"Ra, apa benar kamu akan membencinya?". Ida menatapku dalam.
"Entah, aku tidak tahu siapa Eli, apakah dia neneknya atau wanita cantik dan muda yang telah lama menempati hatinya".
"Lalu, siapa Endang?".
"Beliau Ibunya".
"Mungkin saja adik atau apalah. Tapi tidak salah jika dia mengatakan mencintainya, karena ibunya".
"Iya".
"Nanti ku cari tahu tentang Eli, akan ku tanyakan pada kak Angga".
"Aku takut mendengarnya, jika memang wanita itu sudah ada sejak lama di hatinya".
"Tapi aku bisa membaca matanya, jika dia benar-benar mencintaimu". Ida meyakinkan hatiku.
"Sudahlah, lupakan saja. Aku benci dia". Aku berlalu meninggalkan Ida.
Aku duduk termenung di ruang makan memikirkan ucapan Dhani mengenai Eli. Apa aku bisa membencinya, dia hanya pria tengil yang memberikan banyak contekan padaku, dan itu dilakukan dengan senang hati olehnya, apa selama ini hanya pura-pura baik saja.
"Oh, jadi hanya sahabat yang menjadi selingkuhan saja, pantas saja kamu mengabaikannya". Marissa mencibirku, mulai terlihat watak aslinya.
Aku malas sekali jika bertemu dengan manusia macam ini. Aku ingin meninggalkannya saja. Aku melangkah menuju pintu keluar.
"Kemana akan pergi?". Mira menahan lenganku.
"Kamu tidak ingin adu jotos denganku? Kamu pandai kelahi, tapi belum tentu bisa mengalahkan ku. Aku dan Marissa itu pelatih karate".
"Cihhh!!". Ku lirik dalam mata Mira.
"Kamu nantang, menatapku seperti itu".
"Apa sih yang kalian mau, ambil saja Dhani untukmu!". Suaraku tegas, namun tetap santai. "Jika dia mau". Lanjut ku.
"Kamu tetap ingin menjadi selingkuhannya?, Karena cepat atau lambat Dhani akan menjadi milikku". Marissa menarik kerudungku, dan menginjaknya.
Kerudung pemberian kakakku, ketika aku ulang tahun. Itu sangat disayangkan, Marissa mengibarkan bendera perang. Aku tidak terima kerudung itu di aniaya oleh manusia seperti mereka.
"Okey, sekarang apa mau mu?".
"Lepaskan Dhani untukku".
"Aku sudah memberimu kesempatan bersaing dengan sehat, tapi malah begini caramu. Kamu masih ingin mendapatkannya setelah mengetahui keadaannya? Kamu tetap akan menjadi yang nomor empat!". Tegasku.
"Pertama, aku akan menyingkirkan mu. Kemudian mereka." Marissa semakin kuat menarik rambutku.
"Mungkin kamu bisa menyingkirkan ku, namun kamu akan menderita jika akan menyingkirkan Endang!". Ku lepas tangan Marissa dengan mudah, kemudian ku jatuhkan pelan.
Tidak mungkin aku membantingnya, bisa-bisa aku di ta'zir berbulan-bulan karena dia patah tulang.
"Beraninya kamu! Ayahku itu PNS, dan dekat dengan Abah. Bisa ku laporkan kapan saja kamu!". Marissa memegang punggungnya, mungkin sakit.
Aku pergi begitu saja meninggalkan mereka. Aku memang benci ketika Dhani memamerkan wanita lain padaku, tapi aku takut kehilangannya. Apa ini sebuah kecemburuan?.
Sebelum mencapai pintu keluar aku di tarik oleh Mira, membawaku ke hadapan Marissa. Apa lagi kalau bukan menghajar ku bersama.
"Sial!". Aku di hantam beberapa kali oleh mereka.
"Aku peringatkan, jangan pernah ganggu aku untuk masalah Dhani, sebelum kamu benar-benar tidak ada kesempatan untuk mendekatinya". Aku ingin berlalu, namun bibirku yang sudah berdarah ditendang oleh Marissa.
"Okey, semoga ini yang terakhir kali kamu menyentuhku". Ancamku lagi.
Tapi nihil, Mira memegang kedua tanganku dan dengan seenak udel Marissa memukul perutku. Untung saja mereka bodoh, jadi sasarannya perut, bukan yang lainnya.
Aku sudah tidak sabar di tindas seperti ini. Ku hempaskan Mira hingga tersungkur, Marissa ku hajar hingga tangan kanannya terkilir membuatnya menangis histeris.
"Hanya itu?". Ku tatap mereka bergantian. "Hanya itu yang bisa kalian lakukan?. Lanjutku.
Tepat ketika Marissa menagis histeris Rinda datang bersama beberapa pengurus.
"Nera, kamu lagi biang masalahnya. Apa yang harus ku katakan pada kakakmu?". Ucap Rinda menahan kesal padaku.
"Sudahlah mbak, tidak ada yang perlu di adukan. Jika aku salah ta'zir saja, jika aku benar juga boleh di ta'zir, hehehe".
"Kamu masih bisa tertawa, dalam keadaan seperti ini?".
"Bagaimana lagi, aku benar atau salah tetap saja sama hukumannya".
"Kamu mau hukuman seperti apa?".
"Terserah saja, asalkan jangan dijadikan pengurus. Pasti akan susah jika ada siswa sepertiku".
"Lihat saja nanti, kamu sudah dicalonkan".
"Huchhhh". Keluhku.
Marissa dan Mira sudah sampai didepan kantor, sedangkan aku sedang merapikan wajahku dari darah. Bibirku makin maju saja kena hantam. Apa Dhani masih menyukaiku, hehee.
"Nera terus ya". Lurah pondoknya suka ngeles.
"Kang Puji kan ganteng, makanya saya terus".
"Aduh,jodoh orang yang satu ini. Bikin adem hati".
"Buruan kang, apa ta'zirannya, biar cepet kelar, masalah selanjutnya sudah menunggu". Ku tatap tajam bergantian Marissa dan Mira.
"Apa lihat-lihat!!". Baru dilirik Marissa sudah nyolot.
Aku hanya tersenyum pada Marissa tanpa menjawab apa pun.
"Sok jaim". Timpal Mira.
"Mbak ketos dan wakilnya, jika tidak bisa mengambil hati seseorang, maka sopanlah sedikit. Jika ingin bertahan dengan jabatanmu". Kataku.
Kang puji hanya tersenyum melihat kejadian ini.
"Ta'ziran buat mbak ketua OSIS masak untuk makan siang, mbak wakil ketua OSIS masak untuk makan malam, mbak sekertaris OSIS masak untuk makan pagi. Masing-masing selama tujuh hari".
...***...
"Semua gara-gara kamu!". Mira menatapku tajam.
"Ih, sebel banget harus masak". Keluh Marissa.
"Malas sekali melayani mereka beradu argumen, lebih baik aku pergi saja". Batinku.
Dengan penuh semangat aku berlari ke kamar. Untuk apa lagi kalau bukan mengambil P3K yang selalu ada di almariku. Perih di bibir semakin terasa.
"Masyaallah Nera! Kamu kenapa lagi, bibirmu ini kenapa bisa hancur seperti ini?". Ida memperhatikan wajahku lebam. "Lalu biru memar hadiah dari siapa lagi ini".
"Aduh, sudah deh Da, lebih baik membantu mengobatinya".
"Okey cinta, tapi apakah Iza mengganggumu lagi?".
"Ini perbuatan Marissa dan Mira".
"Lalu bagaimana dengan wajahmu, Besok kita upacara pergantian OSIS".
"Aku akan memikirkannya".
...***...
Keesokan paginya, tepat hari Sabtu dan akan di adakan upacara pergantian OSIS di gedung SMK putra. Semua santri sudah berbaris siap menuju lokasi.
Calon OSIS baru dan OSIS lama sedang bersiap dengan peran masing-masing. Nera sendiri kebagian membaca UUD 45.
"Pusing banget kepalaku, kayaknya aku tidak sanggup kalau menampakkan wajahku di depan semua santri, terutama putra". Keluhku.
"Semangat, kamu harus percaya diri Nera, wajahmu sudah mulus seperti sedia kala, mungkin hanya sakitnya yang kamu rasa.
Ida menutup semua lukaku menggunakan cream wajah yang terlihat sangat natural.
"Terimakasih Da".
Seusai upacara santri putri langsung kembali ke kelas masing-masing, begitu juga santri putra. Bagi OSIS lama juga kembali ke kelas, hanya tinggal OSIS baru saja yang masih berkumpul atas perintah kepala sekolah.
Kami hanya diingatkan apa saja yang harus dipertanggung jawabkan. Ada juga tambahan dari ketua OSIS putra dan putri, intinya hampir sama hanya untuk kerja samanya.
"Ra, apa kamu baik-baik saja?". Dhani menyodorkan soft drink untukku.
"Terimakasih, jika urusanmu denganku sudah selesai pergilah. Aku membencimu mulai kemarin".
"Lucu sekali kamu, benci kok bilang-bilang".
"Biar jelas, bahwa aku membencimu".
"Okey, kamu boleh membenciku tapi jangan pernah merasa kehilangan jika aku tidak ada untukmu".
"Cintai saja Eli, aku ikhlas dari pada harus di nomor duakan. Kalau nomor dua dari Bu Endang aku rela".
"Ya, aku akan selalu mencintai Eli". Dhani berlalu meninggalkanku.
Perih hatiku, aku benar-benar kehilangan dia sekarang. Tapi lebih baik kehilangan sekarang dari pada esok atau lusa ketika cinta ini makin tumbuh dan berkembang.
"Maafkan aku ya Allah, berikanlah yang terbaik untukku". Batinku menangis, tapi aku tetap berusaha tersenyum supaya tidak semakin dihina oleh mereka yang membenciku.
Ku tatap nanar punggung Dhani yang semakin menjauh, kemudian hilang terhalang dinding kelas. Ia menuju lantai dua dengan wajah datar nan acuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments