Senin Belum Sepenuhnya Berakhir

Melewati beberapa hari bersantainya yang telah membuat tenaga dan energinya kembali menyatu dan membuat syaraf tubuhnya rileks, Lisa dihadapkan dengan kenyataan bahwa dia harus kembali bekerja lagi. Sebanyak Lisa menyukai hari liburnya untuk bersantai, kenyataan selalu menyeretnya untuk terjun ke dunia yang lebih mengedepankan produktivitas dimana dia harus bekerja dari pagi hingga sore untuk menghasilkan lembaran yang dipergunakan demi memuaskan kehidupan dunia kapitalisme dimana tempat dia bernapas dan hidup sekarang. Sebenarnya jika bisa dibilang, dia bisa saja hanya duduk-duduk santai di rumah dan melakukan apapun semaunya karena kedua orang tuanya dan bahkan kakaknya bisa dikatakan sebagai mesin penghasil uang keluarga Cakrawijaya yang mana tidak akan menolak untuk memanjakan bungsu Cakrawijaya itu jika dia bertanya satu kali saja.

Bukannya Lisa mengatakan bahwa dia adalah tipikal orang kaya kebanyakan, bahkan Lisa merasa dia jauh dari itu. Lisa hanya tipikal anak sederhana yang lahir di keluarga pengusaha yang industrinya tengah berkembang sampai menjalar ke dua Negara Asia lainnya, tiga jika dia menghitung perusahaan utama yang sekarang dipimpin oleh Sinar. Tetapi tetap saja, dia tidak menganggap dirinya sebagai orang kaya kebanyakan. Dia hanya, seorang Nalisa yang sederhana dan berkecukupan.

Bahkan jika mempertimbangkan berat nama Cakrawijaya pada dirinya, dia pasti masuk dalam salah satu list pewaris Cakra Eston Spareparts.Ltd entah di cabang manapun yang telah orang tuanya persiapkan untuknya seperti jabatan sang kakak sekarang, namun dengan tipikal bungsu mereka yang pekerja keras dan juga keras kepala, Lisa dibiarkan dan dipersilahkan untuk mengejar apapun karir yang dia sukai. Pun sebenarnya sejak awal, Lisa tidak begitu minat dalam bidang bisnis, namun kemudian dia berakhir bersama sahabatnya, Hala-, di perusahaan inti peritel perabot untuk rumah tangga, Materiel de Maison.

Lisa tidak mengeluh, dia juga tidak membenci apa yang dilakukannya sekarang. Menjadi bagian dari tim perencanaan dan evaluasi pengembangan dalam perusahaan itu, sedikitnya menyenangkan bagi Lisa. Dia bisa merancang peralatan apa yang dibutuhkan, inovasi terbaru apa yang akan dikeluarkan bahkan jika dia diam-diam memasukkan sedikit minat dan keinginannya dalam pemilihan peluncuran perabot itu sendiri. Dan tidak bisa dipungkiri, rumahnya pun sekarang setengahnya berisi barang dari perusahaannya yang ia belanjakan dengan potongan harga pegawai perusahaan inti di toko besar Madevision, rumah penjualan Materiel de Maison.

Kali ini divisinya akan ikut terjun ke lapangan untuk mengevaluasi hasil dan minat konsumen dari produk yang baru saja mereka luncurkan seminggu yang lalu. Itu adalah furnitur lampu indoor dan outdoor serta berbagai macam lampu tidur keluaran terbaru yang sangat menarik ketika mereka mebahas desain dan detail produk yang akan dikeluarkan oleh perusahaan, bersama dengan beberapa perusahaan perabotan rumah tangga lain dan tentunya rumah produksi yang bekerja sama dengan persuahaannya.

Lisa ingat kembali satu yang dibawa oleh Hala ketika sahabatnya itu disuruh untuk mengambil sampel mini, replika dari lampu gantung berbentuk lingkaran cincin planet yang disusun sedemikian rupa membentuk dua lingkaran yang saling menyilang dan mengular di lingkaran bawah yang lain. Meskipun Lisa sudah memilah berbagai macam barang yang lolos tahap produksi dan penjualan, tetap saja Lisa masih mengagumi bagaimana mereka bisa mendapatkan desain yang sangat bagus dan menarik. Lisa bahkan sudah membuat list barang mana yang nantinya akan dia beli untuk rumahnya sendiri. Dia menunggu hari gajian dengan sangat bersemangat (bukannya dia tidak bisa langsung membelinya begitu saja, namun dia suka merasakan euforia saat dia membeli barang dengan hasil yang baru saja masuk kedalam rekeningnya saat itu juga, rasanya agak menyenangkan. Jadi biarkan dia bersenang-senang dengan itu).

Setelah melakukan ritual paginya, mandi dengan layak, berpakaian dan berkutat dengan make-up selama kurang lebih satu jam di depan meja riasnya, Lisa berjalan dengan bersemangat menuju ruang makan. Dia bersikeras untuk hanya sarapan sedikit saja karena dalam panggilan singkat paginya dengan Hala setelah bangun tidur (Lisa seringkali menelpon Hala setelah bangun tidur di waktu kerja agar perempuan itu tidak terlalu sibuk dengan mempersiapkan apapun yang dibutuhkan Heksa dan pergi kerja tepat waktu. Heksa bisa menjadi orang yang sakit dan sulit untuk diatur dan itulah Hala, berdiri sebagai ibunya untuk anak manja dalam rumah yang Lisa yakinkan bahwa hanya Hala saja yang melihat Heksa dengan sangat transparan)-, yang menjanjikannya sedikit sarapan pagi dari Subway yang sekitar setengah bulan lalu baru saja membuka cabang searah dengan kantor mereka dari rumah Hala.

Baru saja melangkah keluar dari kamarnya, dia dihadapkan dengan kesunyian. Yah, biasanya juga dia dihadapkan dengan kesunyian karena dia hanya seorang diri dirumahnya yang lumayan bisa dibilang luas hanya untuk satu orang saja (mengingat banyak barang besar yang bisa dia letakkan di dalam rumahnya itu sendiri) tetapi tidak untuk beberapa minggu ini karena kakaknya praktis juga adalah bagian dari penghuni rumah ini sekarang sebagaimana lelaki dewasa dengan title bayi besar itu mendeklarasikan diri bahwa dia sudah menetap di kota karena dia memegang perusahaan di daerah ini.

Heran, Lisa memanggil kakaknya. “Kak Sinar?” Alisnya mengernyit ketika tidak ada jawaban yang diinginkan. Menghela napas, Lisa berjalan menuju kamar sang kakak lagi. Mengetuk beberapa kali namun tidak ada jawaban. Jadilah Lisa hanya kembali menuju dapur dengan ponsel di tangannya, berharap kakaknya meninggalkan pesan kepergian sulung Cakrawijaya itu. Entah apakah kakaknya sedang berusaha untuk mengerjainya sekarang atau mungkin dia hanya pergi subuh hari langsung ke perusahaannya sendiri entah mengurus apa.

Lagi pula, semangat apa yang dia dapatkan di hari Senin?

Tentu saja, Sinar yang aneh tetaplah kakaknya yang penuh dengan kejutan. Ketika Lisa memasuki ruang dapur terbuka itu, dia melihat sebuah kotak yang dia yakini adalah bekal makan siang yang telah disiapkan sepenuh hati oleh kakaknya, dengan secangkir susu putih yang masih hangat dan sebuah nasi kepal berbentuk bintang yang dibuat seperti penuh dengan usaha. Lisa menggeleng, perasaannya hangat sedikit geli. Kakaknya sungguh tidak bisa di prediksi. Untungnya, ketika Lisa mendekat, nasi kepal lucu itu kecil, mungkin hanya dua atau tiga gigitan saja.

Ada sticky notes berwarna kuning cerah yang ditempelkan di piring nasi kepal mini denngan tulisan cantik kakaknya yang dibuat seperti sedang terburu-buru, Lisa menariknya dan membaca dengan sayang.

“Maaf ya dek, gue harus pergi duluan buat ngurus kerjaan. Jangan lupa sarapan dikit meskipun lo gabisa makan pagi. Gue juga udah siapin bekal yang banyak meskipun cuma manasin makanan dari kulkas, makan bareng Hala siangan nanti, oke?

Salam sayang, Kakaknya Nalisa paling ganteng sejagat raya”

Setelah kalimat penuh dengan kepercayaan diri yang tinggi, ada emotikon cium dan gambar matahari dengan senyum lebar yang dibuat dengan garis pena terputus-putus, terlihat tinta yang macet dan dibarengi dengan ketergesa-gesaan seolah dia tidak memiliki waktu paling banyak di dunia ini setelah dengan sayang membuat bekal untuk adiknya (meskipun dibarengi dengan nama lain di dalam sana yang merupakan naksir besar gilanya itu) dan tentu saja dengan salah satu fakta yang sangat bukan dia sekali,

“Yang nggak bisa makan pagi itu Hala, bukan gue. Emang dasar udah bucin lo kak sampe ingetnya Hala mulu bukan gue” Lisa berdecak, tetapi tidak terlalu asin karena perasaannya masih senang bahwa kakaknya bahkan masih ingin memanjakannya dalam rentang waktu sibuknya seperti sekarang. Ia keluarkan ponselnya untuk memotret hasil kerja keras kakaknya sebelum memilih untuk memasukkan bagian nasi itu ke dalam mulutnya, mengantar makan paginya ke dalam perut yang belum sepenuhnya meminta untuk diisi.

Lisa bersenandung, agak ceria dan santai ketika dia memasukkan bekal makanan ke dalam tas kerjanya, yang agak membuat terkejut karena seberapa beratnya itu dan dia bertanya-tanya apa saja yang telah sinar kemas untuk makan siang kali ini.

Meminum susunya, Lisa mengingat kembali bagaimana hari liburnya berjalan. Mungkin dia juga merasa heran dengan dirinya sendiri dengan kenyataan bahwa dia sudah mengundang Noren masuk ke dalam rutinitas waktu santainya dan melihatnya dalam keadaan paling nyaman yang pernah dia rasakan yang akan dilihat hanya oleh orang-orang terdekatnya saja. Katakan Lisa gila, tapi satu hal yang membuatnya percaya diri kala itu adalah bahwa dia tengah membalas budi. Tersedak sedikit, dia merinding mengingat bahwa ini sudah hari senin dimana dia akan bekerja dan dia akan dihadapkan dengan hadiah-hadiah aneh lagi dari Noren-, dia berharap yang terbaik agar hadiah itu berhenti atau jika tidak dia akan merasa terbebani lagi dengan hutang budi yang sangat tidak dia butuhkan.

Dan berjalan ke hari minggu sebelumnya, Lisa juga sedikit merasa aneh karena kakaknya tidak membicarakan bagaimana Lisa berhasil menghabiskan waktu bersama Noren sebelumya. Dia yakin sekali bahwa kakaknya pulang ketika dia tertidur dan pastilah Noren masih ada di sana. Dia mengharapkan godaan dan cemoohan menyebalkan dari kakaknya ketika dia bangun di pagi hari di hari minggu, menggodanya tentang bagaimana dia menghabiskan waktu dengan calon suaminya yang sangat dengan enggan ia akui itu-, tapi nyatanya hari minggu mereka dihabiskan dengan bagaimana Sinar mengajaknya berjalan-jalan untuk kencan es krim edisi kakak beradik dan berbelanja bahan makanan juga memilah jam tangan yang menarik mata Sinar saat melihat etalase Casio, yang kemudian mereka habiskan dengan makan di warung bakso lava granat Mang Juned yang sedang viral di beberapa media sosial minggu itu.

Bukannya Lisa ingin Sinar mengkonfrontasinya dengan semacam banyak pertanyaan dan godaan apapun terkait dengan hubungannya dan Noren yang berada bersamanya hanya berdua saat itu, namun bagian terkecil dalam hatinya bertanya-tanya. Tapi yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bagaimana Sinar tidak menjelaskan perjalanan kencannya dan Hala, yang lelaki itu tawarkan adalah senyuman lebar yang diakhiri dengan ringisan dan hembusan sebal. Lisa akan menagih Hala tentang hal itu nantinya.

Baguslah-, itu yang dikatakan hati besarnya secara umum. Dia tidak butuh menguras tenaga berlebih untuk menghalau dan menghadapi rayu dan godaan kakaknya yang membuatnya letih. Dia mungkin sedang di beri kesempatan untuk bebas dari apapun yang membuatnya mual dan terganggu, namun tetap saja, itu aneh.

Sebagian besar aneh. Semuanya aneh.

Hanya, tidak pada tempatnya.

Namun Nalisa bersikeras bahwa ini adalah hal yang bagus, jadi dia tidak repot-repot untuk menggali lebih dalam dan menekan tombol dimana kakaknya akhirnya memuntahkan omong kosong yang akan mengganggunya dalam rentang waktu yang tidak dia tahu kapan berakhir. Hanya, mungkin ini adalah sedikit kesempatan yang dilemparkan Sinar padanya untuk diambil.

Kemudian, itu adalah pukul tujuh lewat tigapuluh menit dan Lisa memutuskan untuk dia bergegas karena hari ini dia memilih untuk memesan ojek online untuk berangkat. Tidak seperti dia tidak bisa membawa motor atau mobil, mood Lisa hanya menentukan dengan apa dia berangkat sekarang.

Jadi, Dia memesan ojek online tepat ketika dia selesai dengan gelas susu hangatnya.

...….....

Senin mungkin bukan hari yang membahagiakan untuk sebagian besar orang, dan Lisa juga sudah mengatakan dan mencemooh pada kakaknya apa yang membuatnya bersemangat di hari Senin pagi. Namun disinilah dia merasa sedikit lebih bersemangat untuk segera turun ke lapangan juga meskipun dia harus membuat report evaluasi dari proses perkembangan produk serta minat dari konsumen untuk rencana pengembangan produk baru lagi dikemudian hari jika yang ini bisa dikatakan sukses dan mampu terjual lebih dari setengahnya dalam waktu satu bulan. Lisa masih ingat dengan baik target mereka di angka berapa dan dia harus bisa mempelajari peluang dalam bisnis ini. Atau mungkin itu hanyalah sedikit dari rasa semangat dimana dia akhirnya bisa ikut menikmati pameran lampu-lampu cantik itu sedikit lebih lama tanpa dibayangi bisikan dan perintah antar rekan sesama divisinya.

Setelah melakukan briefing bersama dengan tim pemasaran, mempresentasikan garis grafik marketing yang mulai melonjak naik sejak dibukanya tampilan produk baru serta report dari divisi pemasaran itu sendiri, Lisa tengah bersiap untuk mulai membuat catatan pribadi dan template report miliknya sendiri. Setelah melakukan briefing, mereka mulai kembali ke meja masing-masing untuk bersiap.

Lisa bisa melihat Hala yang mondar-mandir sejak dia datang, terlihat agak sibuk meskipun produk sudah di luncurkan hampir seminggu penuh dan sudah melakukan rekap dimana Ms. Ivora yang merupakan kepala divisi pemasaran sendiri sudah melakukan presentasi dengan hasil yang bagus dan kurva naik yang menguntungkan perusahaan dalam minggu pertama. Lisa ingin melambai sebelum dia ditarik kembali oleh Alula, jika Lisa tidak salah ingat. Lisa memperhatikan ketika dia menarik buku catatannya yang penuh dengan post it tulisan tangan yang sedikit amburadul karena di tulis dalam waktu yang sempit dan tidak sempat untuk diperbaiki dengan lebih baik, dia bisa melihat wajah Hala yang sangat serius dan sedikit terkejut sebelum tergesa-gesa untuk masuk kembali ke dalam ruangan Pak Leo.

Mengangkat bahu, Lisa membiarkan. Dia ingat bagaimana senyum cerah Hala di pagi hari menyapanya dan menyerahkan sekantong sandwich Subway yang ia titip untuk dibelikan dan juga es susu cokelat yang dielukan Hala sebagai gratisan darinya. Meski Lisa ingin menolak karena dia baru saja meminum susu hangat buatan tangan Sinar, dia tidak mengatakannya dan hanya berterimakasih.

“Nalisa”

Lisa tersentak ketika namanya dipanggil dengan tiba-tiba. Berbalik, dia mendapati wajah rekan kerjanya, Anela yang memanggilnya dari jarak yang lebih dekat. Perempuan itu sedikit merunduk, membuat ID Card yang dikalungkan di lehernya menjuntai dan bergoyang. Mengangkat alis bertanya, Lisa meletakkan buku catatan di pahanya sebelum berputar dengan kursinya untuk menghadap ke arah Anela sepenuhnya.

“Iya, Kenapa, An?”

“Lo dipanggil sama Miss Jelita, katanya di suruh balik lagi ke ruang meeting tadi. Pak Leo nyariin ada yang mau dibahas sebelum kita turun ke lapangan untuk evaluasi nanti siang”

Bingung bukan kata yang aneh untuk menggambarkannya saat ini. Dia ingin bertanya lagi, namun Anela sudah lebih dulu pergi menuju mejanya dimana dia sedang bersiap untuk menulis report produk harian miliknya sendiri. Jadi, dengan kepala yang bertanya-tanya dan kebingungan, dia tetap beranjak untuk segera datang menuju ruang meeting yang baru saja di jadikan tempat briefing dan presentasi singkat beberapa waktu lalu.

Ruangan itu tidak begitu jauh dari tempatnya berada, itu hanya sedikit di belakang dari ruangan Pak Leo dan berbelok kearah kiri sebelum menemukan pintu kaca yang buram. Lisa menghitung kepala di dalamnya dan dia yakin hanya ada sekitar lima orang di dalam.

“Permisi” Lisa dengan sopan mengetuk sebelum akhirnya menyapa saat dia membuka pintu. Dia bisa melihat ada Pak Leo yang berada di kursi yang jelas merupakan tempat permanennya, Ms. Ivora dari bagian pemasaran, dan tentu saja Hala berada di sebelahnya sebelum dia melihat Ms. Jelita duduk dengan nyaman di seberang Ivora, dan juga ada satu orang lainnya yang Lisa sering temui saat dia sedang mengevaluasi produk bersama rekan-rekan perencanaannya, Pak Renata selaku kepala rumah produksi.

“Oh Nalisa” Pak Leo menyambutnya. Lisa segera duduk dengan nyaman di sebelah ketua timnya. Ms. Jelita tersenyum padanya, ada sedikit rasa senang dan bangga yang mungkin saja dibaca oleh Lisa dari senyum itu, namun Lisa tidak ingin berbesar hati. Ekspektasi aneh lebih menyakitkan daripada dia tidak berharap sama sekali, dan itu tentu saja bagus.

“Maaf pak, saya di informasikan untuk segera datang ke ruangan ini karena bapak memanggil. Apa ada hal yang harus saya urus atau kerjakan sebelum turun lapangan untuk evaluasi, pak?” Itu pertanyaan maklum, jantungnya berdegub, sebenarnya ingin bertanya apakah ada yang salah dan apakah dia sedang berbuat kekacauan lagi. Mengingat bahwa terakhir kali dia mengacau dan merasa dipermalukan adalah disaat yang sama Noren mengirim kue fortune dan buket bunga yang langsung dititipkan kepada bos-nya itu. Tapi mungkin saja ini bukan pembicaraan yang aneh. Bagaimanapun tidak ada kiriman apapun dari pagi tadi untuknya yang berasal dari Noren, tidak ada apapun yang mengganggunya dan dia tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Apakah Noren membuat hal gila yang sangat tidak bisa diprediksi lagi dengan menyangkut-pautkan bos-nya itu?

Jika iya, Lisa akan menggores pisau tajam langsung ke tenggorokan lelaki itu. Dia berjanji dengan sungguh-sungguh.

Tapi mungkin tidak, ketika Lisa menyadari bahwa-, untuk apa Pak Renata yang tidak memiliki sangkut-paut apapun selain kerjasama dan salah satu orang kepercayaan perusahaan ada di ruangan yang sama jika Lisa akan di eksekusi saat ini.

Jantungnya benar-benar berpacu sehingga ruangan yang dingin ini terasa sangat hangat, dan mungkin panas.

“Sebenarnya untuk acara turun lapangan dan evaluasi masih seperti apa yang telah di briefing pada pagi hari tadi. Saya manggil kamu ke sini bukan untuk mengubah apapun hasil dari briefing dan evaluasi produk. Tapi ada satu hal yang ingin saya tunjukan ke kamu hari ini dan barangnya kebetulan baru saja datang”

Lisa berkedip. Dia melihat ke seluruh kepala yang berada di dalam ruangan, tidak terkecuali pada Hala yang tengah tersenyum dengan lebar dan bangga. Apa-apaan lagi senyuman aneh itu? Dia tidak sedang merasa melakukan apapun yang bisa dibanggakan. Ini, aneh.

Pak Renata tiba-tiba berdiri dan meletakkan satu box berukuran lumayan besar sehingga dia harus berhati-hati untuk meletakkannya di atas meja ruangan. Itu kemudian perlahan di buka dan menunjukkan sebuah benda yang terbungkus dengan kain hitam tebal. Lisa masih penasaran dengan apa yang terjadi, namun ketika kain itu di buka, Lisa kemudian terkesiap. Napasnya seolah di curi dan dia hampir tidak tahu apa yang akan dia keluarkan dari bibirnya. Entah itu pujian atau ucapan kasar yang bermaksud memuji, diantara itu.

“Saya melihat kembali katalog konsep perencanaan yang telah di organisir dan di rekap oleh Mbak Jelita ketika kita sedang membahas tentang konsep produk sebelum kesepakatan jatuh untuk mengambil konsep interior lampu dari kayu dan keramik dengan nuansa galaksi dan tanaman ranting yang cocok dengan tren dan minat masyarakat sekarang”

Mata Lisa mengikuti bagaimana Pak Leo memegang hati-hati benda yang membuatnya terkesiap itu. Satu dari sekian ide yang dia rancang tentang konsep produk beberapa bulan yang lalu pada akhirnya terpampang nyata di depan kedua matanya.

Itu adalah lampu tidur berukuran medium yang tergeletak dengan cantik di tengah meja ruangan seolah-olah dia adalah pemeran utama dari segala atensi yang ditujukan padanya. Bola Kristal itu memiliki serat yang sangat cantik, berdiri di atas sulur-sulur cokelat dan hijau serta beberapa kelopak kuning yang melengkung layu kebawah membiarkan celah putih dan serat itu terlindungi di balik bola Kristal yang mengkilap. Itu adalah lampu tidur dengan mahkota dandelion yang sangat cantik. Dibuat seolah-olah tanaman liar itu memancarkan kekuatannya serta keindahannya. Salah satu rancangannya yang bahkan hanya ia lampirkan dengan tergesa dan coba-coba dengan tekad gila-gilaan yang sangat besar saat itu, menyelipkan diantara lembaran berkas katalog produk yang akan di diskusikan.

Lisa tidak percaya itu dibuat dan dihadirkan di depan matanya.

“Dandelion..” bisiknya.

Pak Leo tersenyum dengan senang hati, begitupula Pak Renata yang kini berjalan untuk mematikan lampu ruangan sebelum menunjukkan keindahan dari lampu yang kini memberikan cahaya putih terang yang indah, berkilau seolah-olah disinari dengan pecahan Kristal di dalamnya. Tidak hanya itu, ada beberapa warna yang bisa diganti, dari warm light dan biru muda yang samar seperti berlian biru di salah satu film Tinkerbell dan juga neon ungu muda dan pink yang cantik. Lisa tidak bisa berkata-kata.

“Dalam katalog itu saya menemukan rancangan dan ide yang kamu tulis. Itu tidak begitu memuaskan sebenarnya, saya dan pak Renata mendiskusikan hal ini dan menambahkan beberapa detail yang bagus untuk percobaan. Tidak banyak yang bisa perusahaan ambil untuk konsep ini, tapi saya menyukai hasil keseluruhannya. Jadi dengan beberapa rundingan, saya meminta untuk membuat ini secara khusus dan pada akhirnya ingin memperlihatkannya padamu dan mungkin saja, jika kita berhasil dengan konsep kayu dan keramik, kita bisa merilis ini dalam rentang waktu enam bulan sampai satu tahun kedepan”

Lisa masih diam dan mendengarkan, fokusnya masih terpaku pada rancangannya. Jujur saja, dia ingin menjerit karena bagaimana mungkin bunga kesukaannya dan rancangannya sendiri sekarang di produksi secara khusus dan ditampilkan secantik itu di depan matanya? Lisa merasa bahwa dia ingin mencuri barang itu sekarang juga dan meletakkannya di rak kamarnya dan mengagumi keindahan yang luar biasa itu.

Idenya, dan rasa bangganya.

“Mungkin saja kita bisa segera memproduksi ini dalam edisi terbatas, tetapi desain ini diluar dari konsep yang diusung perusahaan saat ini. Namun, jika saja kita bisa memakai ini sebagai bahan pendongkrak penjualan dan penarik minat dari konsumen, kita bisa menjadikannya sebagai kesan yang bagus. Mungkin profit perusahaan juga akan meningkat sehingga kita bisa memproduksinya tanpa batasan. Namun ini hanya sedikit ide dan kemungkinan-kemungkinan saja”

Pak Leo tertawa kecil. Lisa bisa merasakan tepukan di bahunya dari Mis Jelita. Dimana perempuan itu mengangguk hampir dengan rasa senang yang sama. Pak Renata kembali menghidupkan lampu ruangan sehingga yang bisa dilihat hanyalah bentuk Kristal padam yang masih berkilau dari serat yang dibuat sangat hati-hati dan halus. Benih dandelion yang sangat indah yang membuat Lisa bahkan hanya ingin memiliki benda itu di rumahnya, dekat dengan hatinya.

“Saya bekerja keras membuatnya bersama dengan professional. Belum sempurna memang, tapi ini adalah versi terbaik sejauh ini. Saya membawanya bersama dengan Pak Leo hari ini untuk menunjukkan hasilnya dan Pak Leo rasa bagus untuk memberitahu pada pencetus ide pertama” Pak Renata tertawa renyah dan Lisa sedikit tersipu.

“Kerja bagus, Lisa. Aku suka ide ini, namun untuk produksi secara jauh aku harus berunding dengan Pak Rorys selaku Kepala atasan dan kita akan melihat kemana ini nanti membawanya”

Lisa mengangguk. Wajahnya merasa berseri-seri dan rahangnya sakit karena dia tersenyum dengan sangat lebar.

“Terimakasih untuk mempertimbangkan” Lisa mencoba untuk tidak lepas kendali karena dia sangat bahagia. Matanya melirik ke arah Hala yang yang mengacungkan kedua jempolnya dengan suka cita dan heboh.

“Tentu saja. Ini bagus sekali” Mis Jelita menegur secara tiba-tiba. Lisa tidak tau apa yang lebih indah dari di perhatikan tentang pekerjaannya dan rancangannya serta dipuji oleh orang yang sangat di kaguminya. Rasanya dia bisa meledak kapan saja.

“Terimakasih, Miss Jelita” Lisa merintih, senyum malu-malu yang lucu.

“Aku memanggil tim pemasaran untuk ikut melihat karena aku ingin jika nanti produk ini telah melalui izin dan pertimbangan khusus dari kepala atasan, kita bisa melihat bagian pemasaran bekerja untuk memasarkan produk ini. Bagaimana kedengarannya, Mbak Ivora?”

“Tentu saja, Pak. Banyak hal yang sudah ada di kepala. Kita bisa memulainya ketika produk sudah memiliki izin jual”

Pak Leo mengangguk sebelum akhirnya mereka di bebaskan untuk persiapan turun lapangan setelah makan siang. Lisa buru-buru mengintip sedikit saat Pak Renata memasangkan kembali kain hitam tebal yang berfungsi sebagai pelindung sebelum benar-benar hilang dalam box kayu penyimpanan. Lisa digiring keluar oleh Miss Jelita yang berbisik tentang bagaimana dia terkejut dan juga senang dengan hasil nekat yang Lisa lakukan. Dan kemudian dia merasa bahwa Hala menubruk tubuhnya untuk memberi pelukan lebar yang bahagia ketika dia ditinggalkan oleh Jelita di suatu tempat ketika mereka kembali ke ruang kerja mereka masing-masing.

“Sumpah, Lisa! Lo keren banget, asli!”

Hala terkikik dengan semangat ketika Lisa mengimbangi kecerahan sahabatnya. Dan kemudian yang bisa Lisa lakukan hanyalah mengoceh panjang lebar tentang bagaimana dia berhasil menyelipkan semua keberaniannya saat kepalanya penuh dengan hal-hal gila dan berisik sampai kemudian dia lupa bahkan bahwa dia melakukan hal seperti itu.

Namun, itu mungkin membayar semuanya dengan melihat lampu Dandelion indah itu. Lisa tidak sabar untuk mendapatkannya dirumahnya dan mengagumi kretivitasnya dengan teramat bangga.

Mungkin hari senin ini, dia bisa membelanjakan seluruh uangnya untuk mentraktir siapa saja yang bisa dia ajak. Mungkin, dia akan mengadakan perayaan besar-besaran bersama dengan anak-anak yang lain.

Untuk sekarang, Lisa harus merendam seluruh kebahagiaan dan rencana-rencana selebrasi yang berputar di otaknya agar dia fokus untuk persiapan evaluasi.

Baru saja dia duduk di mejanya dan membuka kembali bagian dimana ia meninggalkan segala persiapannya, dengan perasaan pusing yang sangat menyenangkan, dia melihat kotak nasi yang dikemas Sinar untuknya. Mengingat sesuatu, makanan sisa dari kulkas yang dipanaskan tidak akan terlalu buruk, karena hari ini adalah harinya yang sangat spesial.

Sangat spesial sehingga Lisa merasa bahwa dia bisa terbang.

Jadi, berbalik di tumitnya untuk menemukan Hala yang menyeringai padanya dari seberang ruangan, Lisa memberi kode dengan mengangkat kemasan bekal makan siang, memberikan tanda bahwa mereka akan makan siang bersama dan dengan isyarat bahwa Hala harus mengorbankan telinganya untuk Lisa menjerit serta tubuhnya yang akan diremat Lisa dalam pelukan erat mosnternya yang sedang merayakan kebahagiaan penuh.

“Nalisa” Dia menghela napas dengan cekikikan lucu. Biarlah orang lain dan bahkan rekannya memikirkan hal-hal aneh tentangnya, dia tetap berbisik pada dirinya sendiri sebelum memukulkan kepalanya ke atas buku catatannya dengan hembusan napas gusar yang pusing dalam hal positif. “Lo keren banget. Sumpah”

Kemudian, cekikikan tertahan itu datang lagi hingga dirinya tidak sadar bahwa rekan-rekannya sudah mengerubunginya dan membuatnya semakin pusing dengan pertanyaan dan tarikan dari setiap tubuhnya karena orang-orang pandai bergosip itu, ingin Lisa menumpahkan teh apa yang terjadi di dalam ruangan meeting.

Hingga Lisa sendiri bahkan tidak menyadari bahwa, dia tidak mendapatkan apapun dari Noren hari ini. Tidak sebuah barangpun, dan tidak ada gangguan apapun.

Mungkin saja. Namun hari Senin masih memiliki waktu yang panjang.

'kan?

...…....

Tepat ketika jam makan siang berdentang, Lisa segera merampas bekal makan siangnya dan berlari dengan tergesa menghampiri Hala yang baru saja berhasil meletakkan beberapa berkas dan membereskan meja kerjanya yang penuh dengan kertas-kertas berwarna-warni dengan garis grafik dan penanda pada setiap halamannya. Perempuan yang kini mencepol rambutnya dan tengah mengenakan kacamata bundar yang bahkan tidak mampu untuk menutup noda gelap di bawah matanya penanda bahwa kurangnya istirahat dari perempuan itu, terseret dengan tidak mengeluh dalam genggaman Lisa yang membawanya ke rooftop dengan sangat tergesa-gesa seperti seekor kelinci yang akan meledak kapan saja.

Lisa bahkan tidak sadar dia sudah mengoceh ketika dia menyeret Hala melalui lift dan anak tangga, dia bahkan juga tidak sadar kapan sahabatnya itu bisa melepaskan diri dari cengkeraman mautnya hanya untuk mengambil satu botol besar air mineral dan dua kaleng minuman isotonik segar unutk mereka berdua ketika Hala meletakkannya di atas beton tempat favorit mereka sebelum Hala pada akhirnya di seret dalam pelukan maut Lisa ketika perempuan itu berteriak dengan suka cita.

“Sumpah, La! Gue nggak nyangka ide gue bisa di produksi secantik itu! Sumpah, ya gue sama sekali nggak ada pemikiran kalau gue pada akhirnya bisa ngeliat ide gue bener-bener di realisasikan secantik itu! SECANTIK ITU, LAA!! Indah banget sumpah, gue mau nangis aja rasanya!!!”

Tubuh Hala ia goyangkan disetiap tarikan tangannya yang semakin mengerat. Suara renyah tawa yang di selingi dengan ringisan membuat Lisa tersadar bahwa dia tengah mencekik sahabatnya. Untung saja Hala sudah paham dengan sifat Lisa ketika dirinya sedang sangat bersemangat dan tidak mengeluh tentang cengkeraman kematian yang selalu Lisa berikan pada saat sesuatu yang spesial terjadi. Lisa meringis, tetapi senyuman lebar yang terasa merobek bibir dan wajahnya itu masih bersarang dengan indah di wajahnya. Hala tidak bisa berhenti tertawa dengan bangga.

“Sorry, La. Gue cuma lagi seneng banget, hehe” Lisa dengan gemas mencubiti pipi sahabatnya, kemudian ada tawa ketika Hala balas mencubit pipi berseri milik Lisa, membuat Lisa mengaduh sebelum melepas tangannya sendiri dan melompat naik ke atas beton, bersebelahan dengan bekal makan siang dan minuman yang telah di tempatkan disana. “Lo pasti paham perasaan gue sekarang, La. Gue gatau mau ngomong apa lagi, kalau bisa teriak gue bakalan teriak sekencang mungkin sekarang juga. Tapi gue nggak mau dianggap gila sama anak-anak kantor cuma karena desain gila gue yang ga tau malu di produksi sebagai sample khusus dan di pertimbangkan perizinan buat penjualan. Gila, La. Gue serasa lagi mimpi”

Hala tertawa lagi, dan Lisa tidak bisa lebih menyukai hari senin lainnya dibandingkan dengan hari yang luar biasa ini. Dia masih berada di awan Sembilan ketika Hala mengejutkannya dengan satu botol minuman isotonik dingin yang Lisa sendiri bahkan tidak tahu bahwa dia sangat membutuhkannya. Dengan ucapan terimakasih, Lisa meneguk minuman segar itu dan bersenandung seperti anak kecil yang baru saja di belikan mainan kesukaan.

“Iyaa, gue paham, Lis. Kalau gue jadi lo juga gue bakalan bangga banget sama apa yang terjadi hari ini. Sumpah, gue bangga banget sama Lo. Dan bahkan gue kagum banget dengan lampu tadi. Rasanya gue jadi pengen punya juga buat di rumah”

Lisa semakin berseri-seri, dia bisa merasakan bahwa rahangnya akan bergeser dari seberapa banyak dia tersenyum pada hari ini. Tapi itu bisa dimaklumi, dia merasa sangat luar biasa dan tidak ada yang bisa menghentikannya saat ini. Terlebih pada kenyataan bahwa dia akhirnya akan turun ke lapangan dan menikmati barang-barang yang memanjakan matanya di Madevision.

“hehe” Lisa hanya tertawa sebelum dengan senang hati membuka bekal yang telah di siapkan oleh Sinar. Dia harus menurunkan adrenalinnya sekarang atau dia pada akhirnya tidak akan bisa fokus untuk makan siang atau bahkan fokus untuk mengerjakan report evaluasinya nanti. Dia harus merendahkan perasaanya sedikit meskipun perasaannya seperti ladang bunga yang sedang mekar dengan cantik.

“Lo mau apa, dah, La. Gue beliin buat Lo” Dengan senyum yang masih terpatri, dan gerakan super kilat mengeluarkan lauk-pauk dan satu mangkuk nasi berukuran jumbo, yang sudah dipersiapkan Sinar dengan matang dan dengan tujuan tertentu, Lisa melirik Hala yang sedang menyegarkan diri dengan minuman setelah ikut melompat duduk di sebelah Lisa, yang kemudian menyerahkan sendok pada perempuan berambut cepol itu.

