bahwa aku mencintai Nera meski dalam diam. Entah, apakah aku bisa menggantikan seseorang untuk menempati hatiku jika Nera bukan jodohku. Entahlah.
Sesampainya, aku mengatur nafas supaya tidak terlihat kalut. Neraku yang ceria jadi pendiam.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh". Ku pasang wajah tegas supaya terlihat profesional. Padahal aku sangat galau karena perubahan Nera.
"Wa'alaikumsalam". Hanya salam pendek yang keluar dari mulut Nera. Tanpa menolehku, bahkan tidak berpaling dari Ida sahabat barunya.
Aku mencium bau tidak sedap ketika melihat ketos putri memandang Nera dengan sinis. Sejauh ini aku banyak mendengar Nera sering mendapat ta'ziran karena baku hantam dengan santri lain. Tak lain karena memperebutkan ku.
Apa Nera kelahi mempertahankan cintanya, atau apalah. Seorang Nera tidak pernah menghajar lawan jika lawannya tidak keterlaluan. Apa aku harus menunjukkan kebenaran pada diri Nera. Tapi aku juga takut identitasnya terkuak.
Apa bukan Nera yang selalu nyelonong di antrian, membuat dia kelahi. Dia sangat hobi nyela.
Rapat perdana dengan santri putri tidak perlu bertele-tele. Cukup garis besarnya saja. Intinya juga akan dijelaskan ketika kegiatan berlangsung.
Seusai rapat, aku langsung berangkat sekolah salafiyah bersama Rizky.
"Dhan, kamu tidak bicara sedikit pun dengan Nera?". Rizky sudah memasang wajah kepo.
"Aku saja di abaikan, bahkan tidak mengangkat wajahnya ketika kami masuk".
"Sedetail itu kamu memperhatikannya?". Rizky bertepuk tangan, entah apa maksudnya.
"Acuh, dia kembali acuh denganku. Apa karena jenuh kelahi karena aku?".
"What!!". Rizky terperanjat. "Kamu jadi rebutan gitu, di kalangan putri?".
"Entah, yang jelas dia sering di ta'zir kelahi. Setahuku dia tidak pernah menyerang lawan jika tidak keterlaluan. Itu yang pertama. Yang kedua, apa dia di hajar karena nyerobot antrian".
"Sedetail itu pula kamu memperhatikan".
"Ya, hanya dia wanita seenak udel yang bisa mengelabuhi kepala sekolah".
Aku teringat setengah tahun lalu ketika kelas sembilan awal semester genap.
Flashback On
"Siapa yang mau ke kantin!". Ucap salah satu teman kelas IXA.
"Iya nih, nitip". Kata yang lain.
"Ra, kamu ke kantin apa tidak". Mahen, sahabatku. Dia selalu menitip, atau sebaliknya jika dengan Nera. Mereka memang dekat, namun hanya sebatas kawan.
"Boleh, kita dua ya". Nera begitu semangat. "Siapa yang ingin titip, aku ke kantin". Nera berucap lantang.
Teman sekelas langsung bergerombol dengan catatan masing-masing. Dalam sekejap Nera menyalin menjadi satu kertas.
Nera selalu mendapat antrian depan. Begitu masuk, Nera langsung memilih titipan sesuai catatan.
"Loh, banyak sekali Nera". Kepsek menghadang jalan Nera. "Apa muat perutmu".
"Muat pak, mulutnya banyak".
"Mulutnya?". Kepsek mengangkat alisnya sebelah.
"Oh ya pak, saya ingin ke kamar mandi".
Aturannya, tidak boleh jajan terlalu banyak, karena wajib membawa bekal. Tujuan kepsek supaya anak didiknya rajin menabung.
"Kamu tidak usah mengelak saya sudah paham kamu suka membuat emosi saya. Kamu harus rajin menabung Nera, sebentar lagi masuk SMK banyak biaya".
"Saya rajin menabung kok pak". Nera tersenyum "Di kantin". Setelah kata terakhir Nera ngibrit.
Fl****ashback Off
Nera paling anti dengan ceramahan. Sejatinya, Nera banyak menasehati di organisasi latihan pencak silatnya. Pandai sekali jika bicara. Meskipun dia masih remaja, namun berjiwa dewasa. Ini bukan orang tua berjiwa muda.
Tapi aku suka dengan semua yang Nera lakukan. Dia berani, dan tidak pernah malu mengakui kesalahannya. Dari situ visi misi ku terbentuk. Semua termotivasi dari Tenera Alivia.
...***...
Di asrama putri.
"Da, bantu aku membuat proposal ya, karena baru kali ini aku membuat proposal di ponpes".
"Okey". Ida terlihat malas-malasan. Entah apa yang dipikirkannya.
"Kamu kenapa sih, sepertinya sedang tidak enak fikiran. apa yang membuatmu seperti ini, hmm?".
"Biasalah, aku lagi malas saja. Malas melakukan apa pun, termasuk membantumu. Hahaha".
"Enak saja tidak mau membantu, aku juga tidak akan mencucikan bajumu kalau begitu".
"Jangan dong Ra, aku hanya ingin tidur. Lemas sekali rasanya".
Tak berselang lama Ida sudah mengeluarkan suara ajaibnya. Dengkuran halus namun masih terdengar jika ada tiga orang yang sedang tidur berjajar dengannya.
Akhirnya aku mengerjakan proposal sendiri, yang akan di lihat oleh Mita nanti malam. Dia sedang ada kegiatan, entah apa aku juga tidak kepo.
Dua jam aku menyelesaikan tugas perdana ini. Rasanya sangat lelah. Ida yang tadinya tidur, sudah siap antri mengaji.
Kalau aku jangan di tanya lagi, sholat ashar juga belum. Aku ijin tidak jama'ah dengan alasan membuat proposal. Padahal jika ingin jama'ah juga bisa. Rada malas juga hari ini.
Apakah hari ini hari malas se asrama atau hanya aku dan Ida saja. Tapi siang ini banyak santri yang tidur siang dari biasanya. Suasana sepi membuatku makin konsentrasi menyelesaikan proposalku.
"Da, malam ini aku jaga malam. Kamu tidak ingin menemaniku disana? Aku pasti bosan tidak ada kawan".
Aku berharap Ida ikut, supaya ada kawan bicara tidak seperti jaga sebelumnya. Keberuntungan ada pada Ida, dia berjaga dengan Rani.
"Hmmm, aku pengen sih ikut, tapi bantuin aku bikin laporan ya. Hehe".
"Sudah ada di proposal tinggal di salin saja laporan perkiraan konsumsinya".
"Bukan itu Nera, tapi laporan tugas produktif. Mata pelajaran yang paling menyebalkan".
"Itu masa depan kita, aku saja ingin buka usaha jahit nantinya. Disana masih banyak peluangnya".
"Disini sudah rapat Ra, tidak ada celah bagi penjahit awam".
"Terus kamu mau kemana setelah lulus".
"Ya, kerja. Di PT rokok, apa PT sepatu, bisa juga di konveksi. Tapi ya murah ongkos jahitnya".
"Mending buka sendiri".
"Mending di konveksi, jelas dapet duit. Kalau buka jahitan sendiri bisa-bisa sehari penuh tidak ada yang datang. Soalnya sudah banyak seniornya".
"Jangan mendahului takdir Da".
Ya, jika ada Nera dan Ida yang dibicarakan hanya masa depan saja. Semoga saja masa depan mereka tidak suram. Kata author sambil menghayal.
Tak berseling lama, aku tidur. Karena pukul 1 dini hari harus bangun menggantikan partner jaga yang sudah jaga dari jam 11.
Paginya, aku sudah siap berangkat sekolah. Ingin sekali lari dari kenyataan. Mengapa sepagi ini Dhani sudah duduk di depan kantor pusat. Apa tidak ada kerjaan lain selain nongkrong.
"Ra, itu Dhani". Ida menyenggol lenganku dengan keras sambil berbisik.
"Terus?".
"Di sapa kek, senyum kek, atau apalah. Harusnya kamu bahagia, pagi sedingin ini sudah ada penyemangat yang nongol". Ida berucap keras kali ini.
"Oh". Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Sakit sebenarnya melihat Dhani diam. Padahal ketika SMP dia paling ceria meski aku acuh. Tapi sekarang berubah. Aku ingin berjauhan karena aku bosan kelahi dengan santri lain, tapi dia menganggapnya seperti ini.
Ini sebuah kesalahpahaman yang membuatku semakin kalut. Kekalutan ini juga membuatku membuka identitas yang seharusnya tidak diketahui seorang pun sampai aku lulus.
"Dasar Dhani, cintaku padamu mengalahkan cintaku pada Fian". Batinku sedih. Sedih karena Dhani benar-benar menjauhiku.
"Ra, terimakasih jika kamu sudah menjauhi Dhani, maka peluangku sangat besar". Marissa duduk di sampingku.
"Kata siapa, Nera itu masih pacarnya Dhani". Ida yang menyahut.
"Tapi dia terlihat seperti bertengkar". Marissa tersenyum sinis.
"Aku tidak marahan Marissa, aku hanya memberimu kesempatan. Aku acuh apakah Dhani akan memilihmu atau tetap menjaga cintanya untukku".
"Oh ya?". Marissa tidak puas dengan jawabanku.
Ku tarik lengan Marissa menuju kantor pusat, disana masih ada Dhani dan Rizky.
"Dhan, kamu ngapain disini". Ucapku datar. Dhani terlihat terkejut dengan kedatanganku.
"Ada sedikit urusan, kenapa?".
"Tidak ada apapun, aku hanya ingin tahu apakah kamu mau mencintai Marissa?".
"Kan aku sudah bilang, jika dia mau yang ke empat aku tak masalah".
"Kamu dengar, berarti memang kamu memiliki kesempatan itu, tapi setelahku". Aku tersenyum. Yang jelas hanya pura-pura.
Marissa berlalu begitu saja. Aku masih berdiri keki di hadapan Dhani.
"Kamu apa kabar? apakah masih ingin menjadi istri solehahku, hmm?". Dhani tersenyum penuh harap.
"Tidak, aku tidak akan jika menjadi nomor tiga, aku akan menjadi nomor dua setelah ibumu, tapi tidak untuk Eli".
"Hey, sayangku. Apa kamu hilang ingatan kalau aku memiliki adik perempuan".
Ungkapan ini membuatku mati kutu. Aku benar-benar pikun untuk hal ini. Mengapa aku bodoh. Ini salah satu alasanku acuh padanya.
"Hmm, aku ingin di ratukan setelah menjadi istrimu. Aku akan menghormati orang tua mu dan menyayangi Eli".
"Mulai sekarang jangan acuh begini, aku kalut. Aku tidak semangat, bahkan aku tidak nafsu mandi".
"Nafsu mandi?".
"Ya, buat apa ganteng, buat apa harum, buat apa senyum, kalau istriku saja tak melirikku".
"Lebay".
Aku tersenyum mendengar ungkapan itu. Tapi jika aku ramah lagi dengan Dhani pasti perkelahianku takkan pernah berhenti, begitu juga ta'ziranku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments