Hari itu adalah hari Sabtu, Bibi Aslin dan Xena ada di rumah karena kantor dan sekolah libur. Pagi itu Ziva bangun terlambat karena sakit di perutnya sangatlah parah, hingga membuatnya menangis dalam diam. Ketika sakitnya sudah mulai reda, barulah Ziva ke luar dari kamar.
"Bibi dan Xena mau ke mana?" Ziva bertanya kepada Bibi dan Keponakannya yang telah siap dengan pakaian bagus mereka masing-masing.
"Bibi mau belanja gaun kamu untuk datang ke Mansion keluarga Talsen nanti malam. Kamu di rumah aja, jaga rumah, biar Bibi yang belikan gaun untukmu," pungkas Bibi Aslin cepat dan siap melangkahkan kaki untuk pergi.
"Bibi, Tunggu," cegat Ziva menghentikan Bibi Aslin dan Xena.
"Ada apa?" tanyanya mendesak.
"Bibi, perutku sakit sekali. Bolehkah aku minta uang yang diberikan Nyonya Nata selama, aku ingin cek up ke rumah sakit, Bi." Pinta Ziva memberanikan diri walau masih ragu.
"Kamu ini. Baru juga Bibi pegang uang sebentar, kamu udah nagih-nagih begitu, bukannya bantuin Bibi nyicil utang," oceh Bibi Aslin mencela.
"Ini, seratus ribu. Uang yang diberikan mertua-mu semalam akan Bibi belikan gaun-mu untuk nanti malam. Kamu pikir gaun bermerek itu harganya murah. Ayo sayang kita pergi," Bibi Anslin langsung menyeret tangan Putrinya untuk pergi setelah meletakkan paksa selembar uang senilai seratus ribu di telapak tangan Ziva.
Dengan cepat Ziva menyeka kasar air matanya yang lolos begitu saja "Semoga uangnya cukup untuk cek up," doa Ziva menyatu kedua tangannya memohon kepada Sang kuasa.
Begitu siap dengan pakaian sederhananya, Ziva mulai menyusuri jalan raya menuju ke sebuah rumah sakit terdekat dengan sepeda ontelnya. Panas, polusi udara dan polusi suara seakan biasa baginya. Tidak lama kemudian, Ziva telah tiba di depan rumah sakit. Tanpa berlama-lama lagi, Ziva langsung masuk ke dalam setelah memarkirkan sepeda lusuhnya di samping mobil-mobil mewah yang berderet rapi.
Tiba di dalam sana, Ziva tidak langsung mengambil nomor antrean, tapi dia bertanya kepada perawat terlebih dahulu. Ziva bertanya berapa kira-kira biaya cek up di rumah sakit besar itu.
"Paling rendah lima ratus ribu rupiah, Nona. Tapi, bisa lebih mahal lagi tergantung penyakitnya dan obat yang akan diberikan nantinya," jelas Perawat itu membuat Ziva lesu.
"Apa bisa kalau saya bayar setengah dulu, Suster? Saya hanya punya uang tiga ratus ribu rupiah, saya janji akan membayar sisinya nanti," mohon Ziva penuh harap.
"Nona, ini rumah sakit. Bukan warung juga bukan pasar tradisional. Mana bisa tawar menawar di sini," jawab perawat itu merendahkan.
"Saya punya kartu ini, Suster. Katanya dengan kartu ini biayanya bisa berkurang," saut Ziva lagi menyerahkan sebuah kartu kesehatan.
"Maaf, Nona. Kartu ini tidak bisa digunakan di rumah sakit kami. Nona bisa mencari rumah sakit lainnya," kesal Perawat itu semakin memandang rendah Ziva.
"Saya mohon bantulah saya, Suster. Saya berjanji akan membayar kekurangannya," mohon Ziva terus berusaha.
"Jadi orang miskin itu jangan lemah begitu. Masih punya harga diri, kan? Saya di sini juga bekerja, saya di sini juga bukan orang kaya. Maaf, saya tidak bisa, saya hanya mengikuti peraturan yang ada di rumah sakit ini. Pengawal!" Tak suka dengan Ziva yang terlalu memaksa, perawat itu terpaksa memanggil pengawal karena tidak ingin terjadi keributan.
"Tidak usah, Suster. Saya bisa pergi sendiri," jawab Ziva tegar dan langsung keluar dari rumah sakit.
"Jadi orang miskin kalau terlalu menganggap diri tinggi, juga tidak akan mendapatkan apa pun. Aku tidak akan bisa makan dan aku tidak akan punya tempat tinggal bila tidak merendahkan harga diriku," batin Ziva berjalan gontai menuju parkir untuk mengambil sepeda ontelnya.
Semenjak kepergian kedua orang tuanya, Ziva merasa sudah tak lagi punya harga diri. Sejak memohon kepada Bibi Aslin untuk menerimanya, sejak saat itulah harga dirinya telah hancur diinjak-injak. Yang menjadi prioritas utamanya adalah hanya tetap hidup, tetap makan dan tetap punya rumah untuk kembali.
Tidak peduli seberapa menderitanya, seberapa kecil orang memandang dirinya, seberapa hina dirinya bagi orang lain. Ziva, Masih ingin menjalani hidupnya yang malang, karena itulah janji yang Ziva ucapkan di hadapan kedua orang tuanya sebelum meninggal akibat kecelakaan lima tahun lalu.
Dengan melapangkan hati, Ziva meraih sepeda ontelnya, siap naik untuk mengayuh hingga kembali ke rumah. Namun, sepede itu jatuh saat tangannya dia alihkan untuk menekan perutnya yang luar biasa terasa sakit.
Nata terduduk di aspal sambil melulung dan menangis karena sakit kali ini dua kali lipat lebih sakit dibandingkan sebelumnya. "Astaga Nona!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Dede Dahlia
yg kuat ya ziva kamu pasti hidup bahagia.
2022-10-06
0
siccasiccasic
Napa kagak ke puskesmas aja yg murce. Kalo punya kartu malahan gretong
2022-07-04
0
siccasiccasic
Satpam/security kali thor.. Pengawal kek cerita mak lampir aja, wkwkwk
2022-07-04
0