Sudah berjalan selama dua bulan pernikahan sembunyi-sembunyi ini. Mereka tinggal di tempat yang sama, tapi tak pernah mengobrol atau pun bertegur sapa. Ya, Dokter Radit itu begitu dingin dan tak bisa didekati. Kinar tentu sungkan untuk memulai obrolan. Mereka hanya berbicar sedikit. Seperti apabila lelaki itu bertanya apa ia ada shift malam, maka Kinar akan menjawab. Jika ada shift malam biasanya lelaki itu akan ikut mengantarnya bersama Pak Beni, lalu lelaki itu akan pulang ke rumah orang tuanya sebentar.
Kinar sedang sibuk dengan handphonenya ketika Suster Lina berjalan tergopoh ke arahnya. Ia duduk di bangku besi depan ruang vip satu. Menoleh pada rekannya.
"Suster Kinar!" panggil Suster Lina dengan napas terengah karena berlarian.
"Ada apa, Suster Lina?" tanya Kinar, menyimpan ponselnya di kantong bajunya.
"Kita ke ruang operasi sekarang!" ucap Suster Lina cepat.
"Hah? Ngapain?" tanya Kinar bingung.
Mau ngapain juga mereka ke sana? Kinar suka merinding kalau berada di ruangan itu. Dih, apalagi sekarang mereka dapat shift malam.
"Urgent, Suster Kinar! Pak Dokter butuh suster jaga buat menemani operasi karena beberapa suster yang lain juga sibuk," ucap rekan Kinar itu.
"Ya sudah, Ayo!"
Kinar tak bisa menolak tentunya. Meski ia suka ngeri sendiri di ruang operasi seperti itu, ia tetap harus menjalankan tugas.
Kedua perempuan itu berjalan setengah berlari menuju ruang operasi. Suster Lina membuka pintu begitu mereka sudah sampai di sana.
"Permisi, Dok! Kami suster jaga yang diminta Dokter Wina untuk bantu," ucap Suster Lina pada 3 orang dokter di sana.
Kinar tak tahu kebetulan macam mana lagi ini. Di ruang operasi itu ada Dokter Radit, Dokter Ardi, dan dokter Rini. Tiga orang dokter itu tampak sedang bersiap. Dokter Radit hanya menatapnya datar. Sedangkan Dokter Ardi melempar senyum ramah nya seperti biasa.
"Silakan kalian bersiap!" sahut Dokter Rini, yang telah siap dengan baju hijau steril nya.
Suster Lina dan Kinar mengangguk. Segera masuk ke ruangan itu dan mengenakan stelan steril serta masker. Oh, dan Kinar gugup sekali. Ini pertama kalinya ia masuk ke ruang operasi, dan akan melihat proses jalannya operasi itu sendiri. Memikirkan darah dan sebagainya membuat Kinar bergidik.
Ruangan operasi itu tampak mencengkam. Apalagi semua orang di sana tampak fokus dan tak ada obrolan sama sekali. Hanya pendeteksi detak jantung pasien yang terdengar jelas mengisi heningnya.
"Gunting!" ucap Dokter Radit mengulurkan tangan.
Kinar yang berdiri di samping lelaki itu segera menyerahkan benda yang diminta sang dokter.
"Tekanan jantungnya, Dok!" ucap Radit lagi pada Dokter Rini kali ini.
"Jahit!" Kali ini titah itu ia berikan pada Dokter Ardi.
Kinar yang melihat semua itu menggigit bibirnya dengan tangan gemetar memegangi meja berisi peralatan operasi. Ia tak tahu kenapa mual dan desakan ingin memuntahkan sesuatu itu mendesak ingin dikeluarkan. Hal itu telah ia rasakan ketika Dokter Radit membedah bagian perut pasien.
"Suster Kinar!" tegur Radit dingin. Rupanya Dokter itu sadar jika suster di sampingnya itu tampak tak fokus.
"Jika Anda tak bisa bekerja dengan baik, lebih baik Anda keluar dari pada mengganggu konsentrasi saya!" ucap Dokter Radit lagi dengan tangan dan mata masih fokus pada pasien.
"Ma--maaf, Dok!" ucap Kinar menunduk. Dirinya begitu malu ketika Dokter Ardi, Dokter Rini, dan Suster Lina yang berada di seberang brankar menatapnya.
"Kinar, fokus ini operasi bukan main-main!" bisik Suster Lina yang berdiri di ujung brankar di sampingnya.
Kinar mengangguk. Kembali fokus dan mencoba menahan desakan mual itu. Wajahnya bahkan sudah memucat disertai dengan keringat dingin di pelipisnya. Oh,ini tak bisa ia lakukan. Perutnya terasa diaduk-aduk, membuat desakan ingin muntah itu mencapai tenggorokan.
"Keluar!" suara dingin Dokter Radit menyentak semua orang di ruang itu. Dokter Radit menatap tajam Kinar dengan menunjuk pintu keluar.
"Ta--tapi, Dok!" ucap Kinar bergetar dengan mata berkaca-kaca. Kedua tangannya saling meremas menahan desakan ingin muntah itu.
"Huek!"
Oh Kinar hampir memuntahkan isi perutnya, untungnya ia masih memakai masker. Desakan itu masih ia tahan. Tentu saja hal itu disaksikan 4 orang di sana.
"Keluar dan carikan suster lain!" ucap Dokter Radit dingin tak terbantah.
Kinar mengangguk. Keluar dari ruang operasi di bawah pengawasan tatapan 4 orang di sana. Radit dengan tatapan menajam, Dokter Ardi dan Suster Kinar dengan tatapan kasihan, dan Dokter Rini dengan tatapan kesalnya karena Kinar telah mengganggu jalannya operasi.
Kinar berjalan dengan langkah gontai menyusuri koridor rumah sakit. Kebetulan, ia berpapasan dengan Suster Liona, sehingga ia bisa meminta suster itu menggantikan dirinya di ruang operasi.
Kinar langsung berjalan tergopoh menuju toilet saat desakan ingin muntah itu kembali ia rasakan. Membuka pintu toilet dengan cepat, Kinar langsung mendekati wastafel dan memnutahkan isi perutnya di sana. Namun, nihil tak ada yang ia muntahkan, hanya cairan bening kekuningan yang keluar. Hampir dua menit Kinar mencoba mengeluarkan isi perutnya, tapi tetap tak ada yang keluar.
"Aku ini kenapa, sih? Masuk angin deh, kayaknya!" gumam nya menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Wajah nya pucat dengan mata berair. Oh, pengalaman pertamanya di ruang operasi begitu buruk sekali. Padahal sebelum masuk ke ruang itu ia sudah berharap banyak akan berhasil. Nyatanya ia gagal di saat operasi setengah jalan.
Kinar keluar dari toilet. Berjalan lesu kembali ke ruang vip satu. Mengecek keperluan pasien di ruang itu.
"Permisi, Bu!"
Kinar membuka pintu. Melihat perempuan paruh baya yang kala itu menegurnya saat ia shift malam, ternyata pasien ruang vip satu.
"Belum tidur, Bu?" tanya Kinar mendekati brankar. Melihat cairan infus yang masih penuh. Wanita baya ini sudah hampir dua bulanan di rawat di sini. Ia penderita kanker paru-paru di umurnya yang telah senja.
"Belum ngantuk, Suster," jawab ibu Maria--perempuan baya itu dengan buku di pangkuannya.
Kinar mengangguk, "mau saya kupaslan buah?" tanya Kinar duduk di kursi brankar. Jam dinding masih menunjukkan angka jam setengah 9 malam. Mungkin karena itu Ibu Maria belum tidur.
"Boleh, sus kalau gak keberatan."
Kinar tersenyum. Mengupas apel yang ada di meja nakas.
"Habis kena semprot Pak Dokter ya, sus?"
Pertanyaan Ibu Maria itu kontan saja membuat Kinar menggangguk lesu. Oh iya saat malam itu ketika Ibu Maria melihat nya yang berpapasan dengan Dokter Radit, Kinar tidak mengatakan jika ia dan Radit suami istri. Ia hanya mengatakan jika mereka hanya dekat sebagai sesama rekan kerja.
"Tadi saya ditugasin di ruang operasi, terus saya gak fokus jadi diusir deh sama Dokter es itu," ucap Kinar dengan wajah merengut.
Ia sudah akrab dengan Ibu Maria sejak malam itu. Ia suka berbagi cerita dan Ibu Maria teman bercerita yang asik. Ia akan mendengarkan terlebih dahulu teman ngobrolnya bicara, baru setelah itu memberika pendapat dari sudut pandangnya.
"Kalau gak dapat Dokter es itu... Suster mau gak sama anak saya? Dia... Fokter juga di rumah sakit ini!"
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
pasti dr Ardi🤔
2024-04-20
0
Naa
/Good//Good//Good//Good//Good/
2024-01-05
0
anita
hrusnya dr radit peka dikit napa sich
2023-12-28
0