**************
Happy reading
***************
.
.
.
“Dokter?! ”.
Luna menoleh dengan senyum kaku ketika mendapati seorang pria yang baru saja memanggil namanya ragu. Ia baru saja keluar dari ruang operasi setelah menghabiskan waktu 12 jam di dalam sana.
Mendapati senyum kaku gadis didepannya, Lukman menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Perkenalkan. Aku Lukman ” ucapnya memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan kanan, “Ayah dari gadis kecil yang baru saja selesai kau operasi.” lanjut Lukman lagi membuat Luna ber Oh ria.
Gadis itu memasang senyum ramah dan segera menyambut uluran tangan Lukman, hangat. “Oh. Senang melihatmu, apakah anda baik-baik saja?! ” tanya Luna ketika melihat dahi Lukman yang terluka. Tangan mulusnya terangkat reflek ke arah luka Lukman berada, membuat pria itu pun reflek memundurkan kepalanya.
“O-oh. Ini hanya luka kecil.” jelas Lukman sedikit gugup.
Ia menatap mata Luna cukup lama, namun menggeleng pelan setelahnya. Dia masih tidak mengingatku?! Batin Lukman sedikit merasa bersalah.
Pria itu terbayang akan tahun tahun silam yang membuatnya harus melarikan diri bersama sang putri. Waktu itu, Brayta baru berumur 6 tahun saat mengidap penyakit leukimia. Lukman merasa begitu terpukul, mengapa penyakit mematikan itu bisa menyerang anak semata wayangnya?!
Tuhan sangat tidak adil pikirnya saat itu. Setelah mengambil istrinya tercinta, Tuhan juga berencana untuk mengambil putri semata wayangnya?!
Segala upaya Lukman lakukan demi kesembuhan Brayta. Mulai dari melakukan kemoterapi sampai mencari pendonor yang sesuai. Pekerjaan Lukman sebagai Dokter psikiater tak membuat lelaki tampan itu kesulitan dana. Hanya saja, meski Lukman telah mengeluarkan banyak uang, namun ia tetap tak bisa menemukan pendonor untuk Brayta. Sampai seorang pemuda yang mengaku bernama belakang Pratu datang menemuinya. Lelaki itu membuat sebuah penawaran yang terdengar sangat menggiurkan bagi seorang Ayah yang putus asa.
Ia menerima tawaran lelaki tersebut dengan syarat, putrinya harus sembuh dahulu.
Lelaki itu menyanggupi permintaan Lukman. Entah dari mana ia langsung mendapatkan pendonor untuk Brayta dengan begitu mudah. Padahal Lukman sendiri telah mengeluarkan uang yang sangat banyak namun tetap tak bisa mencarikan pendonor untuk Brayta Dielya Lukman, sang Putri.
Beberapa bulan kemudian, Brayta di nyatakan sembuh total karena tak ada reaksi penolakan dari tubuh kecil gadis itu. Lukman pun merasa bahagia dan sangat berterima kasih kepada lelaki itu, tanpa tahu dosa besar telah menunggunya di kemudian hari.
“Pak Lukman! ”.
Wajah panik Luna berada beberapa jengkal dari wajah Lukman membuat wajah lelaki itu seketika memanas. Ia kaget. Tentu saja. Posisi mereka yang terlalu dekat membuat Lukman dapat mencium aroma segar yang menenangkan dari tubuh Luna.
“Kau baik-baik saja?! Wajahmu sangat merah.” ucap Luna cemas. Pasalnya, ia telah memanggil nama pria itu berkali kali, namun Lukman tetap terdiam dengan pandangan kosong. Luna takut jika benturan di kepala Pria itu yang mempengaruhi tingkahnya barusan.
“O-eoh. Aku baik-baik saja.” gugup Lukman berucap.
Mata Luna kontan menyipit, ia terus memperhatikan Lukman secara seksama. “Kau benar-benar tak apa?!” tanya-nya lagi ingin memastikan.
Lukman mengangguk yakin.
“Baiklah kalau begitu.” menipiskan bibirnya, Luna baru saja hendak berbalik sebelum suara Lukman kembali menghentikan langkahnya.
“Terimakasih! Terimakasih untuk tetap membuatnya hidup.” mata berembun Lukman tak lepas memandang Luna yang sudah berdiri jauh beberapa meter darinya. “aku tak akan melupakan kebaikanmu, dan aku berjanji akan membalasmu suatu hari nanti.” sambung Lukman tersenyum.
