"Tunggu!" ucap Raina dengan suara yang bergetar. Adry menghentikan langkahnya. Dia lalu membalikkan tubuhnya. Di saat itu Raina membuka jubah dari rumah sakit dan langsung turun saja ke lantai. Tanpa penghalang sama sekali membuat Adry menelan Salivanya dalam-dalam.
Bola mata mereka saling bertemu dan wajah mereka sama-sama terasa terbakar. Adry bisa melihat dada Raina yang naik turun dengan cepat dan tonjolan kembar besar yang ada di depannya. Seketika sesuatu dalam diri Adry bangkit seketika. Dia pria normal yang akan tertarik pada wanita elok dan memiliki bentuk tubuh yang indah. Hanya saja setelah menikah dengan Nita, dia tidak pernah melihat wanita lain dalam hidupnya.
"Bisakah kau membalikkan tubuhmu, dan naikkan rambutmu, aku ingin melihat leher serta punggungmu ada benjolan atau tidak, penyakit yang bisa menurun pada calon anakku kelak."
"Bukankah itu, penyakit genetik jika kalian tidak mempunyai maka tidak akan menurun pada anak itu ?" kata Raina mencoba menyangkal.
Kaki Adry sudah mulai maju dan menarik tangan Raina serta membalikkan tubuh wanita itu dengan cepat.
Netranya mulai membesar ketika melihat tanda biru gelap di punggung belakang Raina di atas kulit putihnya yang bersinar. Sama seperti tanda milik wanita dalam mimpinya. Semburat senyum tipis sempat terlihat dari bibirnya.
Dia menyentuh tanda itu. Membuat tubuh Raina menegang seketika. Adry bisa melihat jelas gerakan wanita itu
"Ini apa?" tanya Adry menelusuri tanda yang lebarnya hanya sebutir bola pingpong dengan gerakan sensual membuat nafas Riana terdengar berat.
"Itu tanda lahir, mungkin kau pernah melihatnya ada tubuh orang lain," kata Raina mencoba menenangkan diri walau detak jantungnya berdebar dengan keras.
"Apakah akan menurun?" tanya Adry memegang bahu Raina dan berbicara di bawah telinga wanita itu. Sehingga nafasnya menerpa kulit Raina yang halus, sehalus kain sutera dari China.
"Aku tidak tahu," ucap Raina sulit dan serak karena pikirannya kosong. Aroma parfum Adry yang menghanyutkan dia cium kembali setelah sepuluh tahun hanya ada dalam mimpinya. Kulitnya terasa panas bekas sentuhan pria itu.
"Raina," panggil Adry yang mulai menyampirkan jubah itu ke tubuh Raina dan memakaikannya lagi.
Raina mulai membuka matanya dan tersadar dari lamunannya. Dia terkejut melihat Adry di depannya dan memasukkan baju itu di tangan Raina. Dia mengikat lagi tali jubah dibelakang tubuh Raina.
"Kau lolos kali ini untuk jadi ibu anakku, maksudku ibu pengganti anakku," kata Adry dengan suara ringan. Setelah selesai dia membalikkan tubuh Raina dan wanita itu diam saja layaknya boneka di depan pria itu.
"Terima kasih karena kau mau mengorbankan dirimu untuk anakku. Aku tidak akan pernah bisa membalasnya."
Perkataan Adry terdengar sangat tulus. Dia pun menatapnya dengan tatapan sendu yang Raina tidak mengerti entah itu sebuah perhatian atau kesedihan atau juga memang dia ingin berterima kasih atas kesediaannya menjadi ibu pengganti bagi calon anaknya.
"Oh ya pernikahan kita akan dilakukan satu Minggu lagi. Namun, sebelum itu aku ingin kau membicarakan hal ini pada Leon. Dia bisa memanggilku dengan sebutan ayah, atau kau bisa mengajarinya," kata Adry dengan suara yang tercekat. Dia bisa melihat bulu mata Raina bergerak indah sewaktu mata besarnya mulai melebar mendengar perkataannya. Tidak ingin mendengar perdebatan Adry segera membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke arah pintu tanpa mengatakan apapun lagi.
Adry meninggalkan ruangan itu dengan memegang dadanya yang berdebar dengan kencang. Ingin dia berteriak keras serta bersorak Sorai, mengungkapkan kelegaan hatinya. Namun, dia tetap menahan diri agar semua rencananya berjalan dengan lancar.
