Seusai pembayaran aku pamit pulang. Sebentar lagi Ibu akan berangkat yasinan. Akan berabe jika tidak langsung pulang.
"Fian aku pulang dulu ya. Ibu ku menunggu" aku bersiap dengan tas selempang ku.
"Baiklah. Samapi jumpa" Fian melambaikan tangan kepadaku. Aku hanya tersenyum menanggapi sambil menyalakan mesin motor siap berjalan pulang.
Selama perjalanan pulang aku terus tersenyum. Masih terbayang wajah Fian. Namun sakit ketika ingat dia mencium pipi ku. Seharusnya ciuman pertama itu untuk Suami ku nantinya.
Sesampainya di rumah, Ibu masih melayani pembeli. Jam juga masih menunjukan pukul dua lebih empat puluh tujuh menit waktu setempat.
"Ibu aku datang" seketika menjadi pusat pandangan ibu-ibu pembeli karena suara ku lantang.
"Anak gadis pamali teriak-teriak" tegur Ibu. Aku hanya nyengir kuda mendapat lirikan sekilas dari Ibu.
"Nera galak juga kalau sedang ngelatih Bu" kata salah satu ibu pembeli. Ibu Dian.
"Iya anak ku juga bilang apa lagi kalau sedang tes kenaikan tingkat sabuk" kata Ibu yang satunya lagi. "Tapi banyak yang naksir loh Bu" lanjut Bu Iyah.
"Ibu-Ibu ada saja. Mana ada yang mau sama Nera. Gadis galak" sanggah Ibu.
"Jangan salah Bu walaupun galak tapi tetep cantik dan pintar" Ibu Dian menimpali.
Di tingkat sekolah dasar aku pernah dipercaya mewakili sekolah untuk lomba OSN mata pelajaran matematika alhamdulillah sampai ke provinsi. Dari situ aku mengenal Dhani.
Di SMP di pertemukan kembali dengan Dhani, tapi dengan bodohnya aku menolak OSN tingkat kabupaten. Masih mapel yang sama, matematika. Dan itu Dhani juga mewakili IPS. Aku menyesal sampai sekarang.
Dan dua orang lainnya. satu orang sahabat ku Ami, satunya lagi Dheny se-organisasi pencak silat dengan ku. Aku Menyesal. Selain jalan-jalan juga mendapat ilmu.
"Mau beli apa lagi Bu?" Tanya ku mengalihkan perhatian juga berusaha melupakan masa itu.
"Sudah Ra. Ini saja sudah banyak."
Bu Dian dan yang lainnya sudah pulang. Ibu sedang duduk dimeja kebesarannya. Ngapain lagi selain menghitung laba hari ini.
"Banyak ya Bu hari ini" aku melihat sekilas uang yang Ibu pegang.
"Alhamdulillah rejeki tidak mungkin salah alamat Nduk" Ibu hanya membawa uang ratusan dan lima puluh ribuan masuk kedalam rumah yang ada di belakang warung ini. Yang puluhan di tinggal untuk kembalian nantinya.
Ibu duduk lesehan di samping ku sambil membawa satu toples kacang bawang. Ibu selalu membuatnya sekedar untuk cemilan sambil jaga warung. Itu juga makanan kesukaan Kakak ku.
"Nduk tadi Kakak mu telepon. Katanya ingin nambah lagi ngajinya".
"Tidak masalah Bu, asalkan Kakak bisa prihatin (hemat). Sebentar lagi aku nyusul ngaji sambil sekolah meski tidak satu tempat dengan Kakak".
"Yang semangat ya Nduk ngajinya, nurut sama Kiai. Ibu berharap kamu jadi anak yang Birrul Walidain."
"Amiin Bu."
Birrul Walidain adalah bagian dalam etika Islam yang menunjukan pada tindakan berbakti kepada kedua orang tua. Yang mana berbakti kepada orang tua ini hukumnya fardhu 'ain bagi setiap muslim, meskipun seandainya kedua orang tuanya adalah non muslim.
Fardhu 'ain sendiri maknanya status hukum dari sebuah aktifitas dalam Islam yang wajib dilakukan oleh seluruh individu yang telah memenuhi syaratnya. Seperti sholat lima waktu, Puasa dalam bulan Ramadhan. Jadi dalam Islam jika ditinggalkan hukumnya dosa.
Tak terasa adzan berkumandang. Ini tandanya aku harus jaga warung sebelum Ibu berangkat yasinan.
"Mau sholat dulu apa nanti Nduk?" Tanya Ibu.
"Sholat dulu Bu, nanti malah kelupaan."
Kalau menunggu Ibu pulang yasinan akan sangat terlambat. Biasanya hampir Maghrib baru pulang.
Biasanya aku akan ikut. Tetapi Ayah ada urusan di ladang jadi tidak ada yang jaga warung. Biasanya juga di tutup karena aku ikut yasinan. Tapi aku sedang malas berangkat.
Astaghfirullahaladzim...
Maaf ya Allah.
......***......
Pov Fian
Hati ku terketuk oleh seorang wanita pendekar. Dari gaya bicara di status Facebook nya juga beretika. Aku tertarik padanya. Tapi apakah dia belum punya pacar. Anak jaman sekarang SD saja sudah memiliki mantan.
"Bang aku pulang dulu" aku pamit dengan Bang Jarwo pemilik kafe karena urusan ku sudah selesai.
"Siapa yang kamu temui?" Bang Jarwo mengangkat satu alisnya. Ya, alis itu yang memikat istrinya kala itu.
"Nera calon makmum ku."
"Yang penting jangan sampai kamu nodai dia. Kelihatannya dia baik. Tapi jangan salah karena bungkus".
Deg
Nera si pendekar banyak teman cowoknya tapi tidak salahkan aku mempercayai kesuciannya. Semoga saja aku tidak salah pilih.
"Iya bang. Santai saja" kemudian aku berlalu.
Hati ku kalut mengingat perkataan bang Jarwo. Apalagi Nera akan sekolah jauh di Jawa. Sebaiknya nanti aku bicarakan lewat WA.
Mengapa dia akan sekolah jauh padahal disini banyak sekolahan yang terakreditasi A. Apa itu hanya alasan menolak ku. Atau entahlah sebaiknya aku tanyakan nanti.
Tadi pagi aku ngopi dengan Ayah setelah bertemu Nera aku langsung siap-siap kembali ketempat kerja. Tidak sempat ngopi sebelum malam di perjalanan.
"Semoga saja suatu hari nanti rumah ku ramai oleh anak-anak ku dari Nera."
Aku melaju pelan motorku sambil menikmati senja di perkebunan sawit ini. Banyak orang yang berlalu lalang. Ada yang dari pasar, ada yang dari rumah menuju kem, ada juga yang sekedar menikmati senja.
Itu sedikit aktifitas orang-orang yang bekerja di kebun sawit mayoritas orang-orang pendatang dari Jawa dan Sumatra. Ada juga dari Lombok, NTT, atau Sulawesi. Beragam orang disini.
Ada yang transmigrasi, Akad (Dijemput perusahaan), atau lokal (Datang sendiri). Tujuan mereka sama. Mengadu nasib. Tidak sedikit juga orang pribumi bekerja di perkebunan ini.
Ucapan Bang Jarwo masih terngiang, tapi rasa cinta ku kepada Nera lebih besar. Sudah setengah tahun aku mengamati aktifitasnya.
Semoga saja Bang Jarwo salah. Aku yakin Nera bisa jaga diri.
Sesampainya di kem aku langsung memasuki rumah. Tak sabar aku ingin Chating-an dengan Nera. Apa kabar dia setelah menjadi kekasih ku.
[Selamat malam Sayang]
Centang dua abu-abu. Mungkin dia sedang sibuk. Biarlah, lebih baik aku rebahan sambil menunggu Isya.
...***...
Pov Nera
Ku tutup pintu warung bagian depan, karena sebentar lagi adzan Maghrib. Pintu warung belakang langsung nyambung dengan ruang tamu. Namun bukan pintu keluar. Jadi setiap tamu yang datang bisa melewati warung bisa juga melewati pintu utama.
Ku ambil pisau dapur, kemudian kesamping rumah melalui pintu belakang. Tanaman segar sudah siap menunggu ku.
Tujuan utama ku adalah kangkung. Ingin sekali memasak tumis kangkung dari pada keburu tua di baskom, lebih baik aku memasaknya. Kebetulan ayah membawa lele dari ladang diberi oleh om Gopar. Om Gopar ini orang kepercayaan Ayah.
Tumis kangkung di temani ikan lele, sepertinya nikmat.
"Alhamdulillah" masakan sederhana ku selesai. Biar Ibu yang menghidangkan nanti.
Ku ambil ponsel sembari mengecek apakah baterainya sudah penuh.
Deg
Ada pesan WA dari Fian. Belum ada namanya di kontak ku. Isi pesannya udah bisa ku baca sebelum ku buka. karena pesannya pendek.
Hati ku berdegup kencang. "Aku sudah punya pacar" ucap ku girang di dalam hati. Kenyataannya hanya bibir saja yang tersenyum.
Ada kesedihan di hati. Aku akan sekolah jauh. Apa bisa aku menahan ketertarikan pada orang lain? Sedangkan pacar ku di Kalimantan. Apa di Jawa bakal ada lelaki yang bisa memporak-porandakan kelak? Apa aku bisa setia?
Apa aku mencintai Dhani apa sebatas penggemar yang terobsesi. Tapi rasa ini ada setelah pulang dari kabupaten ketika aku kelas lima SD.
"Nduk, masak apa kamu?" Ibu membuyarkan lamunan ku.
Tapi tentengan di tangannya membuat ku ingin cepat memeriksa. Apa isi didalamnya.
Ya, Ibu baru pulang yasinan dan membawa bungkusan kresek berisi berkat. Berkat ringan bukan seperti orang hajatan.
Biasanya hanya berisi empat atau lima potong makanan ringan atau kue bisa juga gorengan, di tambah segelas minuman kemasan. Entah itu berasa atau hanya Aqua gelas. Tergantung selera yang menerima giliran.
Biasanya juga bisa sate, soto, bakso, atau makanan berat sejenisnya. Tapi dalam bentuk bungkus karena tidak dimakan di tempat.
"Tumis kangkung Bu, tadi Ayah membawa lele dari om Gopar, sudah sekalian ku goreng. Tinggal di hidangkan saja" aku menjelaskan sedetail mungkin pada Ibu.
Sebelum aku beranjak ku sempatkan balas pesan WA Fian.
[Selamat malam Sayang]
pesan WA dari Fian.
[Malam]
Dia memanggil ku Sayang. Panggilan apa yang pantas untuk dia. Masa Om? Ya kali Nera punya pacar seorang om-om. Kalau di dengar orang kan gak lucu. Nera menahan tawa memikirkan semua ini.
"Nduk, kata Ibu tadi keluar acara apa?" sudah pasti Ibu yang cerita.
"Pengen saja duduk di Dermaga Yah, lagian semenjak Kakak di Jawa aku tidak pernah ke sana. Aku rindu Kakak" bukannya aku berbohong, tapi memang bohong sih. Hanya saja aku belum siap memberi tahu Ayah dan Ibu ku tentang Fian.
"Besok siapa yang akan mengambil surat kelulusan Nera?" Ayah memandang Ibu sekilas.
"Siapa Ra?" Ibu malah bertanya pada ku.
Aku makin galau memikirkan kelulusan itu. Sebelumnya Ayah atau Ibu tidak pernah mengambil raport ku sehingga aku sering mendapat teguran wali kelas.
"Siapa saja lah Bu, lagian tidak mungkin kan jika aku mengambilnya sendiri" suapan besar masuk ke mulut ku. Nikmat sekali rasanya.
...***...
Pukul tujuh lebih sembilan belas menit waktu setempat, aku belum bisa memejamkan mata. Ku buka aplikasi noveltoon aplikasi membaca novel gratis tanpa menggunakan koin. Aku suka sekali membacanya. Dari situ aku banyak sekali belajar tentang kehidupan. Intinya sangat bermanfaat bagi ku.
Ada pesan WA masuk. Siapa lagi kalau bukan Fian.
[Sudah makan apa belum]
[Sudah]
Dua centang biru
[Masak apa]
[Tumis kangkung sama goreng lele]
[Kamu apa Ibu mu yang masak?]
[Aku, Ibu tadi yasinan]
sepertinya Fian standby di chat ku. cepat sekali ia membalas. baru kirim langsung centang dua biru, langsung ada balasan.
[Oh ya, Pasti enak]
[Aku tidur dulu ya, besok aku kerja]
[Selamat malam Sayang ku]
Kerja apa dia? Syukurlah bukan pengangguran.
[Selamat malam]
Aku teringat panggilan untuknya. Apa yang cocok. Bagaimana jika aku memanggilnya Mas saja. Toh kalau jadi Suami ku memanggilnya juga mas, tidak mungkin ku panggil Om. Kalau tidak jodoh, aku bisa apa. Tuhan lebih berhak.
Aku menscrol chat Fian berulang kali, membuat ku senyum-senyum sendiri. Padahal hanya pesan ringan yang terjadi. Tapi bisa membuat ku seperti orang gila. Bahagia.
Semoga kamu setia ku tinggal mencari ilmu.
"Ya Allah bukakanlah pintu hati mas Alfian berikanlah Rahmat dan hidayah-Mu, dan jadikan dia sebagai Suami ku kelak Ya Allah. Amiin."
Tanpa sadar hati ku berucap demikian. Semoga dia menjadi jodoh ku, kalau pun tidak di dunia semoga saja di akhirat.
"Semoga besok aku lulus" ucap ku lirih.
Ku simpan Kontak Fian di ponsel ku. Ku beri nama "Mas". Itu lebih baik dari pada Om."
Setelah merapikan tempat tidur, aku berbaring siap untuk tidur. Tidak lupa memohon keselamatan kepada pemilik diri ini. Gusti Pangeran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
ꭱⷽᴀᷡꭲᷡⲙⷽ ͽ֟֯͜᷍ꮴ🔰π¹¹™
wah.. makin seru
2022-11-25
1
Mira Herlinda
tetap semangat ya thooorr 👍😀
2022-08-31
1