“Salah satu pendonor itu ada yang cocok, besok siang nenekmu akan dioperasi.”
“Benarkah?”
Rei bernafas lega, meski belum sepenuhnya tenang. Dia jadi tidak sabar menunggu besok. Senyum tidak lepas dari bibirnya. Marva terus melirik wajah istrinya itu, yang terlihat senang.
Malam ini Marva kembali tidur di kamar Viola, membuat Viola senang dan merasa lega, sedangkan Rei juga tidak peduli. Syukur-syukur jika dia langsung hamil dan neneknya segera sembuh, jadi bebannya akan berkurang. Setidaknya dia telah memenuhi kewajibannya kepada keluarga ini, setelah itu dia akan kembali pada kehidupannya yang sederhana.
.
.
.
“Rei.”
“Nenek, Nenek sudah bangun?”
Neneknya tidak menjawab, hanya memberikan senyuman dengan tatapan teduh.
“Rei, kamu harus menjadi perempuan yang kuat. Yakinlah, apa pun masalah yang kamu hadaoi, pasti akan ada jalan keluarnya. Jangan bersedih dengan hidupmu, nenek yakin suatu saat nanti kamu pasti akan bahagia.”
“Nek, Rei akan selalu ingat dengan perkataan Nenek. Oya, Nek, ada yang mau Rei ceritakan, sebenarnya Rei ....”
Belum sempat Rei bercerita, angin kencang bertiup, dan memalingkan wajahnya ke samping. Saat dia kembali melihat ke depan, neneknya sudah tidak ada.
“Nek? Nenek? Nenek di mana?”
Rei berlari mencari neneknya, namun tidak menemukannya. Nafasnya tersengal, kakinya telah lelah berlari ke sana sini.
Tengah malam Rei terbangun, dia bermimpi tentang neneknya yang membuatnya berkeringat meski AC terasa dingin.
Dia meminum segelas air putih, karena merasa kurang, dia pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Dulu saat di rumah kontrakan, dia tak perlu membuang tenaga dan waktu jika membutuhkan sesuatu, cukup selangkah dua langkah, dia sudah mencapai apa yang dituju.
Mansion besar ini juga membuatnya harus berhati-hati dalam melangkah, karena banyak guci mahal dan perabot-perabot lainnya yang juga pastinya harganya sangat mahal.
Namun ada hal yang bisa dia pelajari dari mansion ini, gaya arsitekturnya. Memang, mansion ini adalah mansion pertama yang dia lihat dan masuki secara nyata, tidak hanya melihatnya dari gambar saja. Design interiornya juga unik.
Jika nanti berhasil menjadi arsitek, dia juga ingin membuat mansion sebagus ini, dan yang paling lenting, membuat rumah untuk neneknya meski tak sebesar ini.
Cukup rumah sederhana untuknya dan nenek. Rumah yang ada pekarangan untuk menanam bunga, buah dan sayur. Juga kolam ikan yang tak terlalu besar.
Kekurangannya dalam ekonomi membuat dia harus berpikir praktis. Melakukan apa saja yang bisa membuatnya berhemat. Cukup memeliki rumah sederhana namun bisa menghasilkan sayur-sayuran agar tidak kekurangan makan.
Nek, tolong doakan Rei akan agar bisa membuat rumah impian untuk kita.
“Kenapa melamun?”
Sentuhan di pumdaknha disertai pertanyaan pelan itu membuat Rei kaget dan tersadar dari lamunannya.
“Kak Marva?”
“Kamu ngapain di sini?”
“Oh, aku lagi ambil air minum.”
Rei meminum segelas air kemudian menuangkan air lagi ke dalam gelasnya.
“Kak Marva butuh sesuatu?”
“Aku juga hanya ingin minum.”
Setelah itu mereka sama-sama menuju lantai atas. Saat Rei ingin menutup pintu kamarnya, Marva langsung masuk ke kamar itu.
“Kak Marva mau ngapain?”
“Ini kan juga kamarku.”
Iya, aku tahu ini juga kamarmu, bahkan ini rumahmu. Tapi untuk apa kamu ke kamar ini, sedangkan kamu punya kamar yang lain.
Marva yang melihat Rei enggan dengan kehadirannya, merasa kesal.
“Kamu tidak suka aku di kamar ini?”
“Eh? Enggak kok. Kakak berhak tidur di mana saja yang Kak Marva mau.”
Memangnya aku punya hak apa untuk melarang?
“Ya sudah, ayo kita tidur!”
Marva membaringkan tubuhnya di kasur, sedangkan Rei membuka bukunya dan duduk di sofa.
“Kenapa tidak tidur?”