“Nah, kan” Hala terkekeh “Salah satu kebiasaan lo yang bikin gue enak, nih akhirnya muncul” lalu disusul dengan tawa keduanya, paham dengan maksud dari ucapan itu sendiri.

“Ayo tinggal sebut aja, nanti barangnya bakalan ada ditangan lo secepatnya” Mata Lisa meyipit dengan penuh tantangan yang suka, Hala berdecih geli sembari menggeleng dengan kemakluman yang bisa dia sampaikan pada sahabatnya itu. “Aduh, nanti gue mau minta yang mahal, sanggup nggak, nih?”

Hala bercanda dengan gemas sementara matanya di latih untuk melihat lauk mana yang pada akhirnya akan menemani nasi yang akan masuk ke dalam perutnya. Bekal yang di bawa Lisa berisi oseng tahu tempe, beberapa potongan penuh ayam mentega serta urap sayur dan empat buah jeruk keprok sebagai pencuci mulut. Hala memilah potongan ayam dan oseng tahu tempe, menyingkirkan sayur dari jangkauan sendoknya sebelum melahap dengan senang hati.

“Yeu, sadar diri juga dong, La. Jangan kuras dompet gue juga kali. Nanti gue beliin lo barang mahal, guenya yang sekarat” Lisa bisa melihat bagaimana Hala tersedak sebelum menendang kakinya dengan main-main. “Gue nggak bakalan percaya kalau lo sekarat karena kurang uang. Nama belakang lo tuh buang aja kalau sampai kejadian” Hala mengomel, sedikit berhati-hati untuk tidak menyinggung Lisa.

Lisa memutar bola matanya sebelum ikut menyendok nasinya sendiri. Ada helaan napas di sela kekehan dan kunyahannya yang Lisa sendiri bahkan kagum dengan seberapa dia mampu melakukan bayak hal di saat yang bersamaan ketika dia menyadarinya.

“Ya udah kalau gitu, gue kasih kakak gue aja buat lo sepenuhnya gimana? Mahal banget tuh hadiah buat lo, multifungsi lagi”

“Sialan mulut lo, Lis” Hala tersedak tawanya ketika Lisa tiba-tiba menyembur tentang memberikan Sinar padanya. “Gue aduin Kak Sinar kalau Lo sebenernya pengen buang kakak Lo jauh-jauh dari hidup, Lo, ya. Kayak beban negara banget anjir lo nyumbangin kakak Lo kemana-mana. Adek durhaka emang”

“Nggak kemana-mana, ya. Cuma ke Lo doang, Halaaa” Lisa dengan gemas mendorong kening sahabatnya dengan jari telunjuk miliknya agak keras sehingga perempuan itu hampir kehilangan keseimbangannya yang membuat mereka berdua panik karena jika salah selangkah saja, mereka akan jatuh dari lantai tujuh gedung perusahaan. Hala melotot pada Lisa yang cekikikan ketika sahabatnya itu mencengkeram sisi beton yang diduduki untuk mencari keseimbangan.

“Gila lo, senengnya lo kayaknya emang pengen ngebunuh gue, ya, Lis” Mata bulat yang semakin bulat dengan kacamata itu melotot pada Lisa, tidak begitu serius karena keduanya tau bahwa tidak ada yang akan terluka disini. Hala aman, tentu saja Lisa sudah memprediksi hasil dari pergerakannya sendiri. “Kalau gue mau ngebunuh lo, udah dari lama gue lakuin, La” Lisa masih tertawa, dia tidak bisa menyangkal bahwa hari ini perasaannya sangat ringan dan membuatnya benar-benar ingin melakukan banyak lelucon. “Sayangnya gue masih butuh lo buat di susahin. Dan gue juga bakalan remuk di tangan kakak gue kalau tau lo mati di tangan gue”

Cekikikan Lisa masih sama, dengan euphoria yang sama.

“Ya iya, kan kak Sinar sayang sama gue melebihi dia sayang sama lo, Lis”

Hala menjulurkan lidahnya, mengejek dan memilih untuk mengikuti permainan apapun yang tengah Lisa kibarkan di antara mereka. Lisa menatapnya dengan raut aneh sebelum mendengus dan menggeleng lucu dengan kekaguman yang pura-pura.

“Akhirnya, ya Hala udah peka juga sama kakaknya gue” Perempuan itu mengelus dadanya seolah-olah dia sangat lega dan Hala hanya bisa membalas dengan mendorong kepala Lisa dengan matanya yang membelalak sebal.

“Udah ah ini ngapain ngomongin Kak Sinar. Aneh banget Lo tiap sama gue ngomongnya tentang kakak Lo. Kasian tuh orangnya di sana nanti bersin-bersin atau nggak telinganya gatel”

“Aduh, kasar banget lo sama adek ipar lo, La” Lisa merengut seraya mengusap kepalanya yang jadi sasaran empuk tangan nakal Hala. Lisa tertawa dengan keras ketika Hala mencoba menodong sendok ke wajahnya dan dihadiahi dengan tatapan kematian. “Idih ngeri banget itu mata. Keluar baru tau rasa” Lisa yang sedang bahagia dan bersemangat tidak bisa untuk tidak membayol dan melontarkan semua kekonyolan yang ingin dia lontarkan dengan senang hati. Dan Lisa tahu, terkadang Hala sendiri akan kewalahan dengan apapun yang sedang ia lakukan ketika sangat bersemangat, namun sahabatnya itu sama sekali tidak mengeluh.

“Ngomong-ngomong, ini bekal yang disiapin sama kak Sinar, loh, La. Dia nyuruh gue buat makan sama lo bareng-bareng. Nanti awas aja lo nggak bilang makasih sama kakak gue, ya. Gue ancurin rambut lo, nanti”

“Anjir temen gue serem banget” Hala merinding, berpura-pura di tengah cekikikannya dan oseng tempe yang sudah setengah jalan masuk ke dalam mulutnya. “Jangan rambut gue, Lis. Ini bikinnya ribet, manalagi di gangguin Heksa. Parah banget itu anak kalau lagi stress” Hala menghela napas, matanya jatuh ke arah hamparan bangunan kecil yang berserak di sekitar dari ketinggian. “Lagian gue juga yakin ini pasti bukan lo yang buat. Soalnya kalau lo pasti sayurnya bakalan lo banyakin terus lo iris tipis-tipis dan lo selipin di daging apapun supaya gue bisa makan sayurnya sekalian, kan? Paham gue mah”

“Wah paham bener sahabat gue. Makin sayang deh gue sama lo, La” Lisa membuat wajah, memajukan bibirnya seolah-olah dia memberikan ciuman udara buat perempuan yang kini sudah siap untuk menyemburkan air yang tengah di pegangnya.

Lisa tidak bisa untuk tidak menikmati bagaimana hari ini berjalan dengan sangat baik dan lancar. Dia bersumpah akan membelikan sesuatu untuk Hala nanti, dan mungkin dia juga akan memanjakan Alpino dan kakaknya untuk sesuatu juga.

“Oh iya, ngomong-ngomong,” Setelah suasananya mulai menjadi lebih lembut dan tenang untuk mereka berdua, Hala mulai kembali berbicara. Membuka sebuah percakapan yang tidak dilandasi dengan semangat aneh dan perasaan bahagia yang berputar-putar bagai arus tornado dimana dia yakin bisa melakukan apapun dalam perasaan euphoria itu sendiri. Napas yang diambil lebih nyaman dan tenang sehingga Hala mulai yakin bahwa dia bisa membawa percakapan nyaman dan agak lebih serius untuk di angkat dan dibicarakan diantara mereka. “Ini tentang dandelion lagi, ya”

Lisa tersenyum ketika dia menyendok urap sayur. Menyuap ke dalam mulutnya dan meninggalkan bagian sendok disana dengan senyuman kecil yang hangat, dia mengangguk dengan lembut.

“Iya. Lo tau sendiri gimana sukanya gue sama dandelion dari kecil”

Lisa ingat bagaimana dia dengan semangat menarik kakaknya kesana dan kemari unruk mencari benih-benih dandelion yang bisa dia buat permohonan dan tiup. Mempelajari bagaimamana dandelion termasuk gulma, tetapi juga merupakan jenis bunga yang bisa dijadikan herbal. Dia selalu kagum bagaimana dandelion merupakan bunga yang tumbuh dengan banyaknya implementasi positif yang bisa dia kagumi.

“Dandelion itu kuat, meski sering dianggap gulma karena bisa tumbuh dimana aja, itulah yang bikin dia secara spesifik dianggap sebagai kekuatan yang unik. Dia nyebarin benih, dengan berani hinggap di manapun dan berkembang dimanapun. Tumbuh kembali dengan akar yang kuat dan bunga yang cantik, bisa dijadiin obat sebelum akhirnya dia mekar penuh dan kembali bersiap untuk memperluas penjelajahan dunianya” Lisa menghela napas dengan banyak perasaan yang ingin dia sampaikan hanya dari dandelion itu sendiri.

