“Orang-orang disekitarmu sangat bangga memilikimu. Harap tunggu sebentar lagi karena akan ada seseorang yang akan mengatakan, Terimakasih sudah tumbuh dengan baik. Mulai saat ini tolong bersandar padaku, aku yang akan menjagamu”
___
Alpino membacakan secarik kertas kecil dengan suara keras yang dibawa Lisa dari awal dia menjemput perempuan itu di depan gedung Materiel de Maison sampai dengan ke kediamannnya dimana Lisa sekarang tengah berbaring dengan berantakkan di atas kasur yang baru saja Alpino rapihkan sebelum berangkat kerja pagi itu.
Bibirnya menarik ke bawah dengan ekspresi geli sebelum dia melempar kertas yang sudah remuk kembali pada Lisa setelah diremuk balik oleh sang lelaki. Lisa mengerang dengan tidak puas dan menghentakkan kakinya seperti ikan yang menggelepar membutuhkan air, sangat berantakkan.
“Anjir, geli banget gue” Alpino tertawa terbahak-bahak sebelum memukul kaki Lisa untuk berhenti mengacak-acak tempat tidurnya. “Sumpah ya, Bang Noren udah kayak karakter fiksi cowok di novel roman. Bucin banget, mana puitis lagi” Dia tertawa lagi, sedangkan Lisa sudah bangkit dari posisi awalnya untuk duduk. Rambutnya berantakkan, tetapi dia tetap menunduk seraya menggumam serapah yang tidak bisa sepenuhnya Alpino tangkap dengan telinganya.
“Dia bilang yang bikin itu chef-nya. Tapi gue yakin dia yang nyuruh buat nulis yang begituan, Cih” Matanya melotot sebal sembari mencari remukan kertas kecil dengan tulisan panjang monoton dengan isi yang ingin membuatnya menelan kertas itu secara utuh.
“Gue merinding banget waktu bacanya” Lisa menghela napasnya ketika dia mendongak untuk menenangkan diri. Tangan Alpino secara refleks membantu untuk menghalau helaian rambut Lisa yang berantakkan dan mengganggu wajahnya. Lelaki itu bahkan beranjak untuk mengambil sisir dan dengan telaten merapikan rambut Lisa.
“Halah, reaksi lo pasti lain kalau dari orang yang lo suka” Alpino mengejek dibelakangnya. Lisa merengut, tetapi dia tidak menyangkal ucapan Alpino. Dia tahu betul, orang yang sedang jatuh cinta pasti akan merasa sangat berbunga-bunga ketika mendapatkan hal-hal manis seperti itu dari orang spesialnya. Sudah banyak contoh yang dia lihat, ambil satu dari Sinar kepada Hala dan Fajri juga Jihan. Meskipun dua pasangan itu sama sekali belum memiliki hubungan apapun, dan meski kakaknya mungkin hanya cinta sebelah tangan. Tapi kebodohan yang terlihat karena cinta itu benar-benar terpampang nyata adanya.
“Tapi gue heran deh, Lis” Alpino menyelesaikan kegiatannya mengikat rambut Lisa menjadi ekor kuda dengan menambahkan pita rambut perempuan itu yang diambilnya secara insting dari dalam tas tangan Lisa. Terkagum sejenak dengan pekerjaannya, dia beranjak untuk meletakkan kembali sisir ke meja kamarnya. “Heran kenapa?” Lisa bangkit untuk melihat pantulan dirinya di cermin, melihat hasil tangan dari Alpino dan terkekeh lucu.
“Ini pasti hasil dari sering dandanin anak orang di studio foto, lo, ya? Rapi bener” Lisa mengusap rambutnya, senang dengan tampilan barunya yang membuatnya tidak terlihat seperti wanita dewasa yang lelah dengan kehidupan berat setelah pulang kerja.
“Hih, gue bukan stylist ya. Gue Cuma fotographer sama kadang jadi editor dadakan” Dia tertawa sebelum menepuk tangan Lisa yang sepertinya akan menghancurkan karyanya, “Gue juga belum punya studio sendiri, hey” dia memutar bola mata malas, tetapi dari ucapannya Lisa tahu bahwa mimpi terbesar Aplpino adalah memiliki studio foto sendiri.
“Ya seharusnya lo aminin, kek, mana tau kejadian ‘kan. Omongan adalah doa loh, Al” Lelaki itu tertawa dengan sungutan Lisa. “Iya deh, iya. Aamiin. Semoga omongan lo mustajab ya, Lis” Senyuman Alpino semakin lebar ketika Lisa memberikannya dua jempol yang teracung tinggi di udara. Tatapan lelaki itu terlihat melembut ketika dia sedang melipat selimut yang diberantakkan oleh Lisa tadi sebelum melanjutkan,
“Tapi gue diajarin sama Kina, sih, sedikit”
Lisa mengangkat alisnya, baru saja bibirnya ingin terbuka untuk bertanya, Alpino sudah membungkamnya untuk menghalau godaan lain dari Lisa tentang nama-nama perempuan yang sering ia lontarkan ketika bercerita. Resiko menjadi orang ganteng yang banyak penggemar, katanya. Tapi kalau kata Lisa, sih, Alpino sendiri itu adalah buaya darat yang dilambangkan oleh kepala kelinci, alias playboy kelas kakap.
“Dia stylist di studio, ya. Jangan macem-macem mulut lo, Lis”
Lisa tertawa terbahak. Terlebih ketika melihat wajah Alpino yang masam sembari mengoceh di bawah napasnya. “Gue nggak ngomong apa-apa yaa” senyumnya terlihat sangat lebar, Alpino sendiri terlihat begitu santai dengan atmosfer yang mereka buat di dalam kamar kos milik lelaki itu.
“Gue cuma mau tanya maksud lo tadi, heran kenapa. Lo nya malah negatif mulu pikiran sama gue” Alpino melotot pada Lisa, tahu bahwa Lisa hanya mencari alasan semata. “Halah, gue udah hapal lo luar dalem. Ga usah alesan lo”
Lisa suka bagaimana Alpino membuatnya merasa dua kali lebih segar dari sebelumnya. Kekesalan yang awalnya menguasai dirinya sampai terasa begitu lelah hilang dengan perlakuan yang diberikan Alpino padanya. Nyaman, jika Lisa bisa menyampaikannya. Namun dia tidak ingin percakapannya akan mengarah ke hal-hal yang terlalu intim.
“Iyadeh, saingannya Hala”
“Hih, sok spesial banget lo”
Lisa tertawa puas lagi ketika Alpino menendang kakinya dengan main-main. “Ngomong-ngomong” Alpino melanjutkan setelah menghembuskan napasnya ke anak-anak rambut yang jatuh diatas matanya. “Gue heran kok lo bisa dapet yang isinya begitu, Toh, kalau dipikir-pikir lagi kan itu kuenya banyak, ya? Dan udah dibagiin sama seisi kantor lo. Kok bisa dari sekian banyak kue isinya yang itu bisa ada di lo, sih? Emang lo nggak mikir sampe situ?”
Lisa terdiam sejenak. Kedua matanya meirik keatas untuk memikirkan ucapan Alpino baru saja sebelum akhirnya dia berkedip beberapa kali dan menepuk wajahnya dengan kedua tangannya.
“Anjir!! Bener banget kok gue nggak kepikirian sampai sana ya? Ya Allah malu banget kalau semua isinya begituan. PAPAAAA Lisa malu! Noren sialannn!!!!!”
Lisa histeris seperti kesetanan di kursi depan meja cermin membuat Alpino tertawa dengan sangat puas seperti melihat film komedi receh yang ditontonnya selepas kerja di hari jumat sore. “Al, Lo kok malah ketawa, sih?!! Ini wajah gue sama reputasi gue mau di taruh dimana? Sumpah ya, tuh orang bener-bener gila. Al, hidup gue berantakkan banget anjir setelah ada dia. Sumpah gue malu banget!”
Alpino yang terpingkal berusaha menetralkan dirinya ketika Lisa berusaha menggapainya untuk memukul tubuhnya. Dengan dengusan dan sisa napas yang berhasil di ambilnya, dan air mata yang keluar dari kedua matanya karena betapa lucunya melihat seorang Nalisa yang mendadak berubah menjadi histeris dengan wajah yang khawatir berantakkan, Alpino mencoba untuk menenangkan suasanya.
“Coba deh lo tanyain sama temen lo dia dapat apaan, mana tau beda, kan?” Napasnya yang memburu berhasil dia tenangkan. Ruangan kos yang tadinya ramai karena jeritan Lisa kembali menjadi diam ketika dia memelototi ponselnya dengan secepat kilat. Lisa benar-benar seperti orang yang ingin menghancurkan wajah seseorang.
“Sumpah gue malu. Kalau kayak gini terus mending gue ngubur diri gue aja di halaman belakang rumah deket jemuran lah, anjir. Ya Allah frustasi banget gue sama tuh satu orang gila”
“Kalian ‘kan sama gilanya, Lis. Mungkin emang jodoh kali-, Aduh! Sadar diri, kek, Lis. Tenaga Lo tuh setara samson, tau. Lo nyubit gini aja sakitnya langsung ke sum-sum tulang belakang, gila”
“Ya sengaja, emang gue mau bawa lo biar dikubur di dekat jemuran bareng gue”
Alpino mendorong kepala Lisa dengan ringan, berusaha menahan diri untuk tidak terlalu berlebihan. “Yeu, dikira bangkai kucing atau tikus lo ngubur deket jemuran”
Lisa mendengus, fokus pada ponselnya. Kakinya bergerak naik-turun, Alpino yakin bahwa anak itu sedang berada di tahap stress karena rasa malu. Benar-benar memikirkan hal yang sebenarnya tidak begitu perlu. Karena, Alpino berpikir, jika pun memang kertas keberuntungan diisi hal yang sama, tidak mungkin sampai sekarang tidak ada yang membombardir Lisa tentang isi kue tersebut, dan tidak mungkin juga Lisa tidak digoda berlebihan bahkan ketika dia menjemput perempuan itu tadi.
Lisa hanya terlalu berpikir berlebihan. Jika Lisa mendapatkan pesan seperti itu yang dihususkan padanya dalam kue fortune random yang dia dapat untuk dirinya sendiri, mungkin saja memang jodoh, bukan? Siapa yang tahu.
Alpino bangkit dan mengambil jaket dan kunci motornya. Memakai kacamata gaya miliknya, dia mengabaikan Lisa yang sedang fokus pada ponselnya, masih tidak sadar bahwa Alpino melakukan kegiatan lain di ruangan tersebut. Barulah ketika Alpino mengambil blazer milik Lisa dan memakaikannya di punggung perempuan itu, Lisa mendongak dengan rasa penasaran di wajah lelah da ekspresi tertekannya yang sama dengan ketika Apino menjemputnya tadi.
“Lo mau keluar?” Lisa bertanya dengan heran. Kali ni ponselnya sudah dimundurkan dari wajahnya dan bersemayam di atas pahanya. “Bukan gue aja. Ayo kita cari seafood. Gue laper. Udah malem juga nanti lo dicariin sama Bang Sinar gue nya yang mampus”
Lisa cemberut, sadar diri bahwa dia tidak bisa pulang terlalu malam dan dia juga merasa lapar ketika Alpino menyebutkannya.
“Kita cari kerang ijo lada hitam kesukaan lo di dekat bundaran. Masih sepi kalau jam segini. Yuk?”
Senyuman gigi ditunjukkan Lisa tiba-tiba ketika dia melompat berdiri, Alpino menggeleng dengan geli. Yakin jika Lisa sudah berhenti memikirkan perihal terburuk hidupnya meski hanya sementara saja. Setidaknya selama bersamanya, Lisa merasa lebih nyaman dan segar, Alpino merasa bahwa dia memenangkan sesuatu karena berhasil lagi menarik mood Lisa menjadi lebih baik.
“Ayo!” Perempuan itu buru-buru memakai blazernya dan meletakkan ponselnya di dalam tas tangannya. “Tapi nanti traktirin gue sate cuminya pak Cecep, ya? Tiba-tiba kangen sate cumi pedesnya”
“Iya, iya. Lo pake bajunya yang bener du-“
“Udah siap!” Dengan seringai lebar di wajah, Lisa menarik Alpino untuk keluar yang dimana anak itu segera berlari ke parkiran meninggalkan Alpino yang mengunci kamar. Setelah sampai di parkiran, Alpino bisa melihat Lisa yang sudah memakai helm dan ditangannya ada helm milik Alpino sendiri yang dilambaikannya dengan antusias.
Alpino menggeleng seraya bergumam, “Tuh anak mudah banget sih dibikin senengnya. Jackpot nya gue, sih. Sudah hapal soalnya”
Lantas Alpino sesegera mungkin menghampiri Lisa dan membiarkan perempuan itu membuka pagar lebar-lebar.
“Bang Noren, kayaknya lo harus belajar dari gue, deh. Bukan bunga ataupun kata-kata manis, tapi cari tau celah kebahagiaan anaknya, terus dibuktiin. Ntar kalau lo kalah dari gue gimana?”
Alpino berdecih. Matanya melirik ke arah Lisa yang sedang berusaha menutup pagar yang dimana dia sendiri membukanya dengan sangat lebar, membuat dirinya sendiri merasa kesusahan.
“Haduh, nggak mungkin juga sih. Doa yang terbaik buat lo, Bang Noren. Semangat berjuang runtuhin ego dan dapetin perasaannya Nalisa, ya. Haha”
“Ngomong apaan, lo, Al?”
