Adry lalu bersandar kesal di kursinya dan sembari melipat tangan di dada. Raina terlihat tidak peduli dengan perkataan Adry.
"Ibu akan mencobanya terlebih dahulu dan mengatakan rasanya. Jika enak maukah kau mencobanya," bujuk Raina.
"Jika tidak?" tanya Leon.
"Kita cari makanan lain," ucap Raina. Leon lalu menganggukkan kepalanya.
Raina mencoba makanan itu. "Tidak buruk, ini lezat, mungkin terasa asing untuk lidah kita tetapi tidak seperti pikiran kita. Hmm," Raina memakan makanan itu hingga separuh.
"Cobalah," ucapnya. Dengan gerakan ragu Leon mulai mencoba makanan itu. Awalnya dia mengunyah pelan lalu dia meneruskan makanan itu.
Raina mengangkat bahunya pada Adry. Adry menarik nafas lega dan kembali meminum kopi dan memakan Germknödel miliknya.
"Ibu akan mengambilkan obat untukmu," kata Raina bangkit lalu berjalan naik ke atas kamarnya.
Ketika dia kembali Adry sedang menelfon seseorang di dekat jendela ruang tengah, sedangkan Leon masih duduk menghabiskan susunya.
"Kosong kan jadwalku dalam dua hari ini," pinta Adry pada Roy. Tatapan Raina dan Adry sempat bertemu namun Raina memutuskannya.
"Kau bisa membawa berkas yang sekiranya penting ke apartemen."
"Ya, aku akan ke rumah sakit itu untuk memeriksakan keadaan Leon."
"Okey, bagus. Jaga berita ini agar ayah dan ibuku tidak mengetahuinya."
Adry lalu melihat ke arah Raina yang sedang memberikan obat pada Leon dengan sabar. Setelah itu, Raina langsung membawa bekas makan mereka ke wastafel. Dia mencucinya.
Melihat rambut panjang dan kelam Raina yang tergerai ke depan. Adry mengambil karet dan berjalan mengikat Raina. Raina melonjak terkejut dan menoleh.
"Seharusnya kau ikat dulu rambutmu, memakai Appron baru mencuci piring itu."
Dada Raina berdetak keras ketika Adry berdiri dekat dengannya. Bau parfum pria itu yang sangat dia kenal dari sepuluh tahun lalu mulai mengusik Indra penciumannya. Raina menelan Salivanya dalam-dalam. Kakinya mulai terasa lemas sekarang.
Raina kembali mengerjakan tugasnya. "Kau berkata mau membawa Leon ke rumah sakit?" tanya Raina tanpa melihat ke arah Adry.
"Katamu dia harus melakukan cuci darah hari ini?" tanya Adry.
"Ya, Leon harus cuci darah seminggu sekali, kondisi ginjalnya sudah semakin parah," ungkap Raina.
"Kau jangan khawatir semua akan baik-baik saja."
Adry lalu meninggalkan Raina.
"Jika kau tahu dia anakmu apakah kau akan mengambilnya?" gumam Raina sendiri.
Pukul Sepuluh mereka pergi ke rumah sakit. Mereka sudah lelah karena mengalami jet lag tetapi mereka tidak bisa mengabaikan kesehatan Leon.
Sesampainya di rumah sakit Leon langsung diperiksa oleh dokter di sana dan memperoleh perawatan untuk mengecek penyakitnya terlebih dahulu. Raina sangat suka dengan pelayanan di rumah sakit ini yang gesit dan cepat. Mereka juga mempunyai peralatan yang canggih dan membuat Raina kembali optimis akan kesembuhan Leon.
Adry sendiri sedang berkonsultasi dengan dokter yang menangani Leon. Raina tidak ikut karena tidak mengerti bahasa mereka. Dia lebih suka duduk di depan ruang perawatan Leon dan sesekali melihat anaknya dari jendela kaca.
Kepalanya mulai terasa seperti di tusuk dengan jarum. Raina lalu memijitnya.
"Kau pusing?" tanya Adry tiba-tiba.
"Sedikit mungkin karena mengalami jetlag," ungkap Raina.
"Aku akan mengambilkanmu aspirin," ucap Adry . Lima menit kemudian Adry datang dengan membawa Aspirin dan air mineral.
Raina langsung menelannya. Kepalanya di sandarkan di tembok sembari memejamkan mata.
"Apa yang dokter itu katakan?" tanya Raina.
"Mereka mengatakan jika ginjal Leon 80 persen sudah tidak berfungsi."
"Aku sudah tahu itu," ujar Raina tanpa membuka matanya.
"Berita baiknya kita baru saja mendapatkan donor ginjal yang sama darahnya dengan Leon, namun pendonor ini masih hidup dan sedang menunggu maut menjemputnya."
"Masih hidup?" tanya Raina.
"Ya, usianya lima tahun lebih tua dari Leon hanya saja dia menderita sakit paru-paru. Kini masih berada di ruang ICU di rumah sakit luar kota. Dia mengatakan jika akan mendonorkan tubuhnya setelah meninggal agar berguna bagi orang lain, " terang Adry. Bukannya senang Raina mata Raina malah berkaca-kaca.
"Kenapa sedih?"
"Orang tuanya pasti hancur hatinya melihat keadaan anaknya, aku membayangkan jika berada di posisinya." Isak tangis mulai terdengar.
Tubuh Adry membeku seketika. Apa yang Raina katakan memang benar. Mungkin gadis itu sudah rela meninggalkan dunia ini tetapi orang tuanya pasti ingin agar anaknya bisa hidup lebih lama.
Adry langsung memeluk Raina. Mendekap wanita itu dalam dadanya.
"Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada Leon, aku berjanji."
Raina tidak mengatakan apa-apa namun dia merasa jika kali ini dia tidak berjuang sendirian, ada pria yang akan memberi dukungan padanya walau untuk sesaat untuk waktu yang singkat.
Ingin rasanya dia mengatakan jika Leon anak Adry namun dia takut jika Adry mengambil Leon darinya. Pria itu punya uang dan kekuasaan, dia akan kalah.
Namun, dia tidak menampik ada rasa tenang dan damai ketika dalam pelukan pria itu. Raina yang tersadar lalu merenggangkan pelukannya.
"Maaf!" katanya canggung menatap ke lain arah. "Aku terlalu emosional tadi."
"Terkadang seseorang membutuhkan teman untuk berbagi," kata Adry.
"Sayangnya tidak setiap orang mau dibagikan kepahitan hidup sehingga kita harus menelan sendiri pil pahit itu dan menatap orang lain mereguk manisnya hidup."
Ucapan Raina seperti sindiran keras untuk Adry. Pria itu hanya terdiam dan duduk sama sama duduk bersandar di tembok.
"Dokter memberikan obat tidur pada Leon kemungkinan besar, dia akan tidur hingga besok. Dia terlalu lelah menempuh perjalan itu sehingga berpengaruh pada psikisnya untung saja dia anak yang kuat sehingga menolak mengeluh dengan apa yang dia rasakan.
"Aku bahkan memaksanya untuk makan," sesal Raina.
"Kau melakukannya karena tidak ingin anak itu jatuh sakit. Kau sudah menjadi ibu yang terbaik untuknya." Raina menatap mata Adry. Manik mata yang sama dimiliki oleh Leon.
"Aku bukan Ibu yang baik karena belum bisa memenuhi semua keinginan Leon," ucap Raina parau.
"Kita akan berusaha untuk membahagiakannya," ucap Adry dengan penuh keyakinan tinggi dan hampir saja Raina terbuai
Raina tersenyum sinis, "Jangan memberikan sesuatu yang suatu saat membuat Leon terluka seperti perhatian. Dan jangan membuat harapan lebih padaku karena ada saatnya kita harus berpisah dan aku tidak ingin hal itu membuat luka baru bagiku dan bagi Leon."
"Aku hanya ingin melihat dia sehat lagi, bukankah itu tugasku, tugasmu adalah hamil anak dariku!"
"Aku hampir saja melupakan hal itu. Aku harus harus menukar seorang anak untuk keselamatan anak lain. Sungguh ironi. Ibu macam apa aku!" rutuk Raina penuh emosi. Matanya mulai memerah lagi dengan dada yang sesak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments
Christy Oeki
terus berkarya
2022-06-16
1
3 semprul
kasihan Rania..
2022-06-14
0
Lalatime
sedih yaaa
2022-05-27
0