Hinaan

"Berarti benar apa yang mereka katakan jika kau akan menikah hari ini?" ujar Ina yang baru masuk ke dalam kamar Raina. Dia melihat Raina yang sedang merias dirinya sendiri di depan cermin. Wanita itu telah mengenakan pakaian kebaya putih dan bawahan batik.

Raina tetap meneruskan riasan di wajahnya. Sudah jadi kebiasaan kakaknya terus saja mengomel tanpa mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu.

"Kenapa kau tidak meminta ijin pada kakakmu terlebih dahulu? Apakah kau sudah tidak menganggapku sebagai keluargamu!"

"Oh, aku tahu kau marah sewaktu aku menolak untuk meminjamkan uang biaya cuci darah Leon kan?" ujar Ina tertawa mengejek.

"Aku tidak marah pada Kakak hanya merasa sedikit kecewa saja. Namun, aku tidak menyalahkan Kakak memang aku yang telah menghabiskan seluruh aset orang tua kita," ucap Raina perih.

"Baguslah kalau kau mengerti."

"Lalu, apa ini kau menikah dengan siapa? Kenapa tidak memberi tahu diriku! Aku ini masih keluargamu yang masih hidup!" suara Ina terdengar meninggi.

"Kakak, bukan aku tidak ingin memberitahumu akan hal ini tetapi waktunya sudah sangat mendesak!" kata Raina. Menghentikan riasannya lalu melihat kembali sanggul buatannya sendiri.

"Kenapa? Apakah kau hamil di luar nikah lagi, Hah! Seharusnya aku sudah bisa menebaknya dari awal!"

"Kakak, aku tidak seburuk itu!" Raina mulai merasa emosi.

"Memang seperti itu kelakuanmu, selalu membuat malu dan membikin masalah buat keluarga. Kau itu seperti aib menempel yang hidupnya selalu membebani orang tua kita. Kau dan anakmu Leon. Ayah meninggal karena merasa malu telah mempunyai cucu dari perbuatan harammu dan Ibu meninggal karena lelah memikirkan nasib anakmu yang penyakitan itu!" ujar Ina melampiaskan emosinya.

"Cukup Kakak! Jika kau datang kemari hanya untuk membuat masalah sebaiknya kau pergi dari sini!" usir Raina.

"Kau lihat kelakuan adikmu. Dia memang tidak pernah menghargaimu, percuma mempunyai saudara seperti dirinya!'' ucap Joko, suami Ina.

"Kau lupa Raina, aku juga masih punya hak di rumah ini. Separuhnya ini adalah warisanku, sayangnya sudah digadaikan oleh mu. Ibu tidak menyisakan hartanya untukku, semua sudah dijual dan digadaikan hanya untuk pengobatan anak haram itu!" teriak Ina murka.

"Kakak! Kau sangat keterlaluan!"

"Kenapa memang itu kenyataannya, kau hamil di usia delapan belas tahun tanpa seorang pria di sisimu. Kau seperti wanita murahan saja!'' Ina meluapkan isi hati yang dia pendam selama ini. Dia iri melihat ibunya mati-matian membela Raina dan menghabiskan seluruh harta peninggalan ayah Ina hanya untuk Leon."

Adry yang sudah datang dari tadi mendengar pertengkaran mereka dari luar kamar. Dia memeluk Leon yang sedang menangis. Jadi ini alasan Raina meminta menikah? Menjauhkannya dari fitnah dan caci maki orang luar maupun keluarga sendiri.

Adry jadi tahu jika Raina menemui banyak masalah setelah hamil anaknya. Rasa bersalah kembali bersarang dalam dadanya membuat dia merutuki kesalahan yang pernah dia perbuat pada wanita itu. Mengambil kesempatan lalu meninggalkannya begitu saja.

Dia pikir Raina akan menjual cincin yang dia berikan, lalu menjualnya, dan digunakan untuk mengugurkan jika dia hamil ternyata apa yang dia pikirkan selama ini salah Raina tetap mempertahankan kandungannya walau dia menemui berbagai masalah yang bertubi.

Adry tidak tahan dengan semua keributan ini. Dia menyuruh Leon untuk keluar bersama Roy. Roy lalu membawa Leon bersamanya pergi dari ruangan itu. Adry merapikan jasnya baru masuk ke dalam kamar Raina.

"Ada apa ini?" Adry bisa melihat tatapan terkejut Ina. Wanita itu melihatnya dari bawah ke atas.

"Apa kau ayah dari Leon?" tanya Ina langsung saja. Adry lalu menatap ke arah Raina.

"Bukan!" jawab wanita itu tegas.

"Tapi... wajahnya sama," kata Ina.

"Mungkin karena mereka sama-sama terlihat seperti bule," ujar Raina tanpa mau melihat ke arah Adry.

"Jadi benar kau berhubungan dengan orang luar?"

"Ya, tebakanmu benar, sekarang apa yang akan kau katakan lagi, Kak. Kau mau menghina hubungan kami juga?" sindir Raina.

"Kenalkan namaku Adry Carl Quandt, calon suami Raina." kata pria itu mengulurkan tangannya.

Ina menyambut uluran tangan Adry.

"Inaya Larasati, Kakak dari Raina." Ina membalas uluran tangan Adry.

Ina bisa melihat jika Adry bukan pria biasa. Dia memakai jas dengan jahitan yang bagus dan rapi, jam yang terlihat mahal melingkar di tangannya, sepatu kulit yang mengkilat dan dandanannya yang necis serta berkelas. Wajahnya juga terlihat tampan, sangat mirip dengan Leon. Dia tidak berani untuk macam-macam pada adiknya jika calon suaminya seperti itu.

"Kau jangan salah paham, aku hanya ingin kau lebih berhati-hati dalam memilih pasangan. Baiklah aku akan ikut menghadiri acara pernikahanmu. Kau belum punya saksi dari pihak wanita kan?" Ina tersenyum canggung pada Adry seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Tapi?" Raina ragu jika Ina tahu bahwa dia menikah dibawah tangan tangan, dia bisa mengomel dan membuat masalah baru nantinya.

"Tidak apa-apa, biarkan kakakmu ikut."

"Apa kau sudah siap, karena kita harus berangkat sekarang," kata Adry.

"Tunggu," ujar Raina melihat riasannya yang tadi sempat terhenti karena mendengar omelan kakaknya. Dia sedikit menyapukan bedak untuk menghilangkan bekas jejak air mata lalu menambah sedikit blush on di wajahnya.

"Ayo," kata Raina seraya memakai sepatunya.

"Tunggu, kau tidak memakai perhiasan yang aku berikan padamu," kata Adry.

"Bukankah itu untuk mahar, jadi tidak perlu kugunakan," ungkap Raina menunjuk pada bingkisan- bingkisan yang berada di atas lemari dan belum dia buka sama sekali. Hanya baju pengantin saja yang dia gunakan.

Adry menghela nafasnya. Dia lalu mendekati salah satu bingkisan yang berisi beberapa kotak perhiasan. Dia membawanya ke meja rias Raina. Dia membuka plastik penutup lalu mengambil satu kotak kecil berisi cincin dengan model bunga besar. Beberapa butir berlian kecil bersinar terang.

"Ini hadiah untukmu," kata Adry masukkan cincin itu di jari tengah Raina. Ketika tangan mereka bersentuhan seperti ada aliran listrik yang menyengat tiba-tiba membuat mereka berdua terkejut. Raina bahkan sempat menarik tangannya tetapi dia pegang erat oleh Adry. Dia hanya bisa menelan salivanya dalam-dalam.

Adry lalu membuka kotak besar satu lagi berisi satu set kalung dan dan anting. Ina yang minat membelalakkan matanya lebar. Dia bisa melihat dengan jelas jika itu semua emas berlian asli.

"Ini terlalu mewah, aku tidak layak menggunakannya," tolak Raina setengah berbisik.

"Kau akan menjadi istri seorang Quandt maka harus terlihat pantas untuk dipandang," ucap Adry menatap tajam Raina membuat ciut nyali wanita itu.

Adry lalu membalikkan tubuh Raina agar melihat ke arah cermin dan mulai memasangkan kalung itu. Kaki Raina mulai bergetar hebat ketika tanpa sengaja jari Adry menyentuh kulitnya.