Sebelum dia pergi meninggalkan rumah sakit dia membelokkan kakinya menuju ruang hemodialisa. Untuk melihat keadaan anaknya.
Adry terpaku ketika berdiri di depan jendela kaca melihat dokter sedang melepaskan jarum dari tubuh Leon.
"Shh...," desis Adry seperti ikut merasakan ngelu dan sakit yang sama. Air matanya tanpa terasa menetes dengan sendirinya. Ingin dia berlari, memeluk dan mengatakan semua akan baik-baik saja pada Leon namun tidak bisa. Semua akan hancur jika dia tidak menahan diri.
Wajah Leon hanya meringis kecil namun tetap menyunggingkan sebuah senyuman kecil. Suster itu mengusap kepala Leon setelah selesai melepas semuanya. Leon duduk dan hendak turun dari tempat tidur namun dia hampir terjatuh. Seketika tangan Adry ikut terulur.
Untung saja suster itu terlihat sigap menangkap tubuh Leon yang kurus. Dia lalu mendudukkan Leon kembali ke tempat tidur.
"Masih menunggu Ibu?" tanya suster itu yang sudah kenal dengan Leon. Leon menganggukkan kepalanya.
"Mungkin sebentar lagi datang, tadi suster melihatnya sedang berbicara dengan Dokter Ryan."
"Oh Pak Dokter tampan itu?" tanya Leon. Suster itu menganggukkan kepalanya.
"Oh, Dik Leon juga kenal dengan Dokter Ryan," kata suster itu penasaran. Siapa yang tidak penasaran dengan hidup Dokter paling tampan di rumah sakit ini? Apalagi tentang kehidupan pribadi Dokter itu. Sepertinya suster itu akan mulai patah hati jika tahu bahwa Dokter Ryan menyukai ibu Leon.
"Om Ryan sudah beberapa kali datang ke rumah," ungkap Leon jujur membuat Adry mengepalkan tangannya tidak senang.
"Oh, ya. Wah, suster baru tahu itu," ucap suster tersenyum. "Mungkin Dokter Ryan ingin jadi ayahmu," ledeknya.
Entah mengapa pernyataan suster itu membuat hati Adry tidak terima. Dia bahkan belum dipanggil ayah oleh anaknya dan kini akan datang pria lain yang akan dipanggil ayah oleh Leon. Dia tidak akan membiarkannya sampai kapanpun pria lain dipanggil Ayah oleh Leon.
"Akh, tidak orang Om Ryan kalau datang bersama Tante Ai," ujar Leon.
"Oh, Dokter Ainayya, adik dokter Ryan."
"Tante Ai dan Ibu berteman baik. Dari aku kecil Tante Ai sering datang ke rumah."
Tidak sengaja Adry melihat Raina sedang berjalan di ujung lorong. Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya tidak ingin tertangkap mata oleh wanita itu sedang memperhatikan Leon.
"Tenang Sayang, Ayah akan mencarikan mu pengobatan serta Dokter terbaik agar kau bisa pulih," gumam Adry melangkah pergi. Hatinya merasa tercabik-cabik melihat keadaan buah hatinya seperti itu. Andaikan dia tidak meninggalkan Raina begitu saja mungkin semua ini tidak akan separah ini.
Dia menyesali tindakan tidak bertanggung jawabnya. Mungkin karena dosa ini hingga sekarang dia masih belum diberikan momongan oleh Tuhan.
Bagaimana bisa Tuhan mempercayakannya seorang anak lagi sedangkan satu anaknya saja hidup dalam kesakitan dan kesulitan. Adry menghentikan langkahnya tatkala berada di lorong yang sepi, lalu bersandar di dinding, kakinya sudah tidak kuat untuk menapak lagi. Tubuhnya luruh seketika ke lantai. Duduk menunduk, dengan menarik rambutnya ke belakang. Dadanya sudah panas dan sesak dari tadi. Terdengar erangan lirih dan tertahan penuh kemarahan. Marah pada dirinya sendiri.
Sebuah tangan menyentuh bahunya membuat Adry melonjak terkejut dan melihat ke samping.
***
Favoritkan, Like dan komentarnya jangan lupa ya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments
Yuyun Sri
ceritanya bagus thor,, suka banget... 🥰🥰🥰
2023-04-29
1
Christy Oeki
diberi kesucsesan selalu
2022-06-13
0
Berna Dheta
lebih panjang lagiii donggg author
2022-06-08
0