“Nenek, tolong sadarlah! Rei sangat menrindukan nenek.”
Rei meletakkan tangan neneknya di pipinya. Dia merindukan pelukan hangat neneknya, yang selalu menasehatinya untuk selalu bersabar menjalani ujian hidup.
“Nenek, apa nenek mendengarku? Jika nenek mendengarku, tolong bangunlah, Nek. Rei rindu nenek.”
Rei lalu ke luar, mendudukkan dirinya di sofa, dan tidak lama kemudian dia tertidur.
Rei merasa ada yang mengusap kepalanya dengan lembut. Samar-samar aroma maskulin tercium di indra penciumannya, dan itu sangat menenangkan. Dia tidak ingin bangun, malah semakin nyaman dengan sentuhan lembut itu. Tapi dia juga penasaran, siapa pemilik tangan lembut ini.
Rei kembali ke mansion sore harinya. Sekujur tubuhnya terasa lemas, karena aktifitas tadi malam, kurang tidur, menunggu neneknya di rumah sakiy, juga mengayuh sepeda dengan jarak yang jauh. Belum lagi dia memeliki banyak PR yang harus dikerjakan.
Setibanya di mansion, dia langsung mandi dan mengerjakan PR-nya, juga tak lupa belajar untuk ulangan besok.
Sementara itu, Marva juga bergegas pulang. Dia juga merasakan hal yang sama seperti Rei. Hanya saja dia tak merasakan sakit didaerah vitalnya.
Marva menggelengkan kepalanya saat teringat apa yang dia lakukan tadi malam bersama Rei. Sepanjang hari ini fokusnya memang tidak bagus. Di satu sisi dia teringat Rei, di sisi lain dia juga teringat Viola. Dia terjebak dengan pernikahan yang tidak pernah dia inginkan.
Marva tiba di mansion, dan melihat sepeda Rei yang bertengger di samping mansion. Viola menyambut kedatangan Marva dengan senyuman, dan merangkul lengannya. Sesampainya di depan kamar, mata Marva melirik pintu kamar Rei, namun dia masuk ke kamarnya dengan Viola.
“Aku merindukanmu.”
Viola memeluk erat tubuh Marva. Dia menghirup dalam-dalam tubuh yang dua malam ini tidak tidur bersamanya. Memang terkadang Marva akan ke luar kota atau luar negeri, dan dia tidak ikut. Namun dua malam ini tentu saja berbeda. Suaminya tidur dengan perempuan lain, meskipun perempuan lain itu juga istrinya, tetap saja dia tidak rela. Mereka menikah bukan karena keinginan Viola, meski Viola juga tidak bisa menghalanginya.
Apa aku harus berharap agar perempuan itu cepat hamil dan segera meninggalkan rumah ini? Tapi, jika dia hamil, aku juga takut posisiku akan tergantikan. Mereka pasti akan lebih perhatian kepadanya, terutama Marva. Apa Marva telah benar-benar melakukannya?
Tidak, aku tahu Marva seperti apa.
“Aku mau mandi dulu.”
.
.
.
Rei sesekali melirik pintu kamarnya.
Mungkin dia sedang bersama istri pertamanya.
Dia menghela nafas panjang.
Kenapa juga dia harus ke sini lagi, toh dia sudah melakukannya. Jadi dia tidak lagi membutuhkan aku. Semoga saja aku segera hamil, agar bisa segera ke luar dari lingkaran ini.
Rei merasa rendah diri, habis dipakai, dibuang begitu saja tanpa kata. Bukannya Rei mengharapkan Marva, dia juga tahu bahwa Marva harus bersikap adil, hanya saja dilupakan setelah keperawanannya diambil, membuat dia seperti perempuan murahan.
Tapi bukankah aku memang dibayar? Menukarkan keperawananku dan rahimku dengan biaya perawatan nenek, atas dasar pernikahan.
Apa aku harus senang, karena tidak memberikannya secara gratis. Atau merasa jijik karena melakukannya tanpa dasar cinta.
Aku jadi merasa seperti ******. Aaarrgghhh ....
Rei berteriak frustasi dalam hatinya. Dia menepuk-nepuk dadanya, merasakan sesak yang sulit dia ungkapkan.
Sementara itu di kamar Viola, wanita itu memakai lingerie seksi berwarna merah. Dia mengoleskan lotion di tangan dan kakinya, memakai krim wajah, juga tak lupa menyemprotkan minyak wangi di lengan, leher dan tengkuknya.
Marva ke luar dari kamar mandi, dwn melihat penampilan Vio yang tersenyum cerah kepadanya.
.
.
.
Rei bangun pagi-pagi sekali, lalu bergegas pergi ke dapur.
