Mendengar kedatangan Opa sama Oma membuat hatiku tidak tenang. Seharusnya aku merasa senang menyambut kedatangan mereka tetapi ini malah sebaliknya. Aku harus membicarakan ini kepada Alfred. Semoga Alfred mengizinkan itu.
Setelah selesai sarapan, tidak lupa aku membersihkan perabot yang kotor.
Aku pun kembali ke kamar, ingin mengecek kenapa akhir-akhir ini rasa nyeri dibawah perutku terus berdatangan. Di tangga tanpa sengaja aku berpapasan dengan Alfred untuk pertama kalinya.
Wajahku tertunduk tanpa ingin memandang kearahnya. Aku tidak ingin pria kejam itu semakin mengejek setelah mendapati kedua mataku sembap akibat menangis tadi malam. Alfred menghentikan langkahnya dan menatap aku dari atas, sedangkan aku melangkah menapaki tangga. Aku melewati tubuh kekar itu, aroma maskulin tentu saja mengguar di peciumanku sehingga tanpa sadar membuat suasana nyaman.
"Mama baru saja menghubungiku, mengatakan lusa Opa sama Oma datang. Aku menyanggupinya hmm bukankah ini semakin seru berkenalan dengan keluarga besar Januar?" ujar Alfred sehingga membuat langkahku terhenti dibelakangnya hanya berjarak 2 tapak.
Aku terdiam dan sulit untuk mengeluarkan kata karena bagaimanapun aku berkata tetap salah baginya, lebih baik memilih diam.
"Apa kau mendengar Isabella?" suara bariton itu kembali mengurungkan niatku melangkah.
"Aku tidak tuli, bahkan suara itu membuat gendang telingaku sakit," sindirku sangat berani.
"Kau semakin berani, sepertinya aku kurang tegas," ujar Alfred mengancam.
"Bilang sama Mama jika kita tidak bisa mengizinkan Opa sama Oma berkunjung ke sini," mataku dengan lirih sembari memandang kosong ke atas.
"Apa kau kira semudah itu mengatakannya? jika bisa sudah aku lakukan,"
"Lebih baik mengatakan sejujurnya dari pada dikemudian hari mereka lebih merasa terluka,"
"Baiklah jika itu keinginanmu. Bersiap-siap mendengar kabar dari sana,"
Ancaman atau peringatan Alfred membuat tubuhku membeku, aku tidak ingin apa yang dikatakannya itu benar-benar terjadi.
"Jangan," lirihku sembari memudar tubuhku, bertepatan juga Alfred membalikan tubuhnya sehingga kami saat ini saling berhadapan, pandangan kamipun bertemu.
"Kenapa? kau merasa takut? dimana keberanianmu tadi? tunjukan Isabella," suara Alfred begitu lantang sembari mengejek.
Aku menelan ludah lalu membuang pandanganku kearah lain.
"Aku harap apa yang kamu katakan itu hanya ancaman. Kami boleh melakukan apapun kepadaku tetapi aku mohon jangan lakukan apapun terhadap keluargaku," lirihku dengan nada terisak, ya tanpa sadar air mata sialan ini tidak dapat aku bendung. Jika sudah menyangkut keluarga itulah kelemahanku, aku tidak bisa melawan. Aku seka air mataku dengan pandangan kearah lain.
"Kenapa hatiku berkata lain? tangisan diamnya membuat sesak di dada ini," Alfred membatin tanpa memutuskan pandangannya di wajah seduku ini.
"Jangan ingin bermain-main denganku, jika nyalimu tidak sebanding dengan perkataanmu,"
Aku merasa sedikit lega karena Alfred tidaklah benar-benar dengan ancamannya.
"Aku tau sebenarnya kamu orang baik. Bagaimanapun rasa dendam itu menguasaimu tetapi kamu tidak bisa melakukannya kepada Papa sama Mama. Sorot matamu ketika bersama Papa sama Mama sangat berbeda. Perkataan dengan hatimu sangat bertolak belakang. Tapi entahlah, apakah itu trik darimu membalaskan dendam yang tidak pernah aku lakukan," aku membatin.
"Maaf," lirihku dengan wajah kembali menunduk.
"Honey," suara manja Serena membuat kami menoleh ke bawah. "Honey apa yang kalian lakukan?" tanya Serena dengan raut wajah berubah.
Merasa tidak sabar menunggu Alfred turun, Serena langsung menyusul lalu bergelayut manja di lengan Alfred. Tanpa sadar hatiku perih melihat tontonan itu sehingga kdua tangan ini terkepal.
Aku menatap mereka tanpa berniat memutuskan pandangan itu. Mereka turun dengan Serena bergelayut manja. Alfred menoleh menatapku sehingga pandangan kami bertemu dengan sekilas.
Dada ini semakin sesak ketika mendapati tangan Alfred melingkar di pinggang ramping Serena.
°°°°°°
Di rumah sakit aku bertugas sesuai kewajiban. Aku menangani pasien dengan usia 0-18 tahun. Itu sesuai dengan bidang atau jurusanku.
Aku sangat senang selama di rumah sakit, di sinilah aku bisa tertawa lepas bersama anak-anak. Setiap anak memiliki tingkah masing-masing. Dari usaha membujuk anak minum obat, menyuapi ketika tidak ingin makan, di suruh membaca dongeng ketika ingin beristirahat dan lain sebagainya. Ini untuk anak rawat inap. Aku sama sekali tidak merasa repot atau keberatan, bahkan itu sebaliknya. Aku memang suka anak-anak karena itulah keinginanku bercita-cita menjadi dokter spesialis anak. Kadang aku melewati makan siang demi membacakan dongeng untuk mereka.
Kini aku berada di ruanganku. Aku melirik arloji di pergelangan tangan, waktu menunjukan pukul 5 sore. Itu aku memiliki waktu 1 jam lagi. Sebelum pulang aku akan mengontrol satu persatu pasien yang aku tangani. Kadang melewati waktu yang seharusnya karena setiap anak pasti ada dramanya. Ini tidak masalah bagiku, anggap saja ujian menjadi dokter anak.
Aku bangkit karena ingin segera melakukan tugas.
Brak
Tiba-tiba pintu dibuka dengan sangat kasar dari luar. Masuklah sosok yang tidak ingin aku lihat. Aku sangat kaget bahkan saat ini aku mengatur nafasku. Bagaimana tidak kaget pintu begitu keras seperti di banting.
Aku memandangi Alfred dengan perasaan kesal. Begitu juga dengan sebaliknya, bukan hanya tatapan kesal tetapi tatapan tajam ingin mengulitiku hidup-hidup. Tidak lama sosok Andre masuk kedalam juga.
"Andre katakan kepadanya," ujar Alfred dengan kasar.
"Nona ikut bersama Tuan ke bandara sekarang. Opa sama Oma Nona beberapa menit lagi akan mendarat," ucap Andre memberitahu kepadaku.
Aku terdiam, sungguh aku melupakan jika Opa sama Oma malam ini akan tiba.
"Tidak biar aku sendiri saja yang akan menjemput Opa sama Oma," kataku. "Tetapi aku akan mengontrol pasien terlebih dahulu," imbuhku.
Seketika tatapan Alfred semakin menghujam tetapi anggap saja aku tak melihatnya.
"Apa ancamanku kemarin masih berlaku?" suara bariton Alfred membuat aku menelan ludah.
"Andre kamu tau dari mana kalau Opa sama Oma akan tiba? seharusnya mendarat tengah malam," kataku sedikit penasaran.
Duk
Bunyi benturan di atas meja membuat pandanganku teralihkan, ternyata itu berasal dari ponsel yang dilemparkan Alfred. Aku tau itu ponsel milikku tetapi kenapa ponselku ada bersama Alfred.
"Bagaimana kau tau jika ponselmu berada di ruang orang lain," bentak Alfred dengan rahang mengeras.
Mataku menyipit mendengar ucapan Alfred. Lalu tak lama ujung mataku melirik Andre, ingin bertanya kenapa ponsel milikku ada di tangan Alfred, begitulah arti dari lirikanku.
"Ponsel Nona berada di meja dokter Frans," ujar Andre seakan mengerti dengan arti lirikanku.
"Siapa yang mengizinkan kau bicara Andre?" bentak Alfred dengan erangan menahan amarah.
Aku menelan ludah. Bagaimana bisa ponsel itu berada di ruang dokter Frans.
"Aku tidak sengaja melakukan itu, ternyata aku lupa. Tadi ponselku kehabisan baterai dan aku meminjam charger milik dokter Frans," jelasku dengan dada gemuruh.
"Jadi begini kelakuannya di rumah sakit?" Alfred membatin dengan tatapan tajamnya.
"Tinggalkan tugasmu dan ikut aku," setelah mengatakan itu Alfred langsung berlalu dengan wajah murka, bahkan Alfred sengaja membanting pintu sehingga membuat aku dan Andre terlonjak kaget.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan like, vote, favorit dan komennya agar author lebih semangat🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Nabila
orang terkaya nomor 1 di Indonesia takut dengan ancaman lucu sekali 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2024-02-18
0
Mery Margareta
hahaaa...
tobat kau tuan alfred 🤣🤣🤣
2022-10-03
0
Amelia Lia
huuft bengek rasanya sm kelakuan Alfred
2022-08-04
0