Suara ketukan pintu seketika mengalihkan pandangan Meila yang saat itu sedang mengobrol-ngobrol santai dengan Airin. Seorang adik kelas datang ke kelasnya dan mencarinya seakan sedang berusaha menyampaikan sesuatu yang dititipkan padanya untuk Meila.
"Permisi.. Benar disini kelasnya kak Meila?"
Meila yang saat itu mendengar namanya disebut, langsung menolehkan kepalanya dibarengi dengan tangannya yang diangkat ke atas seolah memberikan jawaban kalau benar dirinyalah yang dimaksudkan.
"Ya. Ada apa?" tanya Meila penasaran..
Mendengar jawaban dan tanggapan yang Meila berikan, membuat adik kelas itu langsung menghampirinya dan memastikan pesannya sampai pada yang bersangkutan.
"Kak Meila.. dipanggil dosen pembimbing ke ruangannya." ucap sang adik kelas dengan ramah.
"Oke.. Aku langsung kesana. Terimakasih.." jawab nya dengan ramah dan di barengi dengan senyuman
Setelahnya, sang adik kelas langsung berbalik dan keluar dari kelas Meila. Meila yang saat itu tampak langsung bergegas mengangkat bokongnya dari tempat duduk langsung disambar tangannya oleh Airin. Tangannya seketika ditahan, membuat Meila menundukkan kepalanya dan sedikit mengangkat dagunya penuh tanya.
"Mau gue temenin gak? Entar lo nyasar lagi!" Airin berucap konyol sambil setengah mengejek.
"Ya kali gue nyasar, emang gue anak baru disini?" jawab Meila tak kalah menyindir. