Setelah berperang mulut dengan Serena aku menyibukkan diri di kamar. Aku membaca buku tentang medis yang sengaja aku bawa.
Aku melamun dan terlintas masa depan yang pernah aku rancang setelah menyelesaikan sekolah kedokteran. Semua itu sirna ketika aku bertemu dengan Alfred.
"Aku ingin mencari tau apa yang sebenarnya terjadi," batinku sembari mengigit pipi dalamku.
Drett
Ponsel di atas nakas bergetar. Sebenarnya aku malas, dan sangat menghindar jika itu dari Papa maupun Mama. Selama ini aku selalu mencari alasan, untuk saat ini aman-aman saja.
Ponsel itu kali bergetar untuk kedua kalinya. Sedikit terganggu akupun langsung meraih dengan perasaan dongkol.
Keningku mengerut melihat nomor baru yang menghubungiku. "Ini nomor siapa?" gumamku merasa nomor ini asing.
["Selamat siang dengan Lee bagian HRD rumah sakit HUGO. Apa saya bicara dengan Ibu Isabella?"]
["Iya saya sendiri,"]
["Ibu Isabella akan di interview besok pukul 9 pagi. Terima kasih,"]
Keningku mengerut.
["Ibu Isabella apa anda mendengar?"]
["Iya Pak,"]
["Baiklah hanya itu yang dapat saya sampaikan. Terima kasih,"]
Sambungan telepon segera di akhiri.
Aku berpikir sesaat. Bagaimana pihak HRD menghubungiku, bahkan lamaran itu saja belum aku serahkan karena kejadian kemarin.
"Apa ini ada hubungannya dengan Alfred maupun Andre?" gumamku seketika dua sosok itu terbesit. "Bagaimana ini? satu sisi aku memerlukan pekerjaan ini, apa lagi setelah mengetahui tindakan di rumah sakit kemarin," aku berperang dengan hatiku. "Baiklah aku akan mencoba," itulah tekadku, biarlah urusan Alfred di sampingkan demi uluran tanganku untuk membantu orang yang membutuhkan.
°°°°°°
Hari ini aku bangun sebelum matahari terbit karena ingin beberes terlebih dahulu. Setelah membuat sarapan aku kembali masuk ke kamar untuk membersihkan diri.
Aku mengenakan setelan jas warna putih dengan dalaman kemeja warna hitam. Rambut panjang aku ikat tengah sehingga terkesan penyempurnaan penampilanku. Wajahku tidak lupa aku poles tipis dengan lipstik warna tidak menonjol karena tanpa menggunakan make-up pun wajahku sudah putih bersih.
"Sempurna," ucapku memuji diri sendiri, bahkan suamiku saja muak melihat wajahku. Untuk itu jangan berharap mendapat pujian darinya, bisa-bisa dunia kiamat.
Aku meraih tas warna senada dengan setelan jas dan segera menuju meja makan. Pagi ini aku hanya sarapan dengan 1 butir telur rebus dan 1 buah kentang rebus, dan segelas susu.
Tidak lama Serena ikut bergabung, aku sekilas menatap di tangannya memegang kantong. Sepertinya dia sedang berbicara dengan Alfred melalui telepon. Aku tidak menghiraukan karena waktuku sangat berharga hari ini.
Serena memandangiku dengan sinis. Bila dibandingkan parasku dengan Serena akulah yang paling cantik, dia mah tidak ada apa-apanya.
"Seperti wanita karir saja," sindir Serena mungkin karena melihat penampilanku yang tak biasa.
Aku seakan tuli dan untuk saat ini malas untuk meladeni nenek sihir itu. Aku menghabiskan sarapanku dan beranjak untuk membersihkan piring kotor serta gelas. Setelah itu aku langsung berlalu keluar, mungkin saja supir taxi langganan sudah menunggu di gerbang sana.
Aku bersemangat melangkahkan kaki. Lupakan sejenak sial penderitaanku yang entah kapan berakhir. Aku menekan remot untuk membuka gerbang tak tak lupa menutupnya kembali.
Aku tersenyum ketika Pak Seun membuka jendela mobil.
