Penampilan Baru Jingga

Happy reading.

Langit Pov.

Aku membawa Jingga pulang ke rumah, orang tuaku juga sudah setuju.

Mereka sabar menjaga Jingga selama di rumah sakit, walau Jingga tidak pernah bicara. Sepertinya dia mengalami sesuatu yang mengguncang jiwanya.

Jingga belum pernah bertemu dengan Kakak dan adikku.

Kakakku bernama Mentari berumur 30 tahun, dan sudah menikah juga punya anak berumur 4 tahun, namanya Bulan.

Namun sayang, kakakku sudah bercerai. Suaminya suka bermain tangan dan selingkuh.

Aku sudah beri dia pelajaran, lalu menuntutnya dengan kasus KDRT.

Adikku bernama Bintang umurnya 22 tahun. Dia gadis yang ceria dan tomboy.

"Jingga, sekarang kamu beristirahat di sini. Tante tinggal dulu ya." Mamah terus mengajaknya bicara walau tidak pernah ada sautan dari Jingga.

Dia hanya diam dan mengangguk, tapi sekarang ada kemajuan dia mau tersenyum.

"Langit, ayo kita keluar! Biar Jingga bisa istirahat," Ajak Mamah. Kami keluar dari kamar Jingga.

"Tante, terima kasih." Kami sontak berhenti dan berbalik melihat Jingga, akhirnya kami mendengar suaranya untuk pertama kali.

"Sama-sama, sayang." Mamah tersenyum dan membalas ucapan Jingga.

Lalu kami melanjutkan langkah kami.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," Jawab aku dan Mamah.

Datang Adikku, dari mana dia?

"Kamu dari mana Bin?"

"Habis jalan pagi Kak, eh malah ketemu temen jadi ngobrol sampai lupa waktu."

"Kak Tari, mana?" tanyaku.

"Gak tahu! Aku kan baru datang?" Iya juga sih, kenapa aku tanyain dia, kan Bintang baru datang.

"Dia gak ikut kamu jogging?"

"Gak, Kak!"

Kami duduk di ruang keluarga, bersama Mamah dan Papah.

"Bin, temani Mamah buat kue yuk!"

"Ayo! Sekarang? Tapi Bintang mandi dulu, ya!"

"Mamah, ingat! Jingga harus diet. Biar dia bisa cepat jalan," Aku mengingatkan Mamah.

"Oh iya, mamah lupa! Sebentar, tadi Mamah di kasih daftar makanan dan aturan diet untuk Jingga." Senja ke kamar mengambil kertas yang di berikan oleh ahli gizi.

"Jingga? Siapa?" tanya Bintang.

"Itulah orang yang Kakak kamu tabrak!" Papah yang menjawab.

"Oh, jadi namanya Jingga. Dia di sini sekarang?"

"Iya, tuh di kamar tamu!"

"Bintang mau lihat dulu ya."

"Eh ... jangan." Percuma saja aku melarang, karena Bintang sudah lari ke kamar tamu.

"Langit, apa kamu sudah ketemu keluarganya?" tanya Papah.

"Belum, Pah. Aku udah tanya Jingga, tapi dia tidak mau bicara."

"Mungkin, ini ada hubungannya dengan luka-luka dia."

"Apa papah pikir, dia di siksa oleh keluarganya?"

"Ya, Papah pikir demikian."

"Jahat sekali!"

"Siapa? Papah?"

"Bukan! Keluarganya Jingga."

"Oh ...."

"Dia butuh dukungan kita semua, kamu harus sabar menghadapi Jingga, karena bukan hanya fisiknya yang terluka tapi juga hatinya. Maklumi jika dia agak tertutup."

"Iya, Pah."

"Tapi Lang, tumben kamu perhatian sama perempuan."

"Ya, ini kan karena salah Langit Pah. Jadi Langit harus bertanggung jawab terhadap Jingga."

"Oh ...!" Papah kemudian tersenyum.

"Tapi Lang, jangan-jangan dia jodoh kamu? Namanya aja Langit Jingga, cocok! Seperti Papah, Angkasa Senja." Aku geleng-geleng kepala mendengarnya. Papah ini ada-ada aja.

"Gak lah Pah, jauh banget. Aku gak mikirin jodoh. Apalagi sama cewek gendut."

"Hus, gak boleh ngomong gitu kamu! Nanti, kalian jadi jodoh!" Ih amit-amit.

"Udah ah, Papah lama-lama ngeselin!" Aku pun pergi ke kamar di lantai dua.

Ketika akan naik tangga, aku melewati kamar tamu yang di tempati oleh Jingga.

Kebetulan pintu kamar sedikit terbuka. Dia melihat Bintang dan Jingga sedang mengobrol.

"Kamu memang hebat Bin, bisa membuat Jingga bicara," Aku lalu pergi ke kamarku.

...***...

Dua hari sudah berlalu. Jingga sudah mulai terbuka pada kami.

Aku sekarang sedang berada di club malam. Sudah berapa hari aku tidak ke sini.

"Hai, bro. Kemana aja?"

"Aku sibuk! Mengurus orang yang ku tabrak."

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Sudah lebih baik. Tapi aku tetap harus mengurusnya sampai dia bisa jalan kembali."

"Awas! Nanti jatuh cinta lo sama dia."

"Hahaha ... Sesuatu yang impossible, kalaupun jatuh cinta gue pilih-pilih man. Masa iya sama cewek yang gue gak kenal. Udah gitu gendut, kucel lagi."

"Iya juga sih, cewek sexy aja lo tolak!"

"Nah, itu lo paham!"

"Lo cuma jadiin cewek pemuas nafsu lo doang, tapi lo masih perjaka. Perjaka yang pengalaman. Hahaha ...." Dia malah tertawa. Kurang ajar banget teman ku ini.

Tapi apa yang di katakan teman ku benar. Aku memang cuma jadiin cewek pemuas nafsu saja. Aku tidak pernah mengajak mereka pacaran. Aku juga belum pernah sampai melakukan hubungan intim, hanya sebatas make out saja.

Seorang wanita cantik dan sexy menghampiri kami. Dia lalu duduk di pangkuanku dan memagut bibirku.

Setelah beberapa menit dia melepaskan pagutannya.

"Babe, ke kamar yuk!"

Wanita itu mengajak ke kamar aku menurutinya. Hiburan sebentar sebelum aku pulang.

Setelah aku puas, aku pulang. Kali ini aku tidak mabuk.

Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam, saat aku sampai di rumah.

Aku melihat seseorang sedang berjalan pincang memakai kurk.

"Jingga! Mau apa dia?" tanyaku pada diri sendiri.

Dia menuju ke dapur, mungkin dia haus. Aku mengikutinya dari belakang.

Ck ... lihat saja penampilannnya, rambut berantakan seperti singa, muka tembam gak ada cantik-cantiknya. Baju model old fashion begitu, Body gak ada sexy nya sama sekali. Apa yang mau bikin aku jatuh cinta.

Jingga sepertinya kesulitan berjalan, untung itu kurk gak patah, di pakai buat nopang badan dia yang gede.

GUBRAK

Aku menganga tak percaya, baru aja aku puji kurk nya, eh malah patah, Jingga terjatuh.

"Astagfirullah, kamu tuh ngapain, sih? Jadi jatuh kan! Harusnya kalau mau apa-apa panggil aja yang lain!" Aku menegurnya bukannya aku marah tapi bahaya kalau dia jatuh terus lutut yang baru sembuh dislokasi lagi bagaimana?

"Maaf, hiks ... hiks ... aku cuma gak mau ngerepotin."

Jingga menangis? Apakah aku terlalu keras padanya. Aku tidak bermaksud melukai hatinya.

"Apa ada yang sakit?" tanyaku. Mungkin saja dia menangis karena merasaka sakit kakinya.

Dia mengangguk.

"Di mana?"

"Di sini." Tunjuknya pada dadanya. Aku tahu maksud Jingga hatinya tapi aku jadi salah fokus pada yang lain. Aku baru sadar kalau pakaian Jingga berkerah rendah, sehingga menampakkan sebagian gunung kembarnya. Aku meneguk ludah, kenapa terlihat sangat sexy?

"Aku tidak berguna, aku ingin mati saja. Aku lelah! Hiks ... hiks."

Jingga menangis putus asa. Aku kasihan melihatnya. Papah benar hatinya sudah penuh luka. Dia bahkan menyerah pada hidupnya. Aku harus bisa memberinya semangat agar dia cepat sembuh.

"Ayo, aku bantu kamu bangun!"

"Aku berat, kamu tidak akan sanggup!"

Aku dorong dahinya dengan telunjukku.

"Kemarin, aku bisa membawamu ke kursi roda!"

"Itukan dari kasur, dan mobil. Ini dari bawah, pasti lebih susah."

"Sebentar aku ambil kursi rodanya dulu!" Aku berlari ke kamar jingga lalu tak lama kembali lagi sambil mendorong kursi roda. Aku kunci rodanya.

"Ayo bangun. Peluk leherku." Aku berjongkok di hadapannya lalu menyuruh Jingga memeluk leher ku, Jingga menurutinya. Lalu aku mengangkatnya dengan memegang ketiak seperti akan menggendong anak kecil.

Aku berusaha sekuat tenaga agar Jingga bisa bangun. Setelah dia bisa berdiri, aku beralih memegang pinggangnya.

"Mundur pelan-pelan." Jingga mundur dan aku baru menyadari posisi ini sangat berbahaya untukku. Bayangkan wajahku tepat berada di depan wajahnya.

Kalau dilihat dari dekat Jingga ternyata cantik juga. Atau karena lampunya redup. Bulu matanya lentik, hidung mancung, alis tebal dan berbentuk, bibir bawahnya tebal dan ada belah tengah. Wajah yang sempurna. Jingga hanya tak bisa merawat wajahnya dengan baik. Sehingga kecantikannya tertutupi oleh jerawat.

Kenapa aku jadi memperhatikan wajahnya. Setelah sampai di depan kursi roda, aku mendudukkannya perlahan. Jingga pelan-pelan menurunkan bokongnya hingga terduduk di kursi roda dengan tangan tetap berada di leherku.

Sekarang netraku dapat melihat gunung kembar itu. Karena aku menunduk. Oh Tuhan, Jingga kau membuat ku tergoda. Aku menutup mata agar tidak melihatnya, tapi justru terbayang olehku.

"Sudah! Sekarang aku antar kau ke kamar dan jangan pernah lagi keluar kamar sendiri. Merepotkan saja!" Aku berkata dengan nada agak tinggi.

Jingga hanya diam tak berkata apapun, sekilas aku dapat melihat wajahnya dia seperti salah tingkah.

Jingga sudah di kamar dan aku memindahkannya ke tempat tidur. Kali ini aku menutup mata tak mau melihatnya lagi.

"Aku akan mengambil air untukmu." Aku mengambilkannya air minum ke dapur.

...***...

Satu minggu sudah terlewati, Jingga sudah turun beratnya walau hanya 2 kg.

Dokter menyuruh Jingga untuk bersepeda. Papah sampai membeli sepeda fitness untuk di kamar Jingga, agar Jingga berolahraga.

Hari ini aku akan mengawasinya. Dia malas sekali kalau tidak di awasi.

"Ayo Jingga! Kenapa berhenti? baru sepuluh menit!"

"Aku cape Om!"

"Kamu mau sembuh gak? Kamu mau jalan lagi kan!"

"Iya Om." Jingga kembali mengayuh sepeda fitnessnya. Keringat bercucuran kaosnya sampai basah.

Pikiranku terpusat pada satu hal. Kenapa aku jadi mesum setiap melihatnya?

"Om, udah ya. Aku gak kuat!"

"Hah, iya udah. Bisa gak kamu jangan panggil saya Om."

"Hah ... hah ... kenapa?" Nafas Jingga terengah dan itu terdengar sexy. Ya Allah semenjak kejadian di dapur itu membuatku selalu berpikiran mesum tentang Jingga. Aku sepertinya harus mencari pengalihan.

"Aku belum tua ya. Umurku baru 27 tahun."

"Aku 19 tahun Om, berarti Om lebih tua dariku."

"Tapi kau tidak terlihat seperti gadis 19 tahun. Kau tinggi besar."

"Ya, tubuhku memang besar, Om?"

"Sudahlah, kalau kau sudah lelah istirahatlah. Aku akan keluar." Aku keluar dari kamar Jingga.

...***...

Jingga rutin latihan dan diet. Mamah mengatur dietnya dengan baik. Papah memanggil pelatih fitness profesional.

Tak terasa sudah 6 minggu Jingga berada di rumah ini. Berat badan Jingga sudah banyak penurunan. Sekarang beratnya hanya 60 kg.

Jingga tidak hanya bersepeda di kamar tapi juga bersepeda keluar bersama Bintang. Aku akan ikut kalau hari minggu. Jingga menjadi cantik dan langsing, sekarang kulitnya kencang, tubuhnya berlekuk dan sexy, besar di bagian tertentu sangat proposional.

Kak Mentari mengajarinya berdandan, Bintang menjadi penata fashion Jingga. Sekarang mereka sedang pergi keluar. Aku di rumah bersama Mamah. Kami sedang menonton televisi.

"Langit, sekarang Jingga sudah banyak berubah. Mamah senang melihatnya. Dia juga lebih ceria dan wajahnya bercahaya, seperti bidadari. Bener gak?"

"Iya, Mah. Juga sexy."

"Hah ... apa?"

Aduh, aku kelepasan. "Terasi Mah ... Terasi."

" Apa sih Lang, Gaje deh kamu! Apa hubungannya sama terasi?"

Untunglah Mamah tidak mendengarnya.

"Assalamu'alaikum." Mereka sudah pulang. Masuklah Jingga. Aku terpesona melihatnya. Rambutnya di layer sangat cantik sekali. Wajahnya sekarang sudah bebas jerawat, karena Kak Mentari memberinya obat dan cream lain yang harus di pakai Jingga setiap malam.

"Mingkem Kak! Salamku belum di jawab, malah terpesona sama Jingga," ledek adikku Bintang.

Bikin malu saja. Dasar adik gak ada akhlak.

Aku hanya melirik Bintang dan pergi ke kamarku.

...----------------...

Terpopuler

Comments

wiwit

wiwit

baguuss 👍👍

2022-03-10

0

EuRo

EuRo

terima kasih

2022-03-05

0

OBES20

OBES20

lanjut...👍👍👍👍👍👍

2022-03-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!