Lisa terkejut ketika Hala meletakkan plastik makanan di atas mejanya. Dia memang sudah menunggu Hala cukup lama untuk makan bersama. Lisa berterimakasih pada Hala dan meletakkan ponselnya disebelah plastik makanan. Antusias ketika dia mendengar suara perutnya menggerutu. Tetapi ada yang cukup aneh ketika dia merasakan Hala memberikan senyum licik padanya dan anggota divisi pemasaran menatapnya dengan tatapan mengintimidasi, membuat Lisa bergidik.
"Makasih, Hala-nya gue yang cantik"
Lisa mengabaikan, memilih untuk menggoda sahabatnya yang mendengus dan menepis udara dengan cemoohan, namun Hala tetap mengangguk pada Lisa dan mengambil tempat duduk di depan sahabatnya. Lisa membuka makanannya sendiri, menyesap es kopi yang dibuatnya sendiri di ruang santai.
"Tumben lo lama banget, La? emang rame banget di lapangan? Lancar nggak, nih?"
Lisa bertanya seraya membuka plastik makanannya sendiri. Dia tersenyum melihat makanan kesukaannya disana, tumis ayam pedas dengan capcay goreng jamur dan bola-bola tahu daging pedas. Hala masih asik dengan ponselnya dan membalas dengan anggukan singkat sebelum Lisa memukulnya dengan garpu, membuat Hala mengeluh.
"Iya, rame banget disana, sumpah. Lauching produk kita sukses, sih meskipun belum kedata keseluruhan karena lagi istirahat. Ini bentar lagi gue sama anak-anak mau ke stan lagi, promosi kayaknya sampai sebelum jam pulang. Nanti juga bakalan ada rapat penutup lagi. Hadeh, sibuk gue hari ini"
Hala menggembungkan pipinya yang sudah chubby, membuat Lisa menggeleng dan lebih memilih untuk mengaduk makanannya, mencicipi sedikit nasi yang hangat sebelum suara jepretan foto terdengar di telinganya.
"Apaan sih, La, lagi makan juga lo foto foto"
Hala tertawa lucu. "Oh, nggak ada apa-apa, kok. Ayo deh makan biar bahagia" Hala meletakkan ponselnya dan menyesap minumannya. Mengangguk kepada Lisa untuk segera menyantap makanannya. Lisa menatap Hala dengan tatapan aneh sebelum kembali berkutat dengan makanannya. Dia masih bisa merasakan mata anak divisi pemasaran memperhatikannya dan berbisik-bisik. Agak risih, dia mengangkat wajahnya dan melotot pada rombongan perempuan yang sekarang berbalik dan mencoba fokus dengan makanan mereka masing-masing, malu karena ketahuan membicarakannya tepat ketika dia berada disekitar.
“Eh, La" Lisa berdehem, meletakkan sendoknya diatas meja dan menatap Hala dengan sebal. "Temen-temen lo kenapa sih pada natapin gue kayak gitu? taruhan mereka pasti ngejulidin gue kan?"
Lisa menghla napas berat. Bingung sendiri sebenarnya. Pasalnya, memang Lisa tidak begitu dekat dengan anak pemasaran, tidak seperti Hala yang hampir selalu nyaman dengan anak divisi perencanaan. Tetapi Lisa tidak merasa memiliki salah dengan mereka dan tidak mengganggu mereka juga. Kenapa sekarang malah dia seperti di intimidasi oleh orang-orang itu?.
"Oh?" Hala berbalik untuk menatap teman-temannya dengan gemas. Tatapannya terlihat begitu geli sebelum melambai tepat di hadapan Lisa. "Udah nggak usah dipikirin. Mereka cuma iri sama lo, kok. Biasalah, cewek" Hala mengangkat bahunya, yang dimana perempuan itu malah terlihat mencoba untuk tidak tertawa.
"Apaan sih, La. Gue risih, lho. Kalau emang ada sesuatu yang mau diomongin ke gue, ya tinggal ngomong aja susah banget. Lagian ‘kan biasanya mereka nggak begitu ke gue. Gue ada salah sama mereka emang?"
Hala menarik bibirnya dengan gemas sebelum menggeleng kuat-kuat, membuat rambutnya tersibak ke kanan dan kiri dengan keras sesuai pergerakannya yang tidak halus. "Nggak sih. Lo nggak salah apa-apa kok. Mereka aja yang iri sama lo. Lo kan cantik, lucu, gemesin lagi. Dah, ah, sana makan. Mau nanti jam istirahat habis? Gue nggak bisa nemenin lo makan lagi"
"Canda aja lo, ya" Lisa mendengus, menendang kaki Hala dibawah meja yang dibalas Hala dengan kekehan lucu. Dia menatap Lisa yang sudah mulai asyik makan sebelum berbalik dan melemparkan kepalan tangan serta pelototan kepada teman-temannya yang cemberut. Mereka makan dengan nyaman untuk beberapa saat sebelum akhirnya Hala membuka suara lagi.
"Lis, gue minta nomor kak Noren, dong"
Lisa mengernyit bingung. "Ngapain lo minta nomor tuh orang?" Lisa menyipit curiga, Hala hanya mengangkat bahunya ringan. "Yah pengen aja. Kenapa? nggak boleh? kalau nggak boleh, ya gue minta sama kak Sinar aja deh" Hala nyengir pada Lisa yang masih tidak paham.
"Oh, lo nanya gini cuma mau pendekatan sama kakak gue? kalau mau ngechat kak Sinar jangan minta nomor cowok lain, tanyain lagi apa, kek, ajak keluar kek, lebih enak tuh kayak begitu" Lisa mengunyah makanan lain. Masih memperhatikan Hala yang hampir tersedak.
"Lo kenapa sih aneh, dasar" Dia berdecak geli. "Lo mau ngejual kakak lo ke gue?" Hala cemberut malas. "Udah ah, sini gue minta nomornya kak Noren. Serius, nih"
Lisa mendengus. "Gue nggak ada nomernya dia" lanjutnya. Tangannya mengaduk makanan dengan malas, tiba-tiba tidak mood lagi untuk makan. "Lagian ngapain sih ngebahas dia sekarang? gue jadi nggak mood nih. Sumpah" Lisa wajahnya sudah mulai jengkel. Tiba- tiba teringat kartu ucapan dari Noren yang isinya membuatnya mual itu.
Kopi pemberiannya memang sudah habis dan dia masih ingat bagaimana kelopak bunga mawar putih itu mendapat tetesan air yang belum luruh, masih segar seutuhnya. Bukan, dia bukannya senang dengan perlakuan itu, tetapi malah merasa aneh dan kekesalannya memuncak. Hala yang memperhatikan mulai bertanya lagi.
"Kenapa emangnya, sih? Eh, masa lo nggak punya nomer calon suami lo sendiri, sih?" Hala menghabiskan kunyahan terakhirnya. Melirik jam pada ponselnya, dia menghitung masih banyak waktu untuk bersantai sejenak sebelum turun kembali ke lapangan. "Ya gue nggak punya. ngapain gue nyimpen nomer dia? nggak guna tau" Lisa mencibir, membersihkan bibirnya dengan tisu sebelum meneguk air dinginnya sendiri.
"Gue bingung deh sama lo, itu anak-anak dibelakang pada pengen banget punya suami kayak kak Noren, nah lo sendiri malah nolak mentah-mentah" Hala terkekeh kecil. Lisa berkedip, "Loh kok bawa temen-temen lo?"
"Iya, masalahnya, itu makanan lo yang ngasih kak Noren, lho"
Lisa membelalak, tersedak udara ditengah-tengah mencoba bernapas.
"HAH? Maksud lo gimana?"
Hala membersihkan sisa makanannya agar lebih mudah untuk dibawa sekali lalu nanti. "Iya, itu anak-anak pada ngejulidin lo gara-gara iri kak Noren lebih milih lo tau, Lis. Tadi gue ketemu kak Noren di resto sebelah kantor. Katanya mau langsung ngasih ke lo, tapi ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal. Jadi dia nitipin makanannya ke gue. Gimana, enak nggak makanan yang langsung dibeliin sama calon lo Lis?" Hala mengangkat kedua alisnya menggoda, Lisa menatap makanannya yang sudah habis dengan ngeri.
"I-ini dari si Noren?"