Marva merasa Rei menghindarinya, karena perempuan itu lebih memilih sofa daripada kasur.
“Aku enggak bisa tidur, Kak. Sejak tadi aku teringat nenek.”
Tentu saja Rei tidak berbohong. Perasaannya gelisah, mungkin karena besok siang neneknya akan dioperasi.
Tiba-tiba saja Marva sudah berdiri di hadapannya dan menggendongnya.
“Kak?”
“Kamu harus istirahat yang cukup.”
Marva lalu membaringkan Rei di kasur, perlahan dia mendekatkan wajahnya ke wajah Rei. Dikecupnya bibir ranum itu, yang awalnya pelan menjadi tergesa-gesa. Tangannya pun tidak tinggal diam, menjelajah ke sana sini menelusuri tiap lekuk tubuh Rei.
Akhirnya, ucapan Marva kepada Rei untuk istirahat yang cukup hanya menjadi omong kosong saja.
Tubuh Rei terasa remuk dibuatnya. Marva kembali mengusap pelan perutnya sambil berbisik agar benih itu segera tumbuh di rahim Rei.
Tak lama kemudian, mata mereka terpejam dengan menyimpan harapan masing-masing.
🌺🌺🌺
Mereka semua tergesa-gesa pergi ke rumah sakit. Jam masih menunjukkan pukul 6.25 pagi, namun jalanan sudah sangat macet ditambah guyuran hujan deras.
Sekitar pukul setengah enam tadi, Frans mendapat kabar bahwa neneknya Rei mengalami drop. Dia lalu membangunkan Rei yang saat itu masih terlelap dalam balutan selimut.
Marva dan Rei bahkan harus mandi bersama tanpa memikirkan apa pun.
Setibanya di loby rumah sakit, mobil Marva yang tiba lebih dulu, terpakir begitu saja. Rei berlari meninggalkan Marva dan Viola di belakangnya. Tak lama kemudian Frans, Carles, Delia dan Bram menyusul.
“Dok, bagaimana kondisi nenek saya?”
Rei langsung mencecar dokter dengan pertanyaannya.
“Mohon maaf, beliau tidak dapat diselamatkan.”
“Enggak mungkin! Nenekku nanti siang mau dioperasi, kan? Dokter bohong, kan? Dok, jangan begitu, aku janji akan membayar semua biayanya. Aku gak akan kabur, Dok. Jadi tolong sembuhkan nenekku. Aku sudah mencari biayanya. Aku akan berkorban apa pun demi kesembuhan nenek. Aaarghh ... Arrgggh ....”
Rei berteriak histeris, tangannya mencengkram erat lengan dokter itu.
Marva berusaha menarik Rei, namun wanita itu semakin memberontak.
“Jangan sentuh aku, jangan sentuh aku! Aku mau nenek, aku mau nenekku.”
Rei masuk ke ruangan itu, melihat peralatan medis yang telah dilepas dari tubuh rapuh neneknya.
Marva dan keluarganya ikut masuk ke ruangan itu.
“Nek, bangun Nek. Jangan tinggalkan Rei. Rei tidak punya siapa-siapa lagi selain nenek.”
Rei menangis terisak sambil memeluk erat tubuh tang telah dingin itu.
“Nek, maafkan Rei. Apa Nenek marah pada Rei, apa Nenek tidak ingin sembuh dengan uang itu? Tolong maafkan Rei, aku tahu aku salah. Aku menyesal, Nek. Aku menyesal mendapatkan uang dengan cara seperti itu, hingga akhirnya nenek memilih pergi meninggalkanku.”
Marva yang mendengar perkataan Rei itu, merasa tak nyaman.
Menyesal? Apa dia menyesal apa yang telah terjadi? Termasuk apa yang kami lakukan tadi malam.
“Nek, maafkan aku yang telah menjual diri untuk kesembuhan nenek. Aku mohon maaf, tapi kumohon, bangunlah, Nek.”
Terdengar jelas nada sesal dari mulut perempuan itu. Viola hanya bisa menatapnya, sedangkan Frans, Carles, Delia dan Bram hanya saling pandang.
“Kenapa semuanya berakhir sia-sia, Nek?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Roroazzahra
sedih yesek sia sia pengorbanan mu😥😥😭😭😭😭😭
2022-08-10
0
🔵🍃⃝⃟𝟰🫦𓆩𝐃𝐄𝐒𝐒𓆪♐𝐀⃝🥀
aaa sedihloh sia-sia semuanya
hidup sebatang kara kasihan Rei 😭😭😭
2022-08-01
2
Mur Wati
😭😭😭😭😭
2022-07-31
0