Alpino menggeleng dengan ringan sebelum memperingatkan Lisa untuk berpegangan dan duduk dengan benar. Ketika lengan Lisa sudah berada di sisi pinggangnya dan jemari perempuan itu sudah menggenggam bagian pinggang celananya, Alpino segera melajukan motornya di jalan gang kos menuju lokasi makan yang menjadi tujuan mereka.
...….....
“Hati-hati di jalan, lo. Jangan ngebut-ngebut. Bahaya, malem ini rame soalnya”
Lisa mengoceh ketika baru saja diturunkan di depan rumahnya. Alpino mengangguk mengiyakan seperti seorang anak yang tengah dinasehati oleh ibunya. “Terus habis ini jangan main game lagi, istirahat besok lo ada project ke taman air kota buat pemotretan sama si Gheno Gheni, ‘kan? Pemotretan selebgram itu, jangan main-main ntar lo nggak dapat kesempatan buat naikin posisi lo kalau hasilnya jelek. Jangan sampe dituntut juga, gue engga ada duit buat bantu lo soalnya”
Alpino mendengus ketika dia menyimpan helm yang dipakai Lisa di tempat helm khusus di ujung motornya.
“Mentang-mentang lo udah legaan, sekarang malah cosplay jadi ibu gue, lo. Emang harus sabar gue ngehadapin anak ajaib kayak lo, ya. Untung gue banyak sabar”
Lisa cekikikan. Benar saja, ketika dia baru saja menyantap makanannya ketika Alpino bercerita tentang kegiatan kerjaannya esok hari, dia mendapatkan kabar dari teman-teman divisinya tentang pertanyaan isi kue fortune sebelumya yang benar-benar berbeda dari apa yang dia dapatkan. Tidak ada diantara rekan divisinya yang mendapatkan kata-kata yang sama, itu membuat Lisa sangat lega sehingga dia bisa merasa sangat santai seperti ini dan kembali menggoda Alpino.
“Untung banget lo dikasih stok sabar banyak, ya, Al. Gue nya yang beruntung” Lisa tertawa. Dia melirik ke belakang sejenak untuk memastikan apakah kakaknya sudah ada di sana atau tidak. Jika saja Sinar tahu bahwa adiknya masih mengobrol dengan Alpino di luar rumah malam-malam seperti ini, SInar akan menungguinya di depan pintu dan memberikan tatapan menghunus pada Alpino sampai lelaki itu benar-benar pulang ke rumahnya.
Lisa sudah berkali-kali mengatakan pada Sinar bahwa Alpino hanya sahabatnya yang menjaganya setiap kali Sinar tidak ada, tetapi karena satu kejadian waktu itu meskipun Alpino tidak menunjukkan hal aneh-aneh pada Lisa, tetap saja kakaknya itu sensitif pada Alpino.
Laki-laki memang agak aneh, termasuk kakaknya itu.
Sampai sekarang pun, Alpino masih takut-takut dan mejaga jarak aman jika ada Sinar di sekitarnya meskipun kadang Alpino sendiri merengek pada Lisa bahwa Sinar terlalu lama membenci dirinya yang dimana Lisa akan menenangkan sahabatnya dengan mengatakan bahwa kakaknya hanya bermain-main saja.
Sinar tidak membenci toh dia juga dekat dengan Alpino sendiri, hanya saja dia suka menggoda Alpino karena anak itu lucu ketika ketakutan katanya.
“Yaudah, sana lo masuk. Gue mau pulang terus istirahat. Lo juga jangan kelayapan di twitter jam segini. Jangan overthingking juga. Jangan nelpon gue tengah malam, ‘kan sekarang ada kakak lo. Dah ah, gue mau balik takut kalau Bang Sinar ngeliat kita nanti reaksi dia guenya udah kayak nyulik anak perawan orang”
Lisa mengangguk geli sebelum melanjutkan “Padahal kalau lo main sama kak Sinar waktu nggak ada gue kayaknya kalian berdua akrab banget deh” Cibirnya setelah mundur sedikit untuk memudahkan Alpino naik kembali ke motornya.
“Ya ‘kan dia sensi nya waktu ada lo, Nalisa. Kalau gue sama Bang Sinar doang mah gausah di Tanya. Kita Game Buddy bareng anak-anak”
Tawa lepas Lisa membuat Alpino juga ikut tertawa. Ada hembusan napas kecil sebelum Alpino benar-benar memutuskan untuk segera pulang ke kos-nya. “Yaudah gue pulang dulu. Besok kalau mau minta di jemput kabarin aja, gue balik on time kok, aman”
“Iya nanti gue kabarin. Makasih ya udah temenin gue hari ini. Gue jadi lega banget. Sayang banget gue sama sahabat gue satu ini” Lisa menepuk bahu Alpino dengan sayang sebelum mundur untuk membiarkan Alpino pulang.
“Iya iya, gue tau kok gue gampang disayang nan baik hati” Alpino menggoda lagi sebelum mengangkat kedua bahunya dan memutuskan untuk menghidupkan motornya, tidak ingin berlama-lama lagi. “Dah, gue pulang, ya”
Lisa tersenyum seraya melambai ketika motor Alpino sudah bergerak menjauh dari rumahnya. Menghela napas, Lisa berbalik untuk kembali ke kamar kesayangannya, mencari kenyamanan yang dia rindukan hari ini. Diam-diam Lisa kembali bersyukur bahwa Alpino menemani dan menenangkan dirinya setiap kali dia membutuhkan kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh sahabatnya itu.
Dia memang mempunyai Sinar dan Hala yang menjadi orang-orang ternyamannya. Tetapi nyaman yang diberikan oleh masing-masing mereka adalah berbeda. Dan hari ini adalah harinya Alpino. Lisa mengambil keputusan bagus untuk menenangkan diri. Sate cumi dan kerang hijau lada hitamnya membuatnya bahagia, jadi untuk hari ini dia tidak merasa terlalu lelah. Mungkin bisa tidur dengan nyenyak malam ini.
Tapi ternyata tidur nyenyaknya harus ditunda sebentar ketika dia merasakan kehadiran kakaknya di ruang tengah. Lisa hampir menjerit karena terkejut saat melihat tubuh kakaknya diatas sofa di ruang tengah yang masih gelap. Punggungnya menghadap ke atas sementara wajahnya ditenggelamkan di atas bantal.
“Kak Sinar?”
Lisa memanggil dengan suara kecil untuk memastikan apakah kakaknya tertidur atau tidak. Dengan perlahan dia mendekati tubuh Sinar untuk membangunkannya ketika kakaknya ternyata hanya tertidur di sofa. Ketika dia mengguncang tubuh sang kakak, Sinar hanya bergumam dan bergerak untuk mengangkat wajah bantalnya dan menatap Lisa dengan cemberut besar di wajahnya. Lisa menghela napas dan terduduk di atas lantai depan tubuh besar itu.
