Mengatakan bahwa Senin adalah waktu yang relatif lebih panjang daripada hari lainnya, itu adalah sepenuhnya benar dan Lisa setuju dalam hal ini. Bungsu Cakrawijaya itu juga setuju bahwa Senin seharusnya menjadi hari yang lebih menguras tenaga. Mungkin agak lebih menjengkelkan dan menjadi hari dimana dia merasa sangat ingin tertidur lelap hampir sepanjang hari. Senin juga bukan menjadikannya hari terbaik yang pernah ada, tetapi setelah beristirahat yang tenang, hari Senin mau tidak mau selalu datang untuk menyapa. Menjadi awal hari baru setelah dia membuka mata dari tidur lelapnya dengan mimpi yang indah.
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa bagi sebagian orang hari Senin adalah hari yang menyebalkan, lebih menjurus pada hari yang relatif menengkelkan. Sebenarnya, banyak yang mendapatkan beberapa masalah dan repot di sana-sini, menyalahkan segalanya pada hari yang sama sekali tidak meminta untuk ditetapkan sebagai hari yang paling di musuhi. Lisa sebenarnya tidak begitu ambil pusing untuk segala hal yang terjadi pada hari Senin, pun juga sebenarnya dia tidak mempersalahkan apapun di hari itu. Namun ketika pikirannya melanglangbuana ke belakang, dia ingat bahwa dia selalu mendapatkan sedikitnya hal yang tidak menyenangkan di hari Senin. Tidak ada kesialan yang akan meninggalkan dia di hari lainnya, memang, namun begitu saja, dia merasa hal-hal yang kurang memuaskan selalu mengkutinya di hari Senin. Seperti pertamakali dia mengetahui bahwa kakaknya membawa orang baru yang menghancurkan dunianya tepat di malam Senin. (Ya, Lisa mencocokkan dengan kekeraskepalaannya bahwa malam Senin adalah sebagian dari hari Senin dan bukan Minggu. Dia tidak ingin menyangkal hal ini, jadi dia mulai setuju untuk mulai membenci hari Senin).
Lisa kemudian mengingat kembali apa yang terjadi di pagi hari ini, dia merasa bahwa hari ini sangat spesial, dari mulai bangun tidur dia merasa lebih segar dari hari sebelumnya, dimana dia seharusnya mengomel karena terbangun dari tidur cantiknya. Kemudian lagi, hal manis yang dilakukan oleh kakaknya dengan menyiapkannya sarapan kecil dan bekal makan siang. Berjalan kemudian menuju kegiatan kerjanya, dia disambut dengan pekerjaan yang membuatnya bersemangat karena dia harus mengikuti kegiatan turun lapangan dan semua bekerja dengan sangat baik hingga dia melihat hasil karyanya dan juga di puji oleh senior kepala divisi yang sangat dia kagumi.
Jadi, ya. Seharusnya dia merasa bahwa ini adalah hal yang sangat aneh karena Senin ini adalah hari yang sangat membuatnya bahagia. Hari dimana dia bisa merayakan pesta besar-besaran dan mengisi perutnya dengan banyak makanan mewah. Hari seperti itu.
Ah, namun tentu saja. Kata orang, sih, kutukan hari Senin.
Hari yang panjang dan melelahkan, pada akhirnya Lisa mengetahui bahwa, ya, kebenaran tentang Senin bisa menjadi satu hari dengan jarum jam yang bergerak sangat lamban. Ini hari Seninnya, yang belum sepenuhnya berakhir meski sudah memasuki waktu dimana matahari ingin pulang dan tertidur di singgasananya dan menendang bulan untuk segera menggantikkan tugas hariannya.
Kesadaran itu datang bagai sengatan listrik yang membuatnya resah ditandai dengan kehadiran Noren di basement kantornya ketika dia baru menjejakkan kakinya keluar dari pintu gedung perusahaan. Perasaannya yang sedang membuncah dengan senang, gumaman lagu yang bahkan dia tidak tau bahwa dia nyanyikan dengan keras di bawah napasnya yang berhembus riang, tiba-tiba saja berputar dengan emosi aneh yang membuatnya kehilangan antusiasme penghargaan yang telah dia dapatkan hari ini. Persaaannya berubah masam, dengungan lagu yang ia nyanyikan menghilang di telan udara tipis di sekitarnya. Langkahnya berhenti seolah-olah dia lupa bagaimana menggerakkannya dan tubuhnya tegang dengan sempurna layaknya dia berusaha untuk tidak terlihat dan ketahuan oleh orang lain.
Pemandangan sosok Noren yang tengah tertawa dan bercengkerama dengan santai bersama Pak Leo, Oh tentu saja itu harus Pak Leo yang lelaki itu kenal, membuatnya mual sesaat. Lisa lupa bahwa dia memang belum menerima apapun hari ini dari Noren. Dia tidak mendapatkan buket bunga, cookies atau camilan pagi lainnya, pun dia tidak menerima minuman dingin yang menyegarkan di meja kerjanya atau namanya yang dipanggil karena seorang kurir delivery memintanya untuk mengambil pesanan yang ditawarkan atas namanya.
Bahkan hari ini, Lisa hampir sepenuhnya melupakan eksistensi Noren dalam hidupnya.
Benar.
Melihat Noren sekarang dengan pakaian santainya, celana jeans biru dongker ketat membalut kakinya, kemeja abu-abu santai yang bagian depannya di tarik masuk ke dalam celananya dengan lengan kemeja yang digulung sampai ke bagian siku dan poninya yang dibiarkannya jatuh ke sekitar matanya, persis bagaimana dia terlihat ketika membawa Lisa ke kedai bingsu pertamakali. Diam, dia memperhatikan bagaimana gerak tubuh Noren yang seolah-olah sangat dekat dengan Pak Leo, dia tertawa dengan riang tanpa terlihat ada paksaan disana seolah-olah dia adalah profesional baik kerja maupun di kehidupan santainya. Seolah-olah tidak ada beban sama sekali yang sedang dia emban pada saat ini.
Itu mengingatkan Lisa ke waktu dua hari yang lalu dimana mereka menonton Disney bersama di rumahnya. Ketika Lisa memikirkan kembali, Noren yang ini terlihat lebih penuh percaya diri dan memegang dirinya sendiri dengan sangat baik seolah-olah dia adalah orang yang tidak mudah jatuh, sedangkan Noren yang berada di sisinya untuk menonton bersama kemarin terlihat lebih memeluk dirinya sendiri dan berperilaku lebih hhati-hati. Namun di akhir acara sebelum Lisa merasa gelap karena mengantuk, dia menyadari seberapa nyaman dan leganya fitur wajah Noren terlihat. Suasananya agak berbeda-, Lisa mungkin agak melebih-lebihkan saja, namun Noren yang bersamanya dua hari lalu bukanlah Noren yang ini ataupun Noren di pertemuan mereka yang lain.
Lisa kemudian menampar dirinya secara mental, bertanya dengan bentakkan pada diri sendiri mengapa dia memikirkan hal-hal tidak penting ini. Mau Noren bertingkah seperti apapun dia seharusnya tidak peduli, karena, untuk apa? Toh pada akhirnya segalanya tidak akan berjalan mulus antara keduanya. Lisa tidak bisa membayangkan bahwa dia akan jatuh pada Noren, dalam segala aspek, hal-hal yang dipaksakan dan tidak berada dalam zona kenyamanan yang sama tidak akan pernah berhasil.
Lalu kemudian, dia ditarik kembali ke kenyataan saat dimana suara tawa Noren terdengar di telinganya, kali ini lebih terkontrol seperti mereka sedang membahas perihal bisnis yang aneh. Tidak, Perusahaan Noren tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan ritel ini, dan Pak Leo juga tidak akan bisa menyatakan kerjasama antara keduanya karena mereka tidak berada di jalan dan visi yang sama. Jadi, apa yang sedang mereka bicarakan sampai seramai itu terdengarnya?
“Gue ngapain” Lisa bergumam. Kepalanya harus berpikir dua kali lebih banyak. Mungkin tiga karena dia harus segera pulang dan tidak ingin membiarkan Noren melihatnya. Jika Noren berada di sini untuk menjemputnya, maka Lisa pastikan itu tidak akan terjadi karena dia tidak ingin merusak perasaannya yang sangat baik di hari ini. Lisa tidak mau menghabisan waktunya dengan perasaan jengkel. “Ini gue pesen ojolnya di belakang aja atau gue nunggu aja sampai tuh orang pergi?” Lisa mendesah berat, mengambil ponselnya, dia membuka aplikasi ojek online dan dengan buru-buru beranjak untuk pergi dari sana karena ide yang kedua terdengar sangat tidak mungkin. Noren tidak akan menyerah sampai dia berhasil pada tujuannya dan Lisa akan berada di samping lelaki itu lagi, jadi, tidak. Dia akan pulang sendiri dan merayakan hari Senin bahagianya sendiri. Noren tidak boleh merusak perasaannya hari ini.
Namun sayangnya, langkah terburu-buru yang dimana hampir bisa disamakan dengan berlari itu menyebabkan dirinya jatuh pada tubuh orang lain, yang sangat dia kenali karena suara mengaduh dan ringisan itu terdengar sangat akrab. Matanya yang tanpa sadar terpejam mulai terbuka saat Hala memeganginya dengan wajah meringis yang sebal. Mata bulatnya menyipit dan dia siap untuk memaki sahabatnya itu jika saja Lisa tidak dengan cepat membungkam bibir Hala dengan panik.
Lisa tidak sadar bahwa dia merunduk dan membawa Hala bersamanya, bersembunyi di taman kecil yang terletak di tengah area. Mata Lisa panik mencari apakah Noren dan Pak Leo masih asyik mengobrol disana dan untungnya mereka tidak mendengar apapun yang Lisa sebabkan.
“Lisa? Lo ngapain?” Hala yang menarik tangan Lisa dari mulutnya dan mengambil udara dengan rakus. Anak itu yang awalnya ingin memarahi Lisa berganti menjadi tampilan cemas karena wajah Lisa yang terlihat sangat panik. Namun Lisa seperti tengah terhipnotis ke arah lain, dan ketika Hala berada dalam garis pandang yang sama, pemahaman mengambilnya dengan penuh.
“Oh” itu yang dia keluarkan sebelum menghela napas dengan lega. “Gue kira lo kenapa. Rupanya cuma gara-gara kak Noren jemput, lo”
“Cuma, lo bilang?”
Lisa mendesis pada Hala ketika kesadaranya muncul kembali Wajah panik dan cemberut lebar masih bertahan dengan baik di wajah Lisa. Dia benar-benar jengkel sekarang. Moodnya tiba-tiba hancur. Hala yang menyadari, membuat wajah malas.
“Santai dong, Lis” Hala mendesah, dia mundur sedikit kebelakang. Kakinya dia ayunkan ke depan dan kebelakang karena Lisa menginjaknya dengan heels yang tajam. “Lo ganti rugi kaki gue dulu, jangan marah-marah. Bisaan banget lo nabrak gue, nginjek kaki gue, eh yang marah malah lo, bukan gue”
“Hah?”
Lisa menatap Hala dengan terkejut, matanya sedikit membelalak. Hala yang maklum hanya menggeleng sabar.
“hah, hoh, hah, hoh, aja lo, Lis. Gue bukan kelomang” Hala mencibir. “Kalau lagi kesel jalannya hati-hati. Untung gue pas lagi sendirian, bukan orang lain. Tadi gue sama Miss Ivora, kalau yang Lo tabrak dan lo ga sengaja injek kakinya Miss Ivora, lo yang bakal abis” Lisa meringis, mencoba untuk menenangkan diri.
“ya gimana, gue nggak kesel pas awal. Tapi waktu Lo bilang Cuma gara-gara Kak Noren, ya gue emosi, dong” Dia merajuk. Hala tertawa sedikit ketika Lisa mulai meraih pahanya untuk memeriksa kakinya yang ia adukan diinjak oleh sang pelaku secara tidak sengaja. “Sakit banget, ya? Sumpah gue minta maaf, aduh, sorry banget, ya, La”
Dan dengan itu, ketegangan di antara keduanya mulai menghilang. Memang, tidak selamanya mereka selalu baik baik saja, ada banyak pertengkaran sahabat disana dan disini, namun mereka selalu bisa mengatasinya dengan baik. Ada ketika Lisa yang mengalah untuk mendinginkan suasanya dan begitupula sebaliknya. Itu bagus, Hala hanya tertawa dengan senang hati ketika dia menepis tangan Lisa di pahanya baik-baik.
“Aduh, jangan pegang. Gue gelian orangnya” Hala mundur lebih jauh lagi agar tangan Lisa tidak berusaha menarik kakinya. Gue udah nggak apa-apa, sumpah. Lagian nggak terlalu sakit kok, sakit sih, tapi ya nggak yang sakit kebangetan” Lisa mendesah, lebih lega. “Gue juga minta maaf karena ngerusak Mood lo. Sorry, ya” Hala menepuk bahu Lisa dengan lembut. Lisa berdecih sebelum melirik ke seberang kembali, masih dengan acara yang sama, dilingkupi dengan gelembung basa-basi dua orang lelaki yang seolah-olah berusaha untuk memecahkan misteri dunia bersama-sama dan tidak menyadari apapun yang ada di sekeliling mereka. Lisa lebih lega kembali.
“Sekacau itu ya, Lis, sampe ginian doang kita bisa tengkar kecil. Padahal tadi masih seruan aja tuh sampai lo janjiin hadiah buat gue” Hala mencoba mendorong sedikit kenyamanan lagi, lelucon kecil untuk mereka berdua. Lisa mengusap wajahnya dengan malas. Emosinya sendiri malah lebih membuatnya bertanya-tanya mengapa dia benar-benar sensitif seperti ini.
Kebahagiaan euphorianya menghilang begitu saja, dan dia benci dengan perubahan suasana hati ini. Bingung sebenarnya karena sebelumnya dengan bersama Noren, dia baik-baik saja membiarkan Noren berada dekat dengannya, di zona nyamannya. Mungkin dia lebih kesal dan sensitif karena Noren tidak meminta persetujuannya lebih dahulu dan tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang lingkupnya.
Itu. Benar, agak menjengkelkan.
“Agak kesel sih, Karena bukan dia kan yang gue harapin. Tiba-tiba datang nyelonong gitu aja, males gue, sumpah” Lisa melambaikan tangannya dengan jengkel di depan wajahnya, namun dia tidak bisa untuk mengekspresikannya lebih lagi karena dengan cepat dia menarik Hala untuk berjalan mendekat ke halte.
“La, gue pulang bareng lo, ya? Atau gue pulang ke rumah lo, deh, gue gamau ketemu dulu sama Kak Noren. Bisa makin kesel nih, gue”
Lucu kalau diingat kembali bagaimana rollercoaster hari Seninnya ini. Selama sebelas jam dia merasa segala hal berjalan sangat baik seperti dia bisa melayang di udara, namun kemudian moodnya jatuh bersamaan dengan kereta rollercoaster jatuh dari ketinggian yang membuat adrenalin meningkat, mual, dan membuatnya ingin membanting sesuatu selain dirinya sendiri.
Hala baru saja ingin menjawab ajakan Lisa, namun sebuah motor Yamaha R25 berhenti di depannya. Tentu saja, Heksa datang di saat yang tidak tepat untuk Lisa. Hala terkejut, agak kesal ketika melihat jenis motor yang dipakai Heksa untuk menjemputnya.
“Loh kalian berdua? Tumben?” Heksa melepas helmnya, sebelum turun dari motornya untuk melepaskan kaitan helm di jok belakang untuk memberikannya pada Hala.
“Maksud lo, tumben? Gue sama Hala kan sering bareng. Seolah-olah kita jauh banget aja ucapan lo, Sa” Heksa nyengir ketika Lisa berusaha untuk memukul bahunya. “Ya, Maaf. Soalnya kan biasanya lo di jemput duluan sama Alpino. Gue juga jarang papasan sama kalian berdua, kan. Makanya gue agak takjub liat lo disini bareng Hala”
“Takjub banget ucapan lo” Lisa memutar matanya. Sementara Hala ingin berkomentar masih tentang pilihan motor yang Heksa bawa. “Makanya, jangan telat mulu jemput Hala. Lo, tuh, jaga yang bener sahabat gue”
“Ini juga udah bener. Biar Hala ga manja banget sama gue” Heksa bercanda, membuat Hala mendengus ketika dia menerima Helm yang ditawarkan padanya.
“Kayaknya ucapan lo kebalik, deh, Sa. Lo tuh yang manjanya ampun-ampun sama Hala. Coba ngaku, lo” Lisa mencibir, dia masih menikmati perasaan santai dengan orang-orang terdekatnya. Dan candaan yang dilontarkan Heksa berhasil membuatnya agak lebih tenang, pun ketika dia melihat wajah masam Heksa yang mencoba mengelak fakta yang dilontarkan, dia merasakan tarikan di ujung bajunya dari Hala yang sejak tadi tidak berkomentar. Dia terlihat agak ragu sebelum menawarkan,
“Lisa, lo tadi mau bareng gue, kan? Gue baru aja mau bilang Heksa udah di jalan jemput gue. Jadi, gimana kalau lo aja yang bareng Heksa biar gue naik bus atau pesen oj-“
“Nggak usah!”
“Nggak!”
Hala mengerjap dengan teriakan yang tiba-tiba dari dua orang yang jaraknya sangat dekat dengannya sekarang. Hala bahkan mungkin bisa merasakan tatapan bingung dari orang-orang di sekitar, para pekerja kantor di halte yang masih menunggu bus karena teriakan Heksa dan Lisa.
“Aduh, kenapa teriak sih. gue kaget, sial!” Hala mengeluh sebelum dia mencubir Heksa dengan refleks.
“Aduh, kok gue yang kena?! Lagian lo ngomong tiba-tiba guenya juga kaget, La” Heksa cemberut, agak lebih sebal dengan situasi sekarang. Lisa memperhatikan bagaimana Heksa sepertinya berada di situasi dimana dia tidak ingin pada akhirnya mengantar Lisa dan membiarkan Hala sebagai orang yang di jemputnya pulang sendiri, dan juga kebigungan putih yang ada di matanya, agak aneh karena anak itu terlihat agak tidak pada tempatnya, namun keinginan satu lebih besar dari pada yang lain.
“Emang Alpino nggak ada jemput lo, Lis? Kok tiba-tiba pulang sendiri? Bang Sinar?”
Heksa menyentak pertanyaan, yang membuat Lisa sedikit jengah karena kadang kala Heksa dengan mudah di baca, namun tidak terlalu transparan. Anak itu jelas tidak akan membiarkan Hala pulang sendirian meskipun dia bisa dan bersedia mengantar Lisa. Namun, pilihan untuk mengantar Lisa tidak ada dalam opsi pertama miliknya, jadi keengganan dan sedikit rasa jahat mungkin dituangkan dalam hal paling kecil dan Lisa juga tidak merasa bahwa dia ditolak mentah-mentah. Heksa tidak jahat, namun dia punya prioritas.
“Alpino masih ada project prewedding di alun-alun, jadi gue nggak minta jemput. Kak Sinar sibuk di kantor gaada kabar sampai sekarang. Dan jujur gue juga gamau ganggu kakak gue. Gue bisa pulang sendiri kok. Tapi masalahnya,” Lisa menghela napas, terkejut ketika dia menoleh ke arah dimana orang yang sedang dia hindari saat ini menangkap tatapannya dan tersadar bahwa selama ini orang yang ditunggunya sudah keluar dari gedung.
Lisa bergidik, panik ketika Noren melambai padanya. Dan entah angin apa yang merasuki Pak Leo, Bos-nya itu mengikuti gerakan Noren dan tersenyum dengan lebar pada Lisa. Langkah mereka berdua terarah padanya dan Lisa merasa dia mati kutu.
“Loh, ada Bang Noren disini?” Heksa tiba-tiba bersuara. “Bang Noren tuh jemput Lo, Lis. Bagus deh kalau gitu biar Lo nggak pulang sendirian, dan gue bisa cepat pulang kerumah bawa nih anak satu” Heksa menarik cepol rambut Hala yang dibalas dengan cemoohan, kata kasar dan juga cubitan bertubi yang Hala berikan padanya, dan jangan lupa tarikan di rambut Heksa sebagai aksi balas dendam.
Lisa menarik bibirnya dalam satu garis lurus, pasrah. Dia sudah kalah telak.
Dia kemudian bertanya-tanya di kepalanya, kenapa Noren harus selalu seberuntung itu?
“Itu dia masalahnya, Heksa. Bodoh” Lisa bedecih, melotot pada Heksa yang meringis dan masih berusaha untuk melepas jemari Hala di sekitar kepalanya sebelum mulai mengaduh karena Lisa ikut menjambak rambut Heksa dengan sebal. “Gue kesel, jadi gue mau ikut menganiaya, lo!”
Biarlah orang lain yang melihat mereka dengan aneh, Lisa hanya ingin melepaskan kekesalannya pada Heksa. Orang yang tingginya hampir sama dengan kakaknya itu mengaduh, tidak mengerti mengapa dia ikut menjadi tumbal kekesalan orang lain. Heksa meringis, berteriak seperti anak kecil ketika dia, Lisa dan Hala berputar di tempat dengan adegan penganiayaan.
“Anjing, apa salah gue woi!”
Itu teriakan terakhir Heksa sebelum Lisa menarik tangannya, diikuti dengan Hala yang mulai merapikan rambutnya sendiri dan sadar bahwa Noren dan Pak Leo berada dekat dengan mereka sekarang. Dua langkah besar yang sempurna, dan kedua orang itu berada tepat di depan mereka.
Lisa tidak bisa memperlihatkan wajahnya yang jengkel di depan Pak Leo. Dia tidak bisa mempertaruhkan profesionalisme karyawan di depan bosnya yang dimana dia sudah kehilangan wajah di depan pak Leo tepat saat Noren mengantarkan kue fortune yang dititipkan langsung pada sang atasan. Dia tidak ingin Pak Leo melihat bagaimana sisi kotornya dia pada orang lain, meskipun mungkin imagenya sendiri sudah runtuh ketika dia menganiaya Heksa tadi, sebuah adegan yang dibuat untuk mata khalayak umum.
“Halo, lisa. Kok kamu sudah di sini? Saya nggak lihat kamu keluar kantor, Loh” Pak Sinar lebih dulu menyapa Lisa. Dan bungsu Cakrawijaya itu merasa ingin melempar sesuatu ke wajah Noren. Demi apapun, kenapa Noren harus mengajak pak Leo untuk datang dan menyapanya seperti ini? Sial.
“Ah, maaf pak, saya juga tidak melihat bapak, saya keluar bersama Hala sejak tadi dan memutuskan untuk menemani Hala menunggu jemputannya” Lisa memaksakan senyumnya, dia berusaha untuk mengabaikan Noren yang sangat tenang di sebelah bosnya. Tenang, dengan tatapan mata yang terlihat memuja dan kagum ia tunjukan pada Lisa. Dan Lisa sangat ingin mencakar wajah itu saat ini juga. Ketika dia tidak bisa, Lisa menahan tangannya dekat dengan tas kerjanya.
“Selamat Sore, pak Leo” Hala mencoba berbaur, sedangkan Heksa mundur kebelakang dan berusaha untuk menata rambutnya kembali. Dia terlihat sangat berantakkan dengan wajah jengkel ketika dia menarik gumpalan rambutnya menjadi satu garis lurus yang rapi.
“Oh, Hala di jemput pacarnya juga, ya?” Hala terkejut, bukan hanya dia, Heksa yang berisik dengan rambutnya dan Lisa yang berada tepat di depan bos-nya itu ikut terperangah. Hala meringis, melambai dengan gerakan patah-patah dan menyatakan bahwa mereka hanya teman dekat dan Lisa juga kenal dekat dengan Heksa. Dengan itu, mau tidak mau Heksa ikut menyapa Pak Leo dengan canggung.
Dan apa-apaan, kata juga, itu?
“Oh, saya kira kamu di jemput pacar juga sama kayak Lisa. Ini, Pak Noren dari tadi nungguin Lisa buat jemput”
Pacar sama kayak Lisa.
Kepala Lisa berdenyut ketika bos-nya dengan santai mengatakan hal seperti itu. Lisa baru saja akan mengelak ketika Noren lebih dulu berucap dengan santai dan lebih tenang. Agaknya, dia merasa senang dari bagaimana dia menyeringai.
“Ah, Pak, jangan menggoda Lisa kayak gitu” Dia melambai, menepuk bahu Pak Leo dengan ringan seolah-olah itu adalah hal yang sangat biasa di dunia. Menjelaskan seberapa dekat mereka dan entah apa yang tengah mereka ceritakan sedari tadi hanya berdua saja. “Anaknya nggak begitu suka di goda, nanti dia malah ngambek sama saya, loh, pak” tuturnya kemudian.
Pak Leo tertawa dengan puas, Lisa merasa geram di dalam seolah-olah Noren berusaha untuk mempermalukannya lagi di depan bos-nya sendiri. Sudah cukup, Lisa sudah muak dengan perasaannya yang hanya ingin menghancurkan Noren menjadi serpihan kecil.
Oh, hari Senin yang sangat luar biasa. Dan tentunya, masih terlalu panjang untuk di jalani.
“Omong-omong,” Dia mengangkat suaranya lagi, menepis Noren yang mungkin akan melontarkan kalimat yang tidak masuk akal kembali yang akan menyulut kemarahan Lisa. Dia menahan napas sejenak sebelum melebarkan senyuman yang dipaksakan, mencoba membuatnya menjadi sealami mungkin.”Pak Leo tumben jalan ke sini? Nggak langsung pulang, pak?” Lisa mencoba untuk mengusir bosnya dengan sehalus mungkin tanpa disadari, dan Pak Leo dengan mudah mengambil umpan itu. Dia terlihat sangat tidak sadar.
“Begitulah, saya sedang menunggu jemputan disini. Mobil masih masuk bengkel, jadi saya harus nunggu agak lama. Saya ketemu sama Pak Noren di depan dan mendapat teman untuk membunuh waktu sambil sedikit cerita” Lelaki berusia tigapuluh tujuh tahun itu mengemukakan dengan santai, kemudian dia tersenyum ketika memperhatikan Lisa dan Noren secara bergantian. “Tapi karena kamu sudah keluar, jadi saya biarkan Pak Noren buat pergi lebih dulu. Sudah, sana, pulanglah kalian, atau berjalan-jalan. Tapi jangan terlalu larut, saya tidak menginginkan keterlambatan esok hari”
Lisa ingin menolak. Dia akan pulang sendirian. Dia harus pulang sendiri. Lagipula, dia sama sekali tidak berniat untuk pergi kemanapun dengan Noren. Pun seharusnya dia tidak pulang dengan Noren juga hari ini. Dia ingin mengabaikan Noren dan mengabadikan moment berharga kebahagiaan hari Seninnya yang tidak banyak kali dia dapatkan, namun disinilah dia, lagi-lagi Noren berhasil merebut segala list yang ingin dia lakukan.
“Ah, kalau begitu kita juga akan pulang. Apa nggak apa-apa, pak Leo sendirian disini?”
Hala lebih dulu merespon, itupun karena Heksa yang sepertinya meminta mereka untuk kabur dari situasi aneh ini. Herannya, Heksa tau bagaimana situasi tidak berjalan dengan baik dan dia harus sesegera mungkin menghindari suasana menjijikkan yang sangat tidak disukai itu. Pak Leo melambaikan tangannya dengan semangat dan mengatakan bahwa mereka harus segera pulang dan mengatakan bahwa jemputannya sudah setengah jalan dan tidak akan lama lagi sampai.
Jadi, Hala dan Heksa pamit dengan cepat, hampir terburu-buru ketika Hala ditarik paksa oleh Heksa yang menyapa Noren dengan singkat sebagai kesopanan, tidak ingin dicap bahwa mereka juga tidak dekat sebagaimana mereka pernah berada dalam makan malam yang sama. Lisa memperhatikan sosok kedua teman dekatnya itu mulai menjauh dan menghilang di keramaian jalanan khas pulang kerja.
Dan Lisa juga tidak sadar bagaimana dia pada akhirnya berjalan berdampingan dengan Noren di sebelahnya. Diam dengan kadar antusias yang sama sekali berbeda dari keduanya. Dan kemudian, setelah Noren membukakan pintu mobil untuk Lisa, dan Lisa yang mencoba menyamankan diri di dalam mobil yang telah beberapa kali di tumpanginya itu, dia sadar bahwa acara menghindari Noren sangat tidak mungkin di lakukan.
Yang ia lihat sebelum dia harus memasrahkan dirinya pada kelelahan mental dan fisik apapun yang akan menyapanya nanti adalah senyuman riang Noren yang seolah tidak bersalah, dan radio yang dihidupkan mengalunkan lagu lembut milik RealestK-, Love Me.
...….....
“Lisa lapar?”
Itu adalah percakapan pertama yang diinisiatifkan oleh Noren sendiri setelah sebelumya dia hanya bersenandung lagu yang dengan lembut mengalun dari radionya. Lisa tidak mengeluh tentang itu, jelas, karena seluruh pengganggu yang datang ke dalam hidupnya adalah satu sosok penuh lelaki yang saat ini tengah menculiknya. Tentu saja, Noren sedang menculiknya karena jelas ini bukan jalan menuju rumahnya yang Lisa hapal luar kepala. Lisa tau karena tidak ada cara lain dimana Noren akan mengajaknya ke suatu tempat, kemanapun yang diinginkan oleh lelaki itu tanpa meminta Lisa terlebih dahulu. Karena Noren sendiri pasti sudah tahu, persetujuan Lisa tidak akan dengan mudah dia dapatkan dan itu mungkin hanya akan menghambat apapun yang sedang dia usahakan saat ini.
Usaha yang jelas sangat sia-sia sekali.
Jelas. Lisa dan tekadnya yang pasti tak mudah goyah.
Dia tidak mengeluh kali ini, karena dia sudah kelelahan dengan badai emosi yang mengamuk di dalam tubuhnya. Sedikit senang, sedikit marah, banyak kelelahan, banyak kejengkelan, namun dia tak bisa melakukan apapun karena dia merasa terlalu lelah dan segalanya mungkin akan menghabiskan tenaganya begitu saja. Jadi, dia lebih memilih diam untuk segala opsi yang lebih baik.
“Lisa?”
Noren memanggil lagi, kali ini tangannya yang cekatan menggenggam kemudi terulur untuk mengecilkan volume radio. Lisa mengikuti gerakan tangan itu dengan matanya yang lelah. Dia melirik ketika Noren menatapnya dari balik anak rambut yang berjatuhan di sekitar matanya dan Lisa sangat geram untuk menyibak itu secara terbuka. Dia selalu melakukan itu pada Alpino karena dia sendiri risih ketika teman-temannya membiarkan rambut mereka menutupi mata seperti itu. Lisa ingat bahkan dia menjambak rambut Fajri dan memaksanya untuk mengikat rambut itu kebelakang, dan kemudian Lisa puas ketika dia berasil mengikat poni Fajri, menjadikan rambut itu berdiri tegak seperti air mancur yang lucu di kepalanya, dan dia ingat ketika dia melakukan hal yang sama pada Alpino dan Heksa. Ah, dan kakaknya yang menyebalkan tapi kesayangannya itu juga pernah menjadi korban ikat rambut paksa atau potong rambut paksa dari Lisa.
Tangannya gatal, namun Noren bukan siapa-siapa baginya untuk dia melakukan hal seperti itu. Jadi, Lisa menahan tangannya dan memilih untuk memutar matanya dengan malas.
“Nggak laper” Dia memaksa dirinya untuk berbicara, dan Noren harus bersyukur karena Lisa menjawabnya dan tidak membiarkan lelaki itu bertanya tanya lebih jauh. Namun yang kemudian dia dapatkan dari respon Noren adalah Oh yang riang dan kemudian senandung itu kembali lagi, dengan Noren yang membesarkan kembali volume dari radionya. Lisa mengernyit, menegakkan tubuhnya dan menatap Noren seperti dia adalah makhluk yang paling aneh di dunia.
Apa-apaan respon ringan yang seperti dia sudah tahu akan melakukan apa kedepannya? Seharusnya mereka sudah sampai di rumah Lisa dan Lisa sudah berada di atas kasur kesayangannya sekarang. Lisa menutup matanya erat, mengusap pelipisnya karena dia tidak mungkin bertahan dengan anak ajaib aneh bernama Noren ini.
“Kalau gitu kamu nemenin aku ke Square City Mall, ya. Aku mau beli sesuatu” Noren kemudian bersuara lagi, dia melihat Lisa dengan seringaian geli di wajahnya, seolah-olah mengejek, namun tidak terlalu menjatuhkan. Itu agak konyol, yang mungkin Noren sedang mengalami hari terbaik sama seperti Lisa. Namun bukannya menutupnya dengan senyuman riang yang sama dengan Noren, Lisa menutupnya dengan kejengkelan bernama Noren.
“Emang sendirian aja nggak bisa?” Lisa berucap ketus. Dia mengeluarkan ponselnya dengan marah, mengetik sesuatu di sana ketika beberapa notifikasi mulai mengganggunya. “Gue mau pulang, capek” Tidak sadar, dia mengeluh, merengek seperti anak kecil. Diam-diam, senyuman lebar Noren semakin terpampang jelas disana.
“Lebih ke nggak mau dari pada nggak bisa, sih” Noren bergumam. “Aku maunya kesana, ditemenin sama kamu. Sekalian nanti kalau ada sesuatu yang lagi kamu butuhin, kamu bisa beli sekalian, kan?” Dia menawarkan.
“Nggak” dengan ketus Lisa menjawab, “Nyusahin banget sih, lo. Sumpah” dan kemudian menggerutu ketika dia melirik Noren sekilas. Itu dimaksudkan agar Noren jengkel dengannya, namun yang terjadi adalah tawa Noren yang lebih puas seolah-olah dia adalah seorang masokis yang menyedihkan.
“Gemesin banget sih” dia bergumam lagi. “Gapapa nyusahin asal kamu bisa terus disamping aku”
Lisa terperangah. Tangannya sekarang gatal ingin menjambak lelaki itu. Namun, dia masih sadar diri dan tidak ingin kehilangan nyawa. Jadi dia hanya melototkan belati pada fitur samping wajah Noren sebelum mengutuk kembali,
“Sinting!”
...…....
Lisa tidak tahu berapa lama mereka berkendara. Yang pasti itu adalah enam lampu merah dan tiga belokan ke kiri dan satu ke kanan. Sebenarnya, Lisa tahu benar dimana letak Square City Mall, dia juga sering berbelanja ke sana bersama Alpino atau bersama dengan Hala untuk berbelanja bulanan atau jika mereka sedang ingin menghabiskan waktu bermain di arena Timezone di Mall tersebut. Namun Lisa sadar satu bulan kebelakang dia belum sempat menginjakkan kaki ke Mall ini lagi. Dia ingat ada beberapa hal yang sangat ingin ia beli disana, tapi mengingat bahwa ego Noren yang sangat besar, dia mengurungkan niatnya untuk membeli hal-hal itu.
Terlebih lagi, baru-baru ini dia membuka katalog pakaian di website salah satu toko baju di Mall ini, dan dia tergila-gila dengan salah satu hoodie lucu berwarna abu-abu cerah yang terlihat sangat lembut, ada beberapa corak coretan garis membentuk bunga di bagian bawahnya yang abstrak dan Lisa hampir ngiler dengan desain yang cantik itu. Lisa ingat dua minggu yang lalu dia menyimpan hoodie itu dalam keranjang belanjanya, namun dia lebih suka untuk pergi dan melihat langsung wujud asli dari hoodie incarannya yang dia yakin akan sangat nyaman sekali untuk dia pakai. Untuk beberapa waktu yang lama, Lisa lupa tentang hal itu. Tapi sekarang, dengan dia berada di dalam Mall tersebut, dia mengingat kembali bagaimana dia sangat ingin menghampiri stan pakaian itu.
Namun sekali lagi, dia tidak ingin meninggikan ego milik Noren. Jadi, dia menelan kembali pikirannya ke belakang dan memilih untuk berjalan mengikuti Noren yang terlihat sangat santai. Mereka berputar-putar terlebih dahulu di lantai bawah, membuat Lisa semakin jengkel sebelum Noren mengajaknya ke lantai atas. Noren berkali-kali bertanya apakah ada yang Lisa inginkan, sedikit memaksa Lisa untuk mengambil beberapa barang yang mungkin sedang dia butuhkan.
“Nggak” Lisa mencibir, final dengan keputusannya. Tapi Noren dan tatapannya yang mengancam kepada Lisa lebih teguh daripada apa yang Lisa bayangkan. Mata Noren menyipit seolah-olah dia sedang diberikan tantangan untuk dia menangkan.
“Apapun?” Lagi, lelaki itu bertanya. Tangannya di masukkan ke dalam kantung celananya yang ketat, Lisa mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak membuat skenario aneh di mana kepalanya menjerit bahwa mereka sekarang terlihat seperti kekasih yang sedang bertengkar. Hell, tentu saja tidak sama sekali.
“Kak, kalau gue bilang nggak, ya, nggak. Jangan bikin gue emosi deh. Kan lo sendiri kesini atas dasar kemauan lo, bukan gue” ketusnya. Lisa melipat kedua tangannya di depan, menunjukkan ketidaksukaannya yang terang-terangannya. Dia bisa melihat bagaimana Noren berusaha untuk tidak menghela napas dengan keras. Agak luluh karena ternyata Lisa lebih keras kepala daripada yang dibayangkan. Namun kemudian, sesuatu yang tidak terduga membuat Lisa sedikit terkejut.
“Ini” Noren menyerahkan sebuah blackcard miliknya. Gila. Dengan terang-terangan dia menarik tangan Lisa dan meletakkan kartu itu ke atas tangannya. Noren membuat Lisa menggenggam kartu itu dengan erat. Tidak lupa dengan tepukan lembut yang ringan ketika dia membiarkan tangan Lisa lepas dari genggamannya. “Pakai itu,” lanjutnya.
“Kan gue udah bilang-,”
“Aku mau nyari barang yang aku butuhin. Kalau emang kamu nggak nyaman buat belanja sesuatu yang mungkin lagi kamu butuhin sekarang bareng sama aku, aku bakalan biarin kamu pergi sendiri” Mungkin ini adalah sebuah hal terakhir dari kekalahan yang bisa Noren paksa untuk Lisa, dia tidak bisa terus bertengkar disini, karena tempat umum ini tidak membiarkannya untuk mempertahankan keteguhannya. Jadi, Noren melepaskan Lisa dengan harapan bahwa Lisa membawa sesuatu ketika mereka bertemu nanti setelah dia selesai dengan urusannya.
“Tapi tolong,” Noren melanjutkan lagi. Kali ini dengan senyum yang tidak begitu canggung, dia lebih keras daripada yang bisa dibayangkan. Namun kali ini dia harus dan pasti wajib untuk melunak di depan Lisa. Tidak ingin perempuan itu lebih marah daripada sebelumnya. “Beli sesuatu dengan itu, apapun. Aku mau kamu bawa sesuatu nanti kalau aku udah selesai dengan urusanku” Dia menjelaskan dengan ketegasan yang Lisa bisa rasakan dari nadanya.
“Nanti aku bakalan nelpon kamu buat ketemuan dimana, oke?” Lalu yang keluar adalah senyuman manis, khas Noren yang biasanya diberikan ketika dia merasa nyaman dan puas dengan apa yang dia lakukan. Bukannya Lisa memperhatikan, dia tentu saja tidak. Namun terlalu mudah untuk membaca ekspresi yang ditunjukkan Noren meskipun dia baru bertemu beberapa kali. Tetapi ada kalanya dia tidak mengerti beberapa diantaranya, namun yang ini, pastilah dia merasa lebih lega daripada apapun yang terjadi sebelumnya.
“Lisa?”
Oh, dia meminta jawaban penegasan dari Lisa. Dengan dengusan dan wajah masam, Lisa mengangguk sebelum melambaikan kartu itu di depan wajah Noren yang terlihat bersemangat.
“Iya gue pake. Awas aja lo nyesel dengan apa yang gue beli” Sarkasnya. Bukannya Lisa tidak menikmati dimanjakan dengan materi, namun dia sama sekali tidak ingin dimanjakan oleh orang tertentu, dan itu adalah Noren sendiri. Terlebih lagi itu Noren! Meskipun begitu, dari pada menuang bensin ke api, dia lebih memilih melunak sedikit. “Sudah, lo sana pergi dari hadapan gue. Sana!” Lisa membentak sedikit, namun Noren hanya tertawa seolah-olah dia sedang melakukan sesuatu yang lucu di dunia. Lisa baru saja hendak memprotes lagi dan menambahkan keributan di tempat umum sebelum Noren memutusnya dengan usapan lembut di kepalanya seolah-olah dia terlalu gemas dengan tingkah Lisa.
Membeku di tempat, suara Noren yang pamit dan menyuruhnya untuk menjaga diri, jatuh di telinga tuli. Yang membuat Lisa tersadar kemudian adalah hembusan pendingin ruangan yang membuatnya merinding dan beberapa orang disekitarnya yang berbisik dengan gemas dengan apapun yang terjadi di antara dia dan pemilik perusahaan bisnis otomotif itu.
Menghentakkan kaki, dia berbalik untuk mencari sesuatu yang bisa ia beli. Terlintas di kepalanya untuk hanya membeli apapun yang terlihat di depan matanya, hal aneh apapun dimana pada akhirnya dia membawa sesuatu ketika mereka bertemu lagi. Tapi kemudian tatapan matanya jatuh di Salemba, dimana dia akhirnya dengan sangat bersemangat masuk ke sana untuk membeli beberapa post it, buku catatan baru dan sebuah novel yang baru setengah dia baca di platform online berbayar, merasa bahwa dia akan dengan senang hati membeli cetakan dan mendukung penulis favoritnya untuk terus berkarya.
Lisa sendiri, yang penuh dengan kekeraskepalaannya yang bertentangan dengan tidak ingin membeli apapun yang dia inginkan dan memanjakan diri dengan kartu Noren, melupakan semuanya dan membiarkan dirinya membawa barang apapun yang menarik minatnya. Tentu saja, jiwa berbelanjanya meluap seolah-olah sesuatu membuka jeruji besi keinginannya yang dia simpan agar dia menghemat uangnya. Meskipun yang kini terselip di keranjang kecil belanjannya hanyalah barang untuk kantor dan pekerjaannya, peralatan menulis dan beberapa stiker lucu dan pada akhirnya mengambil dua buah novel series favoritnya.
Keinginan Lisa menjadi semakin tinggi ketika dia tidak sengaja membuka katalog dimana hoodie yang dia inginkan berada. Dengan bersemangat, setelah membayar atas barang-barang menggemaskannya yang tidak habis lebih dari empat ratus ribu itu, dia segera berjalan dengan antusias menuju sebuah stan pakaian dalam negeri dimana hoodie tersebut berada.
Mengintip sejenak, dia tersenyum ketika dia melihat banyak pakaian berada di sana, dan jenis hoodie incarannya ada disana dengan berbagai varian warna yang lucu dan menggemaskan. Jadi, dengan seyuman lebar di wajahnya, Lisa segera masuk dan megubrak-abrik tempat dimana hoodie itu di pajang.
Bersenandung, dia mengelus bahannya yang lembut, deskripsi di katalognya tidak berbohong, dan dia sungguh akan membawa hoodie abu itu pulang ke pelukannya. Namun anehnya, dia tidak mendapati warna yang dia idam-idamkan. Matanya mengerjap bingung, memilah beberapa di sana, namun dia sama sekali tidak menemukannya. Percikan kegembiraan di hatinya mulai padam, perasaan jengkel kembali lagi membuat Lisa berdecih kesal.
“Maaf. Apakah ada yang bisa saya bantu?”
Salah satu pramuniaga menghampirinya. Mungkin melihat raut kesusahan dan ketidaksenangan Lisa. Lisa mencoba memberikan senyum yang terbaik, namun yang jatuh di wajahnya adalah senyum masam kekecewaan.
“Ah, itu” Lisa menggaruk pipinya dengan jari telunjuk, agak ragu untuk bertanya. Tapi kemudian dia hanya menghela napas dan memperlihatkan ponselnya yang menampilkan katalog dari hoodie yang dia inginkan tepat ke hadapan sang pramuniaga.
“Saya mencari yang warna ini, tapi saya nggak nemu sama sekali. Apa sudah nggak ada stock nya lagi, ya mbak?”
Pramuniaga itu mengernyit sebentar sebelum tersenyum dengan sedikit iba, dan Lisa tau apa yang akan dikatakan pramuniaga itu setelahnya.
“Maaf sekali, mbak. Hoodie kami dengan warna yang itu sudah sold. Terakhir ada pembeli yang sudah mengambilnya dan belum ada informasi apapun tentang pembaharuan stock dengan warna ini. Saya sangat menyesal untuk mengatakannya” itu adalah sikap professional pekerja, Lisa tau tidak ada gurat penyesalan yang nyata di wajah perempuan itu. “Tapi kita masih punya jenis yang lain, mbak bisa lihat-lihat dulu jika berkenan”
Tentu saja, teknik marketing yang membuat pengunjungnya akan mencoba untuk membeli barang lain, yang terpenting mereka tidak kehilangan pelanggan tanpa barang yang berhasil di perjual belikan. Tapi Lisa sedang tidak ingin untuk membeli apapun selain hoodie yang dia incar. Helaan napasnya terdengar berat, namun senyum dia paksakan pada sang pramuniaga.
“Oh ya, nggak apa-apa mbak. Saya cuma nyari yang itu sebenarnya. Makasih banyak ya mbak”
Dan dengan itu Lisa segera keluar dari stan dengan perasaan sedih dan kecewa. Ah, kalau saja dia seharusnya pergi lebih awal, dia pasti mendapatkan hoodie itu dan sudah memakainya dengan senang hati. “Mungkin memang belum rezeki” Dia bergumam. “Ah sudahlah, mood gue anjlok lagi, males banget!”
Lisa kembali menggerutu. Perasaan Lelah menguasainya dengan cepat, moodnya terombang-ambing dan dia hanya ingin merebahkan diri di kasurnya yang empuk. Pinggangnya tiba-tiba sakit dan dia akan menyalahkan ini semua pada Noren. Lelaki itu entah pergi kemana, dan Lisa mau tidak mau kembali ke lantai dua dimana mereka berpisah tadi, mencari tempat duduk yang kosong, Lisa segera merebahkan dirinya di sana. Membuka aplikasi ponselnya sebelum pada akhirnya tenggelam pada pembahasan apapun di dalam grup yang di dominasi oleh Heksa yang misuh-misuh karena kejadian tadi dan Fajri yang hanya bisa mengatainya kembali, ditambah dengan omelan pembelaan diri dari Hala dan Jihan muncul sesekali membalas keributan. Dia tidak melihat Alpino sama sekali, anak itu mungkin terlalu tenggelam dalam pekerjaannya.
Lagi, Lisa tidak tahu itu sudah berapa lama dia fokus pada ponselnya. Yang dia tahu adalah sebuah cup dingin di serahkan di depan wajahya dan ketika dia mendogak, dia bisa melihat senyuman yang terpatri lebar di wajah Noren. Dalam waktu singkat, senyuman Lisa sendiri ketika dia mengolok-olok Heksa di ruang obrolan mereka tergantikan dengan cemberut besar di depannya.
Noren sedikit cekikikan, agak aneh mengingat bagaimanna seharusnya ekspresi Lisa saat ini adalah menyindirnya berharap lelaki itu sadar diri.
“Udah nunggu lama, Lisa?” Noren berbasa-basi, tapi dari yang Lisa lihat lelaki itu terlihat sangat senang ketika melihat paper bag yang Lisa letakkan di sebelahnya. Dengan gerakan diam, dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan kartu Noren, merampas minuman dingin yang pasti di tujukan padanya dan menggantikan tangan kosong yang dingin itu dengan kartu milik sang Giovano.
“Banget.” Lisa mendengar dirinya sendiri, dia tahu dia sangat ketus, tapi dia tidak akan menyalahkan dirinya sendiri. “Gue mau pulang sekarang. Gue pengen tidur” Lisa beranjak dari tempat duduknya. Berjalan mendahului Noren, berusaha untuk mengingat dimana lelaki itu meletakkan mobilnya. Dia hanya ingin beristirahat saat ini.
Noren beberapa langkah di belakangnya, namun kemudian berhasil menyejajarkan diri pada Lisa yang setengah berlari karena kecepatan langkahnya yang dibuat selebar mungkin. Lisa melirik, ada dua paper bag di tangan Noren, dan mengernyit saat mengetahui dua toko yang pasti di kunjungi oleh Noren. Yang satu adalah Miniso, dan yang lainnya adalah toko pakaian dimana Lisa mencari hoodie incarannya. Dalam hati, Lisa bersyukur karena tidak menemukan Noren saat di mengendap ke toko yang hanya menghasilkan kekecewaan untuk dirinya.
Menyesap minumannya yang ternyata adalah jasmine tea yang segar, lisa sedikit senang karena pilihan minum yang diberikan oleh Noren bukanlah sesuatu yang akan menyakitkan tenggorokkannya karena terlalu manis atau pekat. Itu agak sempurna dan berhasil mendinginkan perasaannya yang sempat memanas.
“Aku Laper” Noren tiba-tiba angkat suara ketika dia berada satu langkah di belakang Lisa, berdiri di undakan eskalator, masih dekat dengan dirinya. “Kita ke alun-alun dulu, yuk. Lagi pengan coba seafoodnya Kang Adi”
Lisa terdiam sebentar. Mendongak kebelakang, dia mencoba untuk menangkap raut aneh yang dipaksakan apapun oleh Noren. Lisa hampir berusaha mencari apakah Noren sedang mengajaknya bercanda atau apa, karena-, masa sih, orang sekelas Noren bisa makan di kaki lima? Bukan-, seharusnya Lisa tidak menghakimi Noren seperti itu, seperti bagaimana Noren megatakan hal sedemikian rupa padanya ketika di kedai bingsu favoritnya. Tapi tetap saja, dengan Noren yang memberikannya blackcard dan pakaiannya yang berasal dari segala barang branded-, lelaki itu mengajaknya untuk makan di kaki lima. Lisa tidak bisa mengatakan bahwa dia tidak terkejut.
Meskipun dia merupakan orang yang beruntung dengan materi keluarganya, Lisa dan Sinar sama sekali belum mempunyai keistimewaan seperti itu. Mungkin orang tuanya punya, dan itu hanya untuk bisnis mereka, tapi tetap saja, biasanya orang kaya kebanyakan tidak akan melangkahkan kakinya bahkan untuk ke tempat makan di pinggir jalan, kan?
Lisa tau dia tidak boleh menjadi steorotype, namun tetap saja-
“Ah!”
Lisa terkejut ketika Noren menangkup kepalanya dan dengan lembut mengarahkan kepalanya ke depan, merunduk sedikit untuk berbisik di telinganya bahwa dia harus berhati-hati karena mereka akan sampai di bawah.
“Lihat kedepan” Bisikannya terdengar keras di telinga Lisa. “Aku nggak mau kamu jatuh, bahaya”
Hampir menjerit, Lisa segera melompat kedepan dan maju dengan cepat beberapa langkah. Tidak tahu kenapa, wajahnya memanas ketika dia berbalik untuk melihat Noren yang melangkah dari eskalator dan tersenyum padanya dengan riang. Jantung Lisa menari tidak karuan di rongga dadanya dan dia tidak bisa untuk tidak mengutuk. Jadi Lisa membiarkan dirinya mengumpat di dalam hati. Dia merasa begitu aneh.
“Jangan ngagetin, dong!” hanya itu respon yang bisa dia utarakan sebelum dia berjalan dengan hentakkan kaki keluar dari Mall. Dia berharap bahwa tawa ceria yang dihasilkan oleh Noren tidak membuat kinerja jantungnya semakin berantakkan.
Ugh. Lisa semakin yakin bahwa dia harus menghindari lelaki itu bagaimanapun caranya. Karena lama kelamaan berada di dekat Noren, Lisa tau Lisa akan menjadi gila cepat atau lambat.
Ini sangat menjengkelkan.
...…....
Alun-alun di malam hari sangat ramai. Banyak pedagang kaki lima menjajakan dagangannya. Banyak pasangan yang datang, keluarga yang ramai dan beberapa circle rombongan yang nongkrong di sana-sini, menikmati dunia pergibahan mereka atau apapun yang sedang mereka bicarakan dengan antusias, dan sedikit jeritan juga banyak tawa. Anak-anak bahagia berlarian ke sana dan kemari, berteriak dan menangis karena hal-hal yang berbeda. Lampu berkelip dimana saja, dan beberapa menjajakan dagangannya dengan meletakkan nampan di atas kepala mereka, menawarkan kepada para pengunjung yang berseliweran.
Lisa merasa lebih lega ketika dia berada di luar mobil daripada terjebak beruda saja dengan Noren disana. Canggung, jengkel, dan kebingungan menguasainya, ditambah lagi dengan kejenakaan yang baru saja dikeluarkan dan ditunjukkan oleh Noren ketika menggodanya tentang tersandung di eskalator.
Ada ucapan terimakasih yang riang ketika Noren menunjuk barang belanjaan Lisa yang dia balas dengan cacian karena tentu saja, mengapa orang itu senang sekali ketika Lisa membelanjakan uangnya?
Noren itu aneh. Aneh yang gila dan menyebalkan, unik dan freak. Lisa merasa ingin menghilang saja jika Noren dengan beberapa paksaannya yang teguh bisa menggoyahkan kekeraskepalaan Lisa dengan sedikit manipulatif yang halus. Itu agak mengerikan bagaimana dia berjingkat-jingkat di seluruh ruang lingkup Lisa.
Memang, berada di luar mobil adalah sebuah kelegaan tersendiri yang Lisa pegang erat-erat di dekat jantungnya, tapi tetap saja, dengan Noren yang tidak lebih dari tiga langkah di sampingnya, lelaki itu sanggup untuk meraup udara dekat dengannya, mencoba untuk mempertahankan eksistensinya bahwa dia masih disana bersama dengan Lisa. Tidak mudah untuk melarikan diri sebanyak yang dia mau, jadi, dia merasa harus mengalah pada monster aneh ini sekalipun dia sangat ingin menenggelamkan kepala Noren di dalam air mancur mini yang berada di tengah alun-alun agar anak itu sadar bahwa kesempatan untuk membuka hati Lisa sangat tidak mungkin bisa tercapai bahkan sebanyak apapun lelaki itu berusaha.
Seharusnya dia bisa, melemparkan Noren ke dalam guyuran air itu, namun tentu saja, dia tidak ingin dilaporkan sebagai tersangka kasus percobaan pembunuhan pada CEO perusahaan otomotif yang bahkan Lisa lupa apa namanya itu.
“Mau beli jajanan dulu sebelum ke tempat Kang Adi?” Noren menawarkan. Lisa menggeleng, sebaiknya lekas selesaikan apa yang lelaki itu minta dan dia pada akhirnya bisa kembali ke dalam dekapan hangat selimut hello kitty tersayangnya. “Nggak. Pokoknya makan aja yang cepat terus antar gue pulang, atau gue bisa pulang sekarang juga. Biar gue pesan ojol!” Lisa menggertak, berbalik untuk menunjukkan keseriusannya pada Noren yang mengangkat kedua tangannya bak penjahat yang sedang di todong oleh pistol ketika polisi mencoba untuk membekuk.
“Oke kalau gitu” Noren lagi-lagi tersenyum. Tidak ada mood yang rusak, tidak ada dengusan jelek yang dikeluarkan. Hanya senandung lagu yang Lisa ingat dia senandungkan beberapa waktu yang lalu dari radio. Tangan Noren bergerak bebas dekat dengan tangannya, Lisa sesegera mungkin menarik tangannya untuk digandeng di tangan yang lain. Tidak akan membiarkan Noren berkesempatan untuk menyentuhnya. Kepala kecil yang licik itu pasti mempunyai seribu cara untuk menyentuhnya dan dia tidak ingin kontak fisik apapun yang terjadi. Meski seujung kuku, Lisa akan mencegahnya ada.
“Mau makan kerang atau udang?” Noren menawarkan, berbasa-basi. “Cumi” Lisa menjawab asal, tidak ada dalam pilihan, yang membuat Noren tertawa dengan lepas.
Mengernyitkan hidungnya, Lisa memperhatikan bagaimana lelaki itu banyak tertawa hari ini. Apakah ada kebahagiaan kecil yang tidak Lisa tahu sedang melingkupi perasaan lelaki itu? Lisa sudah berlaku kasar padanya, tapi keceriaan dari tawa itu tidak ada sedikitpun gigitan kekesalan aneh disana.
Monster aneh. Noren aneh. Tipikal yang akan Lisa jauhi segenap hati.
“Ya udah, kalau gitu, mau cumi saos asam manis atau cumi goreng crispy?” Lagi, dia menawarkan seolah-olah Noren hapal dengan menu yang ditawarkan di tempat tujuan mereka. Lisa memutar bola matanya malas dan menjawab asal kembali. “Cumi saos padang”
Lagi dan lagi, tawa Noren semakin terdengar berwarna. Lisa menutup matanya erat-erat sebelum dia kelepasan untuk melempar wajah Noren dengan ponselnya yang dimana notif perpesanan masih terlalu gencar untuk diam bahkan sejenak saja.
“Cumi saos padang kalau begitu” Noren bersungut-sungut di sebelahnya, terlihat sangat tidak memiliki beban yang nyata. “Kalau minumnya? Mau teh lagi atau jeruk-,”
“Kak Noren!” Lisa mengomel, memberhentikan langkahnya yang membuat Noren ikut berhenti. Wajahnya yang dibuat-buat sepolos mungkin membuat Lisa harus bersabar lebih jauh tentang rencana pembunuhan paling menyakitkan untuk orang aneh ini.
“Iya?”
Dengan jawaban bodoh seperti itu, Lisa menggeram dan menjambak rambutnya sendiri. Kesabarannya sudah berada di ujung kuku dan dia mau tidak mau harus melampiaskannya atau tidak dia merasa akan meledak kapan saja.
“Bisa nggak sih lo diem aja? Telinga gue sakit banget, anjir!” sedikit umpatan kecil tidak bisa membuat emosinya menyurut, tapi itu lebih baik dari pada bogem mentah dia serahkan pada Noren dengan senang hati.
“Kenapa? Aku ganggu?”
Frustasi, Lisa akan melayangkan tangannya untuk menjambak rambut menyebalkan Noren sebelum sebuah suara yang familiar sialnya menyelamatkan Noren dari penganiayaan brutal yang akan dilalukan oleh Lisa.
Lisa dan Noren menoleh dengan cepat, dan disana, Alpino dengan tas kameranya disandarkan di bahu, menatap mereka berdua sama terkejutnya. Tiba-tiba saja, sebuah rasa lega datang pada Lisa ketika dia merengek dan berlari menuju Alpino, memeluk lelaki yang terkejut itu dengan erat seolah-olah Alpino adalah malaikat penyelamat yang di utus oleh yang maha kuasa untuk menenangkan gejolak batinnya yang membara.
“Loh, Lisa? Lo kenapa?”
Dengan gugup, Alpino menepuk lembut punggung Lisa yang menempel bak Koala padanya. Matanya jatuh pada Noren yang terlihat tegang, tubuhnya tegak lebih tegap daripada sebelumnya. Fitur santai yang Alpino pergoki menghilang dan berganti dengan tatapan tajam yang tidak senang. Mulutnya ditekan dalam satu garis lurus, tipis, yang menunjukkan betapa dia tidak suka dengan apa yang dilihatnya. Alpino berusaha untuk tetap tenang. Dia tidak akan terpengaruh oleh Noren, oleh fitur yang ditunjukkan terang-terangan padanya. Yang Alpino harus lakukan pertama adalah menenangkan Lisa yang tampaknya frustasi. Benar, Lisa terlihat lebih stress dan tertekan seperti apa yang selalu Alpino bisa baca dari perasaan Lisa yang telah dia hapal bertahun-tahun lamanya. Sebuah prioritas ketika dia tumbuh dan berkembang dekat dengan Lisa.
“Gue capek banget” Lisa merengek, mengeratkan pelukannya jika bisa dibilang lebih erat lagi, dan Alpino merasakan bagaimana Noren membuang wajah dan menghela napas dengan berat. Alpino diam sejenak, dia ingin sedikit egois, namun tidak ingin menimbulkan ketegangan yang tidak disukai. Jadi, diam-diam dan dengan hati-hati dia mencoba untuk melepaskan pelukan Lisa dan tersenyum dengan lembut, menenangkan sahabatnya. Lisa merengut, tetapi Alpino tau apa yang dia bisa lakukan untuk menenangkan Lisa dengan baik. Jadi, dia merengkuh pipi Lisa dengan lembut dan mengusap kedua telinga Lisa dengan gerakan yang ringan, berusaha menenangkan Lisa dari apapun yang membuatnya sangat tidak nyaman dan frustasi.
Dia tau Noren memperhatikan, tapi mendapatkan Lisa yang meleleh di kedua tangannya adalah sebuah kemenangan mutlak bahwa dia tahu Lisa lebih baik dari apapun. Tapi meskipun begitu, ini bukanlah sebuah kompetisi yang akan dia menangkan, melainkan kekalahan yang dia dapatkan bahkan sebelum memulai. Karena, dia tidak bisa melanggar janji yang telah dia buat.
“Tuh, tuh, udah. Agak tenang, kan?” Alpino berucap lembut, mencoba membuat Lisa lebih baik. Helaan napas yang dibuang Lisa dengan ringan menjadi penanda bahwa bebannya berkurang sedikit dari yang bisa dia emban beberapa waktu belakangan ini. “iya, makasih” Lisa masih cemberut, tapi dia sudah lebih baik dari pada sebelumnya. Alpino melebarkan senyumnya ketika dia memaksa dirinya untuk mundur.
“Sekarang bilang ke gue, Lo sama Bang Noren lagi ngedate ya? Malem-malem berduaan gini di alun-alun” mencoba tertawa selepas mungkin, Alpino berhasil menyembunyikan ketidaksukaan. Ikhlas begitu sulit, agaknya Alpino harus lebih kuat memasang topeng miliknya seperti apa yang dia lakukan ketika pertamakali mendengar bahwa calon suami Lisa telah hadir di tengah-tengah mereka.
Lisa menyikut Alpino dengan sengatan yang menyakitkan sebelum membentak suara lebih jauh. “Nggak ngedate!” Lisa bersikeras, “Gue di culik!” Lanjutnya dengan lebih menantang. Alpino terperangah sesaat sebelum pada akhirnya berhasil untuk masuk dalam mode konyol yang selalu terpasang apik di wajahnya. Itu mudah untuk menyelinap sedikit dan membuat suasana menjadi lebih baik daripada yang seharusnya. Jika dia boleh jujur, dia tidak suka ketegangan. Dia juga lelah karena baru saja selesai dengan pekerjaannya yang menyebalkan kali ini.
“bisa aja lo bilang di culik” Alpino mengejek, mendekatkan diri pada Noren dan memukul punggung lelaki itu, mencoba untuk terlihat akrab, “Bang Noren, emang lo mau nyulik anak pemarah dan nyebelin kayak gini? Nyusahin juga? Lo nggak stress bang?”
Alpino mengangkat kedua alisnya, menggoda pada Noren yang saat ini berusaha untuk mencair dan menenangkan diri. Sedikit, Noren terkekeh sebelum menggeleng dengan pasti. “Stress sih, tapi dia lucu dan gemesin, jadi kalau nyulik Lisa dengan resiko diserang kegemasan, gue ikhlas lahir batin, kok, Al”
Santai, rasanya ketegangan segalanya Luruh ketika Lisa menapar wajahnya dengan kedua tangan pasrah. Perempuan itu memekik, berusaha untuk tidak menjadi gila beberapa detik kedepan. Sementara yang lain mulai melontarkan kekonyolan aneh yang tidak disangka akan cocok satu sama lain.
Diam-diam Alpino dan Noren sama sama menghela napas dalam, agak lega dan menyembunyikan segala ketidaksukaan dalam-dalam di bawah kulit mereka, jauh untuk dilihat, namun keduanya tau, jika di sulut, hal-hal itu akan muncul kepermukaan dengan cara yang teramat mudah.
“Omong-omong.” Noren mengangkat suara ketika kekonyolan dirasa sudah terlalu berlebihan, dia berbalik untuk melihat Alpino yang sudah mengangkat kedua alisnya, menunjukkan bahwa dia sedang mendengarkan. “Lo baru selesai kerja?” menunjuk pada tas kamera di bahu Alpino, lelaki itu segera mengagguk, dengan sedikit ringsan.
“Yo’i, bang. Gue baru aja selesai shooting di sekitar sini. Rencananya mau pulang, terus makan, istirahat dan rebahan di kasur mungkin sampai siangan besok” Dia terkekeh, puas akan rencananya.
“Eh? Pantesan lo nggak muncul di grup” Lisa ikut angkat bicara. Dia mendekat untuk memperhatikan Alpino yang rautnya terlihat lebih lelah dari biasanya, tapi tetap saja sahabatnya itu masih terlihat lebih baik dan puas meski letih. “Iya, nih. Gue nggak sempat buka hp soalnya”
Lisa mengangguk. Melihat ke arah Noren, Lisa mengerjap sebelum menarik tangan Alpino dalam genggamannya. “kalau gitu,” dia menyeringai senang, “Ikut makan sama kita, yuk!”
“Eh?”
Ada hening yang relatif panjang diantara mereka. Alpino sedikit ragu-ragu untuk menjawab. “Iya, ikut makan sama gue sama kak Noren. Biar sekalian makan dulu, lo. Biasanya juga kalau udah pulang langsung tidur. Isi perut aja sama kita” Lisa menjelaskan. Padangannya agak lebih berharap daripada yang seharusnya. Alpino melirik ke arah Noren dengan tidak enak, gugup menyertainya dan Lisa tahu tetang apa itu.
“Kak Noren, lo nggak apa-apa kan gue ajakin Alpino?” Matanya dibuat-buat seperti penuh harapan. Dia menggunakan kartu ini agar Noren membiarkannya membawa Alpino, dan makan malam yang canggung yang hanya diisi dua orang akan buyar dan menjadi lebih menyenangkan lagi jika Alpino ikut begabung, Itu adalah ide yang sangat bagus.
“Kak Noren, boleh ya?”
Dan itu. Satu rengekan dari Lisa yang menuntut adalah apa yang membuat pertahanan Noren hancur karena dia begitu lemah untuk perempuan bungsu Cakrawijaya itu.
“Oke” Katanya dalam satu tarikann napas. “Kalau Alpino mau, sih, nggak apa-apa. Kita bisa makan bareng” Noren, dengan paksaan kecewa yang dia telan di belakang menoleh pada Alpino yang menatapnya dengan ngeri. “Ayo aja, Al. Lebih seru kalau makan rame-rame. Juga, ini, biar Lisa ada temen ngobrolnya juga”
Dan dengan itu, Alpino menemukan dirinya berada di antara Noren Dan Lisa, dan beberapa makanan laut yang menggugah selera.
Alpino merasa mulas, menatap makanan, dia mual di dalam.
...…....
Lisa tidak tahu, apakah itu efek mengantuk atau memang karena pendingin mobil terasa sangat menusuk di kulitnya, yang pasti, Noren adalah orang yang sangat pendiam ketika dia mengantar Lisa kembali ke kediamannya. Noren yang Lisa perhatikan juga tidak terlalu banyak ikut andil ketika Lisa berbicara panjang lebar saat mereka makan bertiga tadi. Noren kebanyakan diam dan mendengarkan. Dia juga tidak memesan udang atau kerang yang dia sebutkan pertama kali, tidak juga memesan cumi yang Lisa sebutkan. Dia memesan satu porsi kepiting dan memakannya dalam diam. Tidak terlihat apakah dia menikmati makanan, tetapi dia makan dengan lahap seolah-olah berusaha menghindari sesuatu.
Lisa tidak akan mengakui bagaimana sikap Noren bisa berubah hanya dalam beberapa waktu mereka bersama, namun dia juga tidak aka megaku bahwa dia mungkin telah melakukan kesalahan atau bagaimana. Teserah, dia tidak peduli. Yang pasti, dia sampai di rumah dalam beberapa menit lagi, dan dia cocok dengan suasana hening di dalam mobil yang dingin. Telinganya tidak sakit, dan keadaan sangat damai. Itu cocok untuknya beristirahat dan dia tidak bisa untuk tidak lebih berterimakasih pada Noren akan hal itu.
Dengan segala macam pemikiran yang kini hinggap dan lenyap di kepala Lisa, bersamaan dengan terkuncinya bibir Lisa, mereka sampai di rumah Lisa dimana mobil Sinar juga belum terlihat. Mungkin kakaknya pulang agak larut, atau mungkin kakaknya akan menginap di kantor. Lisa mengambil pesan pada dirinya bahwa dia harus menghubungi Sinar setelah dia dengan aman berada di bawah selimut kesayangannya.
Noren mengantarnya turun dari mobil. Lelaki itu terlihat lebih tenang daripada yang ia bayangkan. Dan untuk kebingungan Lisa, Noren membawa turun paperbag yang dia beli di Mall tadi. Tidak paham untuk apa, Lisa mencoba untuk lebih memilih pada kesopanan untuk berbasa basi terlebih dahulu kepada orang yang sudah mengantarnya sampai dengan selamat pulang ke rumahnya. Jadi, dia berbalik untuk menyampaikan sedikit salam perpisahan untuk Noren. Berharap lelaki itu tidak mencoba untuk mengambil waktu berharganya lagi seperti hari ini.
“Makasih ya kak, udah nganterin gue pulang” Lisa menyampaikan dengan menahan sarkasme di ujung lidahnya. Bagaimanapun, dia tau cara berterimakasih yang benar. “Lain kali, tolong jangan muncul tiba-tiba kayak gitu. Gue ga enak sama pak Leo makanya gue iyain naik ke mobil lo tadi sore” Ia jabarkan kembali bagaimana ia berakhir menemani Noren hampir sepajang malam, jika itu bisa dikatakan dalam kata ‘sepanjang'.
Noren masih diam, mendengarkan dan tidak berusaha untuk menggodanya. Agak aneh sebenarnya, tapi Lisa sekali lagi tidak akan mempermasalahkan, toh, dia bebas mengutarakan apa yang dia inginkan. Jika dia akan menolak Noren mentah-mentah, maka ini adalah cara yang bagus yang bisa dia pikirkan dengan sangat baik. Masih banyak penolakan lainnya yang bisa dia lakukan, tapi itu bisa disimpan lain waktu jika sangat penting untuk dilakukan.
Bukannya menjawab, Noren malah dengn lembut menari tangan Lisa dan menyerahkan dua buah paperbag di tangannya, persis ketika Lisa memindahkan ice cup dengan kartu milik Noren. Lisa mengernyit ketika matanya beralih pada paperbag. Dia akan memprotes ketika Noren pada akhirnya menampilkan kembali senyum lembut itu sebelum dengan perlahan mengulurkan tangannya ke pipi Lisa, mengelus disana sebelum dengan perlahan naik untuk mengusap telinga Lisa seperti apa yang dilakukan Alpino sebelumnya. Tanpa sadar, Lisa menahan napas seolah-olah dia berusaha meyakinkan predator bahwa dia bukan makhluk yang bernapas lagi dan hanya sebuah bangkai utuh agar predator mencari mangsa lain yang masih segar.
Itu tidak berlangsung lama, Noren menarik tangannya kembali dan langsung memasukkannya ke dalam saku celana jeansnya. Senyuman yang sedikit goyah sekarang ia tampilkan dengan tidak malu-malu.
“Pak Leo cerita hari ini kalau kamu baru aja buat sesuatu yang luar biasa” Lisa tersentak ketika Noren membuka suaranya. “Aku nggak tau apa itu, Pak Leo nggak mau ngasih tau aku, katanya suruh tanya kamu aja. Tapi kamu nggak bakal mau jawab pertanyaan itu, kan?” Dia terkekeh sedikit sebelum helaan napas datang lagi dan senyuman lain hadir di wajahnya.
“Sebagai hadiah, aku cuma bisa kasih itu ke kamu. Semoga kamu suka, ya? Kamu keren banget, Lisa. Tadi Pak Leo selalu banggain kamu dan muji-muji kamu di depan aku. Aku nggak tau dia melebih-lebihkan atau bahkan semua yang di katakannya adalah fakta belaka. Tapi apapun itu, aku senang dan bangga dengan semua pencapaian yang kamu usahain sendiri”
Lisa tersentak. Diam ketika dia kehilangan kata-kata.
“Makasih ya, udah mau nemenin aku hari ini walau harus di paksa dulu” Lalu kemudian, Lisa melihat sorotnya menjadi lebih tenang, dan ceria. Ada kilatan jenaka yang muncul seperti mengatakan bahwa dia adalah Noren yang kompetitif dan teguh seperti yang selalu diperlihatkannya pada Lisa.
“Aku nanya sama Sinar apa yang kamu lagi pengen. Semoga beneran yang itu. Soalnya aku juga nggak terlalu paham tetang hadiah yang kayak gini” Ada ringisan aneh di akhir pembicaraannya, tapi dia tetap melanjutkan.
“Yasudah, aku pulang dulu, ya? Kamu langsung tidur, jangan lupa bersih-bersih. Sinar udah ngabarin aku kalau dia bakalan nginep di kantor malam ini karena besok pagi-pagi banget dia ngejar flight ke kota sebelah sebentar. Jangan ditungguin, aku yakin dia bakalan ngabarin kamu”
Oh.
“Kalau gitu, selamat malam, Lisa”
Ada lambaian. Dan dia tidak bisa mengingat bagaimana Noren beranjak dari hadapannya, Mobil menghilang di tikungan dan Lisa yang sudah duduk di atas kasur kesayangannya dengan sebuah hoodie incarannya terbuka di sebelahnya.
Dan ada itu, sebuah plushie beruang putih yang sedang memegang sebuah dandelion matang, dan satu dandelion mekar berwarna kuning cerah yang sangat kontras dengan warna putih beruang kutub tersebut.
Lisa tidak bisa mengatakan apakah dia bisa tidur dengan nyenyak, atau dia terjaga sepanjang malam. Yang dia tahu hanyalah, mata besar beruang dandelion itu menatapnya dengan senyuman lebar yang menggemaskan.
Dalam arti lain, Lisa kacau.
...…....
Alpino tidak akan mengatakan bahwa dia kacau, sakit di dalam dan kelimpungan. Mungkin dia bisa menyalahkan efek kelelahan, mungkin dia bisa menyalahkan efek dari emosi yang tertekan karena pasangan calon pengantin yang meminta sesi foto prewedding sangat cerewet dan menyebalkan, meminta ini itu yang membuatnya jengah dan selalu tidak puas. Mungkin ini karena efek aneh yang ditimbulkan saat makan malam dengan Lisa dan Noren. Mungkin, ini hanya efek dimana dia ingin sekali membebaskan beban berat yang sedang dipikulnya hari ini.
Mungkin juga, karena sudah menahan terlalu lama, dia hanya ingin melepaskan. Dia hanya ingin bersantai dan melupakan. Jadi, untuk melakukan itu semua, bukannya dia langsung membersihkan diri dan pulang ke kosnya yang dingin, dia berhenti di warmindo tongkrongan yang selalu menjadi basecamp untuknya, Heksa dan juga Fajri.
Memarkirkan motornya di parkiran warmindo langganan miliknya, dia masuk kedalam, menyeimbangkan kamera di bahunya. Memilah tempat yang biasa dia dan teman-temannya klaim, yang dimana bersyukurnya dia bahwa tempat itu masih kosong. Menjatuhkan dirinya disana, dia segera mengetik sesuatu di ponselnya.
Beberapa detik kemudian, kepalanya ia jatuhkan ke dinding di belakang, menutup matanya dengan erat seraya jemarinya yang lain memutar bungkus rokok merk tertentu.
Dia menunggu, untuk meledak.
Me
Bro, kalau lagi senggang, gas ke warmindo Ko Akoh. Gue yang traktir
^^^Heksa JN^^^
^^^Gass, 10 menit gue sampe^^^
^^^J.Fajri^^^
^^^Otw.^^^
..........
...🍁...
...Akhir Hari Senin : Berantakkan Dalam Satu dan Lain Cara-End...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Hiatus
covernya bagusss😍
2022-04-08
2
Miels Ku
like
2022-03-30
1
pouw95
Finish! Next nya jangan lama - lama thor, aku nggak suka digantung!
2022-03-17
2