"Kamu sudah 28 tahun, Radit! Mama juga sudah berumur, dan ingin segera menimang cucu dari kamu."
Radit menghela napas lelah. Selalu pembahasan ini yang diangkat jika ia pulang ke rumah orang tuanya. Itulah sebabnya ia lebih suka tinggal di apartemen. Ia pusing mendapat desakan untuk menikah dari mamanya. Sedangkan, trauma masa lalu masih selalu membayanginya.
"Nanti, Ma. Lagi pula jika aku tidak menikah, aku bisa adopsi anak," jawab Radit datar.
Sonia menggeleng tak habis pikir. Sedangkan, Ghifari hanya memperhatikan anak dan istrinya itu.
"Mama mau anak kandung, Radit. Bukan anak adopsi," ucap Sonia kesal.
"Tunggu saja ya, Ma. Nanti aku bawa anakku ke hadapan Mama."
Radit bangkit dari kursinya setelah menyekesaikan makan malamnya. Ah, ia mendadak pusing mendengar ucapan mamanya tadi.
...****...
Pagi ini Radit sudah rapi dan siap untuk ke rumah sakit. Langkahnya ringan menyusuri koridor rumah sakit yang tampak lenggang. Mungkin karena masih pagi. Ia masuk ke lift, dan menekan tombol 3 di mana ruangan nya berada.
Netra Radit tak sengaja menangkap sebuah kertas terlipat di lantai ketika ia keluar dari lift. Radit membuka lipatan kertas, dan sebuah kerutan di keningnya, disusul sunggingan tipis di bibirnya ketika membaca tulisn di kertas itu.
"Mas Radit!"
Radit yang melamun mengingat kejadian beberapa hari lalu pun tersadar. Ia menoleh pada Beni--asisten merangkap sopirnya. Setelah dua hari ia libur, hari ini ia kembali bekerja.
"Sudah sampai ya, Pak?" gumam Radit membuka pintu mobil.
"Mas Radit ngelamun aja dari tadi," ucap asistennya.
Radit mengendik acuh. Keluar dari mobil setelah berpesan pada asistennya untuk menjemputnya pulang nanti. Ia memang tak lagi mengendarai mobil sendirian sejak kejadian mengerikan 2 tahun silam. Ia tak ingin mengingatnya, nanti saja ia ceritan kisah itu.
...****...
Kinar berangkat ke rumah sakit setelah Radit. Karena lelaki itu tak ingin ada yang tahu mengenai pernikahan siri mereka. Ia diantar oleh Pak Beni. Di pikiran Kinar ia masih saja terus terbayang-bayang aktivitas panas malam pengantin mereka.
"Do--Dokter!"
Kinar menahan dada Radit. Napas keduanya memburu berkejaran.
"Ada apa?"
Radit menatap tajam karena ulahnya dihentikan.
"I-ini yang pertama untuk saya. Ja-jadi pelan-pelan saja," ucap Kinar terbata.
Radit masih berekspresi datar dan mengangguk.
"Baik. Dan tolong jangan panggil saya dokter. Kamu bisa panggil apapun tapi jangan memanggil saya dengan sebutan dokter."
Kinar mengangguk. Radit kembali melanjutkan kegiatannya.
"Mas!" rintih Kinar menahan suaranya ketika Radit memberikan sentuhan-sentuhan basah di lehernya.
"Kinar!"
"Astaga!"
Kinar terkaget mendapatkan tepukan di bahunya. Ia menoleh dan mendapati tatapan penuh tanya dari suster Lina.
"Wajah kamu merah! Kamu sakit?" tanya suster Lina cemas.
Kinar menggeleng cepat. Wajahnya memerah bukan karena sakit, tapi pikirannya yang melanglang buana lah yang membuat panas menjalari wajahnya.
"Gak. Saya gak sakit, sus. Emang agak panasan ruangannya," jawab Kinar ngasal.
"Aneh kamu. Ruang ber AC gini dibilang panas."
Suster Lina berlalu meninggalkan Kinar yang masih berdiri di depan pintu ruang mawar.
"Aduh! Aku kok mikirnya ke sana terus ih, kotor banget ini otak!" gerutu nya menggaruk kepala yang tak gatal.
..........
Kinar menoleh pada rombongan dokter yang ada di ujung koridor ruang UGD. Ia baru saja keluar dari mushola selesai melaksanakan sholat dzuhur. Di antara para dokter itu, ada Dokter Radit yang entah kebetulan saja tatapan mereka bertemu beberapa detik sebelum lelaki itu yang memutus kontak mata lebih dulu. Kinar menunduk kikuk. Ah, kenapa wajahnya terasa panas.