"Maaf Pak menunggu lama," ucapku.
"Tidak masalah Nona. Apa sudah bisa jalan sekarang?"
Aku mengangguk.
Dalam perjalanan hening, aku sibuk mempersiapkan diri ketika di wawancara nanti. Perjalanan pun tak terasa, kini mobil memasuki parkiran rumah sakit. Ya atas kemauannya Pak Seun menungguku sampai selesai.
"Semangat Nona," support yang diberikan Pak Seun menambah semangatku.
"Do'ain Pak," ucapku.
Aku langsung menuju ruang HRD.
Tok tok
Aku mengetuk pintu.
"Masuk," terdengar suara wanita yang menjawab ketukan pintu.
Aku menekan handle pintu.
"Sela....., "
Brak
Seketika tas jinjingku terlepas dari genggamanku. Jangankan sebuah tas, jantungku saja ingin copot dari tempatnya. Reaksi terkejutku seperti melihat hantu yang sangat menyeramkan.
Aku masih berdiri di ambang pintu sembari mengatur detak jantungku.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali untuk meyakinkan apakah aku salah melihat. Tetapi ini adalah nyata. Aku menelan ludah sembari mengigit pipi dalamku.
"Maaf saya salah ruangan. Permisi," ucapku dengan kepala menunduk sembari ingin membalikan badan. Ya aku merasa salah ruangan.
"Tunggu! Kau tidak salah ruangan. Dea silahkan keluar," suara bariton itu menghentikan langkahku.
Wanita yang bernama Dea segera keluar dan tidak lupa menutup pintu.
Aku berdiri mematung sedangkan Alfred duduk dengan gaya coolnya di kursi seorang HRD.
"Apa begitu sikap seorang yang akan di wawancarai?" sindir Alfred kepadaku. "Kebetulan kepala HRD berhalangan hadir jadi untuk hari ini aku yang menggantikannya. Aku tidak menyangka orang yang akan aku wawancarai adalah istriku sendiri," ujar Alfred seperti ejekan.
"Berarti dunia ini begitu sempit," sahutku tanpa sadar. Padahal aku bukan sebodoh itu mempercayai perkataannya, sangat mustahil bukan jika dia tidak membaca informasi berkas lamaranku. Dia kira ini lelucon? sangat menyebalkan.
"Apa kau tidak bisa duduk?" suara Alfred seperti bentakan.
Aku mengigit bibir bawah ku, bahkan setiap dia berbicara aku menatap ke arah lain.
"Jangan membuang waktuku," sekali lagi bentakan itu sehingga membuatku langsung beringsut duduk di hadapan Alfred yang di batasi meja.
"Ya ampun skenario apa ini? kenapa harus dia sih? bukankah seharusnya dia masih di luar kota?" batinku. "Seperti drama Korea yang sering aku tonton dengan judul CEO ku adalah suamiku, atau itu banyak terdapat pada novel-novel," desisku mengeram dalam hati.
"Apa aku berada di sudut sana?" Alfred b kembali menyindirku karena tatapanku kearah lain.
Aku menghela nafas sembari mengigit bibir bawahku. Tatapanku pun mengarah di wajah Alfred, seketika tatapan kami bertemu cukup lama. Merasa tidak tahan aku segera membuang pandanganku.
"Mulai," ujar Alfred.
"Selamat pagi Pak, senang bertemu anda."
Hmm
"Nama saya adalah Isabella, saya lulus dari Sorbonne Universite Faculty Of Medicine Perancis."
" Apa yang memotivasi anda untuk bekerja di instalasi ini?"
"Selain ingin mewujudkan apa yang saya inginkan dan kejar sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya ingin membatu orang lain dan ini merupakan profesi yang saya inginkan sejak kecil."
"Prestasi berupa apa yang pernah anda raih dalam bidang ini?"
"Sewaktu SMA saya aktif mengikuti ekstrakurikuler PMR sampai kuliah saya ditunjuk sebagai ketua dan setiap tim kami mengikuti lomba kami sering membawa prestasi,"
"Apa yang anda ketahui tentang rumah sakit ini?"
"Ini adalah instalasi rumah sakit yang sangat bergensi, tapi saya melamar kerja di sini bukan karena ingin memiliki nama atau apa saya tertarik dengan cara kerja yang dilakukan oleh instalasi ini serta kualifikasi dan akreditas yang baik dan selain itu saya ingin merubah kinerja para tenaga medis yang kurang memperhatikan pasien yang memiliki latar belakang kurang mampu. Saya merasa beruntung jika bisa diterima dan bisa bergabung untuk menjadi anggota di sini."
"Dalam bidang bagian apa?"
"Saya menempuh 4 tahun S1, empat tahun sekolah kedokteran. Seharusnya sekarang saya sudah magang selama satu tahun, dan residensi dua tahun. Tetapi karena satu hal semua itu telah terkubur. Cita-cita ingin menjadi dokter spesialis anak tak tergapai."
"Apa yang anda ketahui tentang dokter?"
"Sejak kuliah saya memahami apa yang menjadi hal dan kewajiban seorang dokter diantaranya munculnya profesionalisme seorang dokter terbuka, yaitu mau memberikan informasi yang dibutuhkan seorang pasien baik diminta maupun tidak. Dokter juga harus mampu memberikan penjelasan yang akurat dan jujur. Punya waktu yang cukup yaitu seorang dokter harus bisa menyediakan waktu yang cukup dalam melayani pasiennya, sehingga pasien merasa puas dengan pelayanan yang telah diberikan oleh dokter. Mempunyai minat yang besar untuk menolong, tumbuhnya sifat empati dokter terhadap pasien yang dihadapinya. Peka terhadap situasi dan kondisi lingkungan pada saat itu. Mampu mengenal dan mengatasi masalah.
" Saya kira ini cukup. Besok anda mulai bekerja,"
"Iya Pak, terima kasih atas waktu dan kesempatannya."
Alfred mewawancaraiku selayaknya pelamar pada umumnya. Aku menjawab sesuai dari hati dan pengalamanku. Sepanjang wawancara aku merasa sangat gugup, bagaimana tidak mata kami saling menatap selama itu. Sekilas aku mengagumi wajah tampan Alfred, sepanjang wawancara raut wajahnya segar tidak seperti yang sering kali ia tunjukan kepadaku. Tetapi itu hanya sekejap, berakhir wawancara raut wajah itu kembali dingin dan tatapan seperti biasanya.
"Selamat siang Pak, saya permisi," ucapku karena bagaimanapun harus profesional dalam bekerja. Sungguh kami seperti orang asing sedangkan status kami adalah sepasang suami istri.
Tanpa menunggu sahutan Alfred aku beranjak dari tempat dudukku, jika harus menunggu sahutan bisa-bisa bokonggku ini rata. Jujur dada ini sesak dalam satu ruangan selama 30 menit. Tidak sabar menghirup udara segar, dengan cepat-cepat langkahku keluar dan menjauh dari ruangan terkutuk itu.
Selepas kepergianku Alfred terdiam, bergelut dengan pikirannya.
"Wanita cerdas," gumam Alfred tanpa sadar atau memang sadar memuji kemampuanku dalam menjawab. "Cantik," gumamnya kembali.
Dengan segera Alfred menggelengkan kepala sembari mengusap wajahnya. Dia sangat bodoh bisa-bisanya memuji wanita yang sudah merenggut orang-orang yang dia sayangi.
"Al jangan terkecoh dengan wajah lugu dan polosnya,"
"Al dia wanita baik-baik,"
Kedua bisikan itu menganggu pendengaran Alfred sehingga membuatnya berteriak.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan like, vote, favorit dan komennya agar author lebih semangat🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Amelia Lia
sempat tergoda n terpesona dg aura kebaikan yg d'miliki isabella 😉.....
tp sikap kejam nya itu yg 😡😡
2022-08-04
1
🌷Tuti Komalasari🌷
dilema sendiri lu Al😇
2022-04-04
4
Navis
alfred suatu saat akan menyesal
2022-03-23
0