Bagian-17

***************

Happy reading

**************

.

.

.

"Br*ngsek!!! " pekikan Sagi di sertai bunyi pecahan kaca yang berjatuhan membuat Joshua di depannya hanya bisa menundukkan kepala semakin dalam.

Mereka baru mendapat kabar jika satu di antara tiga pembunuh bayaran yang di sewa Joo tempo hari, tewas di tangan Andrew. Sedangkan yang lain sudah menghilang tanpa jejak.

"Kau bilang mereka dapat di andalkan, Joshua! Aku sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu." berang Sagi lagi.

Joo menghela, ia mulai memberanikan diri untuk menatap kemarahan Sagi. Memang mereka adalah sahabat, namun jika menyangkut tentang Alluna - wanita yang di cintai Sagi, lelaki itu bisa menjadi psikopat yang tak kenal ampun.

"Mereka yang terbaik, Gi. Kinerja mereka bahkan tak pernah gagal, aku tak tahu mengapa bisa jadi kacau seperti sekarang." desah Joo menjambak rambutnya lelah. "kecuali jika Pamanmu itu sudah mengetahui rencana kita sejak awal, maka bukan sebuah hal yang mustahil bagi dirinya untuk menghindari rencana kematiannya mengingat betapa pintar dan berkuasanya dia, Gi! ". Tambah Joo membuat Sagi terdiam.

Joshua benar. Andrew adalah lelaki pintar dan berkuasa.

"Arghhh!!! " pekik Sagi lagi. Kali ini pria itu menjambak rambutnya sendiri kuat, menyalurkan segala emosi dan frustasi yang membuat kepalanya serasa ingin pecah.

Lalu, "Aku akan menghancurkannya sendiri dengan tanganku." tekad Sagi dengan senyum sinis tersungging di wajah tampannya.

***

"Nona?! ".

Alluna yang baru akan merenggangkan otot tubuhnya tersebut seketika menoleh saat seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Kurangnya pencahayaan di tenda pengungsian ini harus membuat dirinya menyipitkan mata agar dapat melihat dengan jelas siluet orang yang berdiri jauh beberapa meter di depannya itu.

Dahi mulus Luna mengernyit akibat tak dapat mengenali orang tersebut, padahal jarak mereka hanya tersisa satu meter saja.

"S-siapa?! ". Alluna beratanya ragu membuat lelaki di depannya itu menunduk dengan tangan mengusap tengkuknya yang tak gatal.

Lelaki yang memakai baju hitam lengkap dengan jaket kulit berwarna senada itu tersenyum canggung sembari membuang pandang kearah lain. "Aku Boy." ucap lelaki itu, namun tak menjawab pertanyaan Luna tadi. Karna nyatanya gadis bertubuh ramping itu masih tetap mengerutkan dahi. Ia tetap tak dapat mengenali sosok Pria di hadapannya saat ini.

Senyum Boy semakin kaku saja, namun kali ini ia memberanikan diri menatap wajah Luna yang di terpa sinar rembulan. Tetap cantik meski Boy tahu jika gadis itu tak lagi memakai make-up.

"Hum itu, ketika di villa beberapa bulan yang lalu - salah satu bodyguard Master Kilburn." ucap Boy membuat gerakan seolah pundaknya tengah di taruh beban berat.

"Ah. Aku ingat! " pekik Alluna spontan dengan bibir merekah.

Jika membicarakan bodyguard dan villa, Luna langsung terbayang dengan lelaki berbaju hitam yang dulu pernah memanggulnya seperti karung beras.

"Kau yang itukan?! Yang dulu memanggulku seperti karung beras?! ". Tunjuk Luna tepat ke arah hidung mancung milik Boy.

Pria itu kontan terkekeh sembari mengangguk membenarkan. Tak menyangka jika Alluna masih mengingat bagian itu.

"Kau sendirian?! Di mana Oom tua itu, sekarang?! Aku ingin sekali membuat perhitungan kepadanya. Berani-beraninya dia tetap mengirimmu untuk memata-mataiku! Padahal aku sudah mengatakan, jika aku ke Painan hanya untuk bekerja". Luna menggembungkan pipi dengan bibir yang masih menggerutu, sementara mata karamelnya menatap beringas ke arah belakang Boy.

Ia tengah mencari keberadaan Andrew di balik punggung lebar Boy.

Boy terkekeh dengan mengikuti pandang Luna sembari menggeleng geli. Ketimbang seseorang yang ingin memberi perhitungan, Alluna lebih mirip seseorang yang tengah menahan rindu.

"Aku datang sendirian, nona. Painan adalah kampung halaman tempat di mana aku di lahirkan, dan kebetulan Master memberikan kami hari libur. Jadi aku memilih pulang ke kampung halamanku saja." jelas Boy membuat pupil Luna sedikit bergetar, "Master benar-benar tak menyuruhku untuk memata-mataimu, nona." tambah Boy sedikit menggoda Luna di akhir kalimatnya.

Ia sangat yakin jika wanita milik atasannya ini tengah membohongi perasaannya sendiri.

"Ah. Begitu?!"

Hampir saja Boy tak bisa menahan tawanya ketika mata karamel Luna meredup, namun ia tetap mengangguk sembari tersenyum membenarkan.

Kenapa aku merasa kecewa?!

Batin Luna membuang pandang kearah langit. Tempat dimana, ribuan bintang bertaburan. Seolah semua korban gempa tadi pagi mengatakan jika mereka telah bahagia di atas sana.

"Tetapi - Master mengatakan jika ia memang berencana menyusul anda ke Painan." kata Boy tiba-tiba membuat Luna membola, ia berusaha menahan kedua sudut bibirnya agar tak tertarik ke atas.

Tetap memperlihatkan wajah tampa ekspresi ke pada Boy. Namun itu hanya bertahan beberapa detik saja, karna setelahnya Luna sudah tersenyum lebar dengan pipi merona.

"Ah. Oom-oom tua itu selalu saja semaunya! ". Ketus Luna tak suka, namun bibirnya malah tertarik semakin tinggi. Membuat Boy di sebelahnya hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir.

Dasar wanita!

.

.

.

Alluna baru akan terlelap ketika seseorang mengetuk pintu penginapannya secara brutal dari luar. Dengan sedikit bersungut-sungut, ia pun melangkah gontai sembari mengikat tinggi rambutnya yang berantakan.

"Siapa sih?! Tak sabaran sekali." dengus gadis itu ketika sampai di depan pintu. Tak adanya interkom di penginapan ini, membuat dirinya tak bisa mengetahui siapa yang tengah ber tamu.

Klek.

Pintu terbuka, Luna pun sudah siap dengan segala sumpah serapahnya ketika melihat senyum tak berdosa milik Andrew. Lelaki itu mengerling dengan tangan yang langsung merengkuh tubuh Luna, untuk di dekapnya.

"Aku begitu merindukanmu, Alluna Viviane." lirih Andrew sembari menyembunyikan kepala di ceruk leher Luna dan mulai menghirup aroma gadis itu rakus.

Seketika Alluna meremang. Tubuh dan kakinya serasa lemas lantaran Andrew baru saja menyebut namanya dengan benar. Biasanya lelaki itu lebih cenderung memanggilnya dengan sebutan 'sayang, honey atau baby'. Dan ketika mendengar suara rendah Andrew seperti sekarang, entah mengapa tangan Luna terangkat secara reflek untuk membalas pelukan Pria itu tak kalah erat. Matanya menutup perlahan dengan kepala yang di taruh sempurna ke atas dada keras milik Andrew.

Aku juga merindukanmu. Seharusnya, perkataan itu sudah di keluarkan Luna sedari tadi, mengingat eratnya pelukannya di pinggang Andrew. Namun lelaki yang lebih tua 20 han tahun darinya itu, malah menarik wajah Luna untuk mempertemukan bibir mereka.

Alluna terkejut, tentu saja. Namun ia tak berusaha melepaskan tautan lembut Andrew, malah sekarang ia pun ikut membalas permainan Andrew di bibirnya dengan tangan melingkar erat di leher Pria itu. Mereka saling ******* dan mengecup di depan pintu penginapan milik Luna, tak lagi peduli jika nanti akan ada orang yang melihat adegan tak senonoh mereka tersebut, meski itu tak mungkin terjadi karna di sekeliling penginapan Luna, sudah di jaga ketat oleh orang-orang suruhan Andrew.

"Sepertinya kau juga sangat merindukanku." senyum Andrew ketika tautan bibir mereka terlepas. Ia merengkuh pipi Luna dan mempertemukan dahi mereka. "kau tak menolak ciumanku." tambahnya lagi membuat wajah Luna seketika merona panas.

Andrew yang melihat itu semakin ingin menggoda Luna saja, namun sebuah suara membungkam bibir Pria itu telak. Gantian wajahnya yang merah padam saat ini, sementara Alluna menggunakan kesempatan itu untuk mendorong dada Andrew, menjauh.

Kenapa - di saat yang tidak tepat!!? Rutuk Andrew dalam hati.

Suasana romantis yang susah payah di bangunnya barusan, harus rusak akibat bunyi perutnya sendiri. Aish! Dengan pandangan meringis, Andrew menatap Luna yang tengah menahan tawa.

"Aku langsung ke sini karna begitu merindukanmu." ucap Andrew dengan bibir mengkerut.

Luna bersedikap dada, memandang kearah Andrew geli. "Seharusnya kau tetap tak melewatkan waktu makanmu, Oom." ucapnya melangkah semakin mendekat kearah Andrew, "sudah tua begini, tapi tingkah mu masih seperti remaja saja." cibir Luna menambahkan.

Namun sebelah tangannya menggenggam jemari Andrew erat, ia membawa lelaki itu ke arah dapur penginapan. Andrew yang terkejut dengan reaksi tak biasa dari Luna barusan, hanya mengikuti langkah gadis itu dalam diam.

"Tunggu di sini." suruh Luna setelah mendudukkan Andrew di depan meja makan.

Pria itu seketika mengangguk kaku, dan membiarkan Luna meninggalkannya untuk membuat makan malam.

Gadis itu membuka kulkas dua pintu di depannya dengan kening berkerut bingung. Setelahnya menatap Andrew dengan sebelah alis terangkat, "Tak banyak bahan masakan di sini." tunjuk Luna, "apa ada makanan tertentu yang ingin kau makan, Oom?! ". Tanya Luna.

Andrew menggeleng dengan cepat, "Aku pemakan segalanya." senyumnya, "hanya sedikit alergi pada kayu manis." tambah Pria itu lagi.

"Alergimu sangat aneh, tuan! ". Cibir Luna dengan kekehen ringan.

.

.

.

Sinar Mentari yang masuk dari celah ventilasi tak membuat tidur Andrew dan juga Luna terganggu. Mereka malah semakin merapatkan badan saling memeluk. Namun Sebenarnya Luna sudah terbangun sejak tadi. Hanya saja pelukan yang Andrew berikan begitu menghangatinya, membuat ia belum siap untuk kehilangan itu.

Mata Luna perlahan terbuka kembali membuatnya langsung menatap wajah tampan serupa dewa milik Andrew yang terlihat begitu damai.

"Selamat pagi." bisik Luna dengan bibir merekah lebar. Tangannya terangkat untuk menyentuh helaian rambut kelam milik Andrew. "kau terlihat seperti malaikat jika sedang tertidur. Namun akan terlihat seperti malaikat pencabut nyawa jika terbangun." kekeh Luna mulai memainkan rambut Andrew di genggamannya.

Mata karamelnya memandang wajah Pria itu lekat, "Bagaimana ini?! Sepertinya aku jatuh cinta padamu, Oom. Ini membuatku tak bisa lari dari pelukanmu, kau serasa candu ternyaman bagiku. Apa kau ingin jadi kekasihku saja - Oom?!". Luna terkikik, ia memajukan wajahnya untuk mencuri kecupan di bibir tebal milik Andrew yang masih terlelap.

"Bodoh! Mana mungkin kau menjawab iya." kikik Luna lagi, ia telah memastikan jika Andrew benar-benar tertidur. "dasar tukang tidur! ". Setelah mengatai Pria tua itu dan menjepit hidung mancung Andrew sebentar, Luna mulai melepas pelukan Andrew di pinggangnya secara perlahan.

"Tidur yang nyenyak - sayang." bisik Luna tersenyum manis sembari merapikan letak selimut Andrew.

.

.

.

***Bersambung...

jangan lupa vote dan komen yaaa! 😍😘***

Terpopuler

Comments

🇵🇸Kᵝ⃟ᴸ

🇵🇸Kᵝ⃟ᴸ

sepertinya hipnotis nya mulai memudar ya

2024-12-13

0

Made Ayu

Made Ayu

thor klo andrew 39
luna 22
kan beda umur 17th

2021-07-28

1

regina putri

regina putri

omoo omoo omooo

2020-09-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!