Wajah Dokter Radit begitu dingin dan tak bersahabat sama sekali pagi ini. Ada-ada saja hal yang dikomentarinya. Seperti jika petugas kebersihan itu kurang bersih menyapu, ia tegur dengan begitu pedasnya.
Sedangkan, Kinar tampak sedikit santai di jam 11 siang sambil menunggu mengantarkan makan siang kepada para pasien. Ia duduk di bangku taman bersama rekannya, Suster Lina.
"Dokter Radit kayaknya lagi badmood banget ya, Kin? Auranya beda banget, biasanya kan wajahnya aja yang datar, ini sikapnya ditambah dingin juga. Tadi ada suster yang ngegosipin terus ditegur sama Dokter Radit. Beuh, ngeri Kin!" bisik Suster Lina pada Kinar yang sedang merajut.
"Orangnya kan memang gitu, Sus! Lagi mikirin hutang kali," sahut Kinar acuh. Masih fokus dengan kegiatannya.
"Hush! Nanti kalau ada yang dengar terus laporin ucapan kamu tadi ke Dokter Radit gimana?" bisik Suster Lina lagi.
"Ups! Aduh, semoga saja gak ada yang dengar deh!" ucap Kinar menutup mulutnya, sambik menengok kanan kiri takut ada yang memperhatikan mereka.
Dokter Radit tampak dingin di ruang operasi bersama Dokter Ardi, dan dua rekan Dokter wanita paruh baya.
"Jahit yang benar, Dokter Ardi!" ucap Radit dingin, menatap tajam sekilas pada rekannya.
"Ya, Dok!" sahut Dokter Ardi yang kurang fokus.
Dokter Radit tampak mendengus singkat.
"Anda jadi tidak fokus karena efek jatuh cinta!" ejek Dokter Radit. Dengan tangan masih terus bekerja.
"Hah?" Dokter Ardi menghentikan kegiatannya sejenak. Menatap Dokter Radit bingung.
"Lupakan! Fokus saja pada kegiatanmu!" balas Dokter Radit acuh.
...........
Radit baru saja operasi, dan hendak ke ruangannya ketika seseorang memanggilnya.
"Dokter Radit!" panggil suara yang Radit kenali itu. Ia membalik tubuh, dan mendapati Dokter perempuan di depannya.
"Hem!" sahutnya, dengan tangan tersembunyi di kantong celana bahannya.
"Bisa kita bicara?" tanya perempuan bersneli dokter itu ragu.
Radit tampak terdiam beberapa saat. Menimbang apa ia akan menerima ajakan itu atau tidak. Pada akhirnya ia pun mengangguk masih dengan wajah datar.
"Baiklah, mari kita cari tempat mengobrol yang nyaman!" ajak perempuan itu berjalan lebih dulu, diikuti Radit di belakangnya.
Keduanya memilih taman rumah sakit, tempat yang agak lengang di jam makan siang ini. Karena semua orang mungkin sedang menikmati makan siang. Mereka memilih bangku di bawah pohon mangga. Keduanya masih tampak hening, belum ada yang memulai obrolan.
"Maaf!" ucap sang perempuan menunduk.
"Maaf, atas kejadian dua tahun lalu! Maaf karena sudah meninggalkanmu di hari pernikahan kita," lanjutnya lirih. Tak berani mengangkat pandangan pada Dokter Radit yang masih tanpa ekspresi menatap ke depan.
Perempuan itu mengangkat pandangan karena tak ada sahutan dari lawan bicaranya. Ia hendak kembali bicara, tapi Radit sudah menyahut
"Sudah saya maafkan sejak lama," ucap lelaki itu datar tanpa menoleh pada perempuan di sampingnya.
"Tapi kamu masih tampak marah dan... Bersikap lebih dingin," ucap perempuan itu lagi, menilik ekspresi Radit yang masih menunjukkan wajah datar.
"Hahaha! Lucu kamu. Kamu kira hal lalu bisa cepat saya lupakan? Saya sudah memaafkan, tapi tidak mampu untuk melupakan hari itu," sahut Radit dengan tawa menyindir.
Perempuan itu kembali diserang perasaan bersalah. Ia memilin jemari di pangkuannya resah.
"Aku menyesal, Dit! Seharusnya aku tetap di sisimu, dan mungkin kita sudah punya satu orang anak."
Ucapan itu kontan saja membuat Dokter Radit menoleh pada perempuan di samping, kali ini ekspresi datar itu diganti dengan wajah sedikit lebih bersahabat.
"Jangan menyesali keputusan yang kamu ambil sendiri, Dokter Ririn! Terimalah dan jadikan pengalaman untuk ke depannya," ucap Dokter Radit bijak.
Lalu hening kembali terjadi di antara keduanya. Dokter Ririn tampak berani menggenggam jemari tangan kanan Radit yang berada di sisi tubuh lelaki itu.
"Apa masih ada kesempatan untuk aku memulai kembali, Dit?" tanyanya dengan tatapan penuh harap.
Radit melepaskan tangan perempuan itu yang menggenggam jemarinya.
"Sudah tidak ada kesempatan lain lagi, Dokter Ririn!" ucapnya kembali datar.
"Kumohon, Dit! Aku masih mencintai kamu!" ucap Dokter Ririn dengan mata yang berkaca-kaca.
"Heh, omong kosong, Dokter! Sudah cukup mengobrolnya. Saya ada operasi sebentar lagi, saya duluan!"
Radit segera berlalu meninggalkan Dokter Ririn yang tergugu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Bahu itu berguncang karena tangis. Namun, Radit tak peduli lagi. Dulu, mungkin ia akan dengan senang hati menenangkan tangis itu, tapi sekarang tak lagi. Semua tekah berubah dan tak ada lagi perasaan itu untuk orang yang telah mengkhianatinya.
...*****...
Radit berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Berjalan untuk menuju ruangannya. Ia tak pernah makan di kantin rumah sakit. Ia akan memesan pada layanan pesan antar dan memakannya di ruangannya.
Netranya menatap punggung seorang suster yang ia kenali. Langkah suster itu tampak tak fokus, dan beberapa kali menabrak kaki bangku besi.
Radit berjalan cepat, menahan pinggang sang suster yang hendak terjungkal ke depan itu.
"Berhenti melamun, Suster Kinar! Perhatikan langkahmu!" ucap Radit sedikit berteriak. Nada kecemasan itu tampak terselip di ucapannya.
Suster Kinar yang masih terkejut hanya diam. Tingkah dua orang itu sempat dilirik oleh beberapa orang yang melintas.
Radit melepaskan tangannya yang memeluk pinggang Kinar. Sedangkan, Kinar segera bergerak salah tingkah.
Radit menggeleng samar, dan hendak berlalu melanjutkan langkahnya, tapi Kinar menghentikan langkah lelaki itu.
"Ehm, Dokter... Tunggu!" ucap Kinar berdiri di depan lelaki itu.
"Saya minta maaf!" lanjutnya lirih.
"Untuk apa?" tanya Radit datar menatap bingung pada perempuan yang tingginya hanya sebatus dagunya.
"Mungkin omongan saya semalam ada yang menyinggung dokter. Jadi, saya minta maaf jika hal demikian terjadi tanpa sadar," ujar Kinar mengangkat pandangan. Bertemu dengan manik setajam elang milik sang suami.
"Tak ada dari ucapanmu yang menyinggung saya, dan tak perlu ada yang dimaafkan karena kamu tak ada salah. Kecuali...." Radit menggantung kalimatnya. Tampak menoleh kanan-kiri, dan syukurnya koridor itu tampak sepi.
"Jangan sering-sering bergosip sama rekanmu itu! Satu lagi.... "
Radit mendekatkan wajahnya pada Suster Kinar, berbisik di telinga perempuan itu.
"Saya gak lagi mikirin hutang, Suster Kinar!" bisiknya, setelah itu menjauhkan wajah dan berlalu dari hadapan Kinar yang masih melongo dengan netra berkedip-kedip mencerna ucapan lelaki itu.
"Aduh, kok Dokter Radit tahu sih omonganku?" gumamnya menggigit kuku telunjuknya sambil berjalan sedikit tergesa. Sesekali menoleh pada punggung Radit yang sudah menghilang di balik pintu ruangan lelaki itu.
"Aish, malunya ampun!" gerutu Kinar menepuk-nepuk mulutnya sendiri dengan pelan.
"Kenapa, Suster Kinar?"
Suara itu membuat Kinar menghentikan langkah. Segera berhadapan dengan lelaki bersneli putih yang menatapnya dengan alis terangkat.
"Eh, Dokter! Gak kok. Gak ada apa-apa, hehe!" sahut Kinar menyengir.
Dokter itu mengangguk. Meneliti wajah Suster Kinar sejenak sebelum memutuskan berlalu.
"Duluan, Sus!" ucapnya, melempar senyum ramah, dan berlalu melewati Kinar yang hanya mengangguk tak enak.
"Ah, belum lagi kecanggungan dengan Dokter Ardi ini. Duh, pusing kepalaku!" gerutunya merutuki diri sendiri.
...Bersambung.......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
sedih campur gelisah kalau kaya gitu 🤫
2024-04-20
0
Rasmiah Rasmiah
jangan kmu kin. aku aja ikutan pusing tapi aku suka
2024-03-08
0
Dewi Nurmalasari
suka g sadar diri si radit
2024-01-07
0