Atau bisa dibilang, bayi besar.
Ya, karena pada saat seperti ini, Sinar pastilah sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya agak tertekan. Atau mungkin, ini hanya hari buruk lainnya milik Sinar. Yang padahal, Lisa sendiri ingin menjewer telinga kakaknya dan menarik hidung bangirnya untuk menebus kekesalan yang ia rasakan ketika menelpon sang kakak pagi tadi.
“Kakak kenapa?” Lisa mencoba untuk mengorek informasi dari sinar yang masih menempelkan pipinya di batal sofa. Cemberutnya masih terlihat dan bahkan sekarang bibir itu tertarik ke bawah sepenuhnya untuk menunjukkan bahwa dia sedang kesal atau sedih karena suatu hal.
“Lo udah pulang, dek? Sama siapa tadi?” Sinar bertanya dengan suara seraknya. Lisa memutar bola mata sebelum menarik kedua bibir cemberut kakaknya untuk menjadikannya garis lurus lagi. Agar kakaknya tidak bertingkah seperti bayi besar yang kehilangan permen atau tidak kebagian balon gratis di jalanan depan toko yang memberi free sample.
“Lo ditanyain malah nanya balik, kak” Lisa mendengus. Melemparkan tasnya ke atas meja sebelum berdiri untuk meraih kakaknya agar terduduk. Sinar, dengan tubuhnya yang tidak ada energi sama sekali tidak mengimbangi usaha Lisa, alhasil Lisa membuat kakaknya duduk dengan mengerahkan tenaga lebih, membuatnya mengomel lebih banyak lagi.
“Gue udah pulang sama Alpino barusan. Gue kira lo belum balik kak soalnya nggak liat ada mobil lo di depan” Dengan sebal, Lisa duduk disebelah Sinar yang sekarang malah bersandar pada Lisa. “Astaga kak, Lo nggak mabuk, kan?”
“Ya enggak. Emang lo nyium bau alkhol apa dari gue, dek?” Akhirnya Sinar berbicara, walaupun dengusan yang Lisa terima. “Nah Lo bisa ngomong kan sekarang. Lo kenapa sih kak? Ada masalah di kantor? Padahal hari ini seharusnya gue yang marahin lo tau”
Sinar mendengus geli sebelum menegakkan tubuhnya. Tanganya ditarik keatas untuk meregangkan diri. “Syukurlah gue nggak denger omelan lo, dek. Selamat telinga gue” Lantas lelaki itu tertawa. Lisa memukul paha sang kakak agar lelaki itu tidak kembali bermain-main dan menjawab pertanyaannya dengan serius. Sinar mengulum senyum kecil, agak masam.
“Ada masalah apa? Cerita coba sama gue?” Bibir Sinar mengerucut sebelum meminta Lisa untuk mengambilkan air dengan isyarat tangan dimana dia memperagakan iklan minuman di televisi. Mau tidak mau Lisa segera beranjak untuk mengambilkan air mineral untuk sang kakak.
Sinar terkikik kecil. “Makasih adeknya kakak yang cantik” itu ucapnya sebelum dia menenggak air segar yang baru diambil dari kulkas oleh Lisa. “Hari ini gue nggak kenapa-kenapa kok. Mobil juga ada di kantor tadi gue diantar sama Mas Hari kesini. Gue kira lo udah pulang duluan, rupanya main dulu sama Alpino, ya? Udah makan lo, dek?”
Lisa mengernyit menatap kakaknya dengan heran. Lisa hapal betul perangai sang kakak. Jika Sinar baik-baik saja, maka bukan Sinar ini yang akan ditemuinya ketika Lisa pulang ke rumah. Jika sinar sedang baik-baik saja maka kakaknya itu akan terlalu heboh dan bersinar paling terang persis seperti namanya. Jika Sinar baik-baik saja, maka dia akan ke teras depan ketika mendengar suara motor dan pasti akan menakut-nakuti Alpino.
Kali ini, Lisa yakin benar bahwa kakaknya itu sedang tidak baik-baik saja.
“Gue udah makan tadi. Lo gimana, kak?” Abai pada pertanyaan yang membuat kepala Lisa penuh, Lisa mencoba berbasa-basi.
“Udah makan gue. Tadi makan mie rebus pake sosis sama cabe dua biji” Sinar tertawa, kali ini mungkin dia sudah terasa nyaman. “Pakai nasi nggak?” Sinar mengangguk, mengacungkan dua jarinya dengan cengiran lebarnya, memberikan pernyataan bahwa dia sudah menghabiskan dua mangkuk nasi sekaligus.
Lisa mendengus seraya menggeleng. Mungkin dia hanya berpikiran terlalu jauh. Kakaknya mungkin benar sedang tidak apa-apa dan hanya sedang menikmati dirinya saja.
Lisa harus terus mengingat bahwa, kakaknya juga sama ajaibnya dengan tingkahnya sendiri.
“Bagus deh kalau gitu” Lisa mengangguk seraya berdiri, ingin melanjutkan untuk bersih-bersih dan beristirahat. “Kalau gitu lo balik ke kamar, kak. Nggak bagus tidur disini. Masuk angin lo nanti terus punggung lo sakit. Ini gue mau ke kamar ya, mau mandi terus tidur”
Jika dia berpikir di situasi ini, Lisa meyakini bahwa dia terdengar lebih dewasa daripada sang kakak. Jadi, cekikikan lucu lepas darinya, membuat Sinar mengangkat kedua alisnya.
“Seneng lo udah ngomelin gue kayak Mama, dek?”
Mendengar hal itu cekikikan Lisa berubah menjadi tawa. Entah kenapa, ketika dia berbalik untuk melihat kakaknya lagi, perasaannya yang masih tersisa debu dan sampah ikatan yang membuatnya setres kembali dibersihkan, kali ini lebih bersih bahkan dia bisa merasakan angin dingin menyegarkan dirinya.
“Sumpah deh. Lo sama Alpino sama aja, kak. Dari tadi gue ngomel dikatain gue cosplay jadi Mama. Emang salah kalau gue ngomel?”
Lisa bersungut-sungut, tetapi dia tidak menyimpan perasaan kesal atau apapun dalam dirinya, malah, dia lebih senang dari sebelumnya.
“Ya enggak gitu juga” Sinar tertawa.”Tapi mungkin, sih” Lanjutnya dengan suara pelan.
Lisa yang baru saja melangkah menjauh berhenti. “Hah?”
Sinar menggeleng dan tertawa.
“Nggak kok. Udah, lo ke kamar aja gih dek. Istirahat. Besok masih kerja, kan?”
Lisa mengangguk. Sinar bangkit untuk mendekati sang adik dan mengusap kepalanya dengan sayang.
“Kak,” Lisa memanggil. Sinar menanggapinya dengan mengangkat kedua alisnya dan dagunya yang dimajukan. “Lo beneran nggak apa-apa?”
Ada hening sejenak. Lisa menunggu dengan sabar.
“Hmm..” Gumaman Sinar membuatnya sagat ingin memukul wajah kakaknya. Dia sangat khawatir di dalam sana.
“Sebenernya Hala sama Heksa ada hubungan apa, sih dek?”
Lisa terdiam sejenak.
“Kak?” Dia memanggil kakaknya dengan wajah datar dan senyuaman kecil. “Serius pertanyaan lo, itu?”
Sinar mengangguk dengan yakin. Wajahnya terlihat sangat penasaran. Lisa menggeleng dengan lelah sebelum menepuk kedua pipi sang kakak dengan gemas.
“Sumpah kak, gue kira lo kenapa. Gue kira lo kalah trading terus rugi atau perjanjian kontrak lo sama klien lo gagal” Lisa dengan gemas namun menggunakan kekuatan berlebih untuk meremas kedua pipi kakaknya. Sungguh, dia gemas sekali dengan Sinar, mengacaukan semua hal-hal yang berputar dikepalanya hingga ingin muntah.
“Aduh, sakit dek” Sinar merengek, mencoba untuk melepas cengkeraman tangan Lisa di wajahnya.
“Ya lo udah bikin gue khawatir enggak guna, rupanya cuma karena masalah hati”
“Ya, ‘kan masalah hati juga penting”
Sinar mengomel kembali, terlihat sedikit malu.
Lisa memukul dahinya sendiri dengan gemas. Namun kembali, dia terdiam sebelum tersenyum tipis.
“Mereka emang deket dari kecil, kak. Tapi mereka cuma sahabatan doang kok kayak gue sama Alpino” Dengan gemas Lisa mengusak rambut Sinar, membuatnya berantakkan. Kakaknya ini sungguh adalah bayi besar kesayangan Lisa.
"Makanya, Lo jangan cuma diem aja, ‘kak. Deketin. Tunjukin ke dia kalau kakak ada rasa sama dia. Jangan dipendem terus. Anaknya ga pernah peka kak. Dia mah kerjaan terus yang dipikir, kalau engga ya kucingnya, si Pipang itu, kalau engga ya anak-anak Korea-nya”
“Sama aja lo kayak Noren, dek” Sinar mencibir. “Siapa bilang gue nggak usaha? Males banget sama kalian. Udah ah, gue ke kamar dulu. Gue mau pundung sendirian, jangan ganggu gue”
“Ih jangan samain gue sama Kak Noren, ya!”
Lisa berteriak saat Sinar sudah lebih dulu kembali ke dalam kamarnya di ujung ruang santai. Lisa menghela napas dalam sebelum tertawa. Rasanya dia ingin sekali menggoda kakaknya secara terus menerus jika Sinar semenggemaskan ini.
Oh, tentu saja dia akan. Masih banyak waktu untuk menggoda kakaknya. Dia pastikan itu.
Dan tentang Noren, hari ini adalah hari yang baik untuk melupakan lelaki itu.
Setidaknya agar tidur cantiknya tidak terganggu oleh manusia menyebalkan satu itu.
...….....
Lima hari terakhir adalah hari yang lumayan menguras tenaga. Juga tentang hadiah-hadiah kecil yang kali ini sudah berusaha Lisa terima dengan mengabaikan apapun yang membuat emosinya tersulut. Gumaman dan teknik membuka mulut oleh teman-teman kantornya pun sebisa mungkin dia abaikan meskipun banyak yang mengeluh karena Lisa tidak ingin bercerita pada mereka. Sebisa mungkin Lisa mencoba untuk tidak melemparkan kemarahannya, sebisa mungkin dia mencoba bersabar dan sebisa mungkin Lisa selalu membuat teman-temannya bercerita tentang hal lain ketika mereka mulai membahas tentang dirinya.
Hal itu membuatnya menjadi seseorang yang kali ini mencari gossip di kantor agar anak-anak itu tidak membahas tentang dirinya. Itu agak melelahkan karena Lisa tidak suka berbicara tentang aib orang lain atau pada dasarnya menggibah, tetapi hal ini harus dia lakukan agar dia tidak menjadi tumbanlya.
Hadiah-hadiah dari Noren terus berdatangan, tetapi itu hanya hal kecil seperti kopi dan manisan di pagi hari khusus untuknya, makan siang yang dititipkan pada Hala untuk dirinya atau dititipkan pada pengawas kantor, atau bahkan dikirim langsung pada dirinya ketika dia kedapatan berada di luar gedung. Lisa sedikit beruntung ketika Noren tidak sampai untuk menjemputnya atau berusaha untuk bertemu dengannya. Karena Sinar mengatakan bahwa mereka sedang berusaha untuk mengambil hati pemilik perusahaan transportasi darat di Korea Selatan untuk bekerjasama dengan mereka. Keadaannya agak sulit, tetapi sedang mereka perjuangkan saat ini.
Setidaknya sampai hari Sabtu yang indah ketika saatnya Lisa melepaskan diri dari pekerjaannya yang melelahkan, dia bisa bersantai selama dua hari penuh tanpa diganggu oleh siapapun selain kakaknya yang sekarang sedang mengurung diri di kamar. Entah sedang melakukan apa, antara masih tidur seperti seorang putri atau sedang melakukan boxing di ruangan khusus dalam kamarnya. Atau hanya bermain game di komputernya, Lisa tidak tahu karena dia tidak melihat kakaknya hari ini.
Sabtu yang tenang ini adalah bagian dari hari libur yang akan dia isi dengan Disney Movie Marathon. Ada tiga film yang sangat ingin dia tonton hari ini, jadi Lisa mencoba untuk mengatur semuanya di ruang tengah. Mengambil bantal dan selimut, plushie panda-nya juga ia bawa sebagai teman menonton.
Perempuan itu juga sudah mempersiapkan buah-buahan segar dan makanan ringan. Pikirnya akan lebih baik dengan yang ringan dan segar dulu sebelum memesan pizza atau burger mekdi, toh dia akan menghabiskan waktu seharian penuh untuk menonton list watch Disney Movie-nya.
Lisa baru saja menyamankan dirinya di sarang empuk yang diisi banyak selimut, bantal, dan boneka serta sudah meredupkan lampu ruang tengah, menggantikannya dengan lampu mode bintang malam khusus untuk menonton film yang Sinar sarankan untuk mendapatkan lampu galaksi khusus untuk waktu menonton, jadilah sekarang dia berada di ruang santai yang diubah sebaik mungkin menjadi seperti bioskop ternyaman miliknya. Dengan langit-langit ruangan bertabur bintang dan suhu ruangan yang sejuk serta speaker home theater yang menyokong agenda di hari santainya,
Lisa mendengar sesuatu dari kamar kakaknya.
“Kak Sinar?!”
