Jadi sekarang, Lisa sedang memandangi dengan horor kakaknya yang sedang diobati oleh Hala. Jelas saja, Sinar mimisan setelah mendapatkan pukulan telak di wajah akibat pintu keras yang menyapanya. Untung saja hidungnya tidak patah atau retak, kalau tidak, dia tidak tahu apa yang akan dia perbuat dengan adiknya. Membuatnya mengganti rugi tulang yang patah atau bahkan mengganti rugi ketampanan wajah Sinar yang hilang karena ulah Lisa yang keterlaluan.
Sinar menatap sengit Lisa, cemberut besar di bibirnya, sedangkan Lisa tahu bahwa orang itu agak berbunga-bunga karena Hala sedang ada disana, mengobatinya dan memberikannya perhatian yang jarang sekai diberi oleh si doi.
Lisa mencibir, menggertak sang kakak yang melotot padanya sebelum akhirnya perempuan itu memilih untuk menatap dengan aneh sosok orang baru yang diam dan mengamati ruangan. Orang itu tidak berbicara sepatah kata pun sejak awal dan Lisa hampir tidak ingin untuk berbicara dengan orang asing yang diperkenalkan secara tiba-tiba sebagai calon suaminya.
Itu sangat gila. Kakaknya memang terkadang terlalu berlebihan dan terlalu bersemangat untuk mencarikan calon pendamping untuk Lisa setelah memergoki sang adik yang bergelut dengan Alpino di kamar waktu itu.
Meskipun bergelut merupakan definisi jauh dari kotor, tetapi tetap saja dalam pandangan Sinar saat itu, Alpino sedang berusaha mengapa-apakan adik perempuan berharganya. Lisa menyangkal dengan penjelasan bahwa waktu itu dia dan Alpino sedang berusaha mengusir cicak yang berada di bawah selimut dimana Alpino ketakutan mengira bahwa itu adalah salah satu kecoa yang sangat dia benci, tetapi Sinar tetap saja tidak peduli dan dia menyingkirkan Alpino dan menganggapnya sebagai orang yang harus diwaspadai dan dijauhkan dari adik perempuannya.
Lisa memutar bola matanya malas sebelum mendorong dirinya untuk menyiapkan nasi dari rice cooker. Abai pada tatapan menusuk dari Sinar yang mencoba untuk mendapatkan perhatian penuhnya sementara tangannya modus mencengkeram pergelangan tangan Hala agar tetap bersentuhan dengan kulitnya. Lisa hampir ingin menendang kakak tercintanya itu dan sahabatnya keluar dari rumahnya meskipun Hala bahkan tidak tahu apa yang ada dipikiran Sinar.
Hala menatap Lisa dengan aneh sebelum mendengus dan menarik tangannya dengan lembut dari cengkeraman Sinar, mencoba untuk tidak berada pada posisi yang lumayan canggung. Perempuan itu mengernyit ketika Sinar tetap memegangnya degan erat. Dia menggeleng sambil menarik bibirnya menjadi satu senyuman tipis yang aneh sebelum akhirnya menyerah dan memilih duduk di sebelah Sinar. Melewatkan senyuman selebar lima jari di wajah yang lebih tua yang bisa dideskripsikan sedang berada di musim semi dengan bunga-bungaan di sekitarnya. Lisa menahan diri untuk tidak melotot pada ekspresi bodoh Sinar di sana.
“Lis, ini kak Sinar ngapain bisa sampai gini? Lo tuh, ya. Bukannya seneng kak Sinar balik malah mukul pake pintu. Kasihan, dong”
Hala mulai mengomel tanpa tahu konteks apa yang membuat Lisa memilih untuk hanya mengenyahkan kakaknya dari muka bumi ini. Lisa memiliki ekspresi tidak tertarik di wajahnya ketika dia menaruh mangkuk nasi besar di tengah meja makan. Lisa melirik sedikit pada pria yang menatapnya masih dengan tatappan yang aneh. Yang membuat Lisa merasa tidak terlalu baik dengan apa yang dipikirkan oleh orang baru itu dengan kejadian seperti ini.
Lisa mulai jengah juga sebenarnya karena tamu kakaknya ini sama sekali tidak terlihat ramah padanya. Calon suami? Cih. Itu lelucon konyol yang dilemparkan kakaknya pada Lisa. Perempuan itu kemudian melirik pada Sinar yang menatapnya dengan tatapan tak berdosa, kekanakkan sekali dan Lisa ingin menarik hidung yang luka itu untuk menyadarkan sang kakak bahwa dia terlihat seperti badut yang bodoh dan sedang kasmaran.
Memangnya kak Sinar itu umurnya berapa, sih? Ini seperti Lisa yang lebih tua saja dari Sinar disini dan dia mengumpat dalam hati untuk itu. Kakaknya itu seperti memiliki kepribadian ganda di depan orang lain saja, meskipun Lisa tahu kalau Sinar benar-benar menyayanginya.
“Hala, Lo kan tau gue nggak bakalan gituin kak Sinar kalau dia nggak macem-macem sama gue. Tuh coba tanyain sama orangnya sendiri”
Lisa mencibir, Dia mencoba mengabaikan dan tidak mengindahkan sama sekali orang asing disana. Soalnya, dari tadi pria itu masih bungkam seperti patung saja. Jadi, dengan berbaik hati dan tidak ingin mengganggu, dia ikut diam tanpa mencoba untuk menggubris. Hala terlihat agak berpikir sebelum melirik Sinar yang menggeleng dengan cemberut di wajahnya, lagi-lagi membuat wajah seperti bocah yang Hala balas dengan cibiran.
“Kak Sinar ngapain Lisa? Lagian juga kak Sinar bawa tamu nggak bilang-bilang kita”
Sinar mendengus sebelum menarik tangannya dari Hala, memilih untuk lebih peduli pada piring makanannya dan mengambil dua buah pergedel dan satu tahu bacem sebelum menyendok dua centong nasi dalam ukuran besar. Sementara tisu di salah satu lubang hidungnya masih melekat erat menahan aliran darah yang mungkin akan menyerang keluar lagi sewaktu-waktu.
“Kakak nggak ngapa-ngapain juga sebenernya. Cuma bilang kalau kakak bawa calon suaminya dia aja, dek”
Mata Hala yang sudah bulat kini membelalak lebih lebar lagi dan Lisa yang hampir membalikkan piring di meja. Horor terlukis di wajah Hala sebelum menatap pada tamu yang tidak diharapkan di dalam rumah yang kemudian Lisa dan Hala hampir tercekik kala pria itu mengeluarkan senyuman ringan yang manis dan bersahaja.
“Calon suami?!”
Hala histeris. Lisa menatap Hala dengan wajah datarnya, sedangkan ketika dia melirik kakaknnya, yang hadir di wajah pria itu adalah senyum lebar yang luar biasa. Kesenangan yang tampil nyata dan ceikikan lucu penuh arti yang Lisa tahu itu berbahaya, hadir sudah. Mengguncang seluruh waktunya yang Lisa yakin pasti bahwa hal ini akan mengacaukan masa depannya.
“Selamat malam”
Pria itu membuka suara, menyapa seluruh orang yang berada di meja makan yang sama. Lisa tertegun. Ini adalah kali pertama dia mendengar suara pria yang bahkan tidak dia kenal itu. Akhirnya, orang yang sejak tadi membuatnya gelisah dan penasaran cukup sopan untuk segera masuk dan melakukan percakapan nyata dari pada hanya menatap dan menatap tanpa berusaha untuk bergabung. Seolah-olah pria itu mempertahankan citra dinginnya di depan semua orang yang sangat tidak penting sama sekali.
Untuk sesaat, Lisa bisa menemukan kelegaan dalam dirinya dan berharap orang itu akan mengatakan bahwa Sinar sedang mengerjainya seperti biasa.
“Maaf kalau kehadiran saya mengganggu keharmonisan makan malam kelaurga ini”
Lisa melotot pada pria itu. Telinganya berdengung seolah-olah tidak percaya bahwa dia mendengar sapaan yang sangat sopan santun dan formal dalam bertutur kata bahkan setelah dia mendengar Lisa mengumpat dan Hala yang berteriak, hingga kegilaan Sinar yang jelas tertera nyata adanya.
Seolah tidak memperhatikan suasana aneh disekitarnya, pria itu melanjutkan. Jarinya sudah turun dari kegiatannya melonggarkan dasi yang sempat menggantung erat di lehernya, terlihat seperti sangat mencekik.
“Nama saya Noren. Saya teman dari Sinar Adibima Cakrawijaya yang sudang dengan baik hati mengundang saya makan malam di tempat yang hangat ini”.
Sebentar.
Rasanya kepala Lisa sakit sekali. Dia menatap tajam pada Sinar yang terkikik geli di tempatnya, hampir tersedak dengan kuah miso yang masuk ke dalam mulutnya yang gemetar. Bayangkan saja, kakaknya yang sangat cengengesan seperti ini membawa temannya yang sangat formal dan kaku ke ruang makan mereka setelah mendapati drama yang sangat memalukan dihadirkan tepat di depan wajahnya! Bagaimana mungkin bisa rasa malu menghantamnya hingga sedalam ini karena perbedaan yang sangat luar biasa antara Sinar dan Noren saat ini.
Lisa benar-benar malu.
Merasa aneh, Lisa melirik Hala untuk mengkonfirmasi bahwa tdak hanya dirinya saja yang merasa campur aduk di dalam dan tidak pada tempatnya, yang ternyata temannya sendiri juga memiliki tatapan terkejut yang diarahkan pada Noren dengan kedua matanya yang bulat, mangkuk miso masih ada di tangannya dengan sendok setengah terisi yang hampir melayang ke dalam mulutnya. Posisinya agak aneh, tetapi masih bisa dimaafkan.
Hala membuat suara seperti gumaman untul membersikan ternggorokkannya yang terasa tersumbat, menyenggol tubuh Sinar yang hanya menyendok kuah misonya dengan gemar. Bertingkah seolah tidak ada yang aneh dengan situasi itu, meskipun ada geli dan puas dalam seringainya yang konyol.
“Kak Sinar!”
Lisa menendang kaki Sinar yang syukurnya bisa dia gapai untuk menyakiti kakaknya. Menyadari bahwa kakaknya harus menangani situasi yang sangat aneh ini. Sinar tersentak sebelum mendengus dan meletakkan mengkuknya kembali. Tubuhnya tegap dan luas sebelum kepalanya miring hampir mengenai bahu untuk menggoda temannya.
“Oi, Noren”
Ada kekehan lucu dari Sinar pada pria yang sepertinya sudah paham dengan situasi yang terjadi. Lisa bisa melihat bagaimana wajah Noren berangsur-angsur memerah karena mungkin malu atas caranya berbicara karena dia sedang berada di antara makan malam keluarga yang santai.
“Udah deh, jangan grogi di depan adek gue” Sinar menaikkan kedua alisnya menggoda, membuat Noren melotot padanya dari bawah poni yang jatuh mengenai sudut-sudut mata ketika Lisa memperhatikan dengan baik. “Adek gue nggak bakalan nerkam lo, kok. Aman, dia jinak soalnya”
Ada tawa terbahak-bahak yang besar dari Sinar sebelum pria dewasa itu menangkis tangan Lisa yang hampir mencoba melakukan hal anarkis padanya. Lisa merintih dan memaki sang kakak yang benar-benar membuatnya kesal sampai ke ubun-ubun.
Tetapi Lisa juga sempat melihat bagaimana semu merah muda yang hadir di wajah Noren berangsur-angsur menjadi lebih gelap seiring dengan tarikan senyuman yang manis di wajahnya. Pria itu mungkin jika di lihat dengan lebih baik lagi lucu dan tampan, rupawan juga. Lisa agak terpukau ketika dia melihat wajah polos dengan seringaian manis di wajah Noren.
Pria itu terlihat agak sopan, mungkin jauh lebih polos dari pada kakaknya dan entah kenapa Lisa merasa dia harus menjaga sikap di depan orang ini, Jadilah dia menarik tangannya sendiri dan duduk dengan layak di kursinya.
“Yah, sebenernya itu formal banget, sih”
Lisa membersihkan tenggorokkannya dengan dehaman yang sedikit lebih netral setelah melayangkan tangan untuk mencekik kakaknya terang-terangan di meja makan. Perempuan itu segera sadar diri, menarik mangkuknya lebih dekat padanya dan memberikan peringatan keras pada Sinar dengan pelototan mata yang kejam, yang di balas dengan juluran lidah konyol dari Sinar.
“Ini si kakak kapan pernah warasnya, sih?” Lisa mencoba untuk menahan diri dan bertanya dalam hati. “Punya kakak kenapa nggak ada bagus-bagusnya sama sekali, astaga” rengeknya lagi.
Lisa menarik napas dalam sebelum kembali fokus pada tamu kakak nya malam ini. “Nggak usah terlalu formal ya, kak” Lisa baru saja akan melanjutkan ketika dia sadar diri. “Eh, ini gue bisa manggil lo kakak, ‘kan? Kak Noren? Lo kan temennya kak Sinar juga”
Lisa mengambil lauk buatannya dan meletakkannya di atas piringnya sendiri dan makan dengan layak, Berusaha untuk mengabaikan situasi aneh tadi dan menganggapnya tidak pernah terjadi sama sekali. Dia hampir melewatkan batuk kecil dari Noren dan ketika perempuan itu mengangkat wajahnya untuk menatap sang tamu, dia dihadakan dengan wajah yang pemalu dan tatapan kagum yang terarah padanya.
Lisa tersedak di jalur makanan yang di telannya.
“Kenapa, hah?” Lisa merona juga. Ditatap dengan intens dan seaneh itu dari orang baru membuatnya agak gugup. “Gue bakalan lupain apa yang dibilang kak Sinar. Dia emang suka jahil sama gue. Sekarang lo makan aja di sini dengan tenang, kak. Anggap aja rumah sendiri. Ini gue sama Hala yang masak Jadi gue harap kakak suka sama makanannya”
Seolah sudah nyaman, Lisa menawarkan senyum hangatnya pada pria yang lebih tua. Mendorong mangkuk miso dekat kepada Noren yang terdiam sebelum meletakkan sepotong pergedel daging ke atas nasi Sinar yang menatapnya dengan tatapan haru.
Noren berkedip, tatapannya masih terarah pada perempuan berkuncir kuda itu. Matanya berlama-lama di wajah Lisa sebelum kembali menarik makanannya dengan diam. Lisa mengernyit, tetapi mengangkat bahunya dengan acuh dan mencoba menikmati makanannya sendiri.
“Hala, lo juga cepetan makan sebelum pulang. Besok masuk pagi, lo jangan susah dibangunin”
Lisa mencoba untuk mengalihkan perhatian dari canggung yang aneh dan berlama-lama di dalam ruangan. Mengarahkan fokus seenuhnya pada makanan dan memojokkan sahabatnya sendiri untuk pelarian. Hala mencibir pada Lisa sebelum mengunyah makanannya juga. “Gue nggak susah dibangunin, kok. Kemaren aja yang emang gue lagi marathon drama, hehe”
Hala mengerucutkan hidungnya dengan lucu, membuat Sinar yang di sebelahnya merasa sangat gemas. Tetapi, seolah tidak merasakan hal yang salah dari tingkahnya, Hala kembali mengunyah makanannya sebelum melihat dengan bingung ketika Sinar meletakkan beberapa sayur dan potongan daging di sendoknya.
“Makan yang banyak ya, Hala”
Ada senyum manis yang ditawarkan pria dari keluarga Cakrawijaya itu. Hala meringis ketika melihat makanan hijau dan menatap ke arah bungsu Cakrawijaya yang terkikik geli untuk meminta bantuan.
“Kak, Hala nggak suka sayur, lho. Udah berapa lama sih kenal sama Hala?”
Seolah-olah tersambar sesuatu, Sinar meringis. Pria dewasa itu menatap sahabat adiknya dengan tatapan sedih, persis dengan anak anjing yang baru saja di tendang dari rumahnya.
“Maaf ya, dek. Kakak lupa banget” Dia meringis, sebelum kembali melanjutkan dengan sedih. “Ya sudah, sini taruh di piring kakak lagi aja, lo makanin dagingnya aja, ya?”
Hala mendesah sebelum dengan tiba-tiba melayangkan sendok di depan wajah Sinar. Ada kepolosan lucu di sana yang membuat Sinar bertanya-tanya dengan wajah yang memanas.
“Ini deh, Hala suapin aja buat kakak. Ayo buka mulutnya nih, Aaa~”
Lisa tersedak, tidak mengharapkan drama roman picisan yang hadir di kedua matanya, sedangkan Sinar sepertinya terlihat jauh lebih bahagia dengan mata lebar dan bereri-seri seraya membuka mulutnya dengan suka rela dan tampang yang bodoh. Lisa hampir merasakan tangannya refleks melempar piringnya sendiri ke arah kakaknya yang selalu bisa modus di manapun, meski sedihnya Hala tidak akan mengambil itu untuk maksud lain selain kebaikan.
Merasa hal ini tidak terlalu penting karena, sumpah, dia hampir muak dengan segala keromantisan yang selalu di tawarkan oleh kakaknya yang modus dan Hala yang tidak pekaan di depan matanya setiap kali kakaknya akan pulang atau menginjakkan kakinya di rumah ini. Hal ini hampir sudah menjadi rutinitas yang wajar yang meskipun begitu Lisa tetap hanya ingin melemparkan sesuatu ketika melihat romansa konyol kakaknya dan sahabatnya sendiri. Agaknya mual, tetapi dia menikmati bagaimana kekonyolan kakaknya semakin merajalela.
Jadi, dengan mengabaikan hal-hal yang dapat membuat nafsu makannya menghilang, dia lebih memilih untuk menyendok nasi dan sayurnya sendiri. Menikmati hasil jerih payahnya hari ini dan sedikit sebal karena dia harus menghentikan keseruan acara kumpul bersama dengan anak-anak. Tetapi, baru saja dia akan mencoba untuk menikmati makanannya, dia merasakan tatapan yang sangat intens pada dirinya, seolah-olah berusaha membakar sampai ke inti dirinya.
Lisa mengernyit, tidak nyaman. Hal ini membuatnya mengangkat kepala dan menoleh ke arah Noren lagi.
Benar saja, pria itu menatap Lisa dengan tatapan yang begitu tajam. Lisa bisa merasakan menggigil menjalar di tubuhnya hanya dari tatapan aneh pria itu padanya. Hal ini menjadi lebih membuatnya merinding kembali dengan bertingkah malu dan memergoki Noren yang menatapnya dengan aneh seperti itu.
“itu orang kenapa, sih? Natap gue gitu banget? Emang gue salah kostum apa gimana ya? Serem banget ih”
Lisa membatin. Dia merinding sebelum menggeleng dan menantang balik tatapan Noren dengan tidak goyah.
“Lo kenapa, kak?”
Panggilan tiba-tiba itu menarik atensi yang lain. Lisa membanggakan dirinya karena tidak pernah menjadi sosok yang pengecut untuk menekankan bahwa dia juga bisa membela dirinya sendiri. “Ada yang salah sama gue?” lagi, dia bertanya dengan begitu percaya diri hingga membuat Noren sedikit terkejut, tetapi dia terlihat lebih puas dari sebelumnya.
“Oh, nggak ada kok" Ada senyuman manis yang hadir diwajah Noren. Hal itu agak membuat suasana tegang mencair dan menjadikannya nyaman. Noren mencoba untuk merilekskan dirinya, menyingkirkan peralatan makan yang masih banyak dan hampir tidak tersentuh itu ke sisi lain sebelum menopang dirinya dengan punggung tangan yang di letakkan di atas dagu, senyum terpatri secara sempurna ketika dia melanjutkan ucapannya.
"Cuma mengagumi calon istri aja kok, nggak banyak"
Layaknya ada petir menyambar di satu tempat, Lisa menggebrak dengan keras meja makan dan menatap Noren dengan tatapan paling gila yang pernah ada. Jantungnya berdebar dengan keras dengan aliran darah yang memacu hingga telinganya berdengung mendengar kekuatan keduanya dari dalam dirinya.
"GAUSAH MAIN-MAIN SAMA GUE YA, KAK!"
Lisa tidak bisa dibeginikan. Dia akan sangat marah jika dijahilin berlebihan seperti ini. Dia sudah sangat lelah dan dipermainkan sampai seperti ini sangat membuat dia kesal. Noren tetap orang asing, seharusnya dia tidak ikut-ikutan kejahilannya Sinar sampai sejauh ini.
"Tenang Lisa. Gue ngak lagi main-main, kok"
Noren tetap terlihat tenang. dia menegakkan punggungnya dan duduk dengan nyaman disana seolah tidak ada apapun yang terjadi, atau tidak ada hal yang begitu aneh untuk ditangkap atau bahkan tidak ada hal yang salah sama sekali disini. Lisa menjambak rambutnya, dia tidak suka dengan hal-hal aneh dan mengejutkan. dia akan memarahi Sinar habis-habisan setelah ini. Dia bersumpah.
"Apanya sih, Kak? Gue nggak suka kalau temennya kak Sinar juga ikut-ikutan jadi aneh begini. maaf kalau gue ngebentak kakak, Gue cuma lagi capek, kak. Gue nggak pengen di jahilin begini. Tenang aja, kalau kak Sinar yang sering nyuruh-nyuruh kakak buat ikutin kejahilannya dia, Gue yang bakal turun tangan buat ngajarin kak Sinar"
Lisa melempar tatapan kematian pada Sinar yang hanya mengangkat kedua bahu dan tenang di kursinya. Dia menghela napas pelan sebelum berdiri dan menarik kursi untuk duduk di sebelah Lisa. Melingkari tangannya di lengan Lisa dan mengelus rambut adiknya dengan sayang.
"Adeknya kakak yang paling cantik, dengerin kakak, ya” Sinar bersuara dengan lembut dan Lisa menatap Sinar dengan aneh. Kalau Sinar sudah seperti ini itu hanya berarti satu hal.
"Kak Sinar"
Kakaknya sangat serius tentang hal inii.
Lisa berhati-hati. Dia tetap tidak ingin membenarkan asumsi yang sudah didapatkannya. "Kak bilang kalau kakak bohong ya, kak. Please bilang kakak memang lagi jahilin Gue"
Lisa berharap, meraih tangan Sinar yang mengusap rambutnya dengan sayang. Namun Sinar hanya memberikannya senyum lembut dan berbalik untuk menggenggam tangan Lisa."Maafin kakak ya, dek" Dia bergumam dengan manis. tatapannya penuh rasa sayang pada adik semata wayangnya. "Kakak tau lo lagi nggak dalam suasana hati yang baik buat pembahasan ini. Tapi dek, Gue mau ngejelasin ini. cepat atau lambat lo emang harus ketemu sama Noren buat ngebenerin masa depan lo dan nggak nyembunyiin hal yang pasti lagi dari lo"
Lisa menatap dengan tidak percaya sang kakak. Dia menarik tangannya dengan kasar dari Sinar, lalu menatap Noren dengan tatapan besar tak percaya. Disana, pria itu hanya memberikan senyum manisnya yang Lisa tau ada banyak hal dibelakang itu semua. Ada sesuatu dan Lisa yakin bahwa tidak ada yang lurus tentang ini semua. Tidak ada lagi kepolosan dan ketulusan bahkan keramah-tamahan yang ditonjolkanya di awal pertemuan tadi. Semuanya hancur tak bersisa saat ini.
"Kak.. Gue nggak mau"
Lisa tegas, tetapi Sinar menggeleng menandakan bahwa dia tidak bisa menolak hal ini."Dengerin gue dulu ya, dek" Sinar mendudukkan dirinya dengan benar. Hala disana mengamati dengan tidak percaya tetapi lebih memilih diam seolah-olah dia sedang tidak ada dalam percakapan keluarga sebenarnya.
"Lo inget nggak waktu kakak pernah bilang kalau lo bakalan ketemu sama orang yang udah ditakdirin buat jadi suami lo, dek?" Lisa berkedip, mengingat kembali waktu itu ketika Sinar bercanda tentang pasangan takdir Lisa. Perempuan itu tentu menganggap kakaknya hanya mengatakan hal-hal aneh dan tidak ambil pusing. Tapi nyatanya? dia dihadapkan dengan situasi aneh ini semua tepat di depan matanya dan di jatuhkan bagai bom di waktu yang tenang.
"Ini temen gue. Noren Agustion Giovano. Pemegang perusahaan manufaktur kendaraan terbesar ke tiga di Asia. Lo pasti tau AGIOV VOLKS Group kan, dek? Dan pasti lo tau wajahnya Noren kan?"
Lisa membelalak, sama dengan reaksi Hala yang langsung menatap Noren untuk memindai. Pria itu duduk dengan nyaman di kursinya seolah-olah dia tidak sedang dibicarakan disana. Dan benar saja, makanya Lisa familiar dengan wajah itu. Dia melihatnya dimana-mana karena Noren adalah orang terkenal yang tidak pernah berbicara banyak. Hal itu yang membuat pria itu sosok yang pendiam dan bahkan berbicara dengan formal di awal pertemuan tadi.
AGIOV VOLKS Group sendiri merupakan perusahaan bisnis yang memproduksi mobil komersil dan kendaraan besar seperti truk dan bus. Lisa mengetahui hal ini karena Papanya sendiri adalah pemilik perusahaan sparepart dan engine yang sekarang memiliki cabang di mana-mana yang menyebabkan dia jarang sekali bertemu dengan papa mamanya bahkan Sinar sekalipun. Perusahaan milik Noren akhir-akhir ini sangat tersorot, terlebih lagi setelah pergantian CEO yang dimana pemberitaan memberitakan bahwa CEO baru yang menjabat di AGIOV VOLKS Group masih sangat muda dengan paras yang begitu menawan.
CEO itu adalah Noren sendiri. Pria yang sekarang duduk dengan manis di meja makan rumahnya, dengan senyum yang menghiasi wajahnya yang jarang dia tampilkan saat Lisa tidak sengaja melihatnya di televisi dengan tidak peduli.
Kepala Lisa sakit tiba-tiba. Sinar menjilat bibirnya meskipun itu lembab disana. Dia hanya sedikit goyah ketika adik kesayangannya terlihat sangat pucat. Tetapi hari ini dia harus mengatakan hal yang tidak boleh disimpan terlalu lama lagi. Jadi, Sinar kembali berbicara dengan lembut.
"Dari dulu Noren udah ngeliat lo, dek. Dia udah seneng sama lo, tapi dia baru bisa benar-benar muncul dihadapan lo hari ini. Orang tua kita juga udah setuju dengan dia. Noren udah nemuin Mama sama Papa dari bulan lalu dan karena jadwal dia emang padat, jadi cuma hari ini dia bisa datang ke sini"
Wajah Lisa pucat pasi. Meskipun orang ini mungkin terkenal dimana-mana, masih muda dan bahkan Lisa sendiri yakin pria itu dikagumi banyak orang diluar sana, Lisa masih tidak bisa. Dia punya misi untuk menemukan cinta sejatinya dari hati! bukan dari hal-hal semacam ini.
"Kenapa kakak nggak bilang apa-apa dari tadi? kenapa nggak ngomong sama gue dari lama?" Lisa menuntut jawaban. Tatapannya menyala pada sang kakak yang hanya menghela napas lembut sebelum mencium kepala Lisa dengan sayang. Hala bungkam di tempatnya, melirik bolak-balik tiga orang di ruangan. Dia tidak ikut apapun di dalam ini dan merasa seperti asing sekali.
Dan juga mendengar Lisa mempunyai calon suami…
Hala bahkan tidak berpikir apapun tentang itu. Tapi Noren juga tidak buruk. Mungkin. Dia anak konglomerat yang terkenal. Dia juga tidak terdengar buruk ataupun mendapat pemberitaan apapun yang negatif. Tapi tetap saja ‘kan, Lisa juga sering mengumbar bahwa dia akan menemukan pangerannya sendiri. Hala sedikitnya merasa sedih untuk itu. tapi dia tetap diam dan berharap bahwa dia tidak mengacaukan apapun yang ada di depannya ini.
"Gue nggak bisa, dek. Tapi gue sebagai kakak lo tau yang terbaik buat lo. Lo paham, ‘kan kalau gue sayang banget sama lo, dek? Terlepas apapun gue suka ngejahilin lo, tetap aja gue pengen yang terbaik buat lo. Jadi lo pasti ngerti kan kenapa kakak setuju?"
Lisa menatap Sinar dengan tidak minat. Nafsu makannya pun hilang. Pandangannya pada Noren berubah dan dia tidak suka dengan apapun yang sedang terjadi disini. Lisa berdiri dan pergi ke kamarnya, tidak bersuara apapun. Sinar menatap Noren setelah menghela napas berat dan menyandar di bahu kursi.
"Bener ‘kan kata gue, Ren" Noren tersenyum sebelum menarik kembali makanannya. Pria itu makan dengan santai meskipun Lisa sekarang mungkin sedang frustasi di dalam kamar yang pintunya dibanting dengan keras itu.
"Dia cuma lagi shock aja, Nar. Pasti berat, ‘kan buat dia? Tapi lo tenang aja. Lo percaya aja sama gue sesuai dengan apa yang kita bahas, ya. Gue pasti jagain dia kok”.
Ada senyum di wajah Noren yang terlihat sangat yakin. “ lo.. paham ‘kan, Nar?" Sinar menghela napas dan mengangguk sebelum akhirnya dia sadar Hala masih disana dengan tatapan bingung dan campur aduk.
"Maafin gue ya, La, lo jadi harus denger dan liat yang gini" Sinar tersenyum lembut. Hala tersentak sebelum mengulas senyum agak resah. "Tapi gue emang butuh lo, Hala. Temui Lisa dan tenangin dia, ya? nanti kalau udah kakak mau ngomong sama lo. Kalau emang Lisa belum bisa tenang sampai malem nanti, lo tidur disini aja, ya?"
Hala meremas tangannya sebeum menghembuskan napas gusar.
"Kak.." dia mendesah sebelum mengangguk. "Ya" ucapnya kemudian tanpa membuka bibirnya. Lalu perempuan itu berbalik dan pergi ke kamar Lisa, perlahan meninggalkan dua orang di dapur dengan entah apa yang akan mereka bicarakan.
...…....
Ada udara yang berat disekitar dua orang pria dewasa yang sekarang sedang membersihkan ruangan dapur dan meja makan. Ada tatapan yang tidak malu-malu untuk satu sama lain. Sinar begitu terbuka dan tabah dengan tolakan adiknya, merasa sedikit bersalah meskipun dia tidak akan menarik perjodohan ini begitu saja hanya karena Lisa yang tidak menginginkannya. Lagipula, dia memiliki keyakinan dan kepercayaan yang kuat baha Noren bisa untuk dia andalkan. Meskipun memang, agak berbahaya untuk kedepannya, Sinar telah mewaspadainya sejak awal.
“Ren, pokoknya segila apapun yang lo coba buat deketin diri lo ke Lisa, jangan sampai lo ngelukain dia, ya. Gue sayang banget sama adek gue dan nggak pernah sekalipun main tangan sama dia. Kalau sampai lo yang ngelakuin hal itu ke dia, gue nggak bakalan segan-segan buat mutusin semua hal tentang kita saat itu juga”
Noren menghela napas pelan, lidahnya menjulur untuk membasahi bibirnya yang agak kering. Dia tidak terlalu tertekan dengan ancaman yang di lakukan oleh teman dekatnya sendiri karena dia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menyakiti orang yang sudah mengambil kedudukan penuh di hatinya itu.
“Tenang aja, Nar. Kita kenal udah dari kapan, sih sampe lo ngancem gue gini?” Noren terdiam sejenak ketika dia fokus untuk meletakkan makanan sisa ke dalam kulkas sebelum kembali bebicara, “Gue emang nggak terlalu suka dengan jalan yang apa adanya. Tapi lo tenang aja, segila apapun gue, dia tetap aman sama gue”
Seringainya muncul di wajahnya ketika dia mengusap rambutnya ke belakang. Pandangannya jatuh ke arah Sinar dengan lap meja di tangannya dan meja yang masih setengah bersih.
“Gue pegang ucapan lo, ya”
“Gue janji”
...…....
...🍁...
...Chapter 02 – Bukan Lelucon-End...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Angel Beats
ngeri bet itu
2024-04-21
1
Anie fujiah
ceritanya bagus👍
2022-06-28
1
Duwi Hariani
ceritanya bagus dan menarik
2022-04-08
2