***************
**Happy reading
****************
.
.
.
Breaking news. Gempa dasyat berkekuatan 8,7 magnitudo yang mengguncang Painan pagi tadi telah mencatat korban jiwa sebanyak 250 orang. Belum dapat di pastikan berapa banyak korban jiwa yang masih akan terus bertambah.
Di lain tempat, salah satu museum terbesar di Painan juga ikut roboh. Banyak pengunjung yang merupakan siswa sekolah Dasar tengah berkunjung untuk tugas sekolah. Namun sampai saat ini*** —
Tok.. Tok..
Luna menoleh dari layar TV Led yang menayangkan tentang bencana alam di Painan ketika pintu ruangannya di ketuk pelan dari luar.
Laila — sosok suster magang di rumah sakit tempat Luna bekerja tersenyum manis di dekat pintu.
“Dokter, semua perlengkapan untuk ke Painan telah siap.”
Luna mengangguk sembari tersenyum kecil. Rencananya, ia dan beberapa Dokter lainnya akan pergi ke Painan untuk menjadi relawan. Sekitar pukul 07.00 pagi tadi, Painan di guncang gempa dasyat. Banyak gedung dan sekolah yang hancur. Kurangnya fasilitas serta tenaga di sana akibat gempa, membuat rumah sakit tempat Luna bekerja bersedia menjadi relawan.
“Terimakasih ya, Laila! Aku akan segera keluar setelah merapikan ini.” tunjuk Luna sembari tersenyum kecil kearah tumpukan berkas di atas mejanya.
Laila balas tersenyum cantik sembari mengangkat sebelah tangannya untuk membuat gerakan hormat kepada Luna. “Yes Mam! ”. Pekiknya girang dan mulai menghilang di balik pintu.
Senyum Luna masih belum menghilang meski punggung Laila sudah tak lagi terlihat. “Ya ampun, anak muda jaman now.” komentarnya berdecak dengan kepala menggeleng.
Mata Luna mulai kembali fokus pada tumpukan berkas pemeriksaan pasien ketika ponsel di sakunya bergetar. Sebuah pesan baru dari Andrew membuat kedua sudut bibir Luna tertarik keatas.
***Oom mesum.
Jaga kesehatanmu selama disana, dan tetap berhati-hati sayang. Aku akan merindukanmu. ♡♡♡***
Pesan balasan dari Andrew. Tadi ketika mendapat kabar jika dirinya termasuk kedalam daftar yang akan di kirim ke Painan untuk menjadi Dokter relawan, Luna langsung teringat Andrew dan mengirimi pesan untuk lelaki itu.
***
Beberapa jam kemudian, di rumah sakit pengungsian Painan.
.
.
.
Lukman masih menangis sembari terus merapalkan doa untuk putri kecilnya yang tengah berjuang di dalam ruang operasi. Sementara Boy di sebelah Pria itu, sibuk menenangkan dirinya dengan sebuah pelukan di bahu Ayah satu anak itu.
“Putrimu pasti selamat, Bang.” hibur Boy untuk yang kesekian kalinya.
Sebenarnya Boy juga tak merasa yakin dengan perkataannya barusan. Hanya saja, ia tak ingin membuat Lukman semakin kalut jika ikut menangisi Brayta Dielya Lukman. Gadis kecil itu di larikan ke rumah sakit ini dalam keadaan luka parah akibat terkena reruntuhan bangunan saat hendak menyelamatkan diri.
Pagi sebelum kejadiaan terjadi, Brayta yang telah meminta izin dari jauh-jauh hari untuk ikut bertamasya bersama sang guru dan beberapa orang dewasa lainnya itu, di jemput oleh sebuah bus yang akan mengantar mereka ke museum. Museum yang sama dengan tempat kejadian terparah akibat gempa di daerah tersebut. Kaki Brayta terkena reruntuhan saat sedang berlari, beruntung kepala gadis itu tetap aman meski terluka di beberapa bagian.
“Andai aku bisa melarangnya, Boy. Brayta pasti masih di sini bersamaku.” serak Lukman tak menutupi air matanya yang terjatuh semakin deras.
Boy menghela nafas sejenak sebelum mengeratkan pelukannya di bahu lebar Lukman. “Semua telah terjadi, Bang. Kau tak boleh menyalahkan diri sendiri seperti itu, yang akan terjadi tetap akan terjadi meski kita mencoba untuk menghindarinya. Brayta butuh doa sekarang untuk tetap kuat. Dan itu adalah tugas kita.” tegas Boy lagi.
Lukman membenarkan dalam hati, putri kecilnya butuh doa. Ia pun mengangkat kepalanya pelan bertepatan dengan pintu ruangan operasi yang terbuka. Seorang Dokter dengan masker putih di wajahnya, berlari begitu tergesa-gesa kearah ruangan bertuliskan ‘Ruang penyimpanan’ di bagian atasnya.
Bagai tertarik oleh sesuatu, Lukman tak dapat mengalihakan pandang dari Dokter tersebut. Dahinya mulai berkerut dengan mata menyipit agar dapat melihat jelas siapa Dokter itu.
“Nona, Al!” celetuk Boy dengan kening berkerut.
Lukman langsung menoleh cepat dengan pandangan mata terkejut. “Kau mengenalnya?! Maksudku — Dokter tadi?! ”. Mendengar nama yang barusan di sebut santai oleh Boy, masih membuat jantung Lukman berdentam nyilu. Ia tak menyangka akan bertemu lagi dengan gadis itu.
Boy mengernyit bingung, namun kepala lelaki itu tetap mengangguk membenarkan, “Hum. Dia kekasih bos ku.” jawab Boy.
“Si-siapa nama bosmu, B-boy?! ”
“Andrew. Andrew Kilburn tepatnya”. Jawab Boy lagi. Ia tak memperhatikan wajah Lukman yang sudah pucat pasi, mata Boy masih menatap Luna yang sekarang telah kembali memasuki ruang operasi.
Yang akan terjadi, tetap akan terjadi meski kita terus menghindarinya.
Perkataan Boy tadi, sekarang menjadi sebuah tamparan kuat untuk Lukman. Apa sekarang aku harus menghadapinya, sayang?! Batin Lukman menerawang membayangkan wajah cantik almarhumah sang Istri.
***
“Ya. Tentu saja, kami sedang mengintai target.”
Salah seorang dari 3 pria berbadan tegap dengan wajah tertutup topeng hitam itu baru saja melapor lewat telpon kepada atasannya. Ia menatap beringas ke salah satu gedung perkantoran yang berdiri kokoh di antara gedung gedung lainnya dengan senyum tercetak miring.
“Ya. Anda tenang saja, sekarang kami sudah memasuki area parkir.” lapor pria itu lagi, membuat seseorang disana tersenyum senang.
Jam menunjukkan pukul 21.55 Wib ketika orang-orang berbadan tegap itu memasuki pelataran parkiran gedung perkantoran yang tampak sepi sunyi dengan suasana lampu temaram. Hanya tinggal beberapa mobil karyawan yang tengah lembur, mengisi tempat parkir itu.
“Di mengerti! Tuan tinggal mentransfer uangnya malam ini.” girang pria itu sebelum telpon terputus.
Mata tajam dengan bekas goresan luka itu menyeringai bengis menatap kawanannya. Dengan acungan jempol tinggi, ia mengerlingkan matanya, “Ayo. Jangan membuat bos besar kecewa.” seru pria itu yang langsung di angguki patuh oleh anggotanya.
.
.
.
“Kita mulai ketika lampu di sebelah sana di matikan.” telunjuk pria bercodet itu mengarah jauh, “lalu kau — Budi, tugasmu adalah mengacaukan semua sistem dari dalam. Kau juga bisa meretas akses CCTV parkiran ini dari sekarang, agar pekerjaan kita menjadi aman dan mudah.”
Lelaki yang bernama Budi Prasetyo itu pun mengangguk cepat. Baginya itu adalah pekerjaan mudah. Hanya saja, jika keahliannya tersebut di gunakan untuk mencelakai orang seperti sekarang, rasanya Budi sedikit tak rela. Namun mau bagaimana lagi?! Pekerjaan ini memberinya gaji yang lumayan besar sehingga cukup untuk membuat kembarannya kembali sehat.
“Dan kau — Jackson. Cukup awasi ruangan itu dengan benar! Jika target keluar, kau harus memberitahuku sesegera mungkin. Mengerti?! ” . Pria bercodet itu menunjuk Jackson tepat di hidung, membuat lelaki berkebangsaan Hongkong itu mengumpat pelan dalam hati.
Setelah mendapati anggukan tak rela Jackson, pria bercodet itu langsung menyeringai lebar. Sebenarnya, ia tak suka bekerja secara kelompok seperti sekarang. Selain merepotkan, bayarannya juga harus di bagi rata.
“Baiklah. Kita jalankan sekarang! ” titah pria itu langsung berlari menjauhi Budi dan juga Jackson.
“Menyebalkan! ” umpat Jackson yang dapat di dengar oleh Budi. Namun lelaki pecinta IT itu tetap bungkam dengan mata terfokus pada layar laptop di depannya.
Kiyoshi — pria bercodet tadi, mengenakan jaket kulit berlengan panjang, celana, sarung tangan, masker, hingga sepatu kets serba hitam. Di balik jaket kulitnya, terselip belati dan sebuah pistol jarak jauh. Ia juga menyimpan pemukul besi di balik punggungnya untuk sekedar berjaga. Ponsel di saku celananya bergetar lembut, membuat Kiyoshi dengan cepat meraih benda pipih tersebut. Nama X sebagai simbol Budi tertera di layar. Lelaki itu memberitahu di mana letak mobil Andrew berada.
Mata Kiyoshi mengedar liar mencari keberadaan mobil Andrew. Setelah menemukan letak mobil pria itu, Kiyoshi pun langsung berjalan cepat menuju mobilnya yang lain. Ia menunduk dengan sedikit menarik tudung kepalanya agar tak terlihat di camera meski Budi sudah pasti membereskan masalah CCTV.
Malam ini, Kiyoshi akan membunuh pria bernama Andrew Kilburn. Ia telah menyusun sebuah rencana seapik mungkin dengan dalih tabrakan sebagai plan A. Atau jika rencananya gagal, Kiyoshi bisa menggunakan plan B — menembak pria itu dari jarak jauh. Kiyoshi juga sudah merencanakan aksi kaburnya, ketika rencananya berhasil nanti— ia berencana kabur dengan mobil yang sudah di tempeli plat palsu. Ia akan pergi sendiri, sementara Budi dan Jackson akan menunggu pria itu di depan gedung yang berjarak dua blok dari gedung ini.
Namun jika Kiyoshi tak bisa kabur dengan cara tersebut, ia juga telah menyiapkan pengkaburan dengan cara lain. Yaitu menyusup ke tangga darurat dan berganti pakaian. Kiyoshi bisa membuang pakaiannya yang sekarang ketempat sampah untuk menghilangkan bukti.
Ponsel di saku Kiyoshi bergetar lagi. Kali ini, simbol H sebagai Jackson yang tertera. Lelaki berkebangsaan Hongkong itu telah melihat pergerakan Andrew yang berjalan menuju parkiran seorang diri.
Sudut bibir Kiyoshi tertarik sempurna, “Akhirnya umpan termakan juga.” cengirnya dengan wajah menyeramkan.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
ef_ef⭑ᵉᶥᶠ
mmh🙈
2020-12-05
2
Kemal Chandra
novelmu bagus thor beda dengan yg lain g bisa ketebak ceritanya oke... 👍👍👍👍💪💪💪
2020-10-22
1
KomaLia
wah bahaya
2020-09-04
1