Malam ini, hujan turun dengan derasnya. Rei mengusap lengannya, menahan rasa dingin yang menusuk kulit.
"Ini, pakailah!"
"Eh, Dokter?"
"Ini, kamu pakai."
Dokter itu memberikan Rei selimut yang cukup tebal dan bantal kecil, membuat Rei kembali teringat dengan Freya yang menghilang bak ditelan bumi.
Segelas teh manis hangat juga dokter itu berikan.
Rei melihat name tag dokter itu.
Agam Elard
Tanpa sadar Rei tersenyum.
"Habiskan tehnya, setelah itu istirahatlah. Besok pagi kamu harus istirahat, kan?"
"Iya, terima kasih banyak, Dok."
Malam semakin larut, namun Rei tak dapat tidur, meski tubuhnya terasa lebih hangat karena segelas teh dan selembar selimut yang diberikan dokter Agam tadi.
Sama seperti yang dirasakan oleh dua orang lainnya. Sepasang suami istri itu, sama-sama memejamkan mata, namun otak masih berpikir. Mereka saling membelakangi, mengingat kejadian tadi siang saat seorang gadis berseragam SMA menanda tangani sebuah surat perjanjian pernikahan, yang tak hanya mengubah hidup seseorang saja, tapi tiga orang sekaligus.
Mereka pun sama-sama tahu bahwa tak ada yang bisa tidur, namun tak ada yang ingin memulai pembicaraan apalagi membahas masalah tadi. Lebih memilih saling memendam resah yang dirasa.
Marva berpikir apa yang harus dia lakukan dengan memiliki dua orang istri? Jika hanya menafkahi lahir secara adil, dia yakin masih bisa.
Hujan semakin deras, dengan disertai kilat dan petir.
Badan lelah, namun otak memaksa untuk selalu berpikir. Memang belum ada pembicaraan kapan pernikahan itu akan dilaksanakan. Jantung mereka bertiga sama-sama berdetak kencang, bukan debaran bahagia karena menyambut hari baik, namun kekhawatiran untuk menjalankannya, terutama bagi Viola dan Rei.
Rei takut dirinya tak akan diterima baik, terutama oleh Viola yang menjadi istri pertama, yang sah secara hukum dan agama. Orang yang pastinya ada di urutan pertama hati yang tersakiti.
Selanjutnya oleh Delia, yang akan menjadi ibu mertuanya nanti. Apakah dia akan dianggap sebagai perusak rumah tangga orang? Hah, tak perlu ditanya. Dia memang perusak rumah tangga orang, meski hatinya tak pernah menginginkan semua ini terjadi.
Apakah dia akan disiksa layaknya sinetron yang sering ditonton oleh tetangga-tetangganya?
Carles, yang menjadi calon mertuanya. Yang menatapnya dari ujung kepala hingga ujung rambut. Seolah menilainya, apakah gadis kampung dan miskin ini layak menjadi menantunya walau hanya sesaat. Apakah dia layak menjadi ibu dari calon cucunya?
Sedangkan Marva, pria yang akan menjadi suaminya? Melirik ke arahnya saja tidak. Bagaimana setelah mereka menikah nanti? Apa dia akan dianggap istri walau hanya sementara? Apa dia akan diperlakukan adil?
Kepala Rei semakin berdenyut kencang. Masalah kesehatan neneknya, lalu sekarang masalah pernikahan yang tak diinginkan.
Berkali-kali Rei menghela nafas. Umir delapan belas tahun namun cobaan hidup terasa sangat berat.
🌸🌸🌸
Setelah pulang sekolah, Frans menemui Rei di rumah sakit.
"Saya sudah mengurus semua biaya perawatan dan pencarian donor ginjal untuk nenekmu. Bersiap-siaplah, besok pagi kamu akan menikah dengan Marva."
"Be ... besok pagi? Kenapa begitu cepat?"
"Bukan kah lebih cepat lebih baik? Kamu ingin secepatnya nenekmu sembuh, begitu juga dengan kami yang ingin segera mendapatkan penerus."Reibtaknlagi berkata, meskindalam hatinya ingin mengatakan banyak hal. Tak bisakah menunggu neneknya sembuh lebih dahulu?
"Sebenarnya saya ingin nenek saya menyaksikan pernikahan saya dan memberikan restu."
"Tapi itu tidak memungkinkan. Kamu tahu sendiri kan kondisi nenek kamu sekarang seperti apa."
Marva yang tak jauh dari situ, mendengarkan dari balik tembok. Meskipun mereka berbicara dengan pelan, namun pendengaran Marva yang tajam, membuatnya bisa ikut mendengarkan.
Bahkan di hari ... entahlah, Rei harus menyebutnya sebagai hari bahagia atau tidak. Bahkan di hari pernikaahannya, neneknya tak dapat menyaksikan dan memberikannya restu, membuat hati Rei semakin sakit.
Hari pernikahan yang seharusnya menjadi hari bahagia untuk mempelai, justru tidak dirasakan oleh Rei.
"Kalau begitu, boleh kah saya meminta agar kami menikah di sini saja? Meski pun taknsadar, tapi saya ingin menikah di hadapan nenek saya."
"Baiklah, saya orang suruhan saya akan mengurusnya. Pernikahan ini pernikahan rahasia, jadi tak ada yang boleh tahu."
Tentu saja Rei tak akan memberi tahu siapa-siapa. Memang siapa juga yang akan dia beri tahu? Sahabat, dia tak punya. Kecuali Freya yang dia anggap sahabat namun menghilang entah ke mana.
Bercerita pada tetangga? Tentu saja dia juga tak sebodoh itu, menceburkan diri untuk menjadi bahan gosip dan cibiran orang-orang.
.
.
.
"Besok pagi Marva dan gadis itu akan menikah di rumah sakit."
"Pa, apa ini tidak terlalu cepat?" tanya Delia pada papa mertuanya itu.
Viola tak dapat berkata apa-apa. Semenjak tadi jantungnya seperti ingin copot.
"Kenapa harus ditunda jika bisa segera dilaksanakan?"
Marva sendiri juga tak berkomentar, juga tidak kaget karena dia sudah diam-diam mendengarnya di rumah sakit.
"Dan untuk kamu, Viola ... jangan berpikir bahwa kakek kejam padamu. Jika saja kamu memberikan Marva anak, tentu hal ini tidak akan terjadi. Lagi pula posisimu akan aman, karena pernikahan ini akan berakhir jika gadis itu hamil dan melahirkan."
Viola hanya mengangguk saja. Statusnya yang hanya menantu di keluarga ini membuatnya harus selalu patuh dengan semua peraturan yang berlaku.
"Marva?"
"Ya, Kek?"
"Kamu siapkan cincin pernikahan dan mas kawin untuk calon istrimu. Oya, suruh pelayan untuk menyiaokan kamar di sebelah kamar kalian, itu akan menjadi kamar Rei dan Marva. Juga siapkanlah semua kebutuhan untuk gadis itu, termasuk baju-baju."
Kamar Rei dan Marva.
Mendengarnya saja sudah membuat hati Viola ngilu, apalagi nanti, jika melihat suaminya dan gadis itu ke luar dari kamar yang sama, yang tepat bersebelahan dengan kamarnya. Mungkinkah setiap hari dirinya akan menangis?
Ya Allah, kuatkanlah hamba.
Sore ini hujan kembali membasahi bumi. Seperti tidak ada habisnya dan tak pernah bosan untuk menyapa. Atau mungkin dirinya tahubbahwa ada tiga hati yang tengah gundah.
Bahkan guntur besar memekakkan telinga, membuat orang-orang juga semakin enggan untuk ke luar rumah.
Rei menggenggam erat tangan neneknya.
"Nek, besok pagi aku akan menikah. Tolong restui dan doakan Rei, semoga Rei bisa menjalaninya. Maafkan Rei yang mengambil keputusan ini. Rei hanya ingin yang terbaik untuk nenek. Rei ingin nenek segera sembuh dan berkumpul bersama Rei lagi. Maafkan Rei yang belum bisa membuat nenek bangga dan bahagia. Cepatlah sadar, Nek."
Air mata Rei menetes. Dia tak tega melihat tubuh kurus neneknya yang terbaring lemah dengan berbagai peralatan medis.
"Terima kasih sudah membesarkan Rei. Nenek adalah segalanya bagi Rei. Tanpa nenek, Rei bukanlah siapa-siapa."
Di balik pintu, Marva dan keluarganya mendengar perkataan Rei. Mereka sengaja datang untuk membesuk nenek Rei, karena bagaimana pun, besok Rei dan Marva akan menikah, walau hanya pernikahan siri.
Viola berpikir, entah siapa yang memiliki ujian paling berat.
Jujur saja, ada perasaan iba pada gadis itu, tapi ada juga perasaan kesal. Dia bukanlah orang munafik, yang merasa semuanya baik-baik saja dan dengan lapang dada menerima madu dalam rumah tangganya.
Keluarganya Marva saja yang tak sabaran untuk memiliki cucu, meskipun Vio sendiri tak yakin kapan dia bisa memberikan cucu untuk keluarga Arthuro ini. Memikirkan itu membuat Vio meringis dengan perasaan tertekan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Cucut Hayati
ujian kesabaran...
2022-08-07
0
Rokinah Mamasurya
lanjut Thor semangat terus ya kak..sehat selalu💪💪💪
2022-01-20
0