Dimas mulai melangkahkan kakinya begitu ia memasuki sebuah ruangan yang sunyi penuh dengan ketenangan. Ditangannya ia sembunyikan segelas hot cokelat panas yang akan ia berikan pada Meila.
Dimas tahu benar, kalau membawa makanan dan minuman ke ruangan perpustakaan sangat amat dilarang. Selain akan menimbulkan suara gaduh yang disebabkan oleh bungkus makanan itu sendiri, hal itu juga akan merusak kenyamanan ruangan.
Namun, Dimas tak punya cara lain selain harus menyembunyikan hot cokelat itu dibalik jacketnya dan membawanya sesegera mungkin sebelum mendingin sampai ke tangan gadis yang sejak tadi sudah memenuhi pikirannya. Dia tak perlu waktu lama untuk mencari keberadaan Meila, sebab Dimas tau bahwa sekarang, saat ini, gadis yang sudah berhasil mengendalikan logikanya sudah pasti sedang berada di spot favoritnya.
Dan benar saja, dengan mudah matanya menemukan sosok yang dicarinya sedang menundukkan kepala yang bertumpu pada sebuah buku sebagai alas pada wajahnya. Senyum ironi memenuhi bibirnya, dihampirinya Meila dengan langkah pelan nyaris tak terdengar. Diamatinya Meila sambil mendengus pelan.
Dirinya tak tahan untuk tidak mengusap kepala Meila dan mengeluarkan ucapan ejekan, "Aku pikir... buku itu untuk dibaca, bukan untuk dijadiin bantal."
Di detik itu pula, Meila langsung beringsut tersentak begitu mendengar suara bariton khas yang dikenalinya. Dia mendongakkan kepala, mata mereka saling bertemu dengan mulut Meila yang sedikit menganga ketika melihat Dimas yang dengan sengaja sedang menatapnya dan tersenyum lembut padanya, dengan tangan Dimas pula yang belum berpindah dari kepala Meila.
Meila mengerucutkan bibirnya, mengalihkan pandangan ke bawah tepat dia meletakkan buku sebagai sanggahan kepalanya. Dimas berinisiatif duduk disamping Meila, kemudian langsung mengeluarkan segelas hot cokelat yang masih sedikit mengepulkan asap samar dari lubang udara.
Matanya berbinar kesenangan begitu wangi harum nan menenangkan sampai pada indra penciumannya. Dia menolehkan kepala dan mengernyitkan alis, "Kak...." Meila melihat suasana sekitar untuk memastikan tak ada orang yang memperhatikan. "...gimana caranya kamu bisa masuk sambil bawa ini?" Ucapnya setengah berbisik dengan kedua tangan menangkup pada sisi gelas.
Dimas terkekeh, tak tahan dengan tingkah polos Meila. "Nggak usah mikirin gimana caranya aku bisa masuk kesini sambil bawa itu," Dimas melirikkan mata ke arah gelas sejenak, "sekarang kamu pikirin gimana caranya kamu habisin minuman ini sebelum jadi dingin, dan.... nggak sampai ketahuan!" Dimas tersenyum lembut dengan tatapan menusuk memperlihatkan lesung pipinya yang manis itu.
Seolah terhipnotis, Meila langsung menusukkan sedotan pada lubang yang telah disediakan. Lidahnya berpesta, seketika mood nya membaik begitu rasa manis sedikit pahit dan menyisakan rasa getir dilidah melewati tenggorokannya.
Wajahnya kesenangan, seolah lupa kalau Dimas sedang berada disampingnya dan menatapnya tak berkedip. Pipinya memanas saat matanya langsung menemukan sepasang mata indah penuh kekaguman sedang memperhatikannya sambil menarik ujung bibirnya.
"T-terima kasih, kak.. minumannya." Meila berucap malu begitu menyadari hot cokelat miliknya hampir tandas dan ucapan terima kasih baru terlintas dipikirannya.
"Sama-sama." Jawab Dimas cepat masih memasang senyum tulusnya.
"Aku udah denger semuanya dari Rendy. Kalian dipanggil pak Andre mengenai masalah itu, dan diberi waktu hanya tiga hari untuk menyelesaikannya, kan?" Dimas memulai pembicarannya. Memperhatikan perubahan wajah Meila yang tertunduk rasa bersalah kembali mendominasinya.
Dimas mengamati Meila lekat, "Mei.. dengerin aku," Dimas menahan dagu Meila dengan ujung jarinya, mengalihkan fokusnya pada Dimas. "jangan berpikir semua ini sepenuhnya salah kamu. Hanya karena kamu orang terakhir yang mengoperasikan laptop itu, bukan berarti kamu yang tertuduh.
Kita belum memastikan apakah ini tindakan disengaja atau terjadi karena kerusakan pada bagian sistem kerja komputer. Sejauh ini... kita belum membahas sampai sana. Kita juga belum membuka pembicaraan ini dan memecahkan jalan keluarnya, kan?" Dimas berucap lembut, menatap mata Meila dalam seolah sedang menguatkan dan memberikan semangat padanya.
"Jangan berpikir kamu akan sendirian menyelesaikan masalah ini. Ada Rendy, ada yang lainnya juga yang akan siap bantu kamu," Dimas berhenti sejenak begitu Meila hanya diam mencerna kata-katanya. Menatap matanya seolah menunggu kelanjutan kalimatnya. "Dan... ada Aku. Ada aku yang selalu siap kamu repotin kapanpun kamu mau." Dimas berucap sambil berbisik, menampilkan senyum tulus penuh perhatian.
Meila merasakan jantungnya berdetak cepat begitu kalimat yang diucapkan Dimas bagaikan mantra yang tak sanggup untuk dibantah. Meila mencoba menelisik ke kedalaman mata Dimas, yang ada hanya ketulusan disana. Dia menyimpulkan bahwa, apa yang dikatakan oleh Dimas memang benar adanya, tak perlu mempersulit diri jika kenyataannya bisa dengan mudah diselsesaikan, bukan?
Lambat-lambat senyum membingkai wajahnya, seakan ketakutannya lenyaplah sudah. Dia tidak mengerti kenapa begitu mudah jika mencerna perkataan pria dihadapannya ini? Seakan logika dan perasaannya hanya bisa dikendalikan oleh Dimas saja.
Tiba-tiba pikirannya mundur kembali ketika pak Andre menyinggung tentang penyusup yang masuk ke ruangan senat. Lidahnya kelu, ingin mengutarakan apa yang mengganjal di pikirannya.
"Ada apa? Kayaknya... Ada yang mengganggu pikiran kamu?" Seolah terjawab sudah, Dimas rupanya memperhatikan perubahan wajah Meila. Dan tanpa susah payah lagi bagi Meila menjelaskan maksudnya.
"Itu.... Pak Andre menyinggung soal... soal kemungkinan masuknya penyusup ke ruangan senat. Mungkin nggak, kalau... ada penyusup yang... masuk kesana?" Meila bertanya pelan, tak mau ucapannya terdengar oleh orang lain.
Dimas melepaskan jarinya dari dagu Meila. Merubah posisinya menjadi tegap, sebelum dia menarik napas dalam dan berkata penuh pertimbangan.
"Kemungkinan kayak gitu bisa aja terjadi. Tapi kita juga nggak bisa langsung mengambil kesimpulan, jika salah bertindak... justru kita yang dibilang sebagai penuduh alih-alih melemparkan kesalahan pada orang lain karena lepas dari tanggung jawab." Dimas berusaha menjelaskan dengan pelan agar Meila dapat mencerna setiap perkataannya.
Meila terdiam sejenak, memutar bola matanya tanda berpikir keras, "Terus... gimana caranya kita bisa pastiin kalo itu emang sabotase?"
"Sejauh ini kita cuma bisa pergunain cctv yang ada di control room untuk memastikannya." Jawab Dimas memberi pengertian.
Meila terlihat menganggukkan kepala tanda ia memahami maksud dan tujuan dari ucapan Dimas.
"Tapi... bukannya buat masuk ke ruangan itu nggak boleh sembarangan, kak? Kita harus melewati protokol keamanan kampus dan meminta izin ke bagian kemanan dulu, kan?" Meila memberikan pertanyaan lagi seakan jawaban dan penjelasan Dimas masih belum puas.
Dimas terkekeh, tak habis pikir dengan kepolosan gadis dihadapannya ini. Dimas memang tahu, untuk masuk ke control room memang harus melewati beberapa prosedur, namun tanpa harus diingatkan lagi, Dimas sudah memikirkan semuanya dengan matang.
Kalau dia tidak tahu akan setiap prosedur yang akan dilewati, mana mungkin dia mengusulkan untuk melihat rekaman cctv, bukan?
Mungkin jika mereka sedang tak di perpustakaan, entah hanya mereka berdua saja atau ruangan terbuka seperti taman kota tempat insiden singkat nan romantis itu terjadi, mungkin Dimas sudah lepas kendali karenanya. Cukup insiden tak sengaja beberapa waktu lalu yang seolah mendorongnya secara impulsif untuk menciumnya diruangan ini, di perpustakaan ini.
Meila sadar, dia sedang ditertawakan oleh Dimas. Dia mengerucutkan bibirnya, dengan rasa malu menjalari wajahnya.
"Jangan ngetawain aku kayak gitu, kak.." Meila membenarkan posisi duduknya sambil membuka-buka komik yang belum dibacanya sejak tadi.
Dimas semakin tergelak, hampir saja suaranya pecah memenuhi ruangan, dengan cepat Dia menguasai diri.
Dimas berdehem, "Kamu lucu. Unik. Polos..." ucap Dimas mengedipkan mata dengan masih terkekeh, seketika itu juga Meila langsung menoleh menyipitkan matanya penuh selidik.
"...dan juga..." Dimas menatap wajah Meila lekat, mulai dari mata kemudian turun ke pipi, hingga akhirnya matanya berhenti pada bibir tipis berwarna pink gadis itu. Senyum jahil penuh ironi membingkai bibirnya, "...manis." Sambung Dimas berbisik dan sedikit memajukan wajahnya. Di detik itulah pipi Meila langsung merah merona bagaikan blush-on alami yang diaplikasikan ke pipinya. Dan pemandangan seperti itu sangat menyenangkan bagi Dimas. Dia memang tidak asal bicara atau sekedar bergurau, Dimas ingat betul rasa manis bibir itu, bibir tipis berwarna pink alami dengan liptint perisa rasa buah strawberry segar yang dilapisi di atas bibirnya.
Terlambat untuk Meila menjauhi tatapan Dimas padanya. Bahkan ketika di perpustakaan pun, Dimas tetap saja berhasil menggodanya tanpa peduli reaksi orang-orang disekitar mereka. Bahkan, sesekali ada mahasiswa yang dengan tidak tahan menyembunyikan senyumnya karena melihat kedekatan Dimas dan Meila yang duduk di sudut ruangan agar tak banyak orang yang menyadari keberadaan mereka.
Meila menunduk malu ketika tiba-tiba mulai menyadari ada siswa yang melihat kedekatan mereka, Dia menjaga jarak pelan-pelan sembari mendenguskan napasnya perlahan.
Tentu Dimas tahu dengan mahasiswa-mahasiswa yang sejak tadi memperhatikan mereka diam-diam, sesekali mereka berpura-pura jika ketahuan, mereka bagaikan paparazzi yang sedang mengejar informasi penting.
"Kenapa sih, kak... kamu selalu godain aku kayak gitu?" mukanya memelas, Meila mulai tidak nyaman dengan tatapan orang-orang. Suaranya pelan hampir tak terdengar, tapi Dimas bisa mendengarnya karena jarak antar mereka yang masih begitu dekat. "Aku.... malu!" sambungnya dengan menutup wajahnya yang memerah dengan telapak tangannya.
Dimas tak berhenti terkekeh, dia tidak tahan mengangkat tangannya ke kepala Meila dan mengusapnya gemas, kemudian menariknya lembut ke pelukannya, berusaha menutupi wajah gadis itu yang memerah padam menahan malu karena ulahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments