Pagi berlalu dengan agak kasar. Lisa memiliki banyak keluhan kepada kakaknya yang tidak ada habis- habisnya menggoda dirinya hingga ia membanting pintu tepat di depan wajah kakaknya dan mengoceh tanpa henti kepada Alpino yang menjemputnya. Lisa tahu, Alpino mendengarkannya meskipun anak itu jengah dan harus menutup telinganya yang panas sesegera mungkin, tetapi dia masih berterimakasih karena anak itu tidak mencoba untuk memotong semua ocehannya selama di perjalanan meskipun dia mengeluh ketika mereka telah sampai di depan gedung kantor Lisa.
Melambaikan tangan dan memberikan salam perpisahan khas mereka, dia segera memasuki gedung dan mulai mengangkat semua beban kerjanya di atas meja. Dia melambai kecil pada Hala yang sudah berada di ruangan dan tengah berdiskusi santai dengan Alula-, salah satu anggota divisinya.
Lisa mengingat kembali bagaimana kakaknya mencoba bertanya apa saja yang terjadi malam itu ketika Noren mengantarnya pulang yang kemudian Lisa bantah dengan mereka tidak melakukan apapun selama perjalanan. Sementara kakaknya tidak percaya, ucapan Noren kembali mengambil alih pikiran Lisa malam itu.
Dia bahkan menyangkal bagaimana ketika Noren mengatakan padanya bahwa dia tidak akan menyerah dan berusaha untuk mendapatkan hati Lisa, dia tidak bisa tidur hampir sebagian waktu malam itu. Tetapi dia bersyukur bahwa wajahnya masih terlihat segar meskipun dia menggerutu untuk jam tidurnya sendiri.
Hari ini pasti menjadi hari yang kurang dari sibuk untuknya karena mereka sudah agak longgar, berbeda dengan Hala yang akan turun langsung ke lapangan untuk proses pemasaran produk baru yang akan launching hari ini.
Dia tenggelam dalam pekerjaannya dengan waktu yang tau berapa lama sebelum akhirnya seseorang mengejutkannya dengan menepuk bahunya. Lisa mendongak. mendengar suara pergeseran tulangnya di telinga karena tidak bergerak beberapa waktu. Itu Elena, rekan divisinya yang dengan wajah berseri-seri memberikannya sebuah buket kecil bunga dan secangkir es Caramel Macciato. Dia menatap bingung pada yang lebih muda sebelum Elena kemudian bersuara,
“Gue nggak tau kalau lo lagi deket sama orang, Lis” Ada cekikikan dari perempuan itu yang menambah kerutan di dahinya. “Maksud lo apaan sih El?” Elena mencebik sebelum meletakkan barang-barang itu di atas meja kerjanya.
“Ini lho” dia menunjuk pada buket bunga dan kopi.
“Tadi ada yang nganter ini katanya buat lo dari seseorang yang spesial. Itu di dalam buketnya ada surat, jangan lupa dibaca”
Elena menunjuk buket bunga mawar putih yang cantik. “Manis banget lho, Lis. Lo lagi deket sama siapa, nih? cerita dong biar jadi bahan gosip” Perempuan itu tertawa lepas membuat Lisa mendengus. Matanya menatap kertas pesan yang mencuat dari balik kelopak mawar putih. “Lo taunya ngegosip mulu El. Sudah sana lo balik ke kursi. Gue nggak punya orang spesial sama sekali”
“Ah, nggak asik lo, Lis” Elena cemberut, memukul bahu Lisa dengan main-main. “Yaudah deh kalau lo nggak mau cerita, semoga lancar ya. Jangan lupa makan-makan kalau udah jadi”
Lisa melotot pada yang lebih muda, Elena terbahak sebelum melambai dan duduk kembali ke kursinya. Menghela napas, Lisa menatap kesekeliling, agak sepi karena mungkin sebagian tengah melakukan pekerjaan di ruangan lain dan beberapa ikut bersama tim pemasaran ke lapangan.
Buket bunga masih terduduk dengan cantik disana, Lisa mengambil dengan ragu kertas yang terselip. Tidak ada yang pernah melakukan ini padanya. Mengirim barang sok manis seperti ini, terlebih teman-temannya juga tidak akan melakukan hal ini. Memikirkan kembali, dia pikir itu kakaknya yang meminta maaf dengan cara berbeda untuk meluluhkan hatinya, tetapi dia cepat-cepat menepis pemikiran itu karena kemudian sosok Noren mampir di kepalanya dan ucapannya terngiang di telinganya dengan cepat.
Jantung Lisa berdetak cepat ketika dia menarik kartu itu dan membukanya. Itu tulisan yang lumayan rapi dan yang pasti bukan tulisan orang-orang terdekatnya.
Noren Agustion Giovano.
Ha, tentu saja anak itu yang mengiriminya hal-hal seperti ini. Semacam pendekatan yang cheesy dan klasik. Hampir mampu membuat bulu Lisa merinding geli.
Isinya hanya sedikit, tetapi Lisa merasa ingin mengeluarkan isi perutnya sesegera mungkin.
...
Bunganya cantik, kayak kamu.
Kopinya segar, kayak kamu
cuaca hari ini cerah, kayak kamu.
Aku nggak lagi modus, tapi aku lagi rindu kamu
Selamat beraktivitas.
Noren.
...
“Ih apaan sih, geli banget, anjir”
Lisa bergidik, hampir memekik kalau saja dia ingat ketua divisinya baru saja berjalan masuk kedalam ruangan dengan kopi panas ditangan. Elena meliriknya tetapi tidak melakukan apapun, yang membuatnya bersyukur. Lisa cepat-cepat menutup kartu ucapan dan menimpanya di balik salinan berkas tebal disisi komputernya. Bulu kuduknya masih meremang, dia hampir tidak tertarik lagi dengan bunga itu, seolah-olah dalam pandangannya bunga itu layu karena dia membaca isi kartu yang sangat menggelikan. Noren mungkin seorang konglomerat yang terpandang, tapi dia seperti tidak tahu bagaimana cara menyampaikan sesuatu dengan normal.
Lisa menggeleng kuat. tangannya gatal untuk membuang bunga itu dan memberikan kopi kesiapapun, bahkan pikirnya akan memberikan kepada Elena tetapi dia mengeluh pada dirinya sendiri dan mengurungkan niatnya. Noren mungkin terlalu chessy atau dia yang tidak berpengalaman diperlakukan seperti ini oleh seseorang. Tidak apa, Noren ingin mencobanya, tetapi dia tidak akan pernah jatuh untuk orang itu, jadi dia tidak boleh membuang pemberiannya atau dia akan kalah. Begitulah pikirnya.
Lisa menarik ponselnya keluar untuk mengirim pesan cepat kepada kakaknya.
______
Message: Me
KAK SINAR!
Message: Kak Sinar
Apaan sih dek santai dong
Capslock lu jebol?
Perlu gue gantiin ke ip 11 nggak hp lo?
Message: Me
Berisik ah lo kak, urgent ini!
Message: Kak Sinar
Apaan yang urgent?
Gue lagi main game nih, dek
Message: Me
Game aja terus lo, kak
ngomong-ngomong,
Temen lo kok geliin banget sih, anjir
Message: Kak Sinar
Heh omongannya yaa
Ga boleh gitu
Kakak kan nggak ngajarin lo gitu dek
Message: Me
Kak straight to the point please >:(
Message: Kak Sinar
Hah?
Oh, oke
Si Noren?
Calon lo dek?
geliin kenapa lagi, sih?
Apa apa? sini kasih tau sama kakak dia ngapain lo dek
Message: Me
Dia ngasih gue bunga sama kopi tiba-tiba
Terus nulis pesan
Kak emang konglomerat cara pdkt-nya gini banget ya?
Geliin benerrr
Message: Kak Sinar
Eh, dia udah mulai?!
Message: Me
Apaan yang mulai?!
Message: Kak Sinar
Manis banget ya dia ke lo, dek
Selamat, dek
Selamat di ganggu sampe lo jatuh cinta sama dia maksud gue
HAHAHAHAHA
Sudah ya, gue mau lanjut main lagi. Sana kasmaran aja, kakak nggak bakal ganggu, kok.
Sayang lo dek :*
Eh salah, lo kan punyanya si Noren, ya
HEHEHEHE
Message: Me
Salah apa gue punya kakak kelewat pinter :)
Brengsek emang
:)
______
“Gue coret dari kartu keluarga lo, kak”
Lisa misuh. Lagi-lagi ingin menendang wajah kakaknya. Sampai sekarang pun Sinar tidak berusaha meminta maaf padanya karena membuatnya kesal, tetapi kali ini ditambah lagi. Emang dasar punya kakak begitu, Lisa jadi harus berbesar hati. Tapi kemudian ketika dia berpikir kembali, dia merasa sedikit merindukan pertikaian seperti ini dengan kakaknya. Yah, Sinar orang sibuk, tetapi dengan ini dia selalu berada di rumah untuk beberapa waktu.
Kembali lagi pada baran-barang di atas mejanya, dia mulai meraih buket bunga mawar putih itu. mengintai di sekitar, dia berbalik pada Jelita, ketua divisinya. Lisa tidak begitu dekat dengan yang lebih tua, tetapi dia mengagumi sebagian banyak dari Jelita yang begitu tegas dan mampu memberikan ide-ide terbaik untuk kelangsungan perusahaan.
“Permisi Miss. Jelita, boleh minta waktunya sebentar?” Lisa bertanya dengan hati-hati dan sopan. Perempuan yang lebih tua itu mendongak dan tersenyum, menggeser kursinya untuk menghadap ke arah Lisa. Lisa sungguh mengagumi perempuan ini.
“Ini, saya baru saja dapat bunga dari teman, kira-kira bisa ditaruh di sekitar sini? bunganya segar, jadi bisa nambah pemandangan dalam ruangan. Itu kalau nggak keberatan, sih”
Lisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, meskipun sudah lama bekerja sama dengan Jelita, tetapi dia tetap tidak terbiasa menyetarakan diri dengan perempuan yang lebih tua itu.
“Oh? mawarnya cantik. Kamu bisa ngambil vas dari ruang santai. Saya kira ada beberapa vas kecil disana. Ambil saja” Jelita tersenyum dengan manis. Kedua matanya menyerupai bulan di balik kaca mata berbingkainya. Lisa mengangguk dan berterimakasih sebelum pergi ke ruang santai.
Dia baru saja mendapatkan beberapa vas yang disimpan disana sebelum Hala datang dan mengejutkannya. Hampir menjatuhkan vas jika saja Hala tidak cepat-cepat menangkapnya. Wajahnya panik dan pucat. Lisa memukul sahabatnya yang cekikikan setelah pulih dari shock kecil.
“Gila lo, Hala. Jatuh ini gue nyalahinnya lo!”
Hala cemberut sebelum menyikut Lisa dengan ringan. “Iya, iya, maaf deh. Gue baru aja balik sebentar buat ngambil barang testi yang ketinggalan sekalian ambil minum, haus. Lo ngapain disini? Miss. Jelita beli bunga buat kantor?”
Hala bertanya seraya meraih gelas untuk menuangkan minumannya. Hala bisa memperhatikan Lisa yang sedang mengisi air segar dan memilah beberapa bunga untuk dipisahkan ke dua vas berbeda. “Kalau lo tau dari siapa ini lo bakalan ketawa puas terus ngegodain gue” Lisa mencibir, Hala mengangkat kedua alisnya. “Heh, Emang dari siapa?”
Lisa berbalik untuk menghadap ke arah Hala. Tatapannya mengisyaratkan rasa jengah pada perempuan itu.
“Ih, lo kok kayak-,”
Hala terkejut ketika suara ponselnya bergema. Dia panik dan segera menarik ponselnya keluar dari saku jasnya.
“Oh Lis! ini Mbak Ivora! gue harus cepat ngambil sample barang. Kerjaan gue ngejar banget ini. Gue baru ingat pak Leo mau turun lapangan juga. gue duluan yaa! ntar kita ngobrol lagi. Daaah!”
Hala menepuk kedua bahu Lisa dengan keras dan cengiran yang ada di wajahnya sebelum berlari ke mejanya. Perempuan itu yang kini mengenakan kaca mata bulatnya yang memenuhi hampir sebagian wajah dan pipi gembilnya yang lucu terlihat sangat sibuk dan terburu-buru ketika dia membongkar laci dan meraih ke bawah meja untuk mengambil salah satu sample barang yang diserukannya tadi. Dia bahkan sempat melambai pada Jelita dan seluruh anak divisi perencanaan sekilas sebelum menghilang di balik lift.
Lisa berdecak dengan seringaian geli pada sahabat kecilnya yang selalu sangat gegabah, berdoa bahwa anak itu akan baik-baik saja dan tidak membuat masalah seperti waktu sebelumnya. Kemudian dia kembali melanjutkan kegiatannya. Setelah selesai dengan pemilahan bunga, dia segera meletakkan vas diantara mejanya dan tempat yang cocok untuk dilihat.
Anela dan Ayu masuk bertepatan ketika dia duduk dan menyeap Caramel Macciato yang diberikan oleh Noren. Rezeki, sayang jika dibuang. Mubazir juga. Dan jika ini dibuang, dia merasa dia kalah dari Noren. Tentu saja, Lisa tidak akan pernah kalah sekalipun dia terdesak di ujung tombak.
“Lis, sini deh, lo mau tau nggak sih berita hot news yang gue dapat hari ini? Denger-denger sih katanya mbak Siska yang sekretarisnya pak Hendrik itu yang dari divisi percetakan, hamil muda lho! Padahal dia baru aja tunangan seminggu yang lalu” Mata Anela membesar dengan menggebu-gebu, tangannya melambai pada Lisa dengan antusias. Disebelahnya Ayu dan Elena sudah mulai heboh dengan obrolan baru seputar masalah perusahaan seperti biasanya.
“Ah, sumpah lo, An? Padahal tunangannya itu lebih muda empat tahun loh dari mbak Siska. Manalagi yang ganteng itu, ‘kan? Masa iya mas nya bikin mbak Siska hamidun duluan, sih? Atau jangan-jangan sengaja ditunangin biar nggak ketauan kalau hamil duluan, ya?”
Lisa menggeleng, tidak begitu tertarik untuk mendengarkan drama yang selalu saja up to date setiap harinya.
“Iya ih, gue juga curiga. Lisa ayo dong gabung sini sama kita. Lo nggak tertarik dengerin hot news gila gini? Mbak Siska lho, yang badannya kayak gitar spanyol itu, yang strict banget kalau udah urusan kerjaan” Ayu melambai, kembali mengajak Lisa. Mungkin dia tidak melihat ketika Lisa menolak tadi dengan hanya gerakan tubuh.
“Gila, sih. Gitu-gitu mbak Siska kalau urusan cinta nggak tanggung-tanggung” Lisa mendengar Elena takjub dengan gibahan yang dimulai oleh Anela. “Eh, mbak Siska ‘kan deket banget nggak, sih sama pak Hendrik? Kalau gue liat-liat sih dimana ada Pak Hendrik disitu ada mbak Siska, lho. Jadi suudzon nih gue”
Ada ringisan yang Lisa tahan untuk keluarkan. Raut wajahnya masam karena teman-teman divisinya ini sangat tidak bisa mengontrol ucapan mereka ketika sedang membicarakan orang lain. Lisa jadi merinding sendiri jika dia adalah topik utama pembahasan. Dia melirik ke arah cup yang yang berada di tangannya. Bulunya bergidik jika saja mereka tahu bahwa CEO dari perusahaan besar sedang mencoba untuk menjadikannya sebagi istri. Perjodohan gila yang diputuskan satu pihak.
“Ah, Lisa nggak seru, deh” Anela mencibir meskipun tidakk terdengar menggigit. Perempuan yang berkuncir kuda dengan jepitan bunga matahari yang menahan poninya ke sebelah kanan itu melambai, paham dengan keengganan Lisa untuk masuk dalam pembicaraan seperti itu. Sedikitnya Lisa bersyukur karena teman-teman divisinya tidak akan pernah meninggalkannya di belakang dan selalu memasukkannya dalam pembicaraan apapun, tapi mengerti bagaimana mereka harus membuat batasan.
“Yaudah, sih. Eh, Miss Jelita, sini deh. Kita lagi ngobrolin tentang mbak Siska, lho! Ayo, ayo Miss, kita gibah bareng!”
Mendengar nama ketua divisinya dipanggil, Lisa memperhatikan bagaimana perempuan cantik yang dia kagumi itu terlihat tertarik dengan pembahasan. Dia membuat wajah terkejut dan duduk dikelilingi oleh ketiga karyawan lain yang sangat bersemangat saat bercerita. Mereka bahkan terlihat sangat akrab ketika raut wajah Jelita berubah-ubah dari hal serius sampai dengan keterkejutan yang nyata.
Diam-diam, Lisa iri dengan kedekatan ketua divisinya dengan anak-anak lainnya. Dia sangat ingin dekat dengan orang yang dia kagumi, tetapi Lisa tidak mengerti bagaimana mereka memiliki dinding yang masih tebal di antara dia dan Jelita. Mungkin, hanya Lisa saja yang tidak begitu terbiasa untuk mengobrol layaknya teman, atau mungkin karena Lisa sendiri merasa canggung dan tidak begitu tau harus mengobrolkan apa dengan Jelita.
Dia berharap, suatu hari nanti dia menjadi lebih dekat dengan Jelita bagaimanapun caranya.
...…....
“Hala?”
Hala terkejut ketika mendengar namanya di panggil oleh suara yang terdengar agak familiar di telinganya akhir-akhir ini. DIa berbalik dari tempatnya bersandar untuk menemukan orang yang memanggilnya dan langsung bertatapan wajah dengan Noren. Pria itu berdiri di depannya dengan plastik besar di tangannya, terlihat begitu lega dari apa yang coba Hala simpulkan saat dia memperhatikan.
“Lho, Kak Noren ngapain disini? Beli makan juga?”
Hala baru saja selesai dengan tugas lapangannya bersama anggota divisinya. Anak-anak disekelilingnya mulai berbisik-bisik di sekitarnya. Alula bahkan menyikutnya dengan wajah tak percaya, berusaha menggodanya dan Hala ingin tertawa mengejek teman-temannya yang sudah sangat salah paham.
“Iya, nih. Baru aja beli” Noren mengangkat plastik di tangannya untuk ditampilkan persis dalam jarak pandang Hala, dengan seringaiannya yang kali ini lebih lebar dari sebelumnya. Hala mengangguk paham dalam detik itu juga. “Tapi disekitar sini, kak? Gue baru ngeliat lo disini lho kak selama gue kerja” Hala mengernyit, mencoba mengingat apakah dia pernah melihat Noren di sekitar selama ini, Noren tertawa dan anak-anak divisinya menjerit gemas dan bahkan ada yang mencoba mengambil foto secara diam-diam. Hala menurunkan tangan Binar dan menutupi kamera ponsel perempuan berambut silver itu, mencoba mengatakan dengan isyarat matanya bahwa dia tidak boleh bersikap tidak sopan.
“Engga, emang nggak pernah, sih. Paling kalau makan dibeliin sama Zaki. Sebenarnya ini juga gue ke sini khusus mau bawain ke dia sekalian ketemu. Tapi sayangnya kerjaan gue udah manggil, nih. Sinar juga udah nungguin gue di mobil.”
Dia menunjuk ke belakang. Hala dapat melihat satu Mercedes Benz hitam yang terparkir disana, dia juga bisa melihat Sinar yang sedang sibuk dengan ponselnya dan kacamata yang bertengger dengan apik di wajahnya. Visual dari kakaknya Lisa ini memang selalu tidak main-main, Hala akui.
“Yah, kak, sayang banget” Hala menggigit bibirnya, Padahal jika saja Noren bisa mengantar langsung, dia akan senang sekali melihat reaksi dari Lisa. Pasti menggemaskan. “Iya makannya itu, Beruntung banget ini sih, gue ketemu sama lo, La. Jadi gue nggak perlu nitip ke satpam. Gue titip makan buat calon ke lo ya, dek?”
Noren memberikan plastik makanan yang Hala terima dengan senyuman senang. “Oke kak, bakalan sampai langsung ketangannya kalau sama gue, mah” Hala terkekeh kecil, melilhat ke dalam plastik yang terdapat satu set makanan yang sering Lisa makan ketika jam makan siang.
“Makasih ya, La. Oh iya, biar sekalian gue yang bayarin apa yang kalian beli deh biar bisa makan bareng” Noren bergerak menuju kasir. Hala mencoba untuk menghentikan dengan gegabah, sedikit terkejut dengan tawaran tiba-tiba oleh Noren. “Kak, nggak usah,lho. Kita bisa beli sendiri” Dia dengan panik mencoba menghentikan Noren, memberikan pelototan besar pada kasir sebagai peringatan, dimana sang kasir hanya menatapnya dengan cengiran dan ekspresi yang aneh.
“Nggak apa-apa kok, dek. Sekalian terimakasih dari gue udah mau nganterin buat calon” Noren mengeluarkan kartunya, mengobrol sedikit dengan kasir.
Binar dan Noella sudah menarik tangan Hala dengan gemas. Alula sedari tadi menahan untuk tidak mulai berisik begitu saja karena perempuan itu sendiri adalah yang paling penasaran dan heboh tentang apapun yang terjadi disekitarnya. Dia tidak bisa menutup mulutnya lebih lama daripada apa yang bisa dia tahan sekarang. “Udah deh, nanti aja ngobrolnya, malu tuh diliatin sama orangnya” Hala berbisik pada Alula yang sudah terlihat sangat bersemangat untuk meledak. Diberitahu seperti itu, Alula hanya cemberut dan memutar matanya sebelum mengambil jarak dari Hala dan melihat camilan cokelat yang berada di tangannya dengan minat yang sedikit terkuras karena ada hal yang lebih sangat ingin dirinya bongkar dan menarik Hala untuk bercerita.
Noren berbalik, Hala mencoba untuk memberikan senyuman yang terbaik. Dia sangat malu saat ini karena kelakukan abstrak teman-teman divisinya yang memang di luar batas wajar dimana Hala sendiri sudah berusaha untuk mengimbangi mereka. Tetapi untuk saat ini, rasanya dia ingin menjambak rambut mereka bertiga dan bertarung di tempat itu juga sebagai arena tinju perempuan.
“Udah selesai, La. Tinggal di bawa pulang aja ya makanannya. Maaf gue nggak bisa lama-lama. Oh iya, lo nggak mau ketemu sama Sinar dulu, La?” Noren menawarkan. Hala menggeleng cepat, menolak karena dia tidak ingin mengambil waktu mereka lebih lama dan sebenarnya dia sudah ingin lenyap dari sini dan membawa teman-temannya untuk segera pergi. “Nggak deh, kak. Udah, Kakak pergi aja dulu. Ini nanti gue fotoin deh kalau udah dikasih ke orangnya. Maaf juga ya kak ngerepotin kakak sampai bayarin kita gitu”
“Gue nggak ngerasa direpotin kok, santai” Hala tersenyum menanggapi, “Tapi beneran nih nggak mau ngeliat Sinar dulu? Nanti dia ngamuk lagi kalau tau gue ketemu sama lo tapi dia nggak”
“Ih, kakak apaan, sih? Udah sana. Ini juga mau balik lagi ke kantor. Kakak mau diliatin sama anak-anak terus?”
Hala melirik kesekelilingnya sebagai peringatan pada Noren. Dia yakin teman-temannya sudah meleleh ketika melihat ketampanan Noren dan senyum yang manis dipamerkan dan tawa yang terdengar di telinga para perempuan pengincar pria tampan nan rupawan itu. Noren mendengus geli ketika dia paham apa yang dimaksud oleh Hala. Jelas, teman-temannya hampir mengiler dengan tatapan yang tidak lepas dari wajahnya.
“Iya deh. Tapi nggak ada salam atau apa gitu ke Sinar? Nanti dia ngambek, dek. Serius” tambahnya lagi.
“Ya ampun, Kak!!” Hala mencibir. “Ya udah, deh. Salam sama kak Sinar, ya”
Noren melemparkan dua jempolnya dan mengangguk dengan senang. Anak-anak di sekitar mencengkeram Hala dengan lebih keras karena tidak kuat melihat mentari yang bersinar di hadapan mereka.
“Iya kak, sampai nanti, ya”
“Oke, sampai nanti, Hala”
Noren berjalan kembali, hampir berlari menuju mobilnya yang terparkir sebelum masuk. Hala dapat melihat bagaimana Noren mengobrol dengan cepat dengan Sinar yang sudah bersiap dengan kemudi sebelum tersentak dan mengalihkan pandangan ke arahnya. Hala melambai kecil karena ketahuan menatap dan Sinar seperti ingin menyapanya dan keluar dari mobil, yang setidaknya membuat Hala sedikit takut dan tidak mengerti. Tetapi Noren menahan dan seperti mengatakan bahwa mereka harus pergi secepat mungkin. Hala bisa melihat cemberut besar di wajah Sinar dan dia bahkan tertawa saat SInar terlihat seperti anak kecil yang kehilangan permen. Mirip seperti Lisa.
“Hala!!!”
Hala berdecak sebelum berbalik, menatap rekan divisinya dengan gelengan kepala yang paham.
“Udah, jangan bombardir gue dengan pertanyaan. Ambil makanannya dan kita balik ke kantor. Mau kalian semua nggak makan karena kehabisan jam? Nggak laper?” Hala memperingatkan dengan cibiran dan ancaman, tetapi rekan-rekannya mulai menariknya dengan penuh semangat yang berapi-api.
“Berisik lo, La! Ceritain ke kita gimana bisa lo kenal sama Noren Agustion Giovano, hah? Si ganteng yang ada di tv? Duh, keren banget sumpah deh, yaampun pengen banget gue jadiin suami” Alula mulai mengoceh, berimajinasi membayangkan bagaimana kehidupan pernikahannya jika saja dia ditakdirkan dengan pria luar biasa itu.
“Iya, La! Gila banget. Gue baru pertama kali liat dia dengan kedua mata langsung. Sumpah, ganteng! Gue pengen lumer aja deh jadi genangan. Apalagi waktu dia senyum, gila, meleleh gue asli” Binar menarik tangan Hala, memperlihatkan bagaimana dia kepincut dengan Noren.
Miris jika dirinya mengingat bagaimana calon dari Noren sendiri menolak mentah-mentah perjodohan mereka. Jika saja Binar atau Alula, atau bahkan Noella dan semua perempuan di luar sana yang diajak oleh Noren menjadi tambatan hati untuk bahtera rumah tangganya, pasti akan berjalan lancar. Karena rata-rata perempuan akan jatuh dengan pria seperti Noren meski hanya dipandang dari keadaan fisiknya saja.
Dan ditambah dengan materi?
Bodoh jika menolak pria sempurna seperti itu.
Tidak, Hala tidak mengatakan bahwa Lisa bodoh. Hanya saja, dia tahu bagaimana sahabatnya lebih mementingkan cinta yang datang dari hati dan perasaan daripada fisik dan materi yang utama. Hala tersenyum jika dia membayangkan hal itu.
“Heh, nggak ada, ya. Dia udah ada yang punya” Hala berseru kembali, mengingat bahwa dia harus membangunkan rekannya yang sebenarnya sudah memiliki pasangan masing-masing itu.
“Hah, beneran?! Kok nggak ada gosipnya, sih?” Noella histeris. “Kalau dia sudah punya calon ya pasti langsung heboh, dong dunia entertaint! Eh, salah, dunia gossip maksud gue” Dia bereaksi lagi. Hala medengus sebelum menarik semuanya keluar dari restoran agar tidak ada yang melihat tingkah absurd teman-teman divisinya itu.
“Banyak yang patah hati juga, nih, pasti” Binar menambahkan.
“Iya, gue patah hati, nih” Alula cemberut. Seolah-olah dia masih berstatus single. “Lagian siapa sih calonnya? Kok dia ngasihnya ke lo, sih? Jangan-jangan lo, ya?” Hala memutar bola matanya lelah. Mereka ini sebenarnya sedang ada di mana ketika pembicaraan Noren dan Hala berlangsung? Apa mereka tidak ingat bahwa makanan itu berstatus titipan?. Hala baru saja akan membantah ketika Binar sudah lebih dulu menyela. “Nggak mungkin deh, si Hala. Dia kan kentang”
“Bangsat lo, Bi!” Hala menjambak ujung rambut Binar yang sudah cekikikan dan berteriak ketika makotanya di serang. Perempuan itu menggerutu sesaat sebelum mencibir dan kembali dengan hipotesanya yang tidak masuk akal. “Iya, iya. Tadi gue juga liat ada cogan juga di mobilnya. Itu siapa, sih? Sinar gitu yang Noren maksa lo buat ketemu, yang alhasil lo kirim salam sama dia? Itu pacar lo, ya, La?” Binar kembali menuding gala dengan berdiri di depannya. Wajahnya terlihat galak, dua rekannya yang lain juga mulai menyudutkannya.
Pertanyaan aneh terlontar lagi. Hala menggeleng dengan sabar.
“Ya Tuhan, apa salah gue bisa ada diantara kalian bertiga. Dosa apa gue di masa lalu, ya?” Hala mendesah, mendorong bahu Alula yang menghadang jalannya. “Ya, enggak lah. Gue nggak pacaran sama kakaknya Lisa” Hala melotot pada yang lain yang sudah berada di kedua sisinya. Dia mencubit pinggang Alula dengan gemas yang merintih secara dramatis dan membalasnya dengan tendangan di kaki dengan main-main.
“Iya, ya. Gue baru inget. Lo ‘kan sama si Heksa, La. Nggak mungkin sama cowok tadi. Lo ‘kan setia orangnya, ya” Noella tertawa keras ketika dia menggoda Hala dengan nama pria lain yang sering sekali dia lihat bersama dengan Hala.
Hala hampir tersedak udara, tetapi dia coba abaikan karena dia paham bahwa teman-temannya ini hanya mencoba untuk mengganggunya dan mengorek informasi lebih jauh tentang kehidupan pribadinya dan tentu saja, calonnya Noren.
“Fitnah aja terus kalian semua. Capek gue”
Hala mencoba untuk mempercepat langkahnya agar cepat sampai di kantor dan terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih aneh lagi. Tetapi kemudian, Binar mendahuluinya dengan pertanyaan lagi.
“Eh, lo bilang tadi Sinar kakaknya Lisa, ya?” Suara Binar penuh selidik, “Jangan-jangan calonnya Noren itu-,”
Binar, Noella dan Alula menatap horror pada Hala yang kini terbahak dengan puas karena tidak bisa menahannya lagi. Wajah rekan-rekannya benar-benar membuatnya hampir mati menahan tawa.
“Udah ah, yuk masuk. Gue mau ngasih ke calonnya Kak Noren dulu ya~ dadah~”
“HALAAAA!!!”
Hala terkikik dengan puas ketika jeritan ketiga rekannya itu membuat teinganya berdenging, dan sampai dengan karyawan di sekitar melihat ke arah mereka. Terkadang, salah satu hal yang disukai Hala adalah membuat rekan-rekannya hilang akal dan gemas sendiri.
Poin satu lagi ditambahkan untuk Hala yang puas.
...….....
......🍁......
...Awal Gangguan-End...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Duwi Hariani
mmpir lgi tor! semangat ya! salam. dari istri yang bisu🙏
2022-04-17
1
Hiatus
jejak dl ya ka. nnti aku baca pas mlm. semangat up😍😘
2022-04-05
2
In-J_Utami
hai k, jangan lupa mampir ya ke lapak aku
2022-03-31
2