“Lo pasti kalau liat dandelion yang benihnya udah matang bakalan langsung petik dan suka tiupin mereka, kan? Gue juga suka. Sangking sukanya dulu gue punya kebun yang gue buat sendiri di Jepang waktu tinggal disana”

Mengenang kembali tempat rahasia kecilnya yang sekarang sudah tidak bisa dia pertahankan lagi, Lisa menghela napas dengan sendu. “Kebunnya udah nggak ada lagi karena ada pembangunan di sebelah perusahaan terakhir kali Papa ngabarin ke gue. Yah, sedih, sih. Tapi walaupun gitu, lo tau? Nggak ada pun kebun khusus yang di dedikasikan buat mereka, gue masih bisa nemuin mereka di mana aja. Bayangin, diantara banyaknya tempat, mereka bisa nyempil di mana aja dan tumbuh dengan cantik seolah-olah nggak ada yang bisa ngerusak keindahan dan kekuatan mereka, loh, La. Dimana aja mereka nggak gentar dengan tempat dan kondisi, mereka masih bisa nunjukin eksistensi mereka dan kepercayaan diri mereka, bahkan meskipun tempat untuk tumbuh mereka sendiri berbahaya untuk mereka, mereka masih tetap tumbuh seolah-olah nggak ada takutnya sama sekali” senyum Lisa merekah kembali. Segala hal tentang bunga dan benih dandelion itu indah. Diam-diam Lisa ingin kembali membuat kebun untuk dandelionnya sendiri, mungkin nanti.

“Dan Lo pengen jadi definisi dandelion itu sendiri ‘kan, Lis?”

Lisa tertawa kecil kemudian melemparkan dua jempol pada Hala dengan semangat yang kembali merasukinya.

“Bener banget! Seratus buat sahabat pinter gue”

Hala tertawa gemas. Kekaguman yang selalu ada buat sahabatnya itu, selalu membengkak tiap waktu ke waktu. Perasaan yang begitu hangat yang mereka bagi, dan Hala tidak akan pernah merasa bosan untuk mendengarkan dan melihat perkembangan yang tengah sahabatnya itu bangun sejak awal mereka memutuskan untuk melangkah bersama. Lisa adalah pilihan tepat yang akan selalu Hala pegang erat kehadirannya.

“Sedikit banget seratus buat gue, Lis. Nggak ada yang lebih gitu?”

Hala menahan tawanya ketika tatapan skeptis Lisa tiba-tiba hadir di wajah perempuan itu, membuat Hala mau tidak mau menahan tawanya yang hampir lolos dari bibirnya yang geli.

“Emang lo, ya, La. Dikasih hati minta jantung. Enggak bersyukur banget sumpah, heran gue”

“Anjir, lo kira gue lagi minta apaan ke lo, Lis!!”

Ada tawa terbahak lagi yang mereka keluarkan. Gelembung kecil kebahagiaan yang hadir diantara mereka benar-benar nyaman. Satu frekuensi dan saling memahami adalah apa yang membuat Lisa juga mempertahankan sahabatnya itu. Dia bersyukur ketika memilih untuk menarik Hala dalam dunianya. Meskipun banyak hal yang membuat mereka hampir tergelincir, namun Hala masih bisa membuktikan dirinya pada Lisa bahwa dia adalah layak untuk dipertahankan.

“Oh iya gue juga mau tanya sama lo, gimana acara ngedate lo sama kakak gue? Jangan bilang kakak gue nyosor lo, ya waktu nganterin lo balik? Ngaku lo!”

Ada tarikan datar di bibir Hala dan wajah yang tiba-tiba berubah menjadi sama datarnya dengan dinding bata.

“Sumpah ya, Lis. Tangan gue gatel banget mau ngejorokin lo ke bawah, alias, omongan lo bau bener ya anjir!!”

...…....

Produk yang mereka luncurkan sama sekali tidak menjadi kekecewaan murni ketika Lisa turun ke lapangan. Itu semua menjadi pameran dan penjualan murni yang penuh artistik dan keindahan yang dipajang sehingga Lisa tidak berbohong bagaimana dia sendiri selaku konsumen dari produk perusahaannya ini sangat menikmati dan kagum dengan barang yang dihadirkan di sana layaknya beberapa konsumen lain yang begitu bersemangat untuk mengetahui jenis dan produk mereka. Melakukan report dan evaluasi serta berbincang sedikit layaknya sesama konsumen untuk mencuri sedikit pendapat dan kriteria dari pelanggan berjalan dengan sangat mulus. Ada banyak hal yang membuat puas, namun tidak memungkinkan segalanya adalah hal positif yang dikatakan, namun dalam hal ini menjadi pandangan dan perhitungan yang akan perusahaan pertimbangkan kembali sehingga bisa meluncurkan produk yang lebih baik lagi kedepannya.

Selama kurang lebih tiga jam setengah berada di Madevision dan menjalankan report evaluasinya, Lisa diam-diam puas dengan list yang bertambah di dalam daftar barang keinginannya. Selain dari lampu dandelion yang menjadi incaran utamanya, ada satu lampu indah yang sangat dia rekomendasikan kepada beberapa pelanggan dengan curi-curi waktu dan sebisa mungkin dengan lebih halus, karena dia sendiripun akan dengan senang hati mengambil interior indah itu untuk dijadikan temannya di ruang perpustakaan rumahnya. Itu adalah lampu dengan ranting pohon yang bisa diletakkan menjadi hiasan rak buku, menempel di bagian luar rak dengan lampu kecil yang diletakkan dengan bentuk galaksi terdiri dari planet, bintang, serta bagian-bagian dari langit yang begitu cantik. Ada sedikit hiasan lampu yang lebih kecil sehingga terlihat seperti permata yang bertaburan di sekitarnya. Lisa sungguh kagum dengan yang satu itu. Salah satu yang sangat dia sukai.

Pada akhirnya mereka diharuskan kembali ke kantor dan mulai sibuk dengan membuat laporan sehingga bisa langsung diserahkan untuk peninjauan lebih lanjut. Lisa tidak bisa menghitung waktu yang dia habiskan hari ini ketika jemarinya lincah mengetik di keyboard laptopnya. Matanya sibuk bolak-balik antara monitor dan buku catatannya. Sangat serius dengan apapun yang tengah dia kerjakan sekarang. Dia bahkan tidak sadar ketika sebuah cangkir berisi es kopi di letakkan di mejanya, hampir tersenggol ketika dia akan membalik halaman. Terkejut, kepala Lisa langsung mencambuk melihat ke arah oknum yang mengejutkannya.

Dan disanalah dia, dengan mata terbelalak lebar penuh keterkejutan lanjutan di mana dia melihat kepala timnya datang dengan menawarkan senyum lebar dan memilih duduk di depannya. Menggeser cangkir es pada Lisa untuk segera berada dalam genggaman Lisa sendiri.

Lisa terkesiap saat Miss Jelita tertawa kecil seolah-olah ekspresinya saat itu adalah yang terlucu di dunia. Lisa menggigit bibir bawahnya dengan malu-malu, memaki dalam hati mengatai dirinya sendiri bahwa dia yakin dia terlihat seperti orang bodoh di depan Miss Jelita yang jelas-jelas dia kagumi dan dia jadikan panutan itu.

“Ini beneran buat saya, Miss?” Lisa bertanya dengan hati-hati. Perempuan yang lebih tua itu hanya tertawa sebelum memperlihatkan cangkirnya sendiri dan meneguk minuman yang sama. “Menurut kamu gimana?”

“eh” Lisa tergagap sebelum dia pada akhirnya menunduk sedikit menawarkan gestur terimakasih pada yang lebih tua. “Makasih banyak Miss Jelita. Saya jadi nggak enak karena Miss sendiri yang buatin buat saya. Besok biar saya yang buat minuman Mis Jelita, ya?”

Sejujurnya Lisa tidak pernah begitu dekat dengan Miss Jelita. Baginya perempuan itu hanya untuk dikagumi dari jauh, dan dia begitu segan karena merasa bahwa Mis Jelita adalah orang yang sangat jauh, dan keren dengan apapun yang dia kerjakan sehingga Lisa ingin menjadi seperti Mis Jelita suatu hari nanti.

“Nggak perlu, Lisa” Suara Mis Jelita terdengar begitu manis di telinga Lisa. Entah dia bias atau apa, tapi dia berasumsi bahwa memang Mis Jelita adalah orang yang lembut dan juga tegas secara bersamaan. “Saya bisa buat sendiri. Lagipula saya juga buatin itu buat kamu hitung-hitung buat bilang selamat atas kerja keras kamu. Juga, hari ini kinerja kamu bagus sekali, loh”

“Oh..” Lisa sedikit malu. Ini berarti dia harus meningkatkan kinerjanya agar lebih mengesankan Jelita kedepannya. Dia membuat catatan mental untuk dirinya sendiri. “Mungkin karena saya masih senang banget dengan ide saya yang dipertimbangkan oleh Pak Leo, Mis. Dan juga, maaf kalau itu rupanya sindiran buat saya karena kinerja saya yang sebelumnya tidak begitu memuaskan, Mis”

Senyum kecutnya hadir karena realisasi yang tiba-tiba. Namun itu semua terhapuskan ketika Mis Jelita hanya tertawa lebih keras lagi dan memukul bahunya dengan ringan seolah-olah dia sedang membanggakan Lisa dari sentuhan kecilnya itu.

“Kamu mikirnya kok jelek banget, sih, Lisa” Jelita menggeleng dengan tidak percaya, raut jenakanya datang tiba-tiba dengan kilatan yang membuat Lisa memerah. Malu sendiri dengan ucapannya.

“Aduh,” Ringisnya. “Maksunya, nggak begitu, Mis. Maksud saya-,”

Lisa berhenti ketika Jelita melambaikan tangannya, masih dengan senyum manis di wajahnya. Lisa tersenyum, menggigit bibir bawahnya, ada rasa senang yang meluap-luap kembali. Dia akan mencekik Hala lagi nanti, mungkin-, untuk menyalurkan perasaannya yang membuncah.

“Iya saya tau. Tapi saya nggak lagi mau nyindir atau ngomongin hal yang jelek-jelek buat kamu. Soalnya kamu salah satu anggota divisi saya dengan kinerja terbaik yang bisa saya minta” Matanya membola sesaat sebelum jari telunjuk menutup bibirnya seolah-olah mereka sedang berbagi rahasia. Lisa terkikik lucu. Bisa dipastikan pipinya pasti sakit sekali hari ini.

Jelita menghela napas kecil, menyilangkan kakinya ketika dia duduk nyaman dari kursi milik Ayu yang ia curi dari meja rekan kerjanya itu yang tidak sedang di tempat.

“Saya awalnya ingin menegur kamu setelah tau kamu diam-diam mencampurkan pekerjaanmu kedalam katalog yang sudah akan didiskusikan dengan Pak Leo” Matanya menajam sesaat. Lisa hampir tersedak. Dia tahu itu adalah awal yang baik, tapi kepalanya penuh di hari itu dan sangat berisik sehingga dia dengan gila melakukan hal yang seharusnya tidak diperbolehkan. Dia bahkan sudah lupa dengan hari itu, namun disinilah dia, tidak mendapatkan teguran, yang ada malah pujian dan rasa bangga yang membuatnya begitu berbunga.

“Tapi rupanya kesan yang diberikan pak Leo sangat positif sehingga pada akhirnya saya bisa lihat hasil produk dari rancangan kamu. Sumpah, saya nggak bohong kalau saya bilang itu cantik banget. Saya bahkan tergoda buat punya juga kalau produk itu sudah di luncurkan”

Apa-apaan kupu-kupu yang sekarang berterbangan dengan gaduh di perutnya?!

“Makasih ya, Lisa. Karena kamu saya bisa lihat hal secantik itu yang bahkan saya sendiri terpesona. Saya bangga banget dengan ide dan inovasi kamu” Dia kembali memuji dan Lisa rasanya hanya ingin terbang saja dan melebarkan sayap imajinernya.

“Tapi”

Oh.

Lisa menahan napasnya dengan tiba-tiba.

“Lain kali kalau kamu punya ide luar biasa lagi, tolong kamu diskusikan dulu dengan saya, oke? Jangan terlalu tiba-tiba dan membuat saya harus memutar otak untuk berbohong melindungimu di hadapan pak Leo, ya” Dia mengancam dengan matanya yang jahil, tidak begitu menggigit namun sarat dengan ketegasan di sana. Lisa pusing, dia bingung untuk merasa bersalah atau merasa sangat dihargai.

“Baik Miss. Saya minta maaf”

Jelita menggeleng lagi, kali ini dia memberikan tepukan hangat di bahu Lisa untuk yang kedua kalinya.

“Kali ini kamu lolos” Jelita menyeringai sebelum melanjutkan. “Terus kejutkan saya kedepannya,ya, Lisa? Tapi libatkan saya lebih dulu di dalamnya, oke?”

Tanpa sadar Lisa tertawa, dia bahkan tidak bisa menahan bagaimana rasa pusing dan pujian yang bertubi-tubi pada hari ini. Lisa hanya ingin melompat dan melakukan selebrasi besar-besaran.

“Baik, Miss. Terimakasih banyak. Saya nggak bakalan lupa, kok”

“Bagus kalau gitu”

Jelita bangkit dari kursinya. Meletakkan kembali di meja Ayu dengan rapi sebelum menggoyangkan cangkir es di tangannya sebagai kode bahwa dia tidak akan mengganggu kerjaan yang sedang dikerjakan anggotanya itu.

“Oke, Silahkan lanjutkan. Semangat, Nalisa”

Oh apakah semua keberuntungan Lisa banyak terpakai di hari senin ini?

Lisa tidak bisa banyak berpikir. Hanya kebahagiaan yang menggulungnya seperti ombak raksasa dan menyeretnya.

Diam-diam dia bertanya, Apa ada yang bisa lebih baik lagi dari hari ini?

Atau-,

Semuanya terbalik begitu saja ketika dia melihat Noren sedang berbingcang dengan Bos-nya di basement kantor ketika dia baru saja melangkahkan kaki keluar dari gedung.

Lisa Lupa bahwa, hari Senin belum sepenuhnya berakhir.

...…....

...🍁...

...(Senin Belum Sepenuhnya Berakhir-End) ...

Terpopuler

Comments

Nona_Venus🍆💞

Nona_Venus🍆💞

mampir kak

2022-03-31

1

Miels Ku

Miels Ku

tatapan skeptis? hmm...

2022-03-30

1

Shandy

Shandy

Ditunggu kelanjutannya thor

2022-03-04

8

lihat semua
Episodes
1 Prolog 0.0 : Planning to Escape With The Fire On Top
2 Calon Suami Dan Perjalan Pertama
3 Bukan Lelucon
4 Percaya
5 Bom Pertama
6 (Tidak) Saling Mengenal
7 Siapa Pemenangnya
8 Awal Gangguan
9 Perlakuan Aneh
10 Perlahan-lahan, Sedikit Demi Sedikit
11 Kejutan Baru, Terus Berlanjut
12 Belum Terbiasa
13 Ajakan Yang Tidak Terduga
14 Sedikit Dari Zona Nyamannya
15 Senin Belum Sepenuhnya Berakhir
16 Akhir Hari Senin : Berantakkan Dalam Satu dan Lain Cara
17 Bro Time: Perasaan dan Keputusan Satu Sisi (Kembali ke Masa-Masa Itu)
18 Bro Time: Perasaan dan Keputusan Satu Sisi (Menyakiti atau Disakiti)
19 Tentang Rasa (Sinar Sight) Part.1
20 Tentang Rasa (Sinar Sight) Part. 2
21 Tentang rasa (Fajri Sight) : Perasaan yang Sama; Pengecut VS Sembrono
22 Tentang Rasa (Fajri Sight) : Perasaan Yang Sama; Pengecut VS Sembrono Part. 2
23 Tentang Rasa (Hala Sight) : Bibir Terkatup, Hati Berbisik
24 White Bear Dandelion Doll dan Pembicaraan Tengah Malam Part. 1
25 White Bear Dandelion Doll dan Pembicaraan Tengah Malam Part.2
26 Kegigihan Yang Tak Pernah Padam
27 If You Cant Fight Him, Join Him Part.1
28 If You Cant Fight Him, Join Him Part.2
29 If You Cant Fight Him, Join Him Part.3
30 Mesin Capit dan 20 Pertanyaan Part.1
31 Mesin Capit dan 20 Pertanyaan Part.2
32 Mesin Capit dan 20 Pertanyaan Part.3
33 Dua Sisi : Intermezzo; Rubah
34 Perasaan Yang Mulai Terbiasa
35 Penjadwalan: Intermezzo; Saran
36 Feels Like Dejavu But Not At The Same Time
37 Plain Milo V.S Daging Panggang Bumbu Part.1
38 Plain Milo V.S Daging Panggang Bumbu Part.2
39 Daun Gugur; Intermezzo: Spesial Untuk Dua Orang
40 Daun Gugur; Intermezzo: On Their Way 0.5
41 Daun Gugur; Spesial Untuk Dua Orang : Lainnya
42 Daun Gugur : Impian Dan Pilihan Terakhir
43 Impian Dan Pilihan Terakhir Part. 2
44 Daun Terakhir Yang Telah Gugur: Tak Bisa Lebih Dari
45 Tak Bisa Lebih Dari Part. 2 End
46 Sudah Terbiasa; Kakak Beradik Dan Nama Keramat
47 Sudah Terbiasa; Familiar
48 Sudah Terbiasa; Kebersamaan dan Ajakan ; Rindu
49 Sudah Terbiasa; Bus, Halte dan Awal lain?
50 Sudah Terbiasa; Teman.
51 Rencana Noren; Bola Kristal Dan Keputusan
52 Rencana Noren; Pertemuan Rahasia Keluarga
53 Keputusan Sinar; Kabar Pertama
54 Keputusan Sinar; Reaksi
55 Keputusan Sinar; Desak Langkah Mundur
56 Tempat Pelarian; Intermezzo: Pertanyaan
57 Tempat Pelarian; Calon Rumah Dimana Hati Tertuju. Part 1
58 Tempat Pelarian; Calon Rumah Dimana Hati Tertuju. Part 2
59 Tempat Pelarian; Calon Rumah Dimana Hati Tertuju. Part 3
60 Kekhawatiran Saudara; Maaf
61 Hari Baik; Percakapan Santai Yang Tidak Terduga Part 1
62 Hari Baik; Percakapan Santai Yang Tidak Terduga Part 2
63 Date? Double Date? Nah
64 Double Date. Hala Si Obat Nyamuk.
65 Double Date? Hala Si Obat Nyamuk Part. 2
66 Kepanikan Sinar
67 Pengakuan Sinar
68 Perjalanan Yang Direncanakan
69 Perjalanan Yang Direncanakan Part. 2
70 Perjalanan Yang Direncanakan Part. 3
71 Perjalanan Yang Direncanakan; Dicampakkan?
72 Permintaan Maaf Diterima Dengan Banyak Syarat
73 Acara Kelompok; Presented by Noren
74 3 Bulan Yang Hilang
75 Acara Kelompok; Presented by Noren Part. 2 - End
76 Hancur Yang Tak Terduga
77 Tempat Pelarian Yang Dipaksakan
78 Tampilan Baru dan Undangan Makan Malam
79 Acara Makan Malam Dua Keluarga Besar
80 Amukan Nalisa
81 Kakak dan Adik; Pertengkaran Saudara
82 Kakak dan Adik; Hubungan Darah Yang Kental
83 Perayaan Tahun Baru dan Harapan Kecil
84 Tentang Rasa (Heksa Sight) : Emosi Yang Tidak Bisa Dijabarkan
85 Kunjungan Noren
86 Undangan Pernikahan
87 Ibu dan Alasan Restu
88 Kembalinya Nalisa; (Nalisa dan Rencana Gilanya)
89 Hati Yang Dingin; Noren dan Perasaanya
90 Konfrontasi; Hasil Reaksi Heksa 1/2
91 Konfrontasi; Hasil Reaksi Heksa 2/2
92 Pengkhiatan Dan Rencana Yang Harus Terus Berjalan
93 Misi Rahasia Dan Kekhawatiran Alpino
94 Tentang Rasa (Jihan Sight); Realisasi Hati
95 Permintaan Maaf Dan Rasa Bersalah; Takut 1/1
96 Permintaan Maaf Dan Rasa Bersalah; Takut 2/2
97 Hari Pernikahan (Noren Sight)
98 Hari Pernikahan (Nalisa Sight)
99 Pernikahan Yang Hancur; Antara Hidup Dan Mati
100 Pernikahan Yang Hancur; Rumah Sakit
101 Pernikahan Yang Hancur; Noren
102 Intermezzo; Nalisa & Alpino; Something Shifted
103 Pangeran Berkuda Putih; Cinta Pertama?
104 New Season Just Arrived [Going to Season 2 ]
105 [SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih; Pantai dan Kemuliaan Senja
106 [SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih; Blooming
107 [SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih; Kecurigaan Kecil
108 [SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih: Kunjungan Alpino
109 [SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih; ARSENIO
Episodes

Updated 109 Episodes

1
Prolog 0.0 : Planning to Escape With The Fire On Top
2
Calon Suami Dan Perjalan Pertama
3
Bukan Lelucon
4
Percaya
5
Bom Pertama
6
(Tidak) Saling Mengenal
7
Siapa Pemenangnya
8
Awal Gangguan
9
Perlakuan Aneh
10
Perlahan-lahan, Sedikit Demi Sedikit
11
Kejutan Baru, Terus Berlanjut
12
Belum Terbiasa
13
Ajakan Yang Tidak Terduga
14
Sedikit Dari Zona Nyamannya
15
Senin Belum Sepenuhnya Berakhir
16
Akhir Hari Senin : Berantakkan Dalam Satu dan Lain Cara
17
Bro Time: Perasaan dan Keputusan Satu Sisi (Kembali ke Masa-Masa Itu)
18
Bro Time: Perasaan dan Keputusan Satu Sisi (Menyakiti atau Disakiti)
19
Tentang Rasa (Sinar Sight) Part.1
20
Tentang Rasa (Sinar Sight) Part. 2
21
Tentang rasa (Fajri Sight) : Perasaan yang Sama; Pengecut VS Sembrono
22
Tentang Rasa (Fajri Sight) : Perasaan Yang Sama; Pengecut VS Sembrono Part. 2
23
Tentang Rasa (Hala Sight) : Bibir Terkatup, Hati Berbisik
24
White Bear Dandelion Doll dan Pembicaraan Tengah Malam Part. 1
25
White Bear Dandelion Doll dan Pembicaraan Tengah Malam Part.2
26
Kegigihan Yang Tak Pernah Padam
27
If You Cant Fight Him, Join Him Part.1
28
If You Cant Fight Him, Join Him Part.2
29
If You Cant Fight Him, Join Him Part.3
30
Mesin Capit dan 20 Pertanyaan Part.1
31
Mesin Capit dan 20 Pertanyaan Part.2
32
Mesin Capit dan 20 Pertanyaan Part.3
33
Dua Sisi : Intermezzo; Rubah
34
Perasaan Yang Mulai Terbiasa
35
Penjadwalan: Intermezzo; Saran
36
Feels Like Dejavu But Not At The Same Time
37
Plain Milo V.S Daging Panggang Bumbu Part.1
38
Plain Milo V.S Daging Panggang Bumbu Part.2
39
Daun Gugur; Intermezzo: Spesial Untuk Dua Orang
40
Daun Gugur; Intermezzo: On Their Way 0.5
41
Daun Gugur; Spesial Untuk Dua Orang : Lainnya
42
Daun Gugur : Impian Dan Pilihan Terakhir
43
Impian Dan Pilihan Terakhir Part. 2
44
Daun Terakhir Yang Telah Gugur: Tak Bisa Lebih Dari
45
Tak Bisa Lebih Dari Part. 2 End
46
Sudah Terbiasa; Kakak Beradik Dan Nama Keramat
47
Sudah Terbiasa; Familiar
48
Sudah Terbiasa; Kebersamaan dan Ajakan ; Rindu
49
Sudah Terbiasa; Bus, Halte dan Awal lain?
50
Sudah Terbiasa; Teman.
51
Rencana Noren; Bola Kristal Dan Keputusan
52
Rencana Noren; Pertemuan Rahasia Keluarga
53
Keputusan Sinar; Kabar Pertama
54
Keputusan Sinar; Reaksi
55
Keputusan Sinar; Desak Langkah Mundur
56
Tempat Pelarian; Intermezzo: Pertanyaan
57
Tempat Pelarian; Calon Rumah Dimana Hati Tertuju. Part 1
58
Tempat Pelarian; Calon Rumah Dimana Hati Tertuju. Part 2
59
Tempat Pelarian; Calon Rumah Dimana Hati Tertuju. Part 3
60
Kekhawatiran Saudara; Maaf
61
Hari Baik; Percakapan Santai Yang Tidak Terduga Part 1
62
Hari Baik; Percakapan Santai Yang Tidak Terduga Part 2
63
Date? Double Date? Nah
64
Double Date. Hala Si Obat Nyamuk.
65
Double Date? Hala Si Obat Nyamuk Part. 2
66
Kepanikan Sinar
67
Pengakuan Sinar
68
Perjalanan Yang Direncanakan
69
Perjalanan Yang Direncanakan Part. 2
70
Perjalanan Yang Direncanakan Part. 3
71
Perjalanan Yang Direncanakan; Dicampakkan?
72
Permintaan Maaf Diterima Dengan Banyak Syarat
73
Acara Kelompok; Presented by Noren
74
3 Bulan Yang Hilang
75
Acara Kelompok; Presented by Noren Part. 2 - End
76
Hancur Yang Tak Terduga
77
Tempat Pelarian Yang Dipaksakan
78
Tampilan Baru dan Undangan Makan Malam
79
Acara Makan Malam Dua Keluarga Besar
80
Amukan Nalisa
81
Kakak dan Adik; Pertengkaran Saudara
82
Kakak dan Adik; Hubungan Darah Yang Kental
83
Perayaan Tahun Baru dan Harapan Kecil
84
Tentang Rasa (Heksa Sight) : Emosi Yang Tidak Bisa Dijabarkan
85
Kunjungan Noren
86
Undangan Pernikahan
87
Ibu dan Alasan Restu
88
Kembalinya Nalisa; (Nalisa dan Rencana Gilanya)
89
Hati Yang Dingin; Noren dan Perasaanya
90
Konfrontasi; Hasil Reaksi Heksa 1/2
91
Konfrontasi; Hasil Reaksi Heksa 2/2
92
Pengkhiatan Dan Rencana Yang Harus Terus Berjalan
93
Misi Rahasia Dan Kekhawatiran Alpino
94
Tentang Rasa (Jihan Sight); Realisasi Hati
95
Permintaan Maaf Dan Rasa Bersalah; Takut 1/1
96
Permintaan Maaf Dan Rasa Bersalah; Takut 2/2
97
Hari Pernikahan (Noren Sight)
98
Hari Pernikahan (Nalisa Sight)
99
Pernikahan Yang Hancur; Antara Hidup Dan Mati
100
Pernikahan Yang Hancur; Rumah Sakit
101
Pernikahan Yang Hancur; Noren
102
Intermezzo; Nalisa & Alpino; Something Shifted
103
Pangeran Berkuda Putih; Cinta Pertama?
104
New Season Just Arrived [Going to Season 2 ]
105
[SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih; Pantai dan Kemuliaan Senja
106
[SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih; Blooming
107
[SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih; Kecurigaan Kecil
108
[SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih: Kunjungan Alpino
109
[SEASON 2] Pangeran Berkuda Putih; ARSENIO

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!