Alhamdulillah begitu keluar dari rumah om Langit, Aku mendapat tempat kos yang bagus menurutku.
Om Langit sudah membayarnya sampai 3 bulan ke depan.
Tadinya ia akan membayar untuk 1 tahun, tapi aku melarangnya. Akhirnya setelah perdebatan panjang aku bersedia di bayarkan sampai 3 bulan ke depan.
Sepulangnya Om Langit, aku membereskan kamarku. Besoknya aku langsung pergi mencari kerja, aku akan mencoba ke tempat ibu Fatimah.
Begitu keluar dari tempat kos, aku berjalan kaki melewati kumpulan pria yang sedang nongkrong. Sebenarnya aku merasa canggung dan sedikit takut melewati mereka, tapi mereka tidak berbuat macam-macam hanya menggoda saja. Aku cuma tersenyum sekilas, dan berlalu.
Aku ke restoran ibu Fatimah dengan kendaraan umum. Sesampainya di sana, mereka pikir aku adalah pelanggan dan bilang kalau restoran belum buka.
Aku hanya tersenyum dan menanyakan Ibu Fatimah. Aku memperkenalkan diriku kalau namaku Jingga Buana. Mereka tidak percaya, setelah aku menyebutkan nama mereka satu persatu barulah mereka percaya padaku. Terutama Mba Wulan, dia yang dulu mendandaniku untuk pertama kali.
Aku menemui Ibu Fatimah dan beliau tersenyum senang. Aku menceritakan kenapa aku dulu tiba-tiba berhenti tanpa pemberitahuan. Termasuk masalah keluargaku. Aku percaya pada beliau.
Beliau akhirnya menerimaku untuk bekerja kembali. Aku bahkan disuruh langsung bekerja. Aku senang sekali akhirnya aku dapat mengumpulkan uang untuk biaya kuliahku.
Dan kini tidak terasa sudah satu bulan aku bekerja di sini dan meninggalkan rumah Om Langit. Aku merindukan mamah, papah, Kak Mentari, Kak Bintang juga Bulan. Satu orang yang paling aku rindukan tapi berusaha aku hilangkan yaitu Langit Biantara.
Hari ini aku libur kerja, aku berniat untuk main ke rumah Om Langit. Wangi kue memenuhi ruangan kamarku. Tak enak rasanya berkunjung tanpa membawa buah tangan, karena itu aku membuat kue brownis kukus dan bolu kukus.
Kue sudah jadi, sekarang aku akan mandi dan bersiap-siap berangkat.
...***...
Aku sampai di depan rumah keluarga Biantara. Aku melangkah masuk ke dalam gerbang. Abang satpam sudah mengenalku jadi dia membukakan gerbangnya untukku.
Aku berjalan terus ke dalam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaukumsalam. Jingga! Sini masuk.” Mamah menyambutku. Aku mencium tangannya dan kami duduk di ruang keluarga
.
“Kamu ke mana saja? Tidak pernah main ke sini, apa kabarmu?” Mamah bertanya.
“Alhamdulillah Mah baik, Mamah apa kabar?”
“Alhamdulillah Mamah dan yang lainnya baik, tapi rumah sekarang sepi, gak ada kamu.”
“Maaf, Mah Jingga tidak pernah main ke sini. Jingga sekarang sudah bekerja di restoran full time. Sekarang Jingga lagi libur.”
“Kamu memangnya libur sebulan sekali doang?”
“Gak sih Mah, seminggu sekali dapat libur tapi Jingga gantiin teman. Lumayan Mah buat nambah-nambah tabungan.”
“Kamu itu buat apa sih bekerja keras? Biarkan Papah atau Langit yang membayar biaya kuliah kamu.
“Terima kasih banyak Mah, tapi aku tidak mau menjadi beban orang lain. Ngomong-ngomong ini pada ke mana?”
“Lagi pada keluar ada acara masing-masing.”
“Oh iya, Mah. Nih Jingga bawa kue. Ini bikinan Jingga sendiri semoga Mamah dan yang lainnya suka.”
“Wah, makasih banyak, seharusnya kamu gak usah repot-repot loh, tapi Mamah suka kamu bawain kue. Makasih.” Mamah pergi ke dapur.
Aku tersenyum dan melihat ke sekeliling, tidak ada perubahan di dalam rumah ini. Tak lama Mamah kembali lagi seraya membawa potongan kue yang ku buat di atas piring.
“Enak loh Jingga kue buatanmu. Mamah tadi sudah icip satu potong.”
“Makasih, Mah.”
“Kamu suka olah raga kan,”
“Jarang Mah.”
“Aduh Jingga, kamu tuh harus ingat. Kamu tidak boleh gemuk, atau kaki kamu akan sakit.”
“Iya Mah.”
“Eh, sudah jam setengah sebelas aja, kita masak yuk! Mamah udah kangen masak sama kamu kaya dulu.”
“Ayo, Jingga juga kangen.” Kami lalu pergi ke dapur dan mulai memasak. Mamah menceritakan banyak hal yang terjadi selama sebulan ini. Bagaimana sibuknya Langit sampai tidak sempat makan siang, dan selalu pulang malam.