Merasa sangat cemas, Lisa melompat dan sesegera mungkin menghampiri kamar Sinar. Lisa dengan cepat membukanya, bersyukur saat tidak di kunci oleh sang empu. Dan kemudian mendapatkan pemandangan dimana sang kakak terjatuh dari kursi gamingnya.
Oke, berarti kakaknya sedang bermain game hari ini.
Tapi, kenapa Sinar bisa ada di lantai dengan kursi yang terbaik di belakang punggungnya? Sementara itu, wajah Sinar terlihat sumringah dengan cengiran yang lebar seperti dia baru saja dihempaskan ke dalam surga dunia.
Lisa berkedip.
“Kak?” kepalanya dia miringkan ke kanan, heran dengan sikap kakaknya yang sekarang tiba-tiba bangkit dan merapikan keadaannya. Lisa seperti melihat kakaknya sedang mabuk, tetapi dalam artian yang berbeda.
“Kak Sinar lo kenapa? Sumpah, ya gue khawatir banget. Lo nggak kenapa-kenapa?”
“Eh, Lisa?”
Seolah-olah baru saja melihat sang adik ada di depannya, cengiran Sinar semakin menjadi. Lisa menatapnya dengan aneh. “Lo nggak kebentur sesuatu ‘kan, kak?” Sinar terkekeh lucu sebelum berlari untuk mengambil handuknya. Dia sepertinya sedang bersiap-siap untuk pergi keluar.
“Nggak, kok. Gue nggak kebentur, jatuh doang sedikit tadi” Senyumnya lebar, tidak menghilang dari wajahnya. Sinar tersenyum tepat di depan wajah Lisa dan dia dengan sangat bersemangat memeluk Lisa dengan erat sekali. Lisa berasa di remas oleh kedua tang Sinar yang besar.
“Kak!! Aduh, remuk tulang gue, ih!! Lepasin! Lo kalau udah gila lain banget, anjir” Lisa merengek, mencoba melepaskan pelukan sang kakak yang dihadiahi tawa gemas dari Sinar. Dia terlihat sangat bahagia seperti memenangkan lotre hadiah pertama.
“Sumpah ya kak gue tanyain dari tadi lo kenapa. Ih” Lisa kembali mengomel, tetapi dia memberi jalan untuk Sinar yang ingin berlari ke kamar mandi.
“Gue mau ngedate sama Hala!” Teriaknya ketika dia berlarian ke kamar mandi sebelum menutup keras-keras pintunya.
Lisa melihat dengan ngeri, takut-takut pintu kamar mandi ambruk detik itu juga.
“Ya Allah, Hala.. kakak gue lo apain, sih” Menggeleng seraya menghela napas tak masuk akal, Lisa kembali menuju tempatnya semula, tetapi dia menunda dahulu untuk menonton, memilih untuk menghubungi sahabatnya terlebih dahulu.
Message: Me
Sumpah, La. Lo apain kakak gue, sih?
Message: Calonnya Kakak
Hah? Emang kak Sinar kenapa Lisa?
Perasaan tadi baru janjian sama gue?
Message: Me
Nah itu dia wkwk
Lo mau ngedate sama kakak gue ya?
Izin dulu kek sama gue. Gue pawangnya nih
Message: Calonnya Kakak
Wkwk anjir, ngedate apaan sih
Gue ada janji kemarin sama kak Sinar buat makan seblak mbak Mega di perempatan tugu.
Lo mau ikut nggak?
Lisa menggeleng, bersandar pada bahu sofa terlembutnya seraya ujung matanya melihat sang kakak yang berlari ke kamar hanya dengan boxer hitam keberuntungannya (katanya) dan handuk yang menutupi rambut basahnya. Bersemangat sekali.
Message: Me
Gila lo, nggak mungkin gue ikut. Malesin kalau gue jadi obat nyamuk
Message: Calonnya Kakak
Ya mana ada jadi obat nyamuk. Ga mungkin dikacangin lah lo, aneh wkwkw
Message: Me
Bentar, lo nggak ngajak Heksa atau anak lain kan? Cuma lo berdua aja sama kak Sinar, kan?
Lisa mengakui, Hala terkadang bodoh soal hal-hal seperti ini. Dia harus memastikan bahwa kakaknya tidak ada kecewa hari ini. Jika Hala mengecewakan Sinar yang tengah bahagia seperti sekarang, dia tidak akan segan segan untuk mengibarkan bendera perang pada Hala.
Message: Calonnya Kakak
Gue berdua aja sama Kak Sinar. Kak Sinar juga ngajak main ke cat café sih. Sekalian nanti sore ajak pipang jalan-jalan di taman terus dia janji mau temenin ajak pipang le vet juga HEHE
“Ini mah kalau nggak ngedate apaan namanya, ck” Lisa menggeleng tetapi dia sedikitnya lega dengan jadwal apa yang akan kakaknya dan Hala lakukan hari ini. Jika kakaknya sesenang itu, perasaannya akan damai sentosa. Dan mungkin nanti dia akan dibelanjakan sesuatu oleh Sinar. Kebiasaan yang selalu dilakukan kakaknya ketika dia sedang bahagia.
Message: Calonnya Kakak
Lagian stress banget gue kerja mulu. Sesekali have fun deh, apalagi ada tawaran menggiurkan y ague trabas aja dong.
Rezeki gabole ditolak haha
Message: Me
Wkwkw okedeh have fun ya!
Gue mau bersantai dengan gaya gue juga.
Btw jagain kakak gue, jangan sampai digondol anjing tetangga wkww
Message: Calonnya Kakak
Anjir kebalik ga sih wkwkw
Oke oke. Doi gue jamin aman dari anjing tetangga. Byeee ^3^
Lisa tertawa kecil. Senang rasanya melihat ada kemajuan yang signifikan diatara Kakaknya dan Sahabatnya. Dan hari ini juga tidak juga tidak perlu khawatir tentang kakaknya dan apapun yang terjadi. Dia punya satu hari penuh untuk dirinya sendiri. Bersantai ditemani dengan film-film kesayangannya.
Dia ada di bagian dimana Luca bertemu dengan Alberto dan berubah menjadi manusia ketika kakaknya keluar dari kamarnya dengan setelan santai dan sangat wangi. Rambutnya juga di tata sedemikian rupa, tidak lupa dengan jaket denim nya yang baru saja dia beli beberapa waktu lalu dan belum pernah di pakainya sama sekali, kali ini bertengger di tubuhnya seperti dia akan melakukan modeling di atas karpet merah.
Lisa agak melebih-lebihkan, tetapi kakaknya jujur, terlihat lebih tampan ketika dia bahagia. Jangan lupakan gemerlap sinar di matanya itu.
“Gue pergi dulu, ya, dek. Jaga rumah. Jangan kemana-mana. Kalau mau pergi kabarin gue dulu, oke?” Lisa mengangguk ketika Sinar mengomelinya sedikit. Mengecek barang-barang bawaannya dan kunci mobil ditangannya dia melambai dengan antusias. “Dek” Dia memanggil. Lisa mengangkat alisnya mendengarkan. “Gimana penampilan gue?” Lisa paham kenapa kakaknya agak gugup, jadi dia mengacungkan 2 ibu jari tangan dan mengangkat kedua ibu jarinya juga.
“Top banget. Nih gue kasih 4 jempol sekalian”
Sinar tertawa dengan lepas. Dia terlihat sangat senang.
“Oke gue berangkat. Dahh, dek! Nanti kalau ada apa-apa pokoknya kabarin gue, ya? Kalau mau nitip sesuatu juga kabarin aja, oke?”
“Iyaaaa, sana pergi. Hati-hati~”
Sinar mengangguk sebelum akhirnya Lisa kembali diselimuti dengan kegelapan dan kesejukan hari liburnya. Dia sendirian sekarang, dan itu berarti waktu santai penuh untuk dirinya sendiri.
...…....
Lagi-lagi tonotnan Lisa harus terhenti karena ada suara bel dari luar. Itu harus didengarnya beberapa kali untuk membuktikan bahwa ada orang di luar. Penasaran, Lisa sama sekali belum memesan makanan dari luar. Dia hanya sudah menghabiskan sepiring buah-buahan yang berisi anggur hijau dan beri-berian, serta beberapa buah jeruk manis yang biasanya Sinar stok di dalam kulkas. Dia juga baru menghabiskan satu setengah snack kentangnya dan film baru berjalan satu jam saja.
Ingin rasanya Lisa mengabaikan, tetapi dia memutuskan untuk bergerak menuju pintu. Ingin tahu siapa pengunjung rumahnya. Jika Alpino atau Fajri dan Jihan, mereka biasanya akan mengabari ketika mampir, tapi tidak ada sama sekali. Atau mungkin mereka hanya sedang bosan dan berpikir untuk mengejutkan Lisa dengan datang tiba-tiba, siapa tau.
Dengan kaus kebesaran bergambar beruang cokelat ternyaman yang ia miliki, celana kain cokelat gelap yang sama dan kunciran rambut cepol satu yang agak berantakkan, dia segera membuka pintu, lupa untuk mengintip melalui intercome untuk memastikan siapa orang yang datang di saat santai hidupnya.
Dan rupanya, dia menyesal.
“Loh Kak Noren? Ngapain disini?”
Lisa menatap Noren tidak percaya. Tentu saja, dia sudah senang karena Noren tidak bisa mendatanginya dan menunjukkan wajahnya di depan Lisa beberapa hari belakangan ini. Tetapi apa ini? Dia malah mengganggu waktu santai milik Lisa yang sudah Lisa peritungkan bahwa hari ini dia akan menikmati kebahagiaan dalam gelembung kecil miliknya.
Noren terdiam sejenak. Matanya tidak lepas dari bagaimana Lisa terlihat sangat nyaman saat itu. Rasanya dia ingin menyentuh Lisa karena kelembutan yang terpancar dari perempuan itu. Mungkin membenarkan anak rambut yang jatuh di dekat matanya yang cantik atau menggulung lengan bajunya yang kebesaran menutupi sebagian dari jemari lentiknya. Noren merasa bahwa dia meleleh di dalam hanya dari bagaimana Lisa terlihat di hari santainya. Wajah perempuan itu juga terlihat sangat lembut, diam-diam dia berharap bisa mencubit hidung gemas milik Lisa.
“Kak Noren?”
Noren tersentak ketika Lisa memanggilnya lagi. Kali ini dengan wajah jutek yang ditampilkan seperti hari biasanya. Noren tersenyum kecil, agak salah tingkah karena malu menatap terang-terangan.
“Ah, maaf kalau aku ganggu kamu hari ini” Dia berusaha selembut mungkin, padahal di dalam hati dia sudah merasakan banyak kupu-kupu yang berterbangan, dan wajahnya panas.
“Iya, Lo ganggu waktu santai gue, kak” Suaranya masih sama ketus, tetapi Noren tetap tersenyum, paham akan diperlakukan seperti ini. Kuncinya adalah sabar. Toh, batu akan selalu kalah oleh air.
“Aku berani sumpah, Lisa. Aku datang ke sini bukannya mau ganggin kamu kok. Aku udah ada rencana sebelumnya sama Sinar, tapi dia nggak bales pesan aku dari sejam yang lalu. Jadi aku samperin langsung ke sini. Kalau kamu nggak percaya, aku punya buktinya kok”
Noren menjelaskan seraya menarik keluar ponsel dari dalam saku celananya.
Lisa menatap dengan heran. “Loh, Kak Sinar janjian keluar sama kak Noren? Sejak kapan?”
Noren mengangkat kepalanya dari ponselnya, menatap Lisa dengan heran ketika perempuan itu menatapnya bingung. “Dari pagi tadi waktu main game bareng sama dia. Emang Sinarnya nggak ada di rumah, Lis?”
Lisa menggeleng pelan. Noren menarik bibirnya menjadi garis tipis, berjanji dalam hati untuk menghabisi Sinar jika saja mereka bertemu nanti karena mengabaikan janjinya.
“Emang Sinar kemana?” Dia bertanya lagi, kali ini meletakkan ponselnya kembali di saku celana. Mungkin dia harus pulang atau pergi keluar sendirian kali ini. Karena jujur, dia ingin sekali menggoda Lisa dan melakukan pendekatan. Bertanya mengapa perempuan itu tidak mengatakan apa-apa kepadanya setiap kali hadiah berserta godaan di dalam itu tidak membuat Lisa mengabarinya sekalipun. Bahkan isi kue fortune yang khusus untuk perempuan itu saja Lisa tidak memberikan reaksi yang murni kepada dirinya.
Noren sempat berpikir bahwa kue itu diambil oleh anak kantor Lisa yang lain dan tidak kesampaian di tangan Lisa, tetapi dia sudah menyuruh koki untuk memberikan tanda khusus pada kue itu untuk mengantisipasi Lisa membagikannya dengan anak-anak kantornya. Mungkin, Lisa tidak melihatnya atau hanya membuangnya begitu saja.
Tidak apa-apa. Mungkin lain waktu dia bisa menemukan cara lain untuk menarik Lisa kedalam genggamannya.
Namun tidak untuk hari ini, karena dia benar-benar ingin menghabiskan waktu dengan Sinar untuk bersenang-senang karena hari-hari yang rumit belakangan. Dan dia tidak ingin membuat Lisa semakin takut dan menjauh darinya. Segila apapun pikirannya, dia sudah menyiapkannya untuk waktu-waktu tertentu.
“Lagi ngedate sama Hala dianya”
“Hah?”
Ucapan Lisa membuatnya terkejut. Sinar tidak pernah mengatakan bahwa dia akan jalan dengan crush-nya itu. Dia bahkan tidak mengatakan bahwa dia sudah melakukan pendekatan langsung pada Hala terlebih karena Sinar sudah tinggal secara tetap di kota untuk waktu yang lama. Mendengar penuturan Lisa membuatnya terkejut dan memberikan reaksi murni yang mungkin terlihat bodoh di depan Lisa sendiri.
Tentu saja, perempuan itu juga terlihat terkejut ditandai dengan matanya yang membola dan kedua alisnya yang naik. Noren bisa bersumpah, Lisa terlihat sepuluh kali lebih lucu. Mengingatkannya pada Lisa versi kecil yang membuatnya jatuh untuk perempuan itu. Sangat menggemaskan.
“Loh, Lo nggak tau kak?”
Noren menggeleng. Pupus sudah harapannya untuk menghabiskan waktu menghilangkan penat. Mungkin dia memang harus sendiri dulu. Tapi tidak masalah, setidaknya melihat Lisa saat ini membuatnya sedikit bersemangat. Tapi tentu saja, untuk melakukan pendekatan, bukan ini waktunya.
“Nggak sama sekali” Noren tertawa kecil. “Biasanya dia cerita sama gue. Tapi mungkin ini dadakan kali, ya. Makanya nggak ada kabar juga, ‘kan?”
“Iya. Dia seneng banget kayaknya”
Noren tertawa. Geli mengingat bagaimana galaunya Sinar beberapa hari kebelakang meskipun banyak kerjaan yang harus mereka emban.
“Bukan kayaknya lagi, Lisa. Udah seneng banget itu. Dia galau banget waktu aku nyebut nama Heksa waktu dia cerita tentang Hala sama aku” Noren tanpa sadar mulai banyak berbicara. Kebiasaan ketika lelah, jadi sepertinya dia meruntuhkan beberapa tembok pesona yang coba ia bangun untuk mendekati Lisa.
Lisa terlihat terdiam di tempatnya. Mungkin tidak tau ingin mengatakan apa. Ini terasa sedikit aneh untuk Noren, karena dia juga memang tidak merencanakan hal ini. Dia benar-benar ingin bersantai dengan Sinar. Tidak ada hal lebih. Rasanya agak canggung, meski perasaanya berdebar karena Lisa sangat lembut dan indah di depan matanya, nyatanya dia tidak punya persiapan penuh tentang hal ini.
Dan kadang-kadang dia bisa menjadi bodoh.
“Hm..” Dia bergumam sedikit. “Kalau gitu, Lisa lanjutin aja kegiatannya, ya. Aku pamit dulu. Nanti jangan bilang sama Sinar kalau aku dateng. Nggak apa-apa biar dia senang-senang dulu” Noren tersenyum kecil. Dia bersumpah, tangannya terasa sangat gatal untuk setidaknya mengacak rambut lembut itu sekali saja.
Lisa mengamati Noren dengan seksama, dia tidak tau setan apa yang datang menghampirinya ketika dia membuka pintu lebih lebar untuk mengajak Noren masuk.
“Kalau lo nggak keberatan, mau nonton film bareng sama gue, kak?”
Rasanya Lisa ingin mengulang waktu kembali agar dia bisa menghentikan ucapan gilanya.
Sejak kapan seorang Nalisa Rembulan Cakrawijaya menawarkan musuhnya untuk bergabung di acara santai hari Sabtunya? Sejak kapan Lisa membiarkan musuhnya melihat jauh kedalam dirinya?
“Ini..beneran aku diajak?”
Noren bersuara. Cukup kaget. Begitu juga dengan diri Lisa sendiri.
Lisa menggigit bibir bawahnya dengan keras. Matanya melihat kesana kemari untuk mencari alasan logis dalam kepalanya untuk jawaban dari pertanyaan yang membludak di kepalanya. Membuatnya hampir menghantam kepalanya sendiri ke tembok rumah sekeras-kerasnya.
Noren tertawa kecil sebelum mencoba sedikit bersantai. “Kayaknya kamu lagi nggak sadar waktu ngajak, deh, Lisa” Mata Noren menyipit karena senyuman yang sama sekali belum turun dari wajahnya. “jangan dipaksain. Aku juga nggak apa-apa kok langsung pulang, yang penting aku tau kalau Sinar nggak nungguin aku dan dia lagi bersenang-senang dengan orang yang dia suka”
Lisa menatap Noren, masih belum beranjak. Dia berusaha menarik napas untuk menetralkan diri.
“Nggak kok, gue sadar”
Butuh keberanian yang besar dan mengalahkan ego yang diam-diam coba Lisa turunkan untuk berkata seperti itu sebelum melanjutkan dengan satu tarikan napas lain.
“Anggap aja sebagai balas budi gue sama makanan dan minuman yang udah lo kasih sama gue beberapa hari ini, Kak”
Noren terdiam sejenak. Lidahnya keluar untuk membasahi bibirnya yang kering, berpacu dengan deguban jantungnya yang serasa ingin jatuh dari rangka dadanya, Noren berusaha menetralkan diri. Mungkin agak kecewa karena Lisa merasa hutang budi dengan bagaimana cara dia berusaha untuk mendapatkan hati Lisa. Ya, dia merasa begitu kecewa. Tetapi biasanya dia tidak se-emosional ini karena dia adalah Noren Agustion Giovano yang punya segudang cara dan tidak akan pernah mundur atau merasakan rasa kecewa dan sakit hati dalam perjalanan setiap rencananya.
Mungkin hari ini, Lisa hanya sedang melihat sisi lemah milik Noren tanpa perempuan itu sadari. Karena rasanya, sekarang kepalanya hanya ingin pecah.
“Lisa,” Dia menarik napas dalam, tetapi dia masih tersenyum manis. “Kamu nggak perlu balas budi. Aku ngelakuin hal itu ka-,”
“Gue lagi marathon Disney. Kalau lo nggak masalah tontonan gue sejenis Raya and The Last Dragon sama Enchanto. Pintu ini kebuka buat Lo. Tapi kalau Lo nggak mau juga nggak apa-apa, gue nggak maksa”
Noren diam untuk memproses segalanya yang terjadi begitu cepat. Dia tertawa dengan keras hingga perutnya terasa geli dan dia merasa mual dalam tahap yang menyenangkan.
“Kalau gitu, mau pesen makanan?”
Mungkin Noren akan berterimakasih pada Sinar nanti.
Tidak, dia tidak akan berterimakasih secara terang-terangan. Dia punya caranya sendiri.
...…....
...🍁...
...Ajakan Yang Tidak Terduga-End...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
W e
Hahaha
2023-10-10
1
Hiatus
jejak dl ya kk. semangat up🤗🤗
2022-04-06
2
Miels Ku
kerang ijo lada hitam. hmmm mau, makanan kesukaan author ya....
2022-03-30
1