Meski tak mengerti, Luna tetap balas tersenyum sopan dengan anggukan kecil. “Itu sudah menjadi tugasku.” balasnya. Ia berpikir jika Lukman sangat menyayangi anaknya.
Setelah mengatakan itu, Luna kembali melanjutkan langkah kaki sembari merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku.
“Aku akan membalas kebaikanmu.” ulang Lukman, masih terus memperhatikan punggung Luna yang semakin mengecil dengan senyum tipis.
***
Suasana temaram dari tempat parkir itu terasa begitu mencekam. 3 orang yang sedari tadi telah berada di posisinya masing-masing mulai menatap ke arah satu tujuan — Andrew Kilburn, target mereka yang tengah berjalan santai menuju parkiran khusus tempat di mana, mobil sport hitamnya berada.
Baru saja tangan Andrew ingin membuka pintu mobilnya, seorang pria menggunakan penutup wajah berwarna hitam menodongkan sebuah pistol ke arah kepalanya.
“Angkat tanganmu! ”. Perintah pria bertopeng itu yang tak langsung di turuti oleh Andrew.
Lelaki itu mendengus malas. Matanya tak sengaja menatap mobil sedan tampa plat di arah jam 12 yang tengah menyoroti wajahnya dengan lampu jauh.
“Ck. Aku lelah, berhentilah bermain-main.” decak Andrew dengan nada datar.
Pria yang menodongkan pistol di kepalanya, terkekeh bengis. “Kau sangat lucu pak tua. Namun sayang umurmu hanya bertahan sampai malam ini.” cibir lelaki itu yang adalah Jackson.
“Apa ada kata-kata terakhir yang ingin kau sampaikan?! Oh~ aku bersedia mendengarkannya untuk terakhir kali.” Jackson mengeluarkan suara menyedihkan yang terlihat sangat di paksa kan.
Alis Andrew terangkat penuh. Wajah datar tampa takut miliknya menatap tajam kearah Jackson yang sekarang merangkul bahunya erat.
“Permainan membosankan apa yang kalian coba tunjukkan kepadaku?! Itu sama sekali tak menarik.” cibir Andrew, “jika kau ingin membunuhku, maka lakukanlah dengan segera. Bertindak seperti sekarang hanya akan membuat dirimu sendiri kehabisan waktu.” kekeh Andrew membuat Jackson meradang. Lelaki berkebangsaan Hongkong itu langsung memberikan aba-aba kepada Kiyoshi untuk menabrak Andrew sekarang juga.
“Simpan omong kosongmu untuk pembelaan di neraka nanti pak tua! ”. Cibir Jackson sebelum minggir ke tepi untuk memberi akses kepada Kiyoshi.
Andrew tak bergeming dari tempat berdirinya tadi, membuat Jackson dan juga Kiyoshi berpikir bahwa lelaki itu tengah menahan takut sekarang. Padahal tanpa Jackson maupun Kiyoshi sadari, Andrew sempat tersenyum sinis sebelumnya.
“Kau akan mati dan aku akan mendapatkan bayaranku.” kekeh Kiyoshi memekik senang. Terbayang pundi-pundi bernilai besar yang akan singgah ke ATM-nya sebentar lagi. Ia pun bersiap melajukan mobil merahnya dengan kecepatan penuh kearah Andrew sebelum panggilan dari Budi mengalihkan perhatiannya. Dahi Kiyoshi mengernyit heran, namun ia tetap mengangkat panggilan dari Budi tersebut.
“Hallo! ”. Ucapnya yang tak mendapatkan balasan apapun dari si penelpon.
“Budi Prasetyo!?” kesal Kiyoshi dengan gigi beradu, namun Budi masih tak menjawab panggilannya membuat Pria bercodet itu memutuskan panggilannya sepihak, lalu kembali fokus kepada Andrew di depan sana.
“Kau benar-benar ingin mati, eoh?! ” kekeh Kiyoshi menggeleng ketika mendapati Andrew yang masih juga tak beranjak pergi. “baiklah. Aku akan mengabulkan keinginanmu itu.” tambah Kiyoshi mulai menjalankan mobilnya.
Parkiran yang begitu luas dan besar, membuat Kiyoshi berada jauh dari Andrew itu semakin menambah kecepatan mobilnya.
6 meter.
7 meter.
5 meter.
Sudut bibir Kiyoshi terangkat puas. Ia menghitung jarak yang tersisa dalam hati sembari membayangkan lembar rupiah yang akan di terimanya nanti.
4 meter.
3 meter. Dan — Jeduarrrrrr!!!
Mobil yang di kendarai Kiyoshi terbalik ke arah belakang dan langsung terbakar akibat menginjak bom waktu, membuat Jackson seketika terkejut.
Sementara Budi menggeleng dengan mata tertutup. Tadinya, ia menemukan sesuatu yang terasa ganjal saat ingin meretas sistem perkantoran ini. Namun ia tak bisa menebak itu apa. Sampai beberapa menit yang lalu. Budi yang telah mengetahui bahwa ini jebakan langsung mengabari Kiyoshi. Sialnya, orang-orang Andrew sudah lebih dulu menyergapnya.
Ruang parkir yang terlihat sepi dengan lampu temaram tadi, ternyata hanyalah kamuflase saja. Padahal di setiap sudut telah berdiri para sniper berbaju anti peluru. Budi juga baru menyadari ada yang aneh dengan langit langit parkiran. Di sana tertempel penuh corong corong panjang yang Budi yakini adalah gas air mata.
Andrew melirik ke arah Jackson yang sekarang tengah mengarahkan muncung pistolnya dengan tangan gemetar. “Kau menjebak kami?! ” suara Jackson terdengar bergetar. Namun ia menutupinya dengan handal.
Tawa nyaring Andrew seketika menggema memenuhi ruangan parkir tersebut. “Kau kira, siapa lawanmu nak?!” cibirnya dengan mata berair akibat terlalu banyak tertawa.
“Lihat sekelilingmu. Kau sedang berada di kandang macan! ”. Tambah Andrew lagi.
Mata Jackson mengedar seperti suruhan Andrew. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat para sniper bermunculan satu persatu. Mereka sangat banyak sampai Jackson tak yakin ada berapa orang. Dari kumpulan para sniper tadi, Budi pun muncul dengan kepala di piting oleh seseorang yang Jackson ketahui bernama Suga. Lelaki itu tak sendiri, ada beberapa sniper lainnya yang juga tengah mengarahkan pistol ke kepala Budi.
“Bang.” panggil Budi lirih membuat Jackson menurunkan pistolnya yang tak seberapa itu.
Ia menatap Budi seolah berkata ‘semua akan baik-baik saja.’
“Jangan sakiti anak itu. Cukup bunuh saja aku! ” pinta Jackson yang telah berlutut. Ia tahu jika Budi tak berniat melakukan hal kotor seperti sekarang, namun lelaki itu sedang membutuhkan uang untuk pengobatan saudaranya. Meski berprofesi sebagai pembunuh bayaran, tapi Jackson juga masih punya rasa iba terhadap yang lain.
Andrew mengulas senyum culas, “Aku tak akan membunuh kalian. ” ucapnya membuat Jackson serta Budi menoleh dengan mata melebar. “pergilah sekarang sebelum aku berubah pikiran.” lanjut Andrew lagi.
Budi sudah di lepaskan oleh Suga, namun para sniper tetap mengarahkan muncung pistol mereka kearah Budi maupun Jackson.
“Kau tak akan membunuh kami?! ” Jackson menggeleng tak percaya. “setelah semua ini?! ”. Tambahnya lagi.
Andrew hanya mengangguk pelan, lalu mengisyaratkan kepada Suga untuk mengambil sesuatu yang telah di siapkan untuk mereka.
Mengerti akan isyarat dari Andrew, Suga pun langsung berjalan memutar kearah mobil pria itu, lalu mengambil sebuah tas besar dengan sekali tarik.
“Di dalam sana, ada uang sebesar 10 kali lipat dari janji bayaran kalian untuk membunuhku. Ambillah, gunakan sebaik mungkin.” kata Andrew dengan nada datar namun tetap memberi senyum kecil.
Setelah mengatakan kalimat itu, Andrew langsung memasuki mobil sport nya. Ia ingin pergi ke Painan untuk menyusul Luna. Beberapa jam tak berjumpa dengan wanita itu membuat Andrew semakin merindukan senyum manis Alluna. Ia teramat butuh berada di dekat gadis itu agar bisa tenang.
Andrew melambai sekilas, sebelum meninggalkan Suga yang sekarang tengah misuh-misuh karna harus membereskan kekacauan yang telah di perbuat Andrew.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
🇵🇸Kᵝ⃟ᴸ
andrew dilawan
2024-12-13
0
ef_ef⭑ᵉᶥᶠ
misuh-misuh itu apa??
2020-12-05
1
Kemal Chandra
woww g ke tebak..
2020-10-22
1