Kinar sedang menunggu taksi dengan perasaan dongkol hari itu. Sudah cukup hari ini emosinya teraduk-aduk. Kinar mengusap perutnya yang mulai tampak membuncit di balik seragam perawatnya. Buncit itu tak tampak begitu kentara, tapi jika dipegang akan terasa tonjolannya.
Kinar mengenali mobil sedan hitam yang berhenti di depan halte tempatnya duduk. Ia memperhatikan hingga kaca mobil bagian penumpang diturunkan, dan Dokter Radit mengendikkan dagu memintanya masuk. Kinar segera menurutinya masuk ke dalam mobil, dan mobil itu pun melaju.
Diperjalanan, saat mobil mereka sudah mulai memasuki konflek apartemen Dokter Radit, netra Kinar tak sengaja terarah pada pohon mangga yang tumbuh di depan rumah megah di ujung jalan. Kontan saja, liur Kinar terasa ingin menetas, dan ia meneguk ludah membayangkan dapat merasakan rasa asam dari mangga muda itu di mulutnya.
"Mas!" panggil Kinar pada Dokter Radit yang fokus menyetir.
Dokter Radit menoleh, berdehem singkat menjawab panggilan Kinar.
"Boleh mintain mangga muda yang ada di ujung jalan situ, gak?" ucap Kinar menunjuk rumah yang sudah mereka lewati tadi.
"Mangga muda?" tanya Dokter Radit dengan bingung.
"Iya. Pengen ngerujak," jawab Kinar dengan netra menatap memohon pada Dokter Radit yang mulai memelankan laju mobilnya. Lalu menghentikan kendaraan roda empat itu di pinggir jalan.
"Itu asam. Tidak baik untuk lambung," ucap Dokter Radit datar.
Tidak tahu saja lelaki itu jika perempuan di sampingnya itu sedang dalam fase mengidam.
"Tapi aku pengen, Mas. Kalau gak mau juga aku bisa minta sendiri, Mas tunggu saja di mobil," ucap Kinar kesal, hendak membuka pintu mobil bagian penumpang.
"Tetap di mobil! Biar saya yang mintaiin," ujar Dokter Radit menahan lengan Kinar.
Kinar mengangguk senang. Setelah itu Radit keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah pemilik pohon mangga. Dalam diam lelaki itu menggeleng, masa malam-malam gini minta mangga sama orang. Benar-benar merepotkan tuan rumah saja, Radit sungguh tak enak sebenarnya ketika mengetuk pintu rumah pemilik pohon mangga itu lalu mengutarakan keperluannya. Untungnya sang ibu begitu ramah, dan meminta anak lelakinya untuk mengambilkan 3 buah mangga dengan galah.
Radit kembali ke mobil setelah mendapatkan mangganya. Ia memberikan kantong kresek hitam yang di dalam nya ada mangga pada Kinar yang sudah menanti penasaran.
"Banyak banget, Mas? Satu aja cukup seharusnya," ucap Kinar begitu membuka kantong kresek itu dan mendapati 3 buah mangga segar itu.
"Disimpen saja sisanya, nanti kalau kamu mau makan lagi gak minta terus," ujar Dokter Radit sambil menstarter mobil dan kembali menjalankan kendaraan itu.
"Terima kasih, Mas. Ayo pulang aku gak sabar mau nyicipnya!" Kinar tersenyum cerah. Tak sabar ingin segera merasakan mangga segar ini di mulutnya. Membayangkannya saja sudah membuat liur Kinar ingin menetes rasanya.
Begitu mereka sampai di apartemen, Kinar bergegas meletakkan mangganya di dapur. Tingkah kelewat antusias Kinar itu diperhatikan Dokter Radit.
"Mandi dulu sana!" ujar Dokter Radit melihat Kinar yang hendak mengupas buah mangga itu.
Kinar tampak memberengut kesal, tapi menurut juga dan beranjak ke kamar untuk membersihkan diri. Sedang, Dokter Radit menyiapkan dua bungkus nasi yang mereka beli tadi di jalan selagi menunggu Kinar mandi. Sepuluh menit kemudian, Kinar sudah berganti pakaian dengan celana training hitam, dan baju kaos longgarnya. Penampilan santai itu membuat Kinar tampak segar.
"Tunggu saya. Nanti makan manggamu itu, setelah makan nasi boleh makan mangga itu!" pesan Radit sebelum ia beranjak ke kamar mereka untuk membersihkan diri juga.
Kinar mengangguk saja. Selagi menunggu Dokter Radit mandi, Kinar menyiapkan cabe rawit dan gula merah lalu menguleknya, untuk cocolan mangganya. Ah, Kinar jadi meneguk ludah tak sabaran. Tapi ia harus menunggu setelah makan malam baru boleh memakan mangganya.
Setelah menunggu tak sampai sepuluh menit, Dokter Radit bergabung bersama Kinar yang sudah duduk tak sabar menghadap nasi yang sudah dibuka bungkusnya. Keduanya menikmati makan malam dengan hening.
Radit menoleh dengan kening berkerut melihat Kinar menggeser nasinya yang tersisa masih begitu banyak ke hadapannya.
"Habisin ya, Mas!" ucap Kinar dengan mata mengerjap polos pada Radit yang netranya menajam menatap perempuan itu.
"Kenapa tidak dihabiskan? Nasinya gak enak?" tanya Dokter Radit datar.
Kinar menggeleng, "tadi sore habis makan soto di kantin rumah sakit sama Suster Lina. Jadi, udah agak kenyangan."
Radit tak memaksa lagi. Ia bantu habiskan nasi sisa Kinar, sesekali meringis kecut melihat Kinar yang makan mangga muda tanpa berkedip. Perempuan hamil dan ngidamnya membuat Radit ngeri.
"Mau, Mas?" tanya Kinar pada Radit yang memperhatikannya.
Dokter Radit menggeleng. Membereskan sisa makan mereka, dan mencuci piring kotornya. Sedang, Kinar masih menikmati mangganya. Satu buah mangga berukuran cukup besar itu hampir ia habiskan malam itu, jika saja Dokter Radit tidak mengingatkannya tentang kesehatan perutnya. Dengan terpaksa, Kinar mengakhiri sesi merujaknya, dan memilih menonton di ruang tamu apartemen.
Radit sendiri tampak sibuk dengan laptop di pangkuannya. Lelaki itu duduk di sofa lainnya. Sesekali melirik Kinar yang tampak menguap, dengan netra masih mengarah pada layar lebar televisi.
Jarum jam menunjukkan angka setengah 11 malam ketika Radit selesai dengan pekerjaannya. Ia mengecek statistik HP company--rumah sakit keluarga mereka. Mengecek sistem, dan jam kerja karyawan.
Radit menoleh ke arah sofa yang ditempati Kinar. Lelaki itu menggeleng melihat perempuan itu tertidur dengan memeluk bantal sofa dipelukannya, kepala Kinar bersandar tertunduk di bantal yang ia peluk. Setelah membereskan laptopnya, Radit memindahkan Kinar ke kamar mereka. Menyelimutibperempuan itu, barulah setelahnya ia kembali ke luar dari kamar.
Dokter Radit membuka pintu di ujung ruangan, yang ternyata itu adalah pintu ruang kerjanya. Lelaki itu duduk di kursi hitam itu. Menatap bingkai foto kecil yang terletak di atas meja kerjanya. Fotonya bersama seorang perempuan bepakaian yang sama mereka gunakan. Baju sarjana dan toga di atas kepala. Senyum mereka tampak bahagia di foto itu, dan ingatan Radit mau tak mau mengulang kilas balik kenangan indah mereka.
"Semua sudah berakhir, Rin! Tidak seharusnya aku masih menyimpan kenangan kita, di saat kamu begitu tega meninggalkan aku di hari pernikahan kita," gumam lelaki itu, mengambil bingkai foto itu, melepaskan fotonya, dan menyobek kertas foto dengan tatapan datar.
"Saya siap membuka hati untuk kamu, Suster Kinar!"
Senyum samar terkembang tipis di bibir lelaki itu, mengingat wajah ayu istri sirinya. Wajah jujur dan polos perempuan itu terbayang begitu saja membuat senyum semakin lebar terkembang di bibir Dokter Radit. Tanpa menyadari perasaannya, lelaki itu sudah mulai menjatuhkan pilihannya.
...Bersambung.... ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
harus sportif Radit udh mau jadi pp
2024-04-21
0
Bunda Aish
gitu dong pak dok
2024-01-07
0
Devi Handayani
naahh gitu dong baru gentleman pak dokter 👍🏻👍🏻😍😍😍😍😍
2023-07-06
0