Hala mengangguk dengan polos. "Iya dong. Mantap, kan? Kak Noren capek-capek ke sini niatnya beneran mau ngerebut hati lo, Lis. Eh lucunya lo sendiri nggak mau sama kak Noren sementara yang lainnya bisa-bisa ngebunuh untuk ngedapetin cintanya kak Noren"
Hala berujar dengan ringan. Lisa diam sejenak, menghela napas berat setelahnya.
"Hala,"
Ruangan terasa begitu tegang. Hala mendesah dan mengangguk dengan paham. Dia berdiri dengan santai dan menatap Lisa dengan senyuman kecil. "Iya, Lis gue paham, gue tau. Udah ah nggak usah dipikirin, anggap aja gue cuma asal ngomong kayak biasa. Lo nggak usah mikir macem-macem, ya" Lisa menatap Hala dengan bibir yang terkatup.
"Gue udah harus pergi nih bareng anak-anak. Lo juga harus balik ke meja kerja, ‘kan? Gue denger dari Pak Leo tadi dia bakalan ngumpulin anak pemasaran lagi" Hala menarik jasnya lebih erat ke tubuhnya. Membersihkan tangannya dan meraih ponselnya untuk dimasukkan ke dalam saku jasnya.
"Gue kayaknya bakalan pulang telat. Oh iya, gue nggak bakalan pegang ponsel soalnya lowbatt. tolong kirim pesan ke Heksa gue pulang telat ya, Lis"
Lisa mengangguk paham. Hala berjalan ke tempat sampah terdekat untuk membersihkan sisa makanannya. "Oh iya, jangan lupa bilang makasih sama kak Noren. Suka nggak sukanya lo, tapi lo ingat kan kata ajaibnya?" Hala terkekeh geli. Lisa mengetatkan senyumannya dan mengangguk, memberikan isyarat dengan tangannya utuk menunjukkan dia mengerti sebelum melambai untuk berpisah dengan Hala.
Anak-anak pemasaran masih ada disana, menatapnya dengan tatapan iri dan mengasihani diri sendiri sebelum akhirnya Hala datang dan menarik mereka semua untuk pergi. Hala melambai lagi untuk yang kedua kalinya tetapi dia kali ini lebih terburu-buru. Lisa bisa melihat ketua divisi pemasaran berada di depan lift menunggu anggotanya dengan tatapan sebal. Lisa memusatkan pandangannya kembali pada makanan yang telah habis di depan wajahnya. Mendesah keras, dia luruh di kursinya.
“Lo kenapa sih, kak, ngerusak ketenangan gue banget"
..........
Benar saja, Hala masih sangat-sangat sibuk dengan anggota divisinya. Lisa bahkan bisa melihat bagaimana kosongnya kursi-kursi dibagian pemasaran hingga saat ini. Mereka tengah melakukan rapat bersama dengan Pak Leo, Miss Jelita sebagai ketua divisi perencanaan juga mengikuti rapat tersebut.
Lisa sudah menghubungi Heksa untuk memberi kabar. Anak itu mengatakan bahwa dia mengerti dan akan menunggu dirumah saja, atau kalau perlu Hala bisa menghubungi anak itu sendiri nanti ketika dia sudah memegang ponselnya yang sudah di charge sendiri. Dia juga sudah menghubungi Alpino, mungkin sebentar lagi akan sampai menjemputnya.
Elena datang padanya dengan senyuman lebar. Mengajaknya untuk turun ke bassement. Lisa mengangguk dan menyuruh Elena untuk menunggu sebentar, dia akan membereskan barang-barangnya terlebih dahulu. Ketika dia mengangkat salinan berkasnya, dia menemukan kartu itu lagi. Itu cukup membuatnya terganggu. Jadi dia meraih kartu itu dan membacanya kembali. Sialnya, itu masih membuatnya geli, tetapi sekarang lebih ke rasa sebal. Apakah Noren benar-benar serius dengan ucapannya? ketenangannya akan hilang dengan begitu cepat nanti, Lisa bersumpah. Yakin dengan sepenuh hati.
Dia sadar. Manalagi tidak ada yang bisa dia andalkan. Inginnya memiliki pangeran kuda putih tersendiri, jatuh cinta dengan alami, tetapi tetap saja sampai saat ini Lisa belum melirik orang lain ataupun seseorang yang menarik minatnya. Dia sudah cukup dengan pekerjaannya dan teman-temannya yang selalu ada, juga sekarang kakaknya berada di dekatnya, jadi dia belum bisa bergaul dengan orang-orang lain di luar itu semua.
Dia mungkin bukan yang terbaik dalam memilih orang untuk dicintai, tetapi Lisa sendiri adalah orang yang bebas dan tidak suka diatur. Namun ketika memikirkan kembali, Sinar membebaskannya untuk memilih. Kakaknya tetap mendukung apapun yang adiknya pilih di akhir nanti. Ketika mungkin Noren sudah menyerah dengan ke keras kepalaannya. Tapi itu pasti memberatkan, mengingat bagaimana dia sudah dibombardir dengan hal-hal yang belum pernah dia rasakan.
Lisa menghela napas dan memasukkan kartu itu ke dalam tasnya. Hanya berpikir bahwa takutnya nanti akan ada yang melihat kartu ini dengan ucapan aneh di dalamnya yang akan menggemparkan seisi kantor dan dia akan jadi bahan gossip selama siapa yang tau berapa lama itu terjadi. Terakhir kali ada kisah cinta di dalam kantor, godaan dan gossip tidak surut hingga dua bulan lamanya.
Sebagai seorang yang perfeksionis dan memiliki image yang bagus, Lisa tidak ingin orang mengolok-oloknya ataupun menggodanya secara berlebihan. Dia selesai dengan pembersihan dan berlari untuk menggapai Elena di depan lift. Elena sibuk dengan ponselnya sebelum terkejut Lisa menariknya masuk kedalam lift dengan cepat. Perempuan muda itu cekikikan sebelum bercerita banyak kemudian, menumpahkan kisah cintanya dengan pacarnya yang masih berada di perguruan tinggi.
Ah, cinta anak muda. Lisa terkikik dan mendengarkan dengan seksama."Lis, pacar gue udah di depan, gue duluan, ya"
"Iyaa hati-hati ya, El" Elena mengangguk dan melambai dengan riang. Lisa bisa melihat seorang pria turun dari motor dan melebarkan kedua tangan untuk menyambut Elena yang langsung berlari memeluk pacarnya. Itu terlihat begitu manis dan Lisa membayangkan bagaimana suatu hari nanti dia akan merasakan hal romansa seperti itu.
Menendang kerikil dengan heels-nya, dia menggerutu kala tak menemukan Alpino sama sekali padahal anak itu sudah bilang bahwa dia aka sampai tidak lama lagi. Dia meraih ponselnya guna menghubungi Alpino, tetapi ketika telepon terhubung, Alpino sama sekali tidak menjawabnya.
"Kemana sih tuh anak, udah ditungguin juga. Bilangnya sebentar, taunya nggak ada juga sampai sekarang" Lisa menggerutu sendiri, pasalnya Alpino memang kerap kali terlambat, tetapi anak itu selalu memberikan pemberitahuan lebih dulu.
"Gue pengen istirahat, capek bener ini. Awas aja itu anak kalau belum sampai juga lima menit lagi. Gue buang gamenya semuanya tau rasa dia" dia mengusap wajahnya dengan malas. Lisa memilih untuk bersandar di dinding gedung, memperhatikan ke sekitar, masih menunggu. Tetapi kemudian dia terkejut saat seseorang yang baru-baru ini menjadi bahan pikirannya ada di depan matanya.
"Kak lo ngapain ke sini?"
Inginnya sih melupakan dengan cepat, tetapi orangnya sudah ada di depan mata dengan cengiran tak bersalah. Topi hitam ber-piercing dan sweater santai senada dengan sepatu kets-nya yang bergerigi di tapaknya seolah-olah memperlihatkan betapa siap dan nyamannya dia berada di sini sekarang. Juga, sentuhan mode yang sangat anak muda sekali.
"Halo dek kita ketemu lagi"
Noren tersenyum manis, mengawali sapaan. "Aku mau jemput kamu nih, mumpung kerjaan udah beres. Yuk bareng aku" suaranya lembut, tetapi Lisa menggeleng-, menolak dengan cepat. "Nggak ah. gue nungguin Alpino. Udah janji sama dia. Kakak juga lagian ngapain dateng tiba-tiba. Nggak takut jadi bahan gosip satu negara?"
Lisa mencibir. Tetapi dia cukup was-was karena dia tidak ingin hari tenangnya diganggu oleh netizen. Di tatap tajam oleh anak-anak divisi pemasaran saja dia sudah gerah. Juga, syukurlah Anela, Elena dan Ayu sudah pulang terlebih dahulu, jadi mereka juga tidak menyebar gosip yang tidak-tidak tentang ini.
"Berlebihan deh kamu, dek" Dia tertawa renyah. "Udah ayo ikut aja sama aku, ya? aku udah nungguin kamu dari tadi nih. Nggak baik loh nolak rezeki dari orang tulus nan baik hati"
Lisa melotot, ingin memukul yang lebih tua tetapi dia hanya menahannya dan mengeluh dalam hati. "Apaan dah memuji diri sendiri. sok iya, dih"
"Lagian ya, gue nggak bakalan mau pulang sama lo kak. Gue kan udah bilang gue udah ada janji sama si Alpino. Gue nggak mungkin khianatin sahabat gue sendiri kan? meskipun dia bobrok tetep aja dia sahabat gue"
Yah, meskipun Lisa kesal dengan Alpino yang tak kunjung datang tetapi sekarang dia sangat ingin menjambak rambut anak itu karena tak kunjung menunjukkan batang hidungnya sampai sekarang.
"Serius?"
Suara Noren yang awalnya ceria berubah dengan signifikan. Lisa langung menatap Noren dengan was-was. "A-apaan sih lo kak" Dia bergidik. Noren terlihat menarik napas sebelum beranjak. Lisa menyingkir sedikit karena kesannya agak takut, tetapi Noren malah bersandar bersebelahan dengannya. Jarak masih terlihat cukup baik untuk kewajaran.
"Ngapain sih, kak?" Lisa mencoba untuk melindungi dirinya sendiri, takut-takut Noren melakukan sesuatu yang aneh-aneh padanya.
"Ya, kalau kamu nggak mau pulang sama aku juga, aku bakalan nungguin disini bareng kamu" Noren menoleh, ada senyum tipis diwajahnya. Matanya hampir tenggelam karena topi yang terlalu rendah. "Tapi aku nggak jamin sih, Alpino bakalan cepat datang. Tadi dia diajak Sinar buat main Genshin Impact bareng katanya"
Lisa terperangah, tiba-tiba merasakan gejolak emosi yang tinggi. Yah benar. Pasti semuanya sudah direncanakan dan kakaknya itu juga turut membantu Noren untuk menjalankan ini semua. Dia menghembuskan napas dengan perlahan, berusaha untuk tidak terpancing emosi dengan cepat. Dia menarik bibirnya menjadi satu garis tipis sebelum mendorong dirinya dari dinding dan berjalan cepat. Noren berkedip sebelum berlari singkat untuk menyamakan langkah dengan Lisa.
"Lis?"
"Diem ih berisik banget. Dimana parkir mobilnya? capek pengen duduk" Lisa berhenti, berbalik untuk menghadap kearah Noren dengan tatapan yang benar- benar jengkel. Senyuman lebar Noren hadir dengan cepat diwajahnya.
"Disana" Dia menunjuk dengan lucu. Lisa memutar bola matanya dengan malas sebelum berjalan menuju tempat mobil diparkirkan."Jangan lupa sabuk pengamannya ya, Lis"
Noren mengingatkan dengan manis ketika mereka sudah duduk nyaman di dalam mobil. Lisa mengangguk, menarik safetybealtnya dan memasangnya dengan nyaman. "Iya gue paham" dia menunjuk safetybelt-nya setelah dipasang dengan baik. Noren terlihat begitu puas.
Mobil membelah jalanan dengan nyaman. Lisa sedikit terkejut menemukan suasana tidak begitu aneh dan canggung, sebaliknya Noren tampak begitu santai dan lugas. Dia bahkan menghidupkan musik dengan volume yang nyaman.
"Pasti capek ya habis kerja?"
Lisa melirik ke arah Noren yang fokus pada jalanan, tetapi senyumnya masih bisa terlihat dengan baik dari tempatnya. Topinya telah dibuka, dan surainya terlihat sangat lembut jatuh di depan kedua matanya.
"Kakak kira kerja capek nggak?"
Lisa membalik pertanyaan untuk membuat Noren jengkel, tetapi yang lebih tua hanya terkekeh geli. "ya capek, dong. Aku nanya sebenarnya ada maksud dan tujuan loh, Lis" Dia menggumam kecil sebelum menatap Lisa dengan kedua mata yang berbinar manis. "Mau ikut aku nggak?"
"Kak, mau kemana, sih? kalau capek ya berarti gue mau pulang dong. Ngapain ditanyain gituan? gue nggak mau kemana-mana. Gue mau tidur aja udah, mau pulang" Lisa melipat kedua tangan di depan dadanya dengan malas.
"Tenang, sebentar aja, kok. Nggak bakalan capek. Malah aku mau naikin mood kamu sedikit, yang kayaknya bakalan kamu suka, deh" Noren terlihat sama sekali tidak terpengaruh dengan emosi Lisa yang tidak stabil. Dia seolah-olah mengerti bagaimana membawa Lisa dalam pembicaraan, seolah-olah dia bisa menangani Lisa dengan baik dan Lisa sedikit terintimidasi.
"Sok tau sih apa yang bakalan aku suka" Lisa membuang wajahnya keluar untuk menemukan jalanan yang ramai lancar. banyak orang menunggu di trotoar untuk menyebrang.
"Patbingsu"
Lisa membeku.
"Ayo makan Patbingsu dan tteokbokki super pedas. Aku tau tempat yang enak buat itu"
Noren menatapnya dengan binar kesenangan yang terpatri nyata di wajahnya. Lisa menelan ludahnya gusar.
"Perpaduan makanan macam apa itu sih, aneh banget lo, kak"
Suara Lisa pelan, tetapi dalam sudut hatinya dia benar-benar menginginkan cemilan itu. Patbingsu yang manis adalah satu yang membuat dirinya tenang dan makanan pedas seperti kue beras asal negeri gingseng itu adalah cemilan kesukaannya nomer satu. Dia ingat bahwa pertama kali ayahnya merekomendasikannya untuk makan makanan korea yang paling terkenal yaitu tteokbokki dan patbingsu, dia langsung menyukainya. Meski agak aneh di lidah, tetapi rasanya cukup unik dan itu mejadi kesukaan yang mampu menaikkan moodnya saat sedang kacau.
"Masih ada waktu kok, aku juga udah minta izin sama Sinar buat bawa adeknya yang cantik ini keluar buat makan cemilan bareng"
Noren terkikik lucu dan Lisa mencoba untuk mengutuk di dalam hatinya.jangan jatuh, jangan jatuh , jangan jatuh!. Permainan baru saja dimulai dan dia tidak boleh kalah begitu saja.
"Modus lo"
Lisa berdecih, dia membuang wajahnya dari Noren, tetapi tidak dipungkiri bahwa dia sangat bersemangat untuk merasakan cemilan itu di lidahnya lagi. Noren dan dia kemudian jatuh dalam kenyamanan perjalanan yang aneh, membuat Lisa bertanya-tanya kenapa dia bisa setenang ini. namun kemudian tanpa bisa di rem, dia bersuara;
"Ngomong-ngomong, makasih ya kak.."
Lisa diam sejenak, masih enggan untuk menatap Noren, "Atas makanannya tadi siang"
Lisa menyumpah dalam hatinya, ini hanya karena Hala yang membuatnya berjanji untuk berterimakasih. Lagipula itu hanya makanan dan dia tidak berterimakasih untuk hadiah yang sebelumnya. Lisa ingin Noren menertawakannya, tetapi dia tidak mendengar tawa atau apapun, hanya suara tenang yang dalam jatuh dalam keheningan yang hangat.
"Sama-sama"
Tapi bukan berarti Lisa jatuh padanya secepat ini. Masih butuh beribu-ribu tahun lagi untuk Noren merayakan kemenangannya.
...... ...
...🍁...
...Perlakuan Aneh-End...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Miels Ku
semangat
2022-03-23
2