Ah ... mamah, kenapa menceritakan Langit?” Aku ingin melupakan Om Langit. Pukul setengah dua belas, masakan sudah selesai. Kami menatanya di meja.
“Jingga, boleh Mamah minta tolong padamu?”
“Pasti boleh, Mah. Mamah mau minta tolong apa?”
“Antarkan makan siang untuk Langit, bisa?” Aku terdiam, kalau menolak tidak enak, lagi pula cuma mengantar, aku titipkan saja pada sektetarisnya.
“Bisa, Mah.” Mamah tersenyum lebar.
“Makasih sayang, sebentar ya, Mamah akan siapkan dulu. Sambil nunggu Mamah kamu makan saja dulu.” Aku hanya mengangguk dan menunggu Mamah menyiapkan bekal makan untuk om Langit. Aku tidak mungkin makan duluan sedangkan tuan rumah belum menyentuh makanannya.
“Jingga kok gak makan?” Mamah bertanya karena melihatku belum makan.
“Nanti saja Mah, Jingga belum mau makan.”
“Oh, kamu makannya nanti saja bareng sama Langit, Mamah bawain banyak kok. Kalian makan berdua, ya.” Mamah meletakkan bekal makan itu di atas meja.
“Iya Mah. Jingga berangkat dulu, nanti keburu lapar om Langitnya.” Aku mengambil bekal itu dan pamit pada Mamah tidak lupa mencium tangannya.
Perjalanan dari rumah ke kamtor om Langit, lumayan jauh. Menghabiskan waktu 45 menit.
Sesampainya di kantor aku langsung masuk. Sebagian dari mereka sudah tahu siapa aku. Mamah dulu sering menyuruhku mengantarkan makanan untuk om Langit.
Begitu sampai di depan ruangannya aku tidak melihat sekretaris om Langit. Mungkin dia sedang makan siang. Terpaksa aku menyerahkan makanan ini sendiri pada om Langit.
Aku ingin mengetuk pintu ruangannya, tapi aku melihat pintunya sedikit terbuka, aku urungkan niat mengetuk pintu dan membukanya agak lebar. Baru ku buka sedikit, aku melihat om Langit sedang berciuman mesra dengan sekretarisnya, sungguh hatiku langsung berdenyut sakit, inilah kenapa aku harus melupakannya, om Langit tidak mencintaiku dia bahkan tidak pernah mencintai siapa pun.
Bagi om Langit kaum wanita hanya dianggap sebagai pemuas nafsu saja. Karena itu, dia tidak mau terikat atau berkomitmen.
Dia bisa bermesraan dengan siapa saja, aku sering melihatnya berciuman dengan wanita yang berbeda.
Aku tidak ingin mengganggu kemesraannya. Aku mundur dan menutup kembali pintu itu perlahan. Lalu aku letakkan bekal makan di atas meja sekretarisnya.
Aku sematkan kertas bertulisan untuk om Langit di atas bekal itu.
Aku lalu pergi meninggalkan tempat itu. Tempat yang menyadarkan aku agar tidak berharap pada cintanya dan menghapuskan perasaanku.
Aku jatuh cinta baru pertama kali tapi mengapa cinta itu menyakitkan.
Aku keluar dari lift. Tanpa sengaja aku menabrak seseorang.
“Maaf, saya tidak sengaja,” ucapku padanya sambil menunduk.
“Tidak apa-apa, saya juga salah berjalan sambil main ponsel.”
Suara itu aku mengenalnya, aku ingat sekali suara itu adalah suara orang yang 19 tahun lebih membesarkan aku tapi kini dia melupakan aku dan tidak menyayangiku lagi. Hatiku sakit mengingatnya. Jantungku berdebar kencang aku takut dia mengenaliku.
“Anda tidak apa-apa Nona?” Suaranya begitu lembut. Dia tidak pernah bicara selembut itu padaku.
Perlahan aku angkat wajahku. Benar dia adalah Ayahku. Aku merindukannya, tapi aku kuga takut dengannya. Bukan kenangan indah yang ku ingat bersamanya tapi kenangan buruk di saat dia menyiksa dan menyambukku.
Tanganku sampai gemetar mengingat memori kelam itu. Aku mencengkeram sisi bajuku dan mengepalkan tanganku dengan kencang.
Ayah menatapku. Apakah dia mengenaliku?
“Nona Anda baik-baik saja? Aku mendengar suara lain. Suara yang ku benci. Aku alihkan netraku melihat ke samping ayah. Ada kakak tiriku, dia tersenyum genit.
“Khm ... aku baik-baik saja terima kasih.” Aku lantas bergegas melangkah pergi.
“Wanita itu sangat cantik.” Aku masih dapat mendengar ucapannya. Syukurlah mereka tidak mengenaliku.
Aku langsung pergi pulang ke rumahku. Sampai rumah aku menelepon Mamah dan mengatakan kalau bekal makannya sudah aku berikan pada om Langit.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
MandaNya Boy Arbeto❤️
cih..org2 sampah😏
2022-04-26
0
Mel Rezki
absen kedua🥰😍.
lanjut Kak 💪
2022-03-13
0
OBES20
absen 1.......😂😂😂
2022-03-13
0