“Ayo, anak Mama, Say Hi ke Kak Sinar~”
Sinar terkesiap. Wajahnya memerah ketika dia mendengar sebutan itu dalam suara perempuan yang sekarang tengah melambaikan kaki gemuk berbulu berwarna hitam dengan tambahan warna pink cerah di telapaknya, ke arah layar kamera. Wajah kucing itu terlihat sangat tidak senang, berbanding terbalik dengan wajah riang yang sang pemilik berikan.
Seharusnya, Sinar sudah terbiasa mendengar hal seperti itu dari bibir Hala. Namun, mendengar Hala mengatakan dirinya sendiri sebagai Mama untuk seekor kucing yang dielukan perempuan itu adalah anak gembil kesayangannya, membuat sesuatu bergejolak di dalam dada Sinar. Itu memainkan peran yang aneh juga di kepalanya, membuat Sinar diam-diam mengutuk tentang seberapa baik itu terdengar di telinganya.
Sebenarnya, itu adalah masalah yang sangat krusial sekali. Sinar seharusnya malu dengan pemikirannya yang sudah melanglang buana. Memikirkan tentang angan bagaimana rasanya memiliki keluarga yang utuh bersama perempuan yang kini semakin berusaha untuk membuat kucingnya-, atau anaknya itu melambai untuk menyapanya dengan wajah
tanpa dosa dan terlihat sangat gembira sekali. Ini berbanding terbalik dengan Sinar yang sedang mengalami krisis mental dengan wajah cengo yang dia sadari bahwa wajah anehnya bisa dilihat oleh Hala dengan begitu jelas.
Sinar sebenarnya ingin menghalau pemikiran tentang hal-hal seperti itu. Toh, dia terlihat begitu putus asa dan tanpa harapan, jatuh tersungkur untuk seseorang yang merupakan sahabat dari adiknya sendiri. Pikirannya sudah terlalu jauh, bahkan untuk semakin membuatnya merasa malu, dia belum berada dalam hubungan yang nyata dengan perempuan yang membuatnya jatuh hati sedalam itu. Tapi apalah daya, dia hanya seorang lelaki dengan usia kepala dua akhir, dua tahun lagi terlewati, dia akan masuk kepala tiga. Tentu saja pikirannya tentang memiliki kehidupan rumah tangga yang domestik dan utuh bersama perempuan itu ada dalam bayangan masa depannya yang ingin sekali dia genggam.
Bayangkan saja betapa indahnya jika dia pulang ke rumah, disapa oleh suara manis yang membuatnya candu dan dihiasi oleh senyuman lebar di wajah wanitanya. Mungkin, memberikan pelukan selamat datang yang akan dengan senang hati dia terima dan mengembalikan dekapan itu dengan erat. Mungkin, melakukan sedikit hal-hal romansa lebih jauh yang tidak berani dia suarakan keras-keras di kepalanya.
Sinar menggeleng dengan tenaga berlebih yang tidak begitu dibutuhkan. Menepuk kedua pipinya yang semakin memerah dan panas karena bayangan itu tergambar nyata di kepalanya. Sinar merasa pusing, bahkan dia merasa bulir keringat memenuhi wajahnya sebesar biji jagung. Dia terlihat dan terdengar seperti sudah tidak waras lagi. Dia pasti sakit, keluhnya. Dia yakin dia sedang sakit karena sekarang, imajinasinya semakin tinggi dan terasa nyata.
Kepalanya meneriakkannya untuk segera menginjak bumi dan telinganya yang tetutup kabut imaji berusaha untuk mengekspos suara yang memanggilnya dengan bingung. Sinar mengerjap, satu, dua kali sebelum fokusnya kembali. Disana, wajah bingung Hala menyapanya dengan penasaran.
“Kak Sinar? Kakak nggak apa-apa?” dendangan nada suara cemas itu memenuhi telinganya dengan lebih jelas lagi kali ini. Sinar, tentu saja, mengutuk dirinya sendiri karena hal yang seharusnya tidak perlu dia pikirkan. Sinar mencubit pahanya dengan keras, berusaha kembali membuatnya membumi dan sadar diri. Dia terlihat seperti seorang lelaki yang mengenaskan karena tidak bisa mengendalikan perasaannya. Sungguh memalukan.
Lelaki berusia 28 tahun itu menyunggingkan senyuman untuk mengusir kekhawatiran yang diperlihatkan secara terang-terangan padanya dari ekspresi yang tidak bisa disembunyikan. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan diri dari mengatakan sesuatu secara refleks ketika dia merasa bahwa fokus Hala adalah seutuhnya pada dirinya. Perempuan itu bahkan tidak menyadari bahwa kucingnya yang sedang ia lakukan perawatan itu, sudah melompat dari pangkuannya dan mengeong keras ketika berlari seolah-olah dia baru saja keluar dari penjara yang mengekangnya.
“Nggak apa-apa, dek. Gue aman” Tuturnya kemudian dengan lebih lugas.
Bagus! Dia bersorak pada dirinya sendiri tentang pengendalian diri dimana suaranya tidak terdengar memalukan.
Hala terlihat mengangguk dan menghela napas ketika dia mendengar jawaban yang diharapkannya.
“Gue kira lo kenapa-kenapa, Kak” Perempuan itu mendengus sebelum menambahkan, “Habisnya ekspresi lo aneh banget. Takutnya lo kesambet, ‘kan, gue nggak bisa ngebantuin sama sekali cuma lewat layar doang” Celotehnya. Hala terlihat membenarkan posisi kameranya, membuat Sinar bisa melihat dengan jelas posisi duduk perempuan itu yang bersila di atas sofa.
Mata Sinar menjelajah untuk mengagumi Hala. Dia memakai kaus hitam yang terlihat kebesaran di tubuhnya dan celana pendek yang nyaman membalut pahanya. Ada kaus kaki hijau muda yang memiliki gambar kaki kucing yang menyembul ketika dia memperhatikan dengan tidak sengaja. Hala terlihat sangat nyaman, terlalu nyaman untuk membuat Sinar kembali membayangkan hal-hal yang harus dihentikannya saat itu juga. Sepeti, berbaring di paha perempuan itu di sofa empuk yang di dudukinya sembari mendengar cerita apapun yang keluar dari bibir merah penuh itu.
Seperti waktu itu-,
“Tuh, ‘kan, beneran kesambet lo, kak!”
Lagi, Sinar mengerjap. Dia tertangkap basah lagi kali ini.
Lelaki itu mengumpat tiba-tiba. Memukul wajahnya dengan keras sebelum dia tanpa kata dan dengan refleks bangkit dari posisinya dan berlari ke kamar mandi. Membasuh wajahnya dengan air dingin agar dia menjadi lebih sadar. Sinar menyalahkan semuanya pada flu-nya yang pasti sudah membuat sel otaknya tidak bisa bekerja seperti biasanya. Meskipun beberapa waktu lalu dia menyangkal bahwa dia terserang flu, dia tetap akan menyalahkannya pada hal itu.
Sinar mungkin sedang sangat sakit sekarang karena dia tidak biasanya bertingkah se-tidak waras ini. Dia berani bersumpah bahwa pengendalian dirinya lebih kuat dari yang bisa dibayangkan. Namun selalu saja, pasti, Hala mampu merubuhkan dinding itu hanya dari kedipan matanya yang tidak memiliki niat apapun di baliknya.
Intinya, Sinar selalu kalah oleh perempuan itu.
“Wah, bener nih kayaknya gue”
Suara Hala yang terdengar keras dari speaker membuatnya terperanjat ketika dia membasuh wajahnya dengan handuk terdekat yang bisa dia raih. Sinar beruntung karena dia tidak berbagi kamar hotel dengan Wildan, atau dia akan benar-benar mempermalukan dirinya sendiri di depan pria itu.
“Gue telpon Lisa aja, ya, Kak? Gue khawatir banget kalau lo kesambet. Serius!”
Sinar terkekeh ketika mendengar suara panik sebelum disusul kepanikan lain saat perempuan itu masih belum menemukannya di dalam layar kameranya.
“Kak sumpah, lo kemana, sih? Halo? Ada orang?” dia memaggil. Sinar bisa mengintip perempuan itu sedang melambaikan tangannya pada kamera. Wajahnya terlihat sabgat dekat sehingga pipinya yang penuh-, memenuhi layar kamera sehingga membuat perempuan itu dua kali lebih menggemaskan. Sinar merasa dia meleleh di dalam. “Aduh kak Sinar, jangan gini dong. Lo beneran nggak kesambet setan kan?”
“Ya enggak lah, dek” Memutuskan untuk tidak memperkeruh ke adaan dan membuat perempuan itu menjadi lebih gila dari ini, Sinar memunculkan dirinya di layar face time mereka. Dia bisa melihat bibir Hala yang mengerucut ketika perempuan itu menjauh dari kamera ponselnya yang bergetar karena gerakan yang tidak terlalu halus.
“Khawatir banget sama gue, ya?” Dia mencoba menggoda, adalah hal yang salah kemudian ketika mata bulat berbingkai kacamata itu melotot padanya dengan tidak senang.
“Ya menurut Anda sendiri, gimana, ya?” Dia balas bertanya dengan sarkas. Sinar tidak bisa untuk menahan tawanya yang geli. Hidungnya yang memerah karena bersin yang tak kunjung berhenti kini menyatu dengan warna semburat merah wajahnya yang menyebar. Dia menggelengkan kepalanya, lagi-lagi takjub sendiri dengan apa yang berhasil Hala perbuat pada dirinya.
“Kalau emang se-khawatir itu sama gue, datang dong kesini, liatin gue secara langsung” Dia menggoda, mencoba untuk menarik tali kesempatan dan ingin mengetahui apakah Hala akan dengan rela datang padanya ketika dia memiliki kekhawatiran besar untuknya.
“Kak Sinar” Dia merengek sebelum dengusan dikeluarkan, terdengar kesal yang disertai dengan pemahaman bahwa dia sedang dipermainkan sekarang. “Gue tau ya, lo nggak ada di rumah bareng Lisa sekarang. Gimana gue mau nemuin lo kalau lo ada di kota seberang? Males banget gue, sumpah” dia menggerutu. Matanya menyipit untuk membuat ekspresi mengintimidasi yang sebenarnya jatuh dengan lucu dimata Sinar.
“Ngambekan banget sih, dek. Udah sebelas dua belas lo sama Lisa” dia berkomentar. Menarik sendok untuk mulai mengisi perutnya yang sudah berbunyi untuk meminta makanan.
“Kenapa emangnya? nggak suka?” Suara hala membalas, kali ini mencoba untuk menarik permainan yang telah di lemparkan Sinar padanya. Jika saja Sinar tidak mengantisipasi hal ini, dia yakin bahwa dia akan tersedak dari sendok dan makanannya sendiri.
“Oh gitu” Suaranya terdengar mengejek dengan nada yang sangat dikenali. Hala ikut menyeringai sebagai tantangan dan antisipasi, “Sudah mulai berani, ya?”
Senyuman Sinar mengembang dengan rasa suka. Kunyahannya bahkan tidak bisa dia rasakan dari pergerakannya sendiri ketika Hala mulai tertawa terbahak-bahak dari apa yang entah dirasanya sebagai hal yang lucu. Kamera bergerak dengan tidak terkendali sebelum perempuan itu mengatur napasnya dan meletakkan kamera ponselnya di tempat yang lebih stabil.
Kali ini Sinar berasumsi bahwa perempuan itu meletakkan ponselnya di atas meja yang disandarkan dari bagaimana layar menampilkan wajahnya ia tempelkan di kedua tangannya yang terlipat, membuat perempuan itu tanpa sadar menjadi sangat menggemaskan. Sinar sangat ingin untuk mencubit pipinya atau hanya mengacak rambut perempuan itu. Tangannya gatal sehingga dia hanya mencengkeram sendok dengan keras.
Butuh beberapa waktu baginya untuk bisa kembali makan dengan tenang ketika Hala hanya mengamatinya. Memeriksanya dengan cermat dari seberapa lambat bola mata itu bergerak mengikuti pergerakannya sendiri. Senyum kecil yang lucu hadir dari bibirnya yang tersembunyi, di tekan di atas lengannya.
“Kenapa?” Sinar susah payah bertanya. Dia berhasil setelah mengeluarkan dengungan aneh dari suara tenggorokkannya yang serak. “Gitu banget natap gue? Kalau gue makin gemes sama lo gimana?”
Seharusnya, tujuan utamanya untuk menghubungi Hala adalah merajuk tentang bersinnya yang tidak berhenti dari sehari yang lalu. Dia seharusnya mulai menceritakan dengan dramatis bahwa dia sedang sakit dan mengharapkan perhatian dari perempuan itu. Dia seharusnya mendengar petuah dan omelan yang membuat jantungnya berdetak dengan tidak karuan hanya dari seberapa besar perempuan itu akan merasa khawatir dengan ke adaanya.
Bukan ini, bukan dirinya yang menggoda entah dari mana dan menggila hanya karena Hala sedang berbicara dengannya. Dalam kenyamanan yang Hala berikan padanya, tentang ketidaksadaran perempuan itu akan godaannya yang berarti sesuatu-, dan dengan bagaimana Hala berani untuk menggodanya secara terang-terangan dengan menatapnya dalam tatapan mata yang tidak bisa dia artikan dalam beberapa waktu yang terasa seperti selamanya.
Benar. Dia sudah mencoba menggoda perempuan itu, menunjukkan seberapa besar perasaannya pada Hala. Namun, perempuan itu sangat tidak sadar. Dia tidak bisa menangkap semua sinyal dan godaan, dan bahkan keinginan yang nyata yang Sinar berikan terang-terangan padanya.
Kadang Sinar berpikir, apakah dia yang terlalu buruk dalam meberikan kode tentang perasaannya atau Hala yang terlalu bodoh untuk menangkap semua hal yang dia lakukan untuk perempuan itu? Karena, dia berani bersumpah bahwa semua orang tau seberapa besar Sinar menyukainya. Tetapi mengapa perempuan itu tidak pernah bisa mengambil sedikit saja dari apa yang dia lakukan untuk menarik rasa dari perempuan itu sendiri?
Atau perempuan itu hanya sedang berpura-pura dan dia hanya-,
“Lo sakit”
Kali ini Sinar benar-benar tersedak di antara kunyahannya. Matanya melotot tidak percaya ketika dia berebut untuk mencari air mineral yang bisa meredakan rasa panas di tenggorokkannya. Dia terbatuk, mengerang karena rasanya begitu menyiksa. Matanya berair, dia yakin dia menampilkan wajah aneh lagi, kali ini pasti lebih menggelikan.
“Tiba-tiba banget?” Dia membentak tanpa sengaja, menunjukkan kekesalan karena telah mengejutkannya seperti itu. Namun, perempuan yang berada di seberang hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum simpul padanya dengan geli. “Padahal gue yang lagi godain lo tapi lo malah ngalihin pembicaraan jauh banget, dek. Nggak mau di gemesin sama gue atau gimana, nih?” Dia mengomel tanpa sadar. Berdecak ketika dia kembali menenggak minumannya.
Hala terkikik geli, terdengar begitu tidak terganggu dengan bentakkan dan omelan tanpa humor dari Sinar sendiri.
“Lo udah sering bilang kalau lo gemes sama gue, Kak. Nggak ada yang baru buat gue denger” suara Hala terdengar seperti sedang menyanyi, menggodanya dengan sengaja saat perempuan itu memilih untuk mengikat rambutnya yang jatuh dengan lembut di antara jarinya. Sinar tanpa sadar, mengikuti gerakan itu dengan seksama.
“Tapi,” Sinar menarik napasnya yang hampir dia lupakan sebelum memilih untuk melihat ke arah lain. Dia tidak ingin tergoda untuk mulai refleks memuntahkan kata yang akan dia sesali nanti dan membuat mereka berdua canggung. Mungkin itu hanya dia, karena Sinar yakin Hala aka mengabaikanya dan tidak begitu mengerti hal-hal yang membuat Sinar kehilangan kewarasannya.
“Kenapa tiba-tiba lo blang kalau gue sakit?” dia melengkapi pertanyaannya ketika tanpa sadar dia megambil gelas berisikan perasan air jeruk nipis yang sekarang terasa lebih ke suam-suam kuku.
“Karena lo emang sakit” Hala tersenyum kecil. Kucingnya tiba-tiba melompat ke arahnya dan menjilati pipinya tanpa bisa di elak. Ada tawa geli yang hadir sebelum Hala bergerak untuk mengambill kucingnya dalam peluk dan menciumi kepala sang kucing yang sekarang anehnya terlihat manja. “Keliatan di gue, kak” Serunya kemudian tanpa melihatnya. “Jangan kira gue nggak bisa lihat hidung lo yang merah dan cara lo ngobrol sama gue hari ini”
Ketika Hala mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah layar kamera, Sinar merasa Hala menatapnya, menembus layar dan bahkan dirinya sendiri. Dia terperangah dengan hal yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Bibirnya terbuka dan tertutup seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, namun dia tidak menemukannya dan merasa seperti orang bodoh tiba-tiba.
“Sok tau, lo” tiba-tiba dia memuntahkan kata yang membuatnya terdengar sensi. Kenangan pada hari itu muncul kembali dalam kepalanya dan dia merasa napasnya kembali tersendat karena, tentu saja. Hala yang sekarang sedang berbicara adalah Hala yang sama pada waktu itu. Yang membuatnya merasa begitu kecil dan tidak berdaya.
“Gue punya cara, loh, Kak” Ada suara yang terdengar seperti cengiran. Sinar melotot dengan tidak suka pada layar. Terlihat seperti anak kecil yang sedang mengeluh dan mengalami gejolak ketidakpercayaan yang nyata pada kebohongan yang pasti sedang dilontarkan.
Sinar kembali menatap perempuan yang lebih muda darinya itu. Wajahnya masih sama menggemaskannya, senyumnya terlihat lebih licik dari biasanya. Dia terdengar sama seperti hari itu. Hari dimana dia merengkuh tubuh perempuan itu sebagai sandarannya ketika air matanya menitik dan sesegukannya berubah menjadi raungan.
“Hala..”
Sambungan diam untuk sebagian besar waktu sebelum ada dengusan geli dari perempuan itu yang kemudian diimbangi dengan tawa puas yang menggelegar. Sinar terperangah, perempuan itu tertawa seperti tidak ada hari esok saat dia berguling di lantai dengan tangan yang melingkari perutnya dan ketika dia kembali duduk untuk memperlihatkan dirinya di dalam kamera, matanya terbuka, berkaca-kaca yang dimana air mata mengancam untuk terjun bebas di wajahnya. Perempuan itu seperti menikmati hidupnya ketika Sinar sedang berjuang dengan dirinya sendiri.
“Kak sumpah, ya. Kenapa lo serius banget? Lo harus liat wajah lo sendiri tadi, Yaampun!” Tawanya menggelegar lagi.
Sinar mendesah, merasa dipermainkan, namun tidak membuatnya marah untuk itu. Sinar hanya merasa, entahlah, dia hanya merasa aneh. Tidak bisa menjabarkannya dengan baik. Namun telapak tangannya sudah terangkat untuk mengusap bagian jantungnya yang berdetak, dan hampir, hampir dia merasakan denyutan berbeda dari detakan tersebut.
Sinar merasa mual-, namun dengan cara yang tidak begitu buruk.
“Sumpah ya, lo, dek” Dia berbisik, masih berusaha untuk menenangkan dirinya.
“Sorry, sorry” dia menggumam maaf. Mengusap matanya yang berair sebelum menetralkan napasnya yang meburu. Senyum lebar terpampang nyata di wajahnya dan itu yang membuat Sinar kembali merasa hangat dan tenang.
“Jangan bikin gue jantungan dan ngira kalau lo cenayang, ya” dia mengancam dengan main-main. Menikmati pembicaraan yang mulai terangkat dengan lebih ringan lagi kali ini.
“hehe” dia terkekeh lucu. “Tapi gue tau lo beneran sakit, lho, Kak” jari telunjuk perempuan itu di goyangkan di depan kamera. Kekehannya lucu dan ada kedipan yang dia berikan untuk Sinar. Lelaki itu menahan napas sebentar sebelum menggeleng dengan seringaian malu-malu yang dia tahan.
Efek flu. Dia yakin.
“Masa? Dari mana?”
“Lisa tadi ngechat gue. Katanya habis dikabarin sama lo setelah ngilang kemarin” Bibir bawahnya dimajukan dengan lucu sebelum di tarik kembali dan menjadi garis tipis dalam senyum prihatin ketika dia menggeleng secara tidak terkesan. Sinar meringis mendengarnya.
“Dia juga bilang kalau lo mau ngehubungin gue. Katanya lo sakit dan mau manja-manjaan sama gue” Hala mencibir ketika dia mengungkapkan kalimat terakhir. Sinar tertawa keras, tidak habis pikir dengan kerjaan Lisa yang akan menghubungi Hala dan membocorkan percakapan mereka pada perempuan yang dia taksir.
Adiknya itu memang sangat unik dan dia tidak tahu harus bangga atau merasa malu dengan keterusterangan tanpa filter itu.
Dia baru saja ingin mengelak ketika tiba-tiba dia memilih diam. Bibirnya tidak ingin bergerak untuk meyatakan pengabaian atau elakan, namun kemudian, ketika dia merasa lebih percaya diri, Sinar memberikan seringaian yang lebar.
Kesempatan!
Hal yang tidak akan dia lewatkan. Tentu saja.
“Kalau emang bener, gimana? Lo bisa manjain gue yang lagi sakit?”
Sinar melempar bom. Dia tidak yakin tentang keputusan baik dari Hala. Perempuan itu agak pemalu untuk sebagian besar hal. Jadi, meskipun ada kesempatan, dia hanya berharap pada sedikit keajaiban yang memihaknya. Pun, tidak terlalu berharap begitu besar.
Sinar mengawasi Hala yang kali ini mengeryit sebelum mengangkat kedua alisnya dengan tatapan senang dan tidak terganggu.
“Emang gimana caranya?”
“Hah?”
Telinga Sinar tidak sedang terganggu. Dia sebenarnya mendengar dengan sangat baik. Namun, dia hanya tidak bisa untuk tidak secara refleks berucap. Agak terkejut.
“Gimana caranya gue manjain lo kalau lo nya aja lagi ada di kota seberang, kak?”
Hala sungguh akan menjadi kematiannya suatu hari nanti. Perempuan itu apa tidak tahu bahwa ada serigala yang sedang menyeringai lebar terpampang jelas pada wajah Sinar saat itu?
“Lo serius?” Dia bertanya untuk memastikan. Sinar menahan dirinya untuk tidak menjadi gila saat itu juga.
“Serius gue. Ayo cepat bilang gimana caranya?”
Sinar cekikikan seperti seorang remaja mabuk cinta. Dia mengambil napas dalam sebelum menyalurkan akal-akalan modusnya yang dimulai kembali.
“Karena lo nggak ada di dekat gue sekarang, lo bisa nemenin gue tidur dan nanti, kalau gue udah pulang, lo jalan sama gue berdua doang. Gimana? Deal?”
Sinar Adibima Cakrawijaya; pengusaha berusia 28 tahun, brilian dalam hal mengambil banyak keuntungan dalam satu kesempatan kecil.
.... ...
.... ...
.... ...
.... ...
.... ...
.... ...
“Jangan ditahan.”
Suara itu lembut membelai. Matanya yang tertutup tidak bisa ia paksa untuk membuka. Terlalu berat rasanya untuk hanya sekedar menampilkan netranya barang sedetik saja. Pun, jika dia membuka, dia tidak yakin bahwa air panas yang berada di balik kelopaknya tidak akan luruh detik itu juga.
Tubuhnya yang bergetar hebat masih berusaha untuk dia tekan. Lelaki itu masih berusaha untuk menunjukkan bahwa dia sedang baik-baik saja. Namun, telapak tangan yang menangkup wajahnya membuatnya tidak bisa menahan lebih banyak. Getaran yang hebat dari tubuhnya mulai hilang kendali. Napasnya yang dia usahakan untuk tetap netral kini keluar masuk tidak beraturan.
Satu sentuhan menuntut itu mengacaukannya. Napasnya mulai memburu. Dia menggapai, meraba-raba untuk mencari pegangan. Satu tangan lembut yang kuat lainnya menggapai tangannya. Lelaki itu hampir memberontak meski sebenarnya dialah yang sedang membutuhkan.
“Jangan ditahan. Keluarkan semuanya. Nangis aja, nggak apa-apa. Tolong”
Suara itu lagi. Sinar merasa dirinya meracau. Mungkin mengungkapkan sesuatu yang sama sekali tidak bisa dia dengar di telinganya sendiri.
“Nggak apa-apa. Ayo, lepaskan. Jangan ditahan”
Lagi, suara itu menyuruhnya untuk tidak menahan perasaannya. Dia tersesat. Segalanya masih hitam dan abu-abu untuknya. Semuanya membuat kepalanya sakit, dia akan berdiri ketika tubuhnya tiba-tiba di tahan dengan kuat.
“Hei” suara itu memanggilnya. “Nggak apa-apa. Lo boleh nangis” seseorang itu mengatakan hal yang sama. Ada tepukan lembut di kepalanya disertai dengan usapan yang membuat suaranya terdengar seperti rengekan kalan. “Capek, ya? Berat banget?” lagi dan lagi, suara itu seperti mengorek semua perasaan yang terpendam. Rasa lelah, rasa stress dan frustasinya seolah ditarik untuk hanya diluapkan oleh ombak besar yang menggulung. Mendesak untuk membuatnya keluar.
“Ayo,” lagi. “Keluarkan aja semuanya. Lo nggak sendiri” lagi dan lagi.”Ada Gue disini, bakal pegangin Lo. Ayo, biar lega. Biar Lo lega”
Sinar sesegukan. Dia masih meraih dengan mata tertutup. Namun orang yang kini memegangnya dengan erat tetap berada di tempatnya. Ada ragu sejenak sebelum pada akhirnya napas Sinar seolah keluar dari paru-parunya ketika dia merasa direngkuh dengan kelembutan baru yang pada akhirnya berhasil membuat dirinya berlutut tanpa mampu menopang tubuhnya lagi.
Dalam rengkuhan yang balik ia berikan pada sosok itu, dia mencari sedikit kehangatan ketika dia memasukkan kepalanya ke ceruk leher penyangganya. Tangannya melingkar erat di punggung kecil yang hangat, dan Sinar tidak tahu kapan pada akhirnya raungan itu keluar. Rintihan rasa sakit yang mencabik tersalurkan dengan tepukan halus menenangkan di punggungnya.
Angin berderu kencang ketika lututnya menyentuh lantai keras. Membuat mereka berdua terduduk, jatuh berlutut di atas bidang keras itu. Seharusnya dia sudah ditinggalkan ketika dia membawa orang dalam rengkuhannya jatuh berlutut, namun orang itu tetap tingal.
Tepukannya di punggung tetap dirasakannya sepanjang rasa sakit dan kelelahan yang ia elukan pada angin malam dan ruang sepi tanpa satupun mata yang berusaha untuk mengintip.
.........
...🍁...
...Tentang Rasa (Sinar Sight) Part. 2 - End...
...🍁...
...🍁🍁...
...🍁🍁🍁...
...🍁🍁🍁🍁...
Halo! Choco dateng lagi mau rekomendasi novel bagus dari kak Ay Nissa!
......PROMOSI NOVEL KARYA AY NISSA......
...JUDUL: RATU DOMINAN MENIKAHI CEO CACAT...
Ayreen Anatasya A'Morra harus kembali dari masa pelatihannya setelah dipanggil sang kakek. Ayree mendapati sang kakek telah terbujur kaku dengan memegang liontin ruby dengan ukiran rumit dan sebuah surat wasiat. Surat wasiat yang berisikan perintah bahwa Ayreen diminta untuk menerima perjodohan yang sudah dibuat sang kakek dengan sahabatnya. Orang tua Ayreen meninggal ketika dia berusia satu bulan. Bayi yang masih polos harus menerima kenyataan pahit itu. Tetapi ada misteri dibalik kematian orang tuanya. Ayreen tumbuh menjadi gadis luar biasa menjadi ratu yang sangat mendominasi. Keano Nataniel Wicaksana, tinggi 182cm.Memiliki temperamen luar biasa. Pria cacat yang harus duduk di korsi roda diakibatkan kecelakaan yang menimpanya.Tuan muda keluarga besar, salah satu dari 5 keluarga besar. Dia adalah pengusaha dunia bisnis dan tertampan namun misterius. Bagaimana bila sang ratu dominan disandingkan dengan Keano? Akankah Ayreen bisa menjalankan perannya dengan baik sesuai wasiat sang kakek?
Jangan lupa mampir ya!
Selamat membaca🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Anie fujiah
yg sapar y sinar..
2022-06-28
1
IG: Riskaprakoso_
Saya juga menyebut kucing adalah anak 😌
2022-04-29
1
Lisa Z
kak sinar ada masalah apa 😭
2022-04-04
0