"Siang, suster Kinar!"
Kinar mengembangkan senyum tipis mendapatkan sapaan dari Dokter Ardi--dokter muda juga di rumah sakit ini selain Dokter Radit.
"Eh, siang dokter!" balas Kinar kikuk. Karena Radit, dan 3 dokter wanita yang sudah berusia paruh baya itu memperhatikan interaksinya dengan Dokter Ardi.
"Mau makan siang bareng?"
Kontan saja tawaran dari Dokter Ardi itu mendapat godaan dari 3 dokter wanita yang berdiri di sampingnya. Sedangkan, Radit masih berwajah datar.
Kinar menoleh pada Radit sepintas, dan kembali pada Dokter Ardi.
"Ehm, maaf Dokter. Saya sudah janji akan makan siang dengan suster Lina," jawab Kinar sepenuhnya jujur. Ia mana mungkin makan berduaan dengan lelaki lain di saat statusnya sudah istri orang, apalagi lelaki itu mengajaknya makan di hadapan suaminya sendiri. Meski status pernikahan mereka ini tidak kuat, Kinar harus menghargainya. Ia harus menjaga martabat nya sebagai seorang istri.
"Ah, sayang sekali. Ya, sudah kalau begitu kapan-kapan kita bisa makan bersama, kan?" Dokter Ardi tak menyerah.
Kinar hanya mengangguk saja sungkan. Radit berjalan lebih dulu diikuti 3 dokter wanita tadi dan Dokter Ardi yang mengembangkan senyum senang.
Kinar menatap punggung Radit yang telah menghilang di tikungan koridor.
"Mas Radit sudah makan belum, ya?" gumamnya.
Kinar selalu membawa bekal jika ia shift pagi. Ia akan makan menemani suster Lina di kantin dan memakan bekalnya sendiri yang ia masak dari rumah. Kebiasaannya itu tak ia hilangkan meski ia tinggal di apartemen Radit. Seperti saat ini, ia menimbang tepak di tangannya, dan ruangan Radit yang tertutup. Apakah lelaki itu sudah makan di kantin?
Kinar sibuk sendiri dengan perkiraannya sehingga tak menyadari ketika pintu ruangan Radit terbuka, dan pria itu keluar dari sana.
"Ngapain kamu?" tanya Radit datar melihat Kinar yang berdiri di depan pintu ruangannya.
Kinar berdiri kikuk, "eh, Mas sudah makan siang?"
Radit terdiam beberapa saat. Memperhatikan Kinar, dan menangkap kotak bekal yang berada di tangan kanan perempuan itu.
"Belum."
"I-ini saya kebetulan bawa dua," ucap Kinar menunduk. Tak berani beradu pandang dengan netra tajam Dokter Radit.
Radit tak menyahut. Membuka lebar pintu ruangannya, dan mengendik dagu mengizinkan Kinar masuk. Suasana begitu hening ketika Kinar masuk dan membawa tepaknya ke atas meja di ruangan Radit.
Kinar hendak berlalu keluar, tapi Radit menghentikannya.
"Temani saya makan. Kamu juga belum makan, kan?"
Kinar ingin menolak. Takut jika nanti ada yang masuk ke ruangan lelaki itu dan memergoki mereka.
"Pintunya sudah saya kunci," ucap Radit seolah tahu apa yang ada di pikiran Kinar.
Kinar berjalan dan duduk di sofa samping Radit. Ia buka tas kotak bekalnya. Kotak bekalnya ini memang ada 2 tingkat, seperti rantang. Ia buka kotaknya, menyodorkan sendok yang sudah ia lap dengan tisu yang selalu ia bawa kemana-mana.
Radit menerima kotak bekal yang diberikan Kinar. Ia sangat lapar, karena tadi pagi buru-buru berangkat sehingga tak sempat sarapan. Begitu sesuap masuk ke mulutnya, Radit harus mengakui jika masakan Kinar begitu enak dan cocok di lidahnya.
Dua orang itu makan dengan hening tanpa ada percakapan. Kinar yang sesekali melirik Radit, dan merasa senang melihat lahapnya lelaki itu memakan masakannya. Ia hanya menyimpan kesenangannya itu dalam hati.
...Bersambung.......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Nur Haidah Tinambunan
nanti kalau istri radit hamil apa kata orang
2024-11-03
0
Katherina Ajawaila
Radit kelewat an juga pakai nikah siri, ntar kalau hamil , langsung ngk lepas karna ada bocil🤭
2024-04-20
1
Bunda Aish
egois nya paksu siri, sok cool tapi untuk urusan ehm-ehm aja nafsu 😒
2024-01-04
1