"Minuman penyemangat di pagi hari."
Suara itu sudah sangat ia kenali. Itulah sebabnya Alice menoleh dan langsung bertemu tatap dengan pria yang memiliki senyum paling ramah, sang barista Cafe Summer. Aroma espresso yang masih mengepul bercampur dengan aroma kue coklat yang baru keluar dari oven benar-benar membuat pikiran Alice teralihkan.
"Kau membuatnya untukku?"
Dia mengangguk dengan senyum itu lagi yang kali ini baru Alice sadari kalau dia memiliki lesung pipi di sebelah kanan. Oh, ya, baiklah. Dia memang cukup tampan dan... manis.
"Terima kasih tapi kau tidak perlu-"
"Tidak apa-apa," selanya. Dia mengangkat bahu berusaha menunjukkan pada Alice kalau itu bukan masalah besar dan tidak perlu diambil pusing.
"Kudengar video musikmu selesai hari ini. Anggap saja sebagai ucapan selamat kau sudah bekerja keras."
Alice baru saja akan membalas senyuman itu kalau saja orang yang belakangan ini paling sering mengganggu hidupnya, kini berdiri tegak disampingnya.
"Apa kau setiap pagi selalu bersantai seperti ini?"
Ya, dia. Marc Hyun Jo.
"Kalau seperti itu kau butuh seribu tahun lagi untuk bisa mengalahkanku. Atau menunggu sampai cucu-cucuku lahir dan menjadi CEO di masa depan."
Apa? Dasar sinting.
"Apa kau sedang terburu-buru?" tanya sang barista dengan raut wajah bingung.
Astaga. Si bedebah satu ini memang pintar membuat orang darah tinggi. Rasanya ia ingin mencubit Marc hingga membiru.
"Tidak. Aku akan duduk sebentar lagi dan menyicipi kuemu."
Pria itu membuka bibirnya kembali lalu mengatupkannya kemudian melirik Marc, yang langsung dibalas pria itu dengan tatapan intimidasi menyiratkan ketidaksukaan.
"Kenapa kau suka ikut campur? Aku harus mengisi tenagaku sebelum mulai bekerja. Lagian tidak ada masalah kan? Aku tahu jadwalku sendiri," omelnya setelah sang barista pergi.
"Ini bukan masalah jadwalmu tetapi juga jadwalku."
"Syutingnya di mulai lima belas menit lagi. Hanya sebentar. Aku sudah latihan semalaman dan aku yakin akan selesai dengan cepat. Mainkan saja pianomu dengan benar. Kuharap tanganmu tidak gemetar," Alice dengan cepat membungkam mulutnya sendiri.
Dasar bodoh! Apa yang baru saja ia ocehkan! Seharusnya ia tidak mengatakannya.
"Penata riasmu mencarimu. Seharusnya kau tahu kalau kau akan dirias terlebih dahulu sebelum syuting dimulai. Aku pergi."
••••
Flashback on
Kejadiannya sudah cukup lama. Beberapa tahun yang lalu. Ia tidak bisa mengingat tepatnya kapan, karena mungkin ia memang benar-benar ingin melupakannya.
Saat itu, pertama kalinya dalam hidupku, aku memenangkan kompetisi piano di usia yang masih cukup muda. Aku tahu orang tuaku sangat keras mendidikku dalam bermain piano. Asal tahu saja, aku berasal dari keluarga musisi.
Ayahku semasa muda, punya groupband yang digilai banyak wanita di masanya. Ayah seorang vokalis, komposer, pianis, sebut saja dia bisa memainkan berbagai macam alat musik dengan mahir. Hingga kemudian beliau memilih menekuni piano dan menularkannya padaku. Ibuku juga sama saja. Seorang pelukis handal dan photograper yang menakjubkan, bintang film layar lebar, yang kini menekuni profesi produser.
Benar, orang tuaku multitalenta. Oleh sebab itu aku ingin seperti itu.
Tentu saja awalnya aku benci belajar memainkan piano. Suara dentingan tiap tuts memang menyenangkan untuk didengar, tetapi bagiku didikan yang diberikan tidak benar dan membuatku berasumsi bahwa belajar piano tidak semenyenangkan itu.
Sampai kemudian guru privatku beserta orang tuaku menyerah karena aku tidak bisa. Guru privatku menceramahiku, menghinaku karena aku tidak bisa sehebat orang tuaku, bahwa aku tidak pantas menjadi keturunan keluarga bidang seni.
Orangtua ku sendiri tidak bisa berbuat banyak. Dari tatapan mata mereka aku melihat, mereka juga berpikir hal yang sama seperti guru privatku. Karena sudah beberapa kali orangtua ku mengganti guru privat pianis untukku, dan beberapa kali itu pula aku tetap tidak bisa.
Aku tidak bisa menangkap pelajaran piano itu dengan benar. Semua saraf otakku seolah terus mengulang kalimat-kalimat jahat itu. Hingga aku menjerit, menangis dan tidak mau bermain piano lagi. Akhirnya mereka memasukkanku ke kelas belajar piano untuk anak-anak seusiaku. Dan disana aku bertemu... dia.
Seorang gadis cantik yang sangat menyukai piano. Seorang yang mengajariku dengan ceria. Seorang yang aku sukai. Kim Soo Jin namanya.
Sejak berhasil memenangkan kompetisi piano, aku dan Soo Jin aktif berkolaborasi untuk mencapai kompetisi lainnya. Kami juga mengajar kelas piano untuk anak-anak di bawah usia kami. Semuanya terasa begitu menyenangkan.
Aku berhasil mengubah peenilaian orangtuaku yang menganggapku tidak bisa apa-apa sebelumnya. Kini mereka terus mendukungku hingga aku mengikuti kompetisi kolaborasi piano internasional bersama Soo Jin.
Tetapi di tengah kompetisi saat giliran kami bermain, saat kami sedang berkonsentrasi bermain dan orang-orang fokus mendengarkan permainan kami, saat itulah kejadian buruk itu terjadi.
Lampu sorot yang berada di atas, tiba-tiba jatuh, mengenai kepala Soo Jin, membuat Soo Jin terjatuh dari kursinya dengan kepala bercucuran darah dan berakhir membentur lantai dengan mengenaskan.
Aku sendiri tercengang begitu melihat darah menyembur dari kepala Soo Jin seperti menyemprot, seperti air mancur yang dinyalakan, percikannya mengenai sebagian wajahku hingga aku membeku di tempat. Tidak bisa mencerna apa yang terjadi.
Kepalaku pusing, berputar-putar, melihat Soo Jin tidak berdaya di lantai dan pasti berusaha merintih kesakitan meskipun tidak terdengar.
Orang-orang mulai panik, berhamburan mendekati mereka dan ada pula yang berlari keluar gedung karena mengira akan ada motif pembunuhan yang lain.
Entahlah. Ia tidak tahu itu memang motif pembunuhan atau memang tidak sengaja, seperti pihak acara tidak mengecek dengan benar sebelumnya, atau... tidak. Ia tidak bisa berpikir. Tangannya lemas, pikirannya kacau balau.
Bau darah yang mengenai wajahnya membuat Marc bergidik ngeri, membuat neuron-neuron di kepalanya seolah tersumbat hingga pandangannya menghitam.
Kenapa harus Soo Jin? Kenapa Soo Jin yang duduk di sebelah situ dan bukan dirinya saja. Kenapa Soo Jin gadis baik hati dan cantik yang harus tertimpa musibah? Kenapa Soo Jin yang punya mimpi-mimpi menakjubkan itu malah gugur duluan sebelum menggapainya?
Ia ingin marah, menyalahkan siapa saja pihak yang terkait dengan acara hari ini. Ia bahkan membenci dirinya sendiri yang kini tidak berdaya. Ia benci orang-orang yang mulai menjauhkannya dengan Soo Jin ketika Soo Jin diangkat menuju ambulan.
Orangtua Marc menghampiri, memeluknya dan mengucapkan serentetan kalimat penuh rasa syukur karena ia tidak kenapa-kenapa. Tetapi sesungguhnya ia kenapa-kenapa. Ia sudah menganggap Soo Jin sebagai penyelamat hidupnya di masa terpuruk dulu.
Ia benci kenyataan ketika tidak bisa melihat Soo Jin lagi dimanapun ia mencarinya.
Flashback off
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Admiral Farmuhan
Legendary idol in love
2020-07-03
0
🐷ღAhra✠ᵛᶜʳ
semangat
2020-07-03
0
Ul
sepertinya POV 1 dan 3 bersatu pada bagian flashback.
2020-07-01
0