"Di beritahukan kepada seluruh santri putri, ba'dha (setelah) jama'ah ashar persiapan untuk salim Umi" pemberitahuan dari kantor pusat. Umi adalah sebutan untuk Bu Nyai, untuk Pak Kiai, Abah.
Saat ini akan di mulai jama'ah ashar, karena sudah adzan.
Seusai jama'ah setiap santri merapikan diri masing-masing persiapan salim Umi. Kemudian antri di depan kantor pusat, pengurusnya sudah siap di depan gerbang.
Selama perjalanan ke ndalem (rumah Abah), aku memperhatikan sekitar Ponpes. Suasananya sejuk dan nyaman.
"Eh, itu Angga" Senior yang tergila-gila dengan Angga mulai terusik dengan adanya sang pemilik nama.
"Iya, eh. Itu sama Feri."
"Siapa sih Angga itu, sepertinya sangat populer" cetus ku.
"Dia Kettos" jawab santri di belakang ku. Rupanya Rani, teman sekelas ku. Dia alumni, pantas saja tahu.
"Pantas saja, orang nomor satu di SMK" sahut ku.
"Iya, banyak penggemarnya Ra."
"Termasuk kamu Ran?"
"Tidak, aku menggemari pacar ku, anak MA" blak-blakan juga si Rani.
"Ohh" aku hanya ber-oh ria menyudahi percakapan.
Santri yang memuji Angga tidak henti membicarakannya. Apa mungkin tidak bosan setiap bertemu selalu membicarakannya.
Setelah salim Umi kembali ke asrama untuk mengaji, dan melanjutkan aktifitas biasanya.
...***...
Tak terasa seminggu sudah di asrama, dan hari ini hari Kamis malam Jum'at. Seusai jama'ah isya kami persiapan untuk pengajian Al-Barzanji.
Al-Barzanji merupakan kitab yang berisikan perjalanan, puji-pujian, dan doa untuk Baginda Rasulullah Saw. Biasanya dilantunkan dalam bentuk nada pada momen tertentu seperti maulid nabi. Namun di Ponpes ini di lantunkan setiap malam Selasa dan malam Jum'at.
Setelah Al-Barzanji selesai di lanjut makan malam. Berhubung besok hari Jum'at, setiap asrama di perbolehkan menyalakan televisi sebagai hiburan.
"Ke kantin yuk, sudah buka dari tadi" Dahlia mengajak kawan-kawannya. Mereka seangkatan sangat akrab.
"Nitip lah."
"Nitip."
"Ayo, keburu antri panjang" Dahlia dan Rosa menerima beberapa lembar uang dari kawan-kawannya.
"Kalian Tidak ke kantin cah" Dahlia melirik sekilas.
"Nitip, hehehe" sahut ku sembari bangkit dari duduk.
"Tunggu Ra, aku belum membawa uang" Ida berlari ke kamar.
...***...
Pukul sebelas lebih dua puluh tiga menit tengah malam waktu setempat.
"Sudah, tidur sana. Besok akan ziarah ke makam sesepuh Abah" Dahlia menegur ku yang masih melototi televisi.
Ida sudah pergi ke tempat tidur yang sebelumnya sudah kami tata.
"Nanti dulu Mbak, masih belum bisa tidur."
"Terserah kamu saja Ra, yang penting besok pagi jangan telat" Dahlia berlalu.
Malam ini banyak santri yang berada di asrama lantai tiga gedung SMK yang tidur di asrama belakang kantor pusat. Karena menonton televisi, sekalian tidur di aula.
Paginya, semua santri menyusuri jalan pedesaan menuju makam sesepuh Abah. Jaraknya lumayan jauh, kurang lebih dua kilometer. Tidak hanya santri SLTA saja, dari semua kalangan, dari MI, MTS, MA, SMK, AKB, Tahfidz, AKB, salafiyah, khusus santri putri. Bagi santri putra di jadwalkan Kamis setelah ashar.
Ku nikmati perjalanan ini.
"Ra, sawahnya luas banget ya" Ida menyenggol lengan ku keras.
"Santai dong Da, seperti ingin menggulingkan lawan saja kamu" aku pura-pura oleng terkena sikut Ida.
"Ya maaf, lagian kamu memperhatikan alam seperti itu. Apa di Kalimantan tidak ada sawah?"
"Ada, hanya saja kebanyakan orang di Kalimantan di daerah ku khususnya, menjadi petani sawit. Sawit yang di tanam."
"Begitukah?"
"Ya."
"Pantas saja kamu memperhatikan sawah terus. Kamu sangat menikmati udara pagi ini."
"Segar" sahut ku sekenanya.
Seusai ziarah, kami langsung kembali ke asrama masing-masing.
Di sini libur sekolah hari Jum'at. Hari yang di tunggu-tunggu oleh semua santri, menunggu kunjungan dari orang tua.
Tidak berlaku untuk Nera, ia sudah berjanji tidak di jenguk, namun setiap tahun harus pulang ke Kalimantan. Beda dengan Dayat, ia lebih menerima ketentuan orang tua. Tapi di kantin Ponpesnya ada Mbah Buyutnya maka dia betah tidak pulang.
Ya, aku hanya menerima telepon setiap Jum'at, tanpa absen.
"Ra, kantin yuk" Ida sudah rapi dengan kerudungnya.
"Mager Da" aku masih fokus menonton televisi yang di tempel di dinding Aula.
"Ayolah, aku ingin keluar asrama, bosan di dalam terus."
"Maka tadi pagi kita ziarah, keluar asrama."
"Beda Ra, kita sekarang bisa melihat keindahan santri putra" mata Ida berbinar.
"Aku punya pacar, yang harus di jaga hatinya!" Jawab ku tegas.
"Sudahlah, kan hanya hiburan saja. Lagian mereka juga belum tentu melirik kita" Ida masih bersikukuh ingin keluar asrama.
"Dasar modus" akhirnya aku menuruti keinginan Ida. Aku juga penasaran santri putra di sini, apa ada yang menjadi penyemangat ku.
Astaghfirullah, Maaf ya Allah.
Aku masih ada hati yang harus ku jaga. Meski aku tak tahu apakah kesetiaan ini menjamin ku untuk menjadi jodohnya. Jujur, aku rindu.
Aku dan Ida menuju kantin yang berada di luar asrama. Memang benar, beberapa santri putra mondar-mandir ke warung makan luar. Santri putra mah bebas, beda dengan santri putri, benar-benar di penjara, penjara suci.
Suara ramai biasa terdengar, apalagi Angga si Ketos SMK yang lewat. Seganteng apa sih Angga tuh, pasti penasaran kan?
Ini si Angga versi author.
"Aduh, pusing. Di mana-mana Angga melulu yang mereka bicarakan" keluh ku.
"Ya, begitulah penyemangat, hahaha" Ida tertawa lepas.
Aku hanya memutar bola mata malas sembari membuang nafas kasar.
"Angga sama siapa sih, kok imut banget" kata Senior.
"Sama Adiknya, dengar-dengar dari Kalimantan."
"Emang Angga orang Kalimantan?"
"Bukan, tapi katanya Adiknya datang dari Kalimantan."
Aku penasaran dengan percakapan Senior yang kelihatannya sangat update dengan berita begituan. Aku melirik sekilas ke arah Angga yang menurut ku biasa saja, karena pacar ku lebih ganteng.
Mata ku melotot menatap wajah yang semakin dekat semakin ku kenal, ingin ku tonjok rasanya. Dia juga menatap ku cengengesan.
"Halo" ucapnya kepada sederet santri putri yang memujanya.
"Dasar, sialan!" Umpat ku.
Santri yang mendengar ucapan ku, melirik sinis membuatku risih.
"Apa sih, Ra" Ida menyenggol ku keras sehingga aku oleng. Itulah hobi baru Ida, menyenggol ku menggunakan siku sampai aku kehilangan keseimbangan.
...***...
Pov Dhani
"Dhan, ikut tidak?" Angga merapikan perlengkapan kebersihan. "Supaya kamu tahu tentang Ponpes ini, nanti ku rekomendasikan menjadi Ketua OSIS supaya tahu pekerjaan."
"Kemana?" aku malas, karena badan ku capai sekali. Aku terkena ta'zir karena tidak mengikuti Al-Barzanji semalam.
"Kantor pusat, ingin nge-print proposal."
"Okey."
Aku dan Angga keluar asrama menuju kantor pusat. Sebelum sampai ke kantor pusat, kami melewati kantin santri putri. Santri SLTA sederajat, MA dan SMK.
Dengan bodohnya mereka berbisik-bisik keras membicarakan Angga. Angga memiliki popularitas tinggi di mata santri putri, bukan hanya kecerdasannya saja, namun ketampanan juga menjadi prioritas.
Angga tetap berwibawa di hadapan santri yang jelas-jelas mengaguminya.
"Kamu keren!" Kata ku.
"Kenapa?."
"Tidak terpancing omongan mereka, bahkan tidak merasa malu" ku perhatikan sekitar asrama putri. "Malu-malu kucing" lanjut ku.
"Uh!" Angga menonyor ku keras.
"Apa sih Kak."
Angga tak menjawab.
Mata ku memperhatikan dua santri yang sedang beradu argumen antara ke kantin atau tidak, di kaca besar samping tandon (profil tank) air minum.
"Kok, mirip Nera ya" ucap ku lirih.
"Iya, dia santri baru yang viral di kalangan putra" Angga tak berkedip menatap Nera ku.
"Termasuk kamu?" Aku memicingkan alis kanan ku pada Angga.
"Ya, bantu aku untuk memilikinya jika kau mengenalnya."
"No! Dia milik ku" sahut ku tegas. "Akan ku tunjukan pada mu jika dia milik ku. Ku tunjukan di depan santri yang ada di luar sana."
"Okey."
"Dia milik ku" ku tatap tajam wajah Nera. Dia belum menyadari kehadiran ku.
"Silahkan" Angga seperti meledek ku, yang membuat ku tak bisa menahan tawa melihat Nera melototi ku.
"Halo" ku sapa santri yang sedari tadi membicarakan Angga.
"Ra, kamu makin cantik" ujar ku.
"Maka kamu tahu aku cantik dari dulu" sahut Nera.
Sebenarnya aku kurang percaya diri di depan Nera, tapi hati ku sangat takut kehilangannya. Apalagi saingan ku Kakak ku sendiri.
"Makanya jadi pacarku."
"Siapa sih yang nolak cinta mu, tidak ada seorang pun yang tidak mencintai seorang Dhani!"
Aku merasa bahagia, meski sepertinya Nera mengejek ku. Tapi biarlah.
"Berarti kamu menerima ku?"
"Ya, asalkan jangan pulang jika bukan hari raya Idul Fitri. Jika kamu pulang sebelum Idul Fitri cinta mu ku tolak."
"Okey."
Aku bahagia, aku sampai melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil mendapat mainan.
"Jika memang Nera menerima mu, maka kamu harus membantu ku mendapatkan Ida."
"Ida siapa?"
"Kawannya Nera."
"Sialan! Ku kira kamu mencintai Nera beneran. Kau tahu aku ingin memilikinya sejak kelas 5 SD."
"Jodoh itu tidak ke mana."
Apakah Nera mencintai ku? Aku ragu dengan rasa ku.
...***...
"Norak banget" kata Senior mendengar sapaan Dhani.
"Lebay, kena ta'zir baru tahu rasa. Santri baru belagu."
"Siap-siap kena ta'zir" Iza mengingatkan ku.
"Kita sahabatan kok" jawab ku ragu.
"Iya Ra, walau pun sahabat tetap ta'ziran tidak bisa di nego. Santri putra dan putri jika ketahuan berkomunikasi akan di ta'zir" Dahlia membenarkan ucapan Iza.
Hatiku mulai kalut, hukuman apa yang akan ku terima. Apalagi jelas aku berbicara panjang tentang cinta di depan umum, meski ini hanya sebuah candaan.
"Sialan, awas kamu Dhan, jika aku di ta'zir maka kamu akan menerima akibatnya!" Aku memaki sembari menuju asrama.
"Sabar Ra, akui saja dia pacar mu. Ganteng kok" Ida menenangkan ku.
Ucapan Ida sebuah penenang atau jebakan. Hukuman apalagi jika aku mengakuinya. Apa kabar hati ku untuk Fian? Aku juga sayang Dhani. Ini rasa ku.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments