Sebagai seorang anak tunggal yang sering ditinggal kerja oleh kedua orangtuanya, Alpino tumbuh sebagai sosok yang lebih tertutup tentang perasaan pribadinya. Dia lebih memilih untuk menutupnya dengan berbuat konyol atau pergi bermain dengan teman-temannya. Dia tidak bisa membuka mulutnya untuk bersuara ketika dia merasa tersakiti secara personal, namun dia selalu menyebutkannya secara tersirat lewat candaan yang tidak terlalu serius. Mungkin dimata teman-temannya Alpino adalah sosok ceria dan periang, bertanggung jawab dan bisa dipercaya oleh orang lain. Dia juga pandai memimpin kelompok dan juga pintar. Ya, pintar menyembunyikan perasaannya di balik senyuman cerah nan menawan miliknya, juga kekonyolan lakonnya.
Alpino memang terlihat sangat jujur dan transparan, namun itu semua karena hanya dia pintar menyembunyikan perasaannya yang paling pribadi, yang selalu dia jaga dan sembunyikan dalam-dalam, dikuburkan dengan baik di suatu tempat di dalam dirinya sendiri sehingga hanya dia yang tau sesakit apa rasa itu, sebingung apa dirinya dan sedalam apa luka yang tertoreh padanya. Tetapi masalahnya, Alpino yang selalu menikmati setiap kecil bagian hidupnya itu tidak pernah merasa sehancur ketika dia merasakan patah hati untuk yang pertamakalinya.
Dia bahkan tidak menyadari bagaimana dia masuk kedalam rumahnya dengan mata yang berkaca-kaca, wajah ditundukkan, disembunyikan di bawah tudung hoodienya dan bergegas masuk ke kamarnya, membuat kedua orangtuanya kebingungan dengan sikap sang anak. Dia juga tidak menyadari bagaimana dia sudah terisak dengan keras di balik kamar mandi dan air dari keran yang dihidupkannya secara penuh, berusaha untuk menutup semua suara tangisannya yang mendendangkan luka.
Hancurnya hati membuatnya merasa kalah. Pecahan yang sudah tak terbentuk, menyerupai serpihan tak bisa lagi ia rekatkan. Hatinya patah dan tangannya yang sudah berdarah tak bisa meraih serpihan yang tersebar, tak lagi bisa menemukan lem terkuat untuk membuatnya utuh. Ada lubang yang menganga dengan lebar, rasa sakit pertamakali yang membuatnya kelelahan. Senyum yang biasanya menghiasi wajahnya hilang dan tak bisa terbentuk. Hingga yang dia tahu adalah tidur dan tidur sehingga rasa sakit itu tidak lagi mengganggunya.
Alpino ingat bagaimana dia menutup mata dari pagi hingga pagi. Kamarnya selalu gelap, orangtuanya bahkan memutuskan untuk mengambil hari libur dari kerjaan mereka untuk memastikannya baik-baik saja, namun dia sama sekali tidak ingin diganggu. Tidak ada yang boleh mengganggunya dan biarkan saja dia dalam kegelapan dan rasa patah hati yang menguasainya. Biarkan dia menangis dan tertidur, biarkan dia sembuh dengan caranya sendiri.
Itulah yang dia pikirkan. Sembuh dengan caranya sendiri.
Namun nyatanya, ketika dia tertawa di hari ini, tidak pernah ada kata sembuh sempurna untuknya. Meskipun senyumnya muncul kembali ketika seseorang yang membuatnya merasa sesakit itu bersikeras untuk mengunjunginya dan memastikan bahwa dia baik-baik saja, serpihan hatinya masih tersebar. Hatinya memiliki lubang-lubang kecil yang jika diisi air akan membuatnya merembes kemana-mana. Meskipun Lisa menunjukkan kekhawatirannya dan perhatiannya yang sangat Alpino sukai, Alpino sendiri tidak akan bisa menyentuh kata sembuh itu sama sekali.
Namun yang dia tahu adalah, Lisa ada untuknya. Bukan Lisa yang salah. Bukan perempuan itu yang harus bertanggung jawab dengan kehancuran hatinya. Alpino ingin menyalahkan Sinar, atau bahkan seseorang yang sudah mengambil Lisa bahkan sebelum dia memulai. Tapi dia tidak bisa. Semua itu adalah miliknya untuk ditanggung. Perasaannya adalah miliknya sendiri yang harus dia kendalikan.
Semuanya tidak akan sesakit itu jika dia tidak jatuh untuk sahabatnya sendiri. Semuanya tidak akan terasa sakit jika dia bisa mengendalikan perasaannya.
Jadi, semuanya adalah salah dirinya sendiri. Alpino adalah orang yang salah. Namun, perasaannya tidak akan pernah salah karena Lisa adalah seseorang yang pantas untuk dicintai. Namun persepsi cinta disini seharusnya bukan sebagai seseorang yang ingin memiliki. Seharusnya Alpino sadar, dia harus membuat jarak dan batas.
Tapi siapa dia? Hanya seseorang yang lemah dalam hal mencintai. Hanya seseorang yang kalah tentang perasaannya. Hanya seseorang yang sudah jatuh terlalu dalam di jurang kenyamanan dan pesona sahabatnya.
“Aku kira kamu suka sama Lisa”
Dan sialnya, suara Hala pada waktu itu, lagi-lagi menghancurkan hatinya. Kenapa perempuan itu harus membuatnya sadar tentang perasaannya?
Tentu yang membuatnya berpikir seperti itu adalah foto yang dikirim Lisa padanya, tapi itu bukan kesalahan Lisa, bukan pula kesalahan bunga sakura atau dandelion yang digenggam sahabatnya itu. Bukan pula kesalahan senyuman manis Lisa yang membuatnya bersemu dan menggetarkan hatinya yang lemah.
Pasti itu. Dia ingin menyalahkan orang lain selain dirinya. Dan mungkin saja, untuk sebagian besar hidupnya, Hala ikut andil dalam titik balik kehidupannya. Dia menyalahkan Hala untuk sebagian besar waktu karena menyadarkan tetntang perasaannya.
Perempuan itu juga harus ikut disalahkan.
...…....
“Wah emang beneran setan ya, lo, Al”
Alpino menatap Heksa dengan cengiran. Dia memang sengaja memegang tatapan Heksa ketika dia menyalahkan seseorang yang sudah mengenalkan dan membawa Heksa padanya hingga mereka bisa sampai pada titik ini untuk saling mencurahkan perasaan masing-masing yang hanya bisa mereka ceritakan bersama. Memang benar Alpino adalah seseorang yang memegang teguh rasa sakitnya, namun kehadiran Heksa dan Fajri mengubah segalanya.
Alpino ingat pertamakali dia memuntahkan rasa sakitnya waktu itu dan tiba-tiba dia bisa menghirup udara segar dan bahkan dia bisa terjaga dari pagi hingga pagi karena bebannya terasa lebih ringan dalam sebagian besar waktu. Agak berlebihan memang, tapi begitu dia menyelesaikan tentang kekhawatiran dan rasa sakit yang dia pendam dalam sebagian besar hidupnya, dia merasa lebih bebas dari jeratan kegilaan dan frustasi yang membayanginya.
“Lah kenapa gue dikatain setan mulu, Sa. Gila lo. Gitu banget bereaksi cuma ketika gue ngucap nama Hala doang” Alpino tertawa. Mengguncang minumannya sebelum kembali menyeringai menggoda lelaki yang kini bersungut-sungut di sebelah Fajri.
“Bukan masalah itu, njing. Maksudnya, dari keseluruhan cerita lo ya pasti yang salah bukan Hala, dong. Nyalahin Bang Sinar ajalah, anjing. Dia yang bikin lo berhenti sebelum memulai. Ya mau gimana lagi namanya perasaan mana bisa lo yang nentuin. Setan”
“Wah mulut lo emang harus di bersihin pake air suci, Sa. Ngeri banget gue dengernya” Dia tertawa, lebih lepas kali ini karena kabut stress pada akhirnya perhalan menghilang dari kepalanya. Perasaan berat sudah mulai hilang, dia lebih tenang kali ini dengan cara yang baik.
“Diem lo! Gue lagi bahas siapa yang salah disini, siapa yang nyakitin lo sampe segitunya dan siapa yang malah lo salahin. Emang udah nggak ada waras-warasnya lo sama sekali” Heksa mencibir, masih terdengar kesal entah karena apa. Ya, sebenarnya Alpino sedikitnya tahu apa yang membuat Heksa mencibir seperti itu. Setidaknya dia bisa merasakan sesuatu yang disiratkan oleh Heksa, mungkin.
“Giliran Hala doang lo cepat banget unjuk diri,ya, Sa” Apino mengejek, menggoda temannya yang dibalas dengan tatapan datar tak terkesan. “Bukan tentang Hala anjir!” tanggapan anak itu terdengar sangat serius. Cemberutnya semakin dalam.
“Jri?” Alpino memanggil Fajri yang masih diam. Biasanya anak itu lebih aktif untuk berbicara setelah dia bercerita tentang hal-hal seperti ini. Tapi masalahnya sekarang, dia terlihat berpikir dengan keras dan hanya diam. Matanya berkedip beberapa kali ketika dipanggil sebelum helaan napas terdengar begitu berat.
“Yaelah, ngapain lo yang hela napas seberat itu? Bukannya harusnya gue, ya?”
Mencairkan suasana adalah hal yang harus dia lakukan kali ini. Alpino tidak ingin terdengar atau terasa canggung disekitar. Dia tidak ingin percakapan ini terdengar lebih serius dari yang seharusnya karena kalau tidak, dia tidak akan bisa menangani perasaannya dan rasa sedih yang dia tahan mati-matian sejak awal karena kembali mengingat kehancuran diri dan perasaannya.
“Ya, bukan gitu” Fajri tertawa. “Seharusnya gue mau godain lo tentang pertemuan pertama lo sama Lisa, mau juga komentarin ini itu tentang hidup lo” lanjutnya. “Tapi masalahnya disini, gue masih nggak percaya Bang Sinar setega itu sama lo, Al. Seharusnya dia nggak berhentiin langkah lo tentang hal beginian” lagi, helaan napas yang dikeluarkan seperti Fajri tengah berpikir dan merasa terlalu keras di dalam.
“Hmm, gimana, ya” Alpino mendongak, menatap langit malam untuk mencari satu bintang yang seringkali menjadi titik fokusnya saat dia berada di sana, namun kali ini awan menutupinya sehingga dia tidak bisa melihat satu bintang khusus itu. “Awalnya gue rasa Bang Sinar emang jahat. Tapi gue nggak bisa nyalahin dia karena dia berusaha jaga perasaan gue, Jri. Dia nggak mau bikin gue patah hati, jadi dia buat gue berjanji sama dia biar gue bisa paham dimana gue berdiri dan paham tentang pilihan yang harus gue ambil. Jadi, Bang Sinar nggak bersalah disini” Dia ingin menggigit lidahnya ketika berucap, namun dia tidak bisa.
“Tapi lo berani nyalahin Hala, emang sudah gila, lo” Heksa kembali menyahut.
“Ya Allah ini anak, gemes banget gue, sumpah” Alpino tertawa ketika Fajri mengucap dan menyikut Heksa, membuat lelaki itu meringis. “Bisa berhenti bucin dulu nggak, sih?” cibirnya kemudian.
“Apaan?! Nggak ada yang bucin, anjir. Cuma ya, tuh anak ada gila gila nya emang. Udah jelas yang salah Bang Sinar yang bikin dia begitu malah nyalahin orang lain. Stress”
“Ya Allah, Sa. Kenapa lo malah emosi, sih?” Gelengan kepala dia berikan untuk Heksa. Geli sendiri karena anak itu terlihat seperti sangat, sangat kesal.
Mata Heksa melotot dengan kekesalan yang dipancarkan. “Ya gimana gue nggak emosi, padahal lo sama Bang Sinar baik-baik aja. Juga sering mabar, bahkan sering ngajak ke arcade bareng, kan? Padahal yang udah nyakitin lo tuh, dia. Gue nggak bisa bayangin sesakit apa rasanya pura-pura baik-baik aja”
“Gue nggak pura-pura baik-baik aja kayak yang lo bilang kok” Alpino menyahut cepat. “Gue sama Bang Sinar emang baik-baik aja. Bang Sinar juga orangnya seru, kok. Kan udah gue bilang, Bang Sinar cuma mau nyelamatin perasaan gue. Cuma mau yang terbaik buat gue. Dia udah bilang bagian terburuk dari perasaan yang gue punya dan dia ngasih peringatan dan pilihan buat gue. Cuma, ya, guenya aja yang milih jalan ini, yang mungkin kata dia salah, tapi menurut gue sudah benar. Bang Sinar udah nunjukin kalau sebenarnya dia sayang sama gue”
Jantungnya terasa sesak, namun dia abaikan. “Meskipun gue sama bang Sinar baik-baik aja, bahkan akrab malahan kalau bisa dibilang, lo pasti tau gimana dia waktu liat gue ada di sekitar Lisa, kan? Dia nunjukkin kalau dia nggak suka dan nggak ngebolehin gue bertindak aneh di sekitar adeknya. Kalian pasti paham gimana. Tapi sekali lagi, itu karena dia pengen yang terbaik buat gue. Jadi jangan emosi sama bang Sinar, ya. Udah, biasa aja kalau di sekitar dia sama kayak kalian yang biasa”
“Jangan gara-gara gue kalian malah nggak suka atau ngejauhin Bang Sinar. Hadah, pokoknya jangan kayak anak-anak deh, ini tentang gue sama dia, tentang pilihan gue juga sih, sebenarnya”
Ada hening yang lama setelah Alpino menutup mulutnya. Suasana agak tegang. Fajri sama Heksa terlihat mencoba yang terbaik untuk tenang. Mereka bahkan makan dalam diam, berupaya untuk mengatur suasana agar kembali baik.
“Yang pantas kalian salahin tuh gue, sih, sebenarnya-ADUH! Ngapain gue dilempar, nyet?!”
Alpino meringis ketika dia Fajri berhasil melempar kaleng kola bekas ke kepalanya. Suara sorakan dan cekikikan dari Heksa membuat Alpino berdecak, matanya menatap nyalang ke arah teman-temannya yang bersenang-senang dengan apa yang mereka lakukan sekarang.
“ya masalahnya lo bego, sih” Fajri menyahut.
“Juga, kita bukan anak kecil lagi, bukan cewek juga. Ngapain gue sewotin dan jauhin bang Sinar. Itu kan masalah lo sama dia. Kita juga gabakalan ikut campur dalam pilihan lo juga” Heksa mengikuti sebelum menambahkan, “Masalahnya ada di otak lo, sih, Al. ngapain nyalahin diri sendiri tentang perasaan? Lo mah, berguru sama Fajri ini makannya tiap kali nyalahin diri sendiri, mana tentang perasaan lagi. Hadeh, pusing gue”
“Heksa, lo jangan nguji emosi gue, ya, anjir”
“Lagian, masalah kalian berdua tuh sama, ya. Sama-sama punya perasaan sama sahabat. Bedanya yang satu ga direstuin abangnya, yang satu malah cupu padahal sama-sama suka-, FAJRI LO NGGAK USAH GILA!”
Alpino tertawa lepas dengan tiba-tiba ketika melihat Fajri sudah bangkit dan mengunci pergerakkan Heksa. Lelaki itu menindih tubuh Heksa dan memelintir tangannya kebelakang punggung, membuat kuncian ala-ala petinju yang sedang bergulat di ring. Heksa meronta, sedangkan Fajri terlihat seperti berusaha untuk mematahkan tangan lelaki yang kini tengah meraung dan mengucapkan serangkaian kalimat kotor yang bisa dia pikirkan.
Alpino tau bahwa mereka sangat berisik sekarang, bebrapa orang yang ada di pavilion dan yang baru datang pastilah merasa terganggu dengan kebisingan yang mereka ciptakan. Tapi siapa dia untuk peduli ketika dia bangkit dan bertingkah sebagai wasit di arena ring tinju, mengangkat tangannya untuk menghitung apakah Heksa akan berhasil keluar dari kungkungan Fajri.
“OI, PEMBUNUHAN BERENCANA INI NAMANYA!! SIAL! ADUH-UHUK UDAHHHH ANJING!!!!”
Dan dengan pukulan terakhir di kepala Heksa yang dihadiahkan dari Fajri, mereka melepaskan Heksa yang sudah seperti ikan terdampar. Lelaki itu terbatuk seolah-olah meregang nyawa, terkulai terlentang di atas tikar dan berhasil menendang satu gelas minuman yang untungnya kosong. Wajahnya sudah merah padam, kehabisan napas dari tindihan dan raungan yang dia keluarkan.
“Emang hewani kalian berdua, sialan”
“Ya, lo bangunin singa tidur. Syukurin aja lah, Sa”
Alpino mengangkat suara, membersihkan piring kosong dan ditumpuk lebih ke samping agar mereka tidak berakhir menghancurkan beberapa barang dari warmindo. Tidak ingin mendapat masalah apapun malam ini. Meskipun mereka tidak mabuk, namun mereka sama berisiknya dengan orang-orang mabuk sendiri. Terkadang terdengar konyol karena rombongan yang hanya terdiri dari tiga orang ini bisa terlihat sangat damai dan rusuh secara bersamaan.
“Tapi gue bener! Ngapain gue disiksa kalau mengungkap fakta?” Heksa masih membalas dengan sengit. Matanya dia tutup, berusaha meraup oksigen lebih banyak lagi.
“Faktanya disini adalah, lo nggak ngebolehin gue nyalahin diri sendiri, tapi waktu gue nyalahin Hala, lo langsung jadi galak. Mau lo apa sih sebenarnya kalau lo juga nggak ikut jatuh buat doi? Lo sama aja kayak kita, ya, Sa”
“Hah?” Heksa langsung terduduk. Wajahnya terlihat terkejut. Ekspresi yang ditimbulkannya agak aneh ketika kedua alisnya mengernyit ke bawah sebelum dia memuntahkan kata selanjutnya dengan ekspresi yang lebih membosankan. “Gila, lo?”
“Nggak usah pura-pura bego, Sa. Lo udah bego dari awal jadi nggak cocok kalau lo buat-buat gitu” Fajri berdecih. Dia mengusap perutnya dan melirik piring mie-nya yang tinggal setengah, terlihat seperti menyesali keputusan makanan yang telah disantapnya dan berhenti beberapa saat yang lalu. Karena dia adalah seorang guru olahraga yang akan duty esok pagi, dia merasa mati di dalam karena tidak menjaga kesehatannya. Tapi ya sudah, ini adalah malam mereka dan Alpino membayar, dia tidak rugi terlalu banyak.
“Apanya sih yang pura-pura bego? Gue nggak ngerti, sumpah”
“Kesel gue lama-lama lo begitu, ya, nyet” Fajri membentak. Kali ini terdengar lebih geli. “Lo bisa ngatain gue sama Fajri tapi lo nggak ngaca. Lo juga suka sama Hala, kan? Jujur aja sama kita. Udah pada tau juga meskipun lo nggak pernah cerita sama kita selain tentang gila game lo sama waifu lo, wibu”
Heksa tertawa dengan tiba-tiba sambil menunjuk dirinya seolah-olah mereka mengatakan hal paling gila yang pernah dia dengar. Alpino mengerjap, Heksa tidak sedang berpura-pura. Kekonyolan yang sering ditutupi di wajah stoic-nya yang kadang menyebalkan terlihat dengan jelas saat ini.
“Jangan ngelawak dong, perut gue sakit, nih” Heksa mengusap wajahnya, mengacak rambutnya kemudian sebelum tersenyum dengan geli. “Kalau kalian ngira gue suka sama Hala karena gue marah waktu Al nyalahin dia, kalian aneh banget, sumpah. Gue sama Hala nggak ada apa-apa, pun gue juga nggak punya perasaan apapun sama Hala. Gue sayang dia, iya, bener banget. Dia berarti buat gue, tapi sumpah, dia cuma sahabat gue doang. Dia satu-satunya orang yang punya kasta tertinggi di hati gue karena suatu hal. Tapi gue berani sumpah gue nggak suka sama Hala dalam konteks romantis”
Heksa mengangkat kedua tangannya. Jarinya bergerak membentuk tanda kutip di udara. Wajahnya sangat serius, tapi ada senyum yang hadir seolah-olah dia yakin dengan kalimatnya.
“Kalau masalah gue kesel karena lo nyalahin Hala, itu karena emang bukan salah Hala. Itu salahnya Bang Sinar, tapi gue nggak ikut-ikutan soal itu juga” dia tertawa lagi kemudian. “Kapan, sih, gue nggak pernah cerita sama kalian tentang hidup gue? Gue mah santai banget. Gue belum mikirin cinta-cintaan, serius deh. Meski umur udah kepala dua, tapi gue lebih milih buat karir gue dulu. Gue masih bermimpi buat bisa kerja di Nintendo atau Sony di Jepang kayak yang gue bilang ke lo semua”
“Kalau ditaya tujuan gue sekarang ya, cuma itu. Selain ngejagain Hala doang, sih” ketika Heksa melihat Fajri yang ingin bersuara, dia langsung meletakkan jati telunjuk di bibir lelaki itu, menyebabkan Fajri refleks memelintir tangannya. “Aduh, tahan banget Jihan sama lo, ya, Jri. Pake kekerasan gini tiap hari”
“Jihan juga bar-bar kalau lo lupa, Sa” Alpino berkomentar. Bibirnya gatal untuk menghujat ketika mereka mengangkat nama Jihan disini. Meskipun masih dalam ranah pertengkaran persahabatan. Mereka semua paham.
“Oh iya, gue lupa, ADUH! JANGAN GUE LAGI YANG KENA, SETANNN!!” Heksa menepis tangan Fajri yang sudah ingin menyakitinya sebelum dia berlari untuk duduk di sebelah Alpino. Matanya menatap tajam ke arah Fajri yang kali ini duduk dengan senyum tipis dan wajah lurus yang dia tampilkan khusus untuk kedua orang yang berani mengatai Jihan.
“Ngeri banget temen lo, Al”
“Temen lo juga, nyet”
Mereka berdua diam ketika Fajri sudah siap untuk menyatakan perang. Jadi Heksa dan Alpino memililh untuk abai dan berdehem. Heksa kembali melanjutkan pembelaannya tentang tuduhan yang ia dapati.
“Ya, maksud gue, gimana, ya. Ngejagain Hala tuh kayak gue ngejagain orang penting deh, kayak ibu gue. Lagian kalian tau gimana hubungan gue sama Hala, kan. Sumpah, ya, gue kaget kalau kalian mikirnya gue sama Hala ada apa-apa”
“Ya gimana nggak mikir begitu kalau misalnya kalian tidur aja bareng”
“YA KAN KONTEKSNYA BEDA, ANJIR!!” Heksa kembali membantah.”Itu juga kadang-kadang doang. Lagian tau darimana kalau gue tidur sama Hala? Aduh, omongan gue ambigu banget gara-gara kalian ya, monyet!”
Fajri dan Alpino saling menatap satu sama lain. Terkejut, tetapi lebih pemahaman dari yang sudah mereka perkirakan.
“Padahal cuma nebak doang, tapi ternyata beneran. Menang banyak, lo, ya! Awas lo punya anak sebelum nikah”
Alpno tiba-tiba berucap. Dia tidak bisa memberi filter lebih banyak lagi karena dia sungguh gemas dengan hubungan yang dimiliki oleh seorang Heksa. Lelaki itupun yang mengenalkannya padanya adalah Hala. Dan sejauh yang Alpino tangkap dan amati dari mereka berdua, mereka terlihat seperti seorang yang sudah menikah sejak lama. Bahkan Alpino yakin, jika Heksa dan Hala saling bertatap-tatapan, mereka bisa paham satu sama lain. Pernah terjadi di suatu waktu, itulah kenapa Alpino yakin jika Heksa dan Hala mempunyai hubungan romantis lebih awal dari mereka semua. Namun dalam keterkejutannya, mereka tidak memiliki apapun satu sama lain.
“EMANG UDAH GILA LO!!” Heksa menatap ngeri, tiba-tiba berdoa yang terbaik untuk sahabatnya karena otak mereka sudah tidak waras lagi. “Gue sama Hala nggak ada apa-apa. Udah final, ya, njing! Nggak usah mikir aneh-aneh!”
“Tapi, Sa, nggak ada sahabatan kayak lo sama Hala. Pasti ada apa-apanya, nih. Beneran lo nggak punya perasaan apapun sama Hala? Sumpah?” Fajri kembali memastikan. Dia tidak akan pernah percaya bahwa Heksa dan Hala tidak memiliki hubungan apapun. Tidak ada perasaan apapun dengan segala hal yang telah mereka lakukan bersama.
“Ya Allah! Sumpah demi, dah, gue nggak ada apa-apa sama Hala. Udah gue bilang juga gue lebih fokus sama kerjaan gue. Sama mimpi gue. Gue pengen buat game, pengen kerja di Nintendo atau di perusahaan game mana aja, dah, di sana yang penting mimpi gue paling depan. Gimana supaya kalian percaya sama gue? Heran, ya Allah. Gue harus sumpah pocong apa gimana, sih? Ah elah”
Heksa terdengar frustasi untuk meyakinkan kedua temannya yang masih dalam mode terkejut. Lagi-lagi keheningan yang aneh membanjiri mereka. Alpino dan Fajri saling menatap, mereka bahkan pernah mendiskusikan berdua tentang hubungan Heksa dan Hala, bahkan pernah mengobrol ngalur-ngidul dan pernah memainkan alur untuk keduanya. Bagaimana Heksa dan Hala persis seperti seorang pengantin lama, hubungan yang terjalin begitu erat dan memiliki rasa kepercayaan yang tinggi. Namun hal-hal itu masih rancu karena lagi-lagi kehadiran Sinar.
Mungkin, reaksi Heksa yang acuh tak acuh ketika Sinar mendekati Hala dengan tujuan yang pasti terlihat sangat jelas adalah satu hal yang memperkuat pernyataan tentang hubungan yang mereka berdua bagi. Tapi tetap saja, kenyataan itu membuat mereka harus meyakinkan diri masing-masing karena ketidakpercayaan nyata yang berbanding terbalik dari apa yang mereka perhatikan sudah sejak lama sekali.
Terkadang hidup memang semengejutkan itu. Satu fakta yang mereka tahu adalah temannya ini ambisius untuk mimpinya yang besar. Bagus, namun rasa-rasanya seperti keegoisan tertinggi.
“Sa,” Alpino memanggil dengan ragu-ragu. “Jangan sakiti Hala, ya?”
Heksa diam sejenak. Kali ini dia yang menghela napas lebih dalam sebelum berucap.
“Kalau gue nyakitin dia berarti gue udah nggak waras, Al. Gue udah janji buat jagain dia. Gue yang berusaha buat dia bahagia dan jauhin orang-orang jahat dari dia. Ngapain gue nyakitin dia kalau effort gue buat bahagian dia lebih besar dari apapun?”
Ada sedikit rasa lega yang hadir, ketenangan dari ucapan penuh keyakinan dan keseriusan yang hadir di setiap ucapan yang dikatakan.
“Bahkan lebih besar dari mimpi, lo?”
Fajri tiba-tiba angkat suara. Alpino terkejut, matanya langsung mencari Heksa dan tentu saja, lelaki itu terlihat lebih tegas. Matanya tajam dan rahangnya mengeras. Keseriusan hadir di wajahnya dan jika saja ini diteruskan, maka pertengkaran yang sebenarnya akan terjadi.
“Jri, udah cukup” dia mengingatkan.
Fajri mengangguk. Melambaikan kedua tanganya untuk mengungkapkan secara tersirat kepada Hekssa untuk mengabaikan apa yang dia katakan tadi. Heksa masih diam, dia tidak membuka suaranya. Terlihat terlalu berkonflik.
“Gue minta maaf, udah, gue salah udah keterlaluan. Gue lupa kita disini buat nenangin Alpino bukannya nyari ribut sama lo. Tenang aja, Sa. Lupain yang gue bilang, oke?”
Fajri mencoba menenangkan. Meski dia tidak terlalu puas tentang hal-hal seperti ini, tapi dia bisa abai sekarang. Nanti saja, jika Heksa akan terbuka pada mereka, jika Heksa sudah ingin mengatakan sesuatu. Mungkin, jika Heksa sudah menyesal? Atau mungkin bahkan tidak sama sekali. Jadi biarlah, tidak semuanya harus ditumpahkan dan tidak semuanya orang lain harus tau. Jadi, Fajri kembali menggaris batas agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Lagipula, yang menjalankan itu mereka dan Fajri sendiri tidak tahu bagaimana perasaan Hala yang sebenarnya. Yang lebih tau adalah Heksa dan perempuan itu sendiri, jadi dia tidak punya hak untuk ini.
“Sa? Anjir, jangan ngambek kayak anak cewek lo” Alpino menepuk bahu Heksa, berusahaan menyadarkan anak itu dari transisi apapun yang sedang dia alami di kepalanya. Heksa berdecih kemudian sebelum posturnya lebih santai.
“Gue nggak mau kata maaf, sekarang sebagai balasannya, lo bilang sama kita kenapa lo nggak berani maju dan ngejelasin hubungan lo sama Jihan? Gue pusing liat kalian berdua berasa liat drama, anjir”
Ketegangan yang tadi hadir berangsur-angsur mulai tenang. Heksa kembali menjadi dirinya yang lebih santai di depan mereka berdua. Jadi, Alpino dan Fajri sudah mulai tenang dengan keadaan. Kembali untuk saling menggoda satu sama lain tentang hal-hal menyedihkan yang disulap menjadi sedikit kekonyolan yang bisa mereka tarik meski hanya sedikit saja.
Malam ini adalah malam khusus patah hati, jadi tidak ada cerita tentang konstelasi bintang atau pencetus bumi itu kotak atau datar, atau bahkan pembicaraan sejarah yang biasa mereka ceritakan, atau lebih lagi hal-hal unik dan aneh di dunia yang berhasil mereka temukan. Jadi, biarlah mereka merasa geli sendiri dengan arah pembicaraan yang penting mereka merasa bebas dan lebih lega.
Pembicaraan tentang hati adalah hal yang benar-benar krusial sekali. Dan malam ini adalah malam itu.
“Gue lagi yang kena, bangsul emang” Fajri memutar matanya, namun dia ikut tertawa ketika Heksa menertawainya. Tidak apa-apa, selama semuanya nyaman, dia tidak masalah berbagi rasa insecure dan perasaannya yang membuatnya sakit kepala. Tentu saja dia yang membuat segalanya rumit, tapi itu adalah hal yang tidak bisa membuatnya berusaha melewati garis karena hal-hal akan berjalan tidak semestinya jika dia nekad untuk itu.
“Gue masih sama kayak yang terakhir kali gue cerita ke kalian, sih”
Fajri memulai. Tangannya memijat jemarinya yang lain. Matanya melirik ke arah ponselnya yang menyala dengan notifikasi dari Jihan yang konstan. Sedikit terkejut karena bahkan di jam hampir dua belas malam, perempuan itu masih memastikannya untuk pulang cepat dan mengingatkannya bahwa dia ada pekerjaan esok di pagi hari. Senyumnya tiba-tiba muncul namun kesedihan lebih menguasainya.
“Bener, Sa, gue masih pengecut. Masalahnya, ya, gue nggak bisa ngorbanin kebahagiaan dia dan ngorbanin hubungan persahabatan kita kalau gue ngelewatin batas itu” Senyum sedih berubah menjadi lebih kecut sebelum itu benar-benar hilang.
“Gue masih nggak berani mengacaukan persahabatan gue sama Jihan. Meskipun perasaan gue lebih besar dari yang bisa gue bayangkan, lebih dari seorang sahabat, tapi gue masih nahan diri. Karena nggak selamanya cinta itu bakalan bisa bikin gue dan Jihan semakin dekat. Nggak selamanya perasaan ini bakalan ngikat dia buat selalu dekat sama gue. Nggak selamanya hubungan lebih dari sahabat antara gue sama Jihan bakalan sama kayak waktu gue masih sahabatan sama dia. Kayak sekarang”
“kalau status, perasaan dan hubungan berubah, pasti ada yang berubah. Segala hal berubah di antara gue sama Jihan kalau gue minta dia buat jadi pacar gue. Mungkin orang bakalan bilang kalau pacaran sama sahabat itu enak karena nggak ngerubah apapun. Tapi sayangnya itu nggak benar. Nggak gampang. Semuanya bakalan berubah. Gue cuma takut kalau misalnya gue lebih utamain perasaan gue dan minta dia buat jadi pacar gue, suatu saat tiba-tiba gue ngerasa kalau gue lebih nyaman di zona sahabat sama dia, gimana?”
“Yang namanya kalau udah punya hubungan ketika putus bakalan kehilangan. Gue nggak mau itu terjadi. Jihan itu penting buat gue. Kayak Lisa penting buat lo, Al. Atau kayak Hala yang penting buat Lo, Sa, meski konteks kita agak beda”
“Kalau dibilang gue mau punya hubungan romansa sama Jihan, gue mau. Gue nggak bakalan bohong. Gue pengen dia jadi milik gue, beneran jadi punya gue. Gue pengen pegang tangannya, nenangin dia, ada buat dia bukan sebagai seorang sahabat, namun sebagai sosok yang bakalan selalu ada di sampingnya, jalan bareng dia, bangun keluarga bareng dia. Gue pengen banget”
“tapi kalau dengan itu gue bisa kehilangan dia, gue lebih milih kayak gini aja. Gue lebih milih ada buat dia sebagai sahabat. Yang bisa dia cari kalau dia butuh, yang bisa dia bagi kebahagiaan tanpa ada rahasia, yang bisa jadi seseorang buat dia bersandar dan nggak malu nangis di depan gue. Kalau gue udah dapat semua itu cukup dari hanya sebagai seorang sahabat aja, kenapa gue berharap lebih?”
Fajri tersenyum kecil, membuat Alpino dan Heksa rasanya ingin menghajar Fajri agar dia tidak menampilkan wajah itu lagi.
“Gue pengen egois, gue pengen jadi seseorang yang ngebahagiain dia dalam konteks apapun. Tapi gue takut nyakitin dia, ngebatasin dia, dan gue juga takut kalau gue bisa bikin dia nangis. Gue nggak mau dia nangis gara-gara gue”
Napasnya ditarik dengan berat. Suaranya agak goyah, tapi berhasil dia selamatkan dengan baik. Fajri sudah melalui ini lama sekali, jadi sudah terlalu biasa untuknya menahan semua perasaan yang dia punya.
“Tapi dia kan juga suka sama lo, Jri?” Heksa angkat bicara.
“Tau dari mana dia suka sama gue?” Fajri terkekeh, mengembalikan pertanyaan milik Heksa. Lelaki yang ditanya balik kebingungan, agak kesal karena bahkan semua orang sudah tahu bahwa Jihan memiliki perasaan yang sama dengan Fajri.
“Seluruh dunia juga tau dia suka sama lo, nyet. Jangan minta diperjelas, deh” Heksa berdecih.
“Kalau gitu gue juga mau bilang, seluruh dunia juga tau lo sama Hala udah pacaran dan kayaknya bakalan mau nikah bahkan. Kenapa lo bilang nggak ada rasa sama Hala?”
“LOH KOK KE GUE LAGI?!” Heksa kembali histeris. “Gue sama Hala nggak ada apa-apa dan nggak bakalan nikah. Apa-apaan, njing?!”
“Tuh, kan?” Fajri mengejek di sela cekikikan yang ia bagi. “Perasaan orang nggak ada yang tau cuma dari asumsi semata dan kata orang-orang, atau sikap yang dibagi untuk mata khalayak umum. Nggak ada yang tau sampai orang tersebut sadar dan mengaku sendiri”
“Bahkan, ada yang pura-pura, ada juga yang nggak paham tapi malah nyoba-nyoba dan sok tau atau sok ngide tentang apa yang dia alami. Bagi gue, Jihan tipikal yang kedua. Dia nggak paham tentang perasaannya sendiri. Apalagi tentang hati, dia bukan orang yang benar-benar tau apa yang hatinya mau. Jadi, gue nggak bakal percayai apapun tentang perasaan Jihan sampai anak itu sadar sendiri, yang benar-benar sadar. Dia cuma nyaman sama gue dan dia mungkin menyalah-artikan perasaannya. Itu doang”
Alpino dan Heksa terdiam dengan pengakuan Fajri. Itu benar-benar diluar perkiraan. Rasa sakit yang dilotarkan di matanya tidak bisa dibohongi, Tapi Fajri terlihat lebih paham daripada siapapun. Dia bisa mengontrol dirinya sendiri dan dia bahkan sadar dengan tatapan yang diberikan oleh teman-temannya.
“Gue,” Alpino tersentak saat Fajri kembali bersuara. “Gue juga insecure soal kerjaan sih sebenarnya, haha. Kerjaan gue masih lepas, masih honorer juga. Sedangkan dia udah tetap, udah punya penghasilan tiap bulan dan punya masa depan yang baik. Dia pantas buat yang lebih baik dari gue. Gue udah pasrah kalau misalkan nanti dia ketemu seseorang yang cocok buat dia, yang bisa jagain dia dan bahagiain dia lebih dari gue. Gue ikhlas lahir batin buat ngelepas dia pergi Karena sekarang, gue lebih prioritasin kebahagiaan dan kebebasan dia”
Alpino dan Heksa merasa jatuh. Rasanya jauh dengan tingkat kepasrahan yang bisa diberikan oleh Fajri pada mereka. Fajri terlihat menahan tawa ketika Heksa dan Alpino membuang wajah sehingga mereka tidak memperlihatkan ekspresi miris dan sakit yang bisa ditampilkan oleh mereka. Fajri sendiri sudah paham dengan segalanya, dia sudah tahu apa yang bisa dan tidak bisa dia dapatkan. Jadi, dia lebih memilih untuk berada di posisi netral dalam hidupnya.
Kalau dia bisa maju dengan pertimbangan aspek yang cukup, dia akan maju. Tapi jika saja mundur adalah jawaban yang tepat dari aspek yang sudah dia pertimbangkan dengan matang, dia tidak akan menolak untuk mundur. Dia sudah menguji air, jadi apapun yang akan dihadapkan untuknya nanti, dia sudah bisa memilih dengan sangat jelas. Kali ini, hal yang mendukungnya untuk mundur sudah telrihat dengan jelas, jadi dia memiliki dua poin lebih banyak untuk mundur.
Tidak apa-apa. Toh, dalam hidup, memiliki rasa sakit itu wajar.
“Udah, ah, kenapa pada mellow gini, sih”
Fajri memilih untuk mengambil minuman terakhirnya sebelum dia kembali menarik ponsel dan menjawab pesan dari Jihan. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat dan dia sudah harus pulang. Ingat dengan janjinya yang ia ucapkan pada Jihan saat dia mengabari bahwa dia akan berkumpul dengan Alpino dan Heksa.
“Mungkin kalau gue nggak di stop sama Bang Sinar, gue galaunya juga kayak lo,ya, Jri” Alpino merasa sadar diri, menambahkan ketika dia sudah selesai menghadapi batu lain yang menghantam dadanya. Fajri tertawa.
“Ya, nggak, lah. Pasti beda banget. Tiap orang punya jalan masing-masing. Mana tau jalan lo lebih mulus. Lagian lo lebih berani dibanding gue yang pengecut gini”
Alpino memutar matanya, toh, dia bahkan kalah sebelum memulai. “Sayangnya nggak ada yang mulus di pihak gue, ya, Jri” mencemooh kemudian.
“Lo juga, Sa. Semoga lo cepat sadar sebelum terlambat, ya?” Fajri menambahkan, membuat Heksa menatapnya dengan raut bingung yang bercampur ekspresi sedih karena posisi Fajri sendiri, membuatnya terlihat sangat konyol.
“Apaan, nyet!”
Mengeratkan jaket yang ia kenakan, Fajri pamit pada kedua temannya.
“Udah, ya, gue pulang dulu. Baik-baik kalian, jangan berani mabok, awas aja” Dia tertawa kemudian. Rambutnya yang tidak tertawa dimainan angin malam yang semakin dingin berhembus. “Jangan malem banget pulangnya kalian. Masuk angin tau rasa”
“Aman, boss!”
Alpino tertawa, mengacungkan kedua jempolnya ke udara. Melambaikan tangannya ketika Fajri berbalik dan benar-benar melangkah untuk pulang. Alpino mengalihkan pandangannya ke arah Heksa yang kini sudah kembali mencomot makanan yang tersisa seolah-olah tidak terganggu dengan apapun.
Menggelengkan kepalanya, Alpino meletakkan rokok di depan Heksa.
“Nemenin gue nyebat lagi, ya. Pulang agak pagi, aman?”
Dan tanpa kata-kata, dengan mulut penuh dengan tahu bakso, Heksa mengangguk dan bergumam di sela kunyahan yang membuat Alpino bertanya-tanya mengapa anak itu terlihat mempunyai dua sisi yang jauh berbeda ketika hanya bersama dengan dirinya dan Fajri disandingkan ketika dia berada dalam kelompok besar.
Namun, dia tidak tahu, apakah ada kepribadian Heksa lain yang akan muncul ketika hanya bersama dengan Hala? Karena menurutnya, Heksa dan Hala adalah kombinasi sempurna sebagai rasa kenyamanan yang nyata.
...…....
Perjalanan pulang ke kos-nya merupakan perjalanan yang sangat singkat. Entah itu karena dia yang lebih memilih untuk bertengkar dengan isi kepalanya atau dia saja yang sedang melamun sembari membawa motornya membelah kesunyian dini hari itu. Kepalanya memang penuh, isinya terlalu banyak untuk dia tangani. Namun tidak sebanyak sebelumnya, dia hanya mencoba yang terbaik untuk kembali mengatasi dirinya sendiri.
Banyak hal yang masuk dan menjadikan beban pikiran. Banyak keterkejutan yang dibagikan, namun banyak pula kelegaan yang masuk meski tidak sepenuhnya membuat jalan keluar untuk sebagian masalah. Sebanyak apapun yang sedang dia tanggung dan dia keluarkan dalam bentuk cerita, sebuah bola di dalam dadanya dan mungkin di perutnya yang berwarna hitam sangat lapar untuk menariknya ke dalam keluh kesah perasaan negatif.
Bagai bola maghnet yang hanya menarik sisi dan pemikiran negatif miliknya, itu bersarang disana sehingga membuatnya tidak bisa memikirkan hal-hal baik yang bahkan tak semenit lalu terjadi.
Dia merasa bebas, ya, tentu saja, meski sedikit.
Dia merasa ringan, benar.
Dia merasa bisa bernapas dengan mudah, hal yang dia syukuri dengan sangat baik.
Namun ketika empat tembok dingin kamar kos menyapanya, aura negatif kembali muncul, rasa hitam pekat di lidahnya kembali hadir. Hal yang Alpino benci adalah, mengapa perasaan hitam selalu muncul ketika dia sedang sendirian di ruangan yang hanya sepetak yang seharusnya menjadi tempat nyamannya? Kenapa semua pemikiran abstrak selalu harus muncul meskipun dia sudah membuangnya ketika dia di luar tadi?
Alpino secara tidak sengaja mengerjap, menyadarkannya dari hal-hal di luar kesadaran yang mampu dia ingat di kepalanya. Ini jam tiga dini hari ketika dia menyadari dan melihat jam digital yang berkedip diatas nakasnya. Di tangannya sudah terbuka laptopnya dan satu foto yang membuat jantungnya meremas dengan sakit dan hangat disaat yang bersamaan. Folder yang dia beri nama “My Dandelie Blossom” berisikan banyak foto Lisa dan juga dirinya bersama disana, atau hanya foto Lisa seorang. Dengan berbagai usia dan moment yang berhasil ditangkap oleh kamera ponselnya atau kameranya sendiri, atau bahkan dari orang-orang yang berhasil mengabadikan moment mereka bersama. Disimpan dengan aman di berbagai device yang dia miliki dan bahkan memiliki salinannya dalam flashdisk kesayangannya. Hal-hal yang selalu dia miliki dekat dengannya. Kebersamaan yang tersimpan dalam layar dan potret dan juga kenangan yang bisa ia ingat kembali.
Matanya berhenti pada satu foto dimana dia juga berhenti dari acara menggulir di album fotonya. Itu dua wajah kecil anak berusia 7 tahun di sebuah ayunan dan saling tersenyum satu sama lain. Itu adalah foto yang di ambil oleh ibunya ketika menjemputnya suatu hari dimana perempuan muda itu berhasil pulang lebih cepat dari kerjaannya. Jemarinya bergerak mengelus foto tersebut. Ingatannya kembali mengudara dan dia tidak sadar sudah menoreh senyum akan ingatan yang kembali.
Namun kemudian, jemarinya berhenti pada telinga yang berhias bandul anting yang menjadi awal pertemuan mereka. Dia terdiam, agak lama sebelum menyimpan laptopnya kembali. Tangannya dengan rusuh menarik laci nakasnya yang paling bawah. Alpino jatuh berlutut untuk menarik sebuah kotak yang disimpannya dengan baik, di rawatnya dengan baik dan di sembunyikan agar tangan nakal tidak ada yang mengambil dan merusaknya.
Itu adalah anting berbandul kunci inggris yang Lisa berikan padanya ketika dia jatuh sakit dan mereka bertengkar karena kecemburuannya. Dia masih menyimpannya dengan baik, dan adalah satu hal yang bisa dia pegang dengan erat di dekat hatinya. Sebuah benda paling penting, yang menjadi lem dari hatinya yang retak, namun juga menggores beberapa serpihan yang mencoba melepaskan diri karena rasa sakit yang bertolak belakang.
Ada senyuman sayang yang berganti menjadi getir. Alpino menghela napas berat. Lagi-lagi hanya helaan napas yang mampu dia keluarkan, menggantikan suara rintihan hatinya yang bingung ingin memulai dari mana untuk bercerita tentang rasa sakit dan kebahagiaan yang saling menarik dan melepaskan diri dan bertolak belakang namun tak bisa untuk menjauh. Berputar dalam orbit namun saling mengejar dan menghindar.
Alpino sadar bahwa dia sudah gagal untuk langkah pertama dari perasaannya. Janji sialan itu membuatnya tidak bisa melakukan apapun. Garis imajiner yang terlihat nyata menciutkan nyalinya. Jika bisa disandingkan dengan Fajri, mungkin dia adalah orang yang lebih pengecut. Namun siapa dia untuk melakukannya? Dia adalah seseorang yang memegang janji dan paling menghargai janji itu sendiri. Dengan alasan apapun, tidak ada yang bisa membuatnya mengingkari apapun yang telah dia janjikan.
Betapa menyedihkannya..
“Apapun buat bikin lo tetap dekat sama gue, Lisa. Apapun yang bisa gue lakuin buat manjain lo, ngasih perhatian yang gue bisa buat lo, apapun yang bisa buat lo bahagia bakalan gue lakuin. Bakalan gue kabulin cuma buat lo doang, Lis. Selama gue masih bisa ada di dekat lo dan masih bisa perjuangin kebahagiaan lo, itu udah cukup buat gue meskipun cuma sebatas sahabat"
"Bener kata Fajri, Lis. Apa ada yang lebih berarti daripada sebuah hubungan selama gue masih bisa miliki lo di sisi gue? Selama gue masih bisa bahagiain, lo?”
Alpino terseyum. Jemarinya mengusap bandul anting sebelum mengembalikannya ke tempat semula. Aman dan tidak terjangkau oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
“Lucu,ya. Kadang orang dipertemukan bukan untuk disatukan. Tapi nggak apa-apa. Gue bahagia udah ketemu sama lo, Nalisa. Jadi, selama gue masih bisa ngelihat lo, Gue puas dengan apa yang bisa gue dapatkan”
Suaranya terdengar bergema di ruang yang sepi, sebelum dia melanjutkan;
“Gue ikhlas asal lo bahagia, Nalisa”
Namun ketika ingatannya kembali membentur tentang kenyataan bahwa Lisa tidak senang dengan perjodohan sepihak yang terjadi, dia hanya bisa mengerang dan memukul lantai yang keras. Tangannya yang memerah diabaikannya karena rasa sakit hati lebih menghilangkan akal sehatnya. Dia terlihat sangat tidak berdaya. Tiba-tiba emosi menguasainya lagi.
“Bang Sinar brengsek!! Awas aja kalau Lisa nggak bahagia di tangan Bang Noren kayak apa yang lo janjiin sama gue. Anjing!”
Lalu ada diam. Ruangan penuh dengan napasnya yang memburu. Ingatannya kembali mengusik, menyadarkannya ketika dia menghela napas terakhir yang teramat miris ketika tahu bahwa dia harus menyerah.
“Emang kalau sama gue, Lisa bisa bahagia?”
Bisikan kesadaran yang menyakitkan itu menghilang di gelap kamarnya yang dingin. Dengan jam yang menunjuk angka tiga lebih lima belas menit mengejek padanya.
...….....
Itu pukul 3 pagi ketika dia berhasil memarkirkan motornya di pekarangan rumahnya yang terang. Lampu depan sudah menyala dan Heksa yakin bagian dalam juga. Heksa juga yakin bahwa tempat tidur yang tidak sempat dia rapikan sebelum pergi sudah tertawa rapi menunggu kehadirannya disana. Juga, ruangan yang bersih pastu sudah bersiap untuk menyambutnya dengan baik.
Tentu saja dia tahu siapa yang melakukannya, dan hapal bagaimana itu terlihat dan dilakukan. Siapa lagi kalau bukan Hala? Sahabat sejak kecilnya yang sangat dia sayangi, yang menjaganya hingga memasuki usia kepala dua. Hubungan mereka sudah terjalin sangat erat sehingga Heksa akan sadar hal-hal kecil yang akan terjadi di antara keduanya. Hal-hal kecil yang mereka bagi dan hal-hal kecil yang akan terjadi jika dia mengukur reaksi yang akan dia dapatkan.
Menatap rumahnya dengan tidak begitu terkesan, dia memilih untuk menutup garasi untuk menjaga motornya aman, dan kemudian mengunci pagarnya untuk melenggang menuju rumah yang sunyi di sebelah. Heksa yakin pemilik rumah itu sudah terlelap dengan nyaman di kasurnya. Meninggalkan kucingnya yang rewel di jam-jam seperti sekarang.
Lelaki itu membuka pagar dengan tidak terlalu sulit karena dia juga memiliki kunci gembok yang mereka bagi bersama. Dan masuk ke dalam rumah itu adalah hal yang mudah karena kunci rumahnya juga ada ditangannya dan di satukan dengan kunci motornya sendiri. Dia tidak akan berlama-lama, pikirnya. Heksa hanya ingin mengecek keadaan Hala sebelum dia kembali ke rumahnya untuk beristirahat.
Ketika dia masuk ke dalam, dia seolah-olah sudah hapal segala posisi di dalam rumah. Bangunan itu sendiri seperti sudah menjadi miliknya dari seberapa lama tahun yang telah dia habiskan untuk berada dan ikut tinggal di rumah itu sendiri. Terbukti dari kebiasaan kecil yang dilakukan oleh Hala, yaitu membiarkan lampu ruang tengah tetap menyala agar kucingnya, Pipang (nama yang aneh tapi biarlah, bagi Heksa, Hala juga merupakan spesies yang sama anehnya dengan segala benda miliknya yang kadang perempuan itu berikan nama sebagai kepemilikannya. Jadi jangan heran ketika dia menyebut laptopnya dengan nama Leppi, atau ponselnya yang bernama Mimi)- Agar Pipang bisa bermain dengan leluasa di ruang tengah meskipun itu tidak terlalu dibutuhkan karena kucing bisa melihat dengan jelas di dalam gelap malam.
Heksa menemukan Pipang yang duduk dengan nyaman di sofa. Mendengkur ketika mendengar langkah kaki dan mungkin mengenal siapa yang datangg. Kucing itu langsung melompat dari tempatnya bersantai dan mendusel di kakinya, meminta perhatian Heksa yang terkikik geli dan sayang. Heksa berjongkok, mengangkat Pipang ke dalam pelukannya dan menciumi kucing hitam itu dengan sayang.
Hala menyebut dirinya sebagai Papa angkat yang tidak perhatian, namun Hala tidak tahu bahwa Heksa sendiri sudah menganggap Pipang sebagai bagian dirinya dan diam-diam dia akan memanjakan kucing itu dengan banyak makanan dan mainan yang dibelinya secara sembunyi-sembunyi. Atau ketika Hala sedang bekerja dan dia tidak, dia akan mengajak Pipang jalan-jalan dan membawa kucing itu ke salon kecantikan hewan untuk merawat bulunya yang lembut.
“Pipang kangen sama Papa, ya?” Heksa memanggil dengan lembut. Suaranya dibuat cempreng dan berbisik-bisik seperti dia sedang memanjakan anaknya sendiri. Heksa terkekeh ketika Pipang membalasnya dengan jilatan di hidung yang dengan semangat kucing jantan itu berikan.
“Iya, Papa juga kangen Pipang. Besok kita jalan-jalan lagi, ya, nak?” Heksa terkikik ketika mendengar suara meong yang lucu sebelum Pipang mengendus pipinya dan menjilatnya disana. Dia dengan gemas memeluk si kucing sebelum menurunkan kucing itu kembali ke sofa.
“Sudah jam segini, Papa cuma mau lihat mama rewelmu itu sebelum pulang, ya? Sehat sehat anak jantannya Papa Heksa” Terakhir dia memberikan kecupan di kepala kucing hitam itu dan garukan sayang di dagu Pipang yang dibalas dengan suara meow yang terdengar lebih kecil.
Heksa berjalan menuju dapur untuk menuntaskan rasa hausnya sebelum bergerak ke kamar Hala. Dia menekan saklar lampu untuk menerangi ruangan dapur. Menuju langsung ke kulkas hanya untuk menemukan post it yang bertuliskan larangan untuk meminum Coke Zero milik Hala. Rasa ingin menggoda muncul, jadi, daripada mengambil air mineral, dia membuka kulkas dengan semangat untuk menemukan soda yang dimaksud. Seringaian muncul sebelum dia pada akhirnya mengambil dan menenggak minuman yang dilarang itu. Bersenandung kemudian, Heksa merasa senang. Dia bertanya-tanya se-rewel apa besok Hala padanya.
Rumah Hala terasa berkali-kali lipat lebih hidup dan dihuni daripada rumahnya sendiri. Mungkin itu karena perasaan akrab ada orang di sekitar dan tidak merasa sendiri, mungkin juga itu adalah perasaan dimana dia ditemani untuk sebagian besar waktu. Dan mungkin juga itu adalah hasil dari dirinya yang sering menginap disini bahkan dalam sebagian besar waktunya. Rasanya nyaman, tentu saja. Dan hal yang paling Heksa suka adalah ini;
Melihat Hala tertidur dengan nyenyak di kamarnya yang dipenuhi dengan berbagai macam boneka dari besar hingga kecil dan di satu sisi adalah lemari besar yang berisi koleksi abum K-pop nya dan gantungan aneh foto-foto idola kesayangannya. Anak itu terlihat freak, namun itu adalah ciri khas Hala dan hobinya, dia juga tidak akan menggerutu soal itu. Semua orang punya kesukaannya, dan kesukaan Hala adalah apa yang dia hargai karena Hala juga menghargai kesukaannya. Mereka memang sering menggoda, namun hanya sebatas candaan semata.
Namun yang paling Heksa sukai dari ini adalah kehangatan yang diberikan hanya dari kehadiran Hala semata. Dia merasa sangat nyaman hingga mengantuk dan yakin bahwa ketika dia bangun untuk bekerja besok, tubuhnya yang tertidur dengan posisi apapun akan tetap segar. Dia akan bersemangat hanya ketika Hala berada di sekitar dalam segala macam aspek. Rasanya begitu seperti rumah, menurutnya.
Heksa meneguk minumannya sebelum menutup pintu dengan perlahan. Dia meletakkan minuman kaleng itu di atas nakas, jauh dari hal-hal yang mudah basah dan berbahaya, jauh dari binder koleksi ke-Koreaan yang Heksa tidak tahu apa itu tapi selalu di jaga Hala seperti itu adalah sebagian dari hidupnya. Jadi, dia berhati-hati tentang hal itu.
Mendekat, dia duduk di bagian ruang kosong yang ditinggalkan oleh bentuk tidur Hala. Matanya menatap sayang dan menghargai kepada perempuan yang mengiler itu. Heksa terkekeh lucu. Mengambil tisu terdekat, dia mengusap ujung bibir Hala dengan lembut sebelum membuang tisu bekas ke dalam tempat sampah hanya dari sekali lempar.
Tangannya tanpa sadar, seperti kebiasaan, mengusap kepala Hala dengan lembut. Menyeka anakan rambut yang menghalangi Heksa dari visinya menatap keseluruhan wajah lucu perempuan itu yang terkadang meyebalkan dan hanya ingin dia tutup dengan plastik hitam agar tidak menyakiti matanya-, meskipun itu hanya terjadi ketika dia sedang kesal dan mereka sedang bertengkar konyol.
“Capek banget, ya, La? Makanya tidurnya udah kayak sapi gini” Dia tertawa lagi, senang dengan candaannya yang dilemparkan entah pada siapa. Padahal, jika Hala terbangun, dia yakin akan ada sesuatu yang melayang ke wajahnya atau cubitan yang ditorehkan ditubuhnya.
“Tau nggak sih, La? Ada hal lucu tadi. Masa Alpino sama Fajri ngiranya kita pacaran? Bahkan ngatain kita sampai mau nikah gitu. Kocak banget, ya, kan?” Heksa menggeleng sendiri mendengar suaranya yang menggema di ruang kamar Hala yang hangat. Dia membenarkan selimut yang melorot dari lengan Hala. Merapikannya dengan baik.
Heksa menguap, merasa kantuk mengambil alih dirinya.
“Padahal kita nggak gitu. Lo tau kan, La? Kalau lo itu adalah orang berharga buat gue. Orang yang selalu paham sama gue. Orang yang bahkan selalu ada buat gue. Lo, La, orang yang selalu buat gue nyaman dan orang yang selalu gue junjung tinggi dari pada diri gue sendiri. Lo tau kan kalau gue sayang banget sama, Lo?” Heksa mengusap pipi Hala dengan sayang. Senyumannya hadir bersamaan dengan ucapannya yang percaya diri.
“Lo ada di kasta tertinggi buat gue. Gue nggak bisa ngeliat lo sebagai orang yang bakalan gue simpan dalam hati gue sebagai perasaan yang romantis. Gue suka sama lo, cinta sama lo bukan sebagai cowok dan cewek atau sebagai pasangan. Tapi sebagai Heksa dan Hala. Yang selalu ada, yang selalu bareng dan selalu saling menjaga”
Heksa meregangkan tubuhnya. Dia membuang jauh-jauh pemikirannya untuk pulang ke rumahnya sendiri. Heksa, melepas hoodienya dan celana panjangnya, menyisakannya hanya dalam balutan boxer dan kaos putih kesukaannya, merangkak naik untuk berbaring di sebelah Hala. Mengangkat selimut dan membiarkannya masuk dan menyamankan diri.
“Hala, Lo pasti paham kalau mimpi gue besar, kan?”
Entah pada siapa dia berbicara, Heksa tidak peduli. Dia hanya ingin menyuarakannya dengan jelas saja.
“Tadi Fajri nanya ke gue. Pertanyaan yang konyol banget menurut gue”
Heksa bergerak dari posisi terlentangnya. Dia menyusupkan tangan di pinggang Hala untuk memeluk perempuan itu seperti mereka yang biasanya. Heksa merasa sangat nyaman ketika dia mengistirahatkan hidungnya di belakang kepala Hala. Membaui wangi sampo yang sudah familiar untuk indra penciumannya.
“Dia nanya, apakah mimpi gue lebih besar dari pada usaha gue buat ngebahagiain lo. Mastiin kebahagiaan lo” dia melanjutkan ceritanya meski kabut kantuk sudah mulai menyeretnya dalam buai alam mimpi.
“Lo pasti tau kebahagiaan lo menurut gue yang paling utama buat gue. Karena semenjak lo datang waktu itu dan nyelamatin gue, ngejagain gue, bahkan ngelindungi gue, gue udah pastiin dan udah janji sama diri gue sendiri buat jagain lo dan mastiin kebahagiaan lo”
Suaranya sudah mulai terdengar seperti racauan.
“Lo juga pernah bilang kalau gue bahagia lo juga pasti bahagia, kan?” ada gumaman aneh ketika dia mengeratkan pelukannya pada perut Hala. Mencari tempat yang lebih hangat untuknya terlelap dalam beberapa waktu ke depan. “jadi, kalau gue berhasil meraih mimpi gue, lo juga pasti bahagia, kan?”
“Pertanyaan Fajri emang aneh banget” Dia tertawa kecil. Menghela napas dalam sebelum bernapas kembali. Kali ini sudah siap untuk tertidur dengan lelap.
“Lo nggak punya perasaan sama gue lebih dari yang seharusnya kayak yang gue lakuin, kan?”
“Gue percaya sama lo, La. Gue sayang sama Lo, Hala. Mimpi indah..”
Ruangan kamar menjadi sunyi senyap. Alam mimpi sudah membuai, kehangatan yang dihasilkan membuatnya terlelap dengan senyuman kecil rasa senang.
Namun jauh dari yang dia inginkan dan percayai, Hala telah sakit. Sakit yang disebabkan oleh Heksa sendiri.
Jadi, bagaimana Heksa mengukur kewarasannya sendiri ketika tanpa sadar dia sudah menyakiti satu satunya orang yang katanya adalah pemilik kasta tertinggi dalam hidupnya?
...…....
...🍁...
...Bro Time: Perasaan dan Keputusan Satu Sisi (Menyakiti atau Disakiti?)...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Halo! Chocooya hadir 🥰
Choco ingin berterimakasih sama kalian yang udah mampir dan baca karya Choco sampai di bab ini~ akhirnya Choco punya kesempatan untuk nulis note disini hehe🥰
Makasih ya yang sudah menyempatkan diri untuk membaca dan memberi dukungan untuk Book FIYT ini, semoga suka dan menikmati jalan ceritanya ya~
Choco cuma ingin bilang, mulai hari ini sampai satu bulan ke depan, FIYT akan hadir dalam kata yang lumayan sedikit tetapi akan diusahain untuk update lebih cepat dari pada chapter sebelumnya🤗 semoga suka ya dengan chapter-chapter baru yang akan hadir dari FIYT🥰
Oh iya, selagi nunggu FIYT update, Choco bawa Rekomendasi Novel keren dari author Mama Reni, nih! Jangan lupa mampir dan berikan dukungan yaa🤩🔥️🔥️🔥
.......
.......
.......
.......
...🍁**PROMO NOVEL KARYA MAMA RENI🍁...
...JUDUL: CINTA YANG DIABAIKAN**...
Arumi Nadya Karima, seorang wanita yang terlahir dari keluarga berada.
Hidupnya semakin sempurna saat menikahi seorang pria tampan yang bernama Gibran Erlangga.
Dua tahun pernikahannya Gibran selalu perhatian dan memanjakan dirinya. Arumi mengira dirinya wanita paling beruntung, hingga suatu hari kenyataan pahit harus ia terima.
Gibran ternyata selama ini menduakan cintanya. Perhatian yang ia berikan hanya untuk menutupi perselingkuhan. Arumi sangat kecewa dan terluka. Cintanya selama ini ternyata diabaikan Gibran. Pria itu tega menduakan dirinya.
Apakah Arumi akan bertahan atau memilih berpisah?
Jangan lupa mampir dan beri dukungan ya🥰
Selamat membaca❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Miels Ku
sembunyi dalam senyum
2022-04-27
2
pouw95
siang author maaf baru sempat mampir
2022-04-03
1
GotUbae
sama sama kak thor semoga sehat selalu dan selalu semangat dalam berkarya
2022-04-02
2