“Selamat pagi,” sapa Rei kepada para asisten rumah tangga yang ada di dapur itu.
“Selamat pagi, Nona.”
“Panggil Rei saja.”
“Tapi, Non ....”
“Panggil Rei saja,” ucap Rei sekali lagi.
“Oya, Bibi lagi buat sarapan?”
“Iya, Rei.”
Rei tersenyum saat namanya dipanggil tanpa embel-embel non.
“Saya bantu ya, Bi.”
“Tapi ....”
“Sudah, enggak apa-apa.”
Asisten rumah tangga itu akhirnya mengangguk.
“Nama Bibi, siapa?”
“Saya Tuti. Panggil saja Bi Tuti.”
Akhirnya Rei dan bi Tuti membuat sarapan bersama, atau lebih tepatnya Rei yang membutnya, sedangkan bi Tuti memotong-motong sayuran. Rei jadi teringat saat dia membuat kue atau membantu orang yang akan melakukan hajatan, di mana dia akan ikut membantu memasak. Sedangkan secara pribadi, dia hanya akan menggoreng tempe, tahu, atau telur saja untuk dia dan neneknya.
“Rei siap-siap ke sekolah ya, Bi.”
Bi Tuti mengangguk, tersenyum melihat kepergian Rei. Tidak sampai sepuluh menit Rei sudah turun kembali.
“Bi, Rei pergi dulu, ya.”
“Loh, enggak sarapan dulu?”
“Rei buru-buru, Bi. Ada ulangan jam pertama.”
“Tunggu sebentar.”
Bi Tuti lalu memasukkan makanan ke kotak bekal lalu diberikannya kepada Rei.
“Kalau begitu, makan saja di sekolah.”
Rei mengangguk, lalu memasakukkan kotak bekal itu ke dalam tasnya.
Setelah Rei pergi, satu persatu anggota keluarga Arthuro ke ruang makan. Mereka melihat menu sarapan yang menggugah selera.
“Di mana Rei, kenapa belum turun juga?”
“Maaf Tuan Besar, nona Rei sudah pergi ke sekolah pagi-pagi sekali. Katanya ada ulangan di jam pertama.”
“Apa dia sudah sarapan?”
“Belum, Tuan, tapi saya sudah memberikannya bekal.”
“Ya sudah kalau begitu.”
Mereka mulai makan. Dalam hati mereka, bertanya kenapa menu sarapan lagi ini terasa berbeda.
“Bi Tuti?”
“Ya, Nyonya?”
“Kenapa rasanya beda, ya? Juga tidak seperti sarapan-sarapan sebelumnya.”
“Maaf, Nya. Ini semua yang masak nona Rei.”
“Apa, benarkah?”
“Iya, Nya. Tadi pagi nona Rei ingin ikut memasak, tapi malah nona Rei yang memasak semuanya. Minumannya juga nona Rei yang membuat semuanya.”
“Ya sudah.”
Jujur saja masakan-masakan itu memang enak semuanya. Rasa kopinga juga sangat pas, begitu juga dengan teh dan jusnya.
Tanpa ada yang menyadari, mereka sudah menghabiskan semua makanan yang ada di atas meja tanpa sisa. Biasanya mereka hanha makan setengah piring, itu pun kadang tidak habis.
“Tuti!” panggil Frans.
“Ya, Tuan Besar?”
“Jangan biarkan lagi Rei memasak!” ucapnya dengan sedikit kesal.
“Maaf Tuan Besar, tadi saya sudah melarannya, tapi nona Rei tetap memaksa.”
“Kalau dia terus-terusan memasak seperti ini,bisa-bisa aku menjadi kakek tua yang berperut buncit karena terlalu banyak makan.”
Tidak lama kemudian suara tawa terdengar di ruang makan itu. Bi Tuti lalu melihat semua makanan yang ada bahkan telah habis tidak bersisa. Dia tersenyum, tadinya dia takut Rei akan dimarahi habis-habisan.
Sedangkan Viola merasa iri, meski secara tidak langsung, Marva dan keluarganya mengakui bahwa masakan Rei itu enak. Bahkan Marva yang biasanya hanya makan sedikit dan memilih-milih makanan, tidak henti-hentinya menambah makanan ke dalam piringnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
paty
vio lo hrs berjiwa besar, laki2 mana yg tdk suka saat istrinya hamil, bgt juga marva saat rei hamil pasti dia lbh sayang
2022-10-13
0
Cucut Hayati
biar berpisah biar Rey bahagia dan sukses💪
2022-08-07
0
Forta Wahyuni
knapa sich Thor buat peran cew-nya sep ini, dimadu n tersakiti. knapa TDK bisa sabar, lagian msh muda n jd bingung mo mihak siapa.
2022-08-03
0