Part 7 [Trauma]

Lampu apartemennya tidak dinyalakan, hanya penerangan yang masuk melalui dinding kaca yang melapisi seluruh bagian utara apartemen. Cahaya-cahaya lampu yang berasal dari berbagai gedung pencakar langit sudah cukup untuknya. Ia tidak melakukan aktivitas apapun, hanya memandang ke bawah sana dimana kendaraan masih berlomba-lomba memenuhi jalan utama.

Alice menyeruput lagi espressonya. Wangi espresso yang menentramkan menerjang indra penciumannya, menerpa pori-pori wajahnya hingga seulas senyum terukir disana.

Ia butuh menenangkan diri belakangan ini. Ada banyak sekali yang terjadi begitu cepat sampai-sampai ia sedikit gelagapan dan tidak tahu harus bertindak seperti apa. Ini jauh diluar ekspektasinya.

Hanya dengan kehadiran seorang pria jangkung berambut sedikit kecoklatan, dengan wajah yang Tuhan pahat nyaris sempurna, dan dianugrahi sikap yang membuat Alice hampir menginjak titik gila, berhasil mengacaukan hidup Alice saat ini.

Dia adalah Marc Hyun Jo, pria yang baru saja kembali ke dunia entertainment, yang sudah punya latar belakang tidak tersaingi itu, dan sudah dicap sang idola legendaris. Tidak tahu apa yang Tuhan rencanakan, hingga Tuhan memilih bulan ini untuk menjadi awal dari mimpi buruknya. Setidaknya, untuk saat ini masih menjadi mimpi buruk Alice.

Pria itu dengan segala sikap menyebalkannya, dan astaga demi apapun! Ia benar-benar tidak mengerti jalan pikir pria itu serta apa yang sudah direncanakannya. Tadi ketika masih berada di ruang piano, ia seperti melihat sosok Marc Hyun Jo yang berbeda, ada sedikit yang aneh.

Yah... sepertinya begitu, atau entahlah. Mungkin hanya perasaannya saja.

flashback on

Alice duduk tepat di samping Marc. Ikut memandang tuts-tuts piano yang asing baginya. Ia tidak tahu apapun tentang memainkan piano, tidak, bahkan alat musik apapun tidak ada yang ia kuasai. Jadi sebenarnya ia sangat bersyukur bahwa Marc yang mendapat peran memainkan piano ini dan ia yang bernyanyi, ketimbang sebaliknya.

"Ini aneh sekali," mulai lelaki itu. "Aku tidak pernah mengijinkan siapapun menginjak ruangan ini kecuali managerku, tentu saja dia pengecualian. Tetapi kau..."

Mungkin ada yang salah dengan sel saraf otaknya. Ia seketika buntu dan tidak bisa berpikir dengan baik.

Duduk tepat di samping Marc, mendengar suaranya begitu dekat, di dalam ruang tertutup seperti tidak ada celah untuk orang lain masuk atau baginya untuk membebaskan diri, membuat Alice gugup setengah mati. Ia seperti berada di area kekuasaan Marc yang membuat dirinya menciut.

"Ada apa? Kenapa kau diam saja? Duduk didekatku membuatmu segugup itu?"

Oh, lupakan saja yang barusan aku katakan dalam pikiran. Dia benar-benar bermulut menyebalkan. Tidak seharusnya aku gugup berdekatan dengan orang seperti ini.

"Kalau aku menanggapi ucapanmu kita akan terlihat akrab, aku tidak mau itu terjadi. Dan jangan coba-coba mengambil kesempatan disaat waktunya untuk latihan."

Tunggu. Apa ucapannya terlalu ketus? Ah sudah, biarkan saja Alice. Untuk apa kau memikirkan perasaannya?

Marc menghembuskan napas. Ia menatap kesepuluh jarinya yang sudah berbaris diatas tuts piano sebelum membalas ucapan gadis itu.

"I really know that you hate me so much. Sorry," Marc melirik Alice. "Ada yang perlu aku klarifikasi disini. Dia bukan pacarku."

Ia menarik mundur jari-jarinya yang ada di tuts piano, kini jarinya bertaut dan ia menghembuskan napas lagi. "Aku tidak mengenalnya. Maksudku, ya, tidak bisa disebut teman. Kami hanya pernah berpapasan beberapa kali dan aku tidak tahu kenapa dia mengklaim dirinya sebagai pacarku padamu."

"Kau bodoh?" Alice dengan mata menerawang. "Tentu saja karena dia menyukaimu."

Tentu saja karena dia menyukaimu.

Ia menatap gadis di depannya. Menelisik arti dari raut wajah yang baru saja ditunjukkan serta tatapan mata yang ia tidak tahu apa maksud dibalik sana.

Sebenarnya ia tidak mengenal Park Hyo Alice dengan baik. Tidak bisa juga disebut teman. Mereka hanya kebetulan bertemu, terjadi sedikit kekacauan, mungkin juga bercampur salam paham sehingga rasa tidak suka muncul begitu saja, merangkak naik seolah berusaha mempengaruhi seluruh sel saraf Alice agar semakin tidak menyukainya.

Waktu itu ia juga tidak sempat menjelaskan apapun, tidak tahu juga apa ia perlu mengklarifikasi atau semacamnya. Waktu itu ia hanya berpikir, lupakan saja, toh mereka tidak saling kenal dan tidak akan bertemu lagi. Tetapi kemudian, dunia berkata lain.

"Wajar saja, bukan? Alasannya karena aku luar biasa tampan."

Gadis itu tersenyum selebar mungkin seperti mengejek Marc, kemudian menghela napas, dan berkata serius, "Bisa kita mulai sekarang? Katamu kita akan berlatih."

"Hhmm."

"Astaga kenapa malah diam saja? Ayo mainkan pianonya."

Mana bisa Marc memainkannya sekarang. Rasa gugup itu dan sekelebat gambar berputar dengan cepat di kepalanya seperti tayangan film. Ia benci tiba-tiba merasa seperti ini.

Gadis berambut panjang, duduk bersebelahan, sambil bernyanyi, suasana yang hening, hingga tiba-tiba saja... hingga dia... dipenuhi darah.

"Hei!"

Marc tersentak. Ujung jemarinya mulai terasa dingin kemudian perlahan merangkak naik sampai telapak tangannya sedikit basah. Ia belum berhasil menetralkan debar jantungnya ketika lehernya menoleh dengan cepat ke sumber suara dan mendapati wajah Alice menatapnya dengan bingung.

Demi apapun! Kenapa harus kambuh di saat seperti ini? Kenapa harus di depan Park Hyo Alice! Marc ingin menjambak diri sendiri dan memaki tubuh tidak tahu diri ini.

Dahi Alice masih berkerut, tetapi perlahan ia mengalah setelah menghirup oksigen dalam-dalam.

"Ah, ya sudahlah. Kau terlihat tidak sehat dan kelelahan. Besok saja kita lanjutkan."

Dia sudah bersiap-siap untuk pergi. Alice berdiri, mengibaskan rambutnya ke belakang, dan sudah berhasil maju satu langkah ketika pergelangan tangannya digenggam dengan telapak tangan yang besar dan terasa dingin.

"Jangan pergi."

Alice masih diam. Otaknya bekerja lebih lambat dan kejadian-kejadian saat itu... ketika ada telapak tangan yang besar menggenggam tangannya, menariknya kasar dan...dan...

Lalu dengan refleks Alice menyentakkan tangan Marc ingin meloloskan diri dari tangan dingin itu.

Tidak. Jangan sentuh. Tangan dingin itu mengingatkannya pada hal-hal yang tidak ingin ia ingat. Ia tidak ingin ditarik paksa lagi, diseret hingga dirinya berteriak minta tolong tapi tiada satu orang pun yang datang menolongnya sampai ia terduduk lemas tidak berdaya di sudut ruangan dan nyaris saja menyerah pada dunia.

Tetapi ia tidak berhasil. Marc tetap menggenggamnya erat, semakin erat malah. Lalu dengan sekali tarikan, membuat Alice tersentak dan kehilangan keseimbangan. Ia berusaha mencari pegangan, tetapi tangannya jatuh pada pundak Marc dan sebelahnya lagi masih dalam genggaman pria itu.

Bukan. Bukan itu yang menjadi permasalahannya.

Yang menjadi masalah adalah sebelah tangan pria itu menopang pinggangnya dan bibir mereka menempel dengan sempurna.

flashback off

Terpopuler

Comments

Adi Kusma

Adi Kusma

next

2020-07-30

0

Esw_Gee

Esw_Gee

like 5 bab buatmu.. lanjut yaa

2020-07-25

0

Sofiana

Sofiana

lanjut kak

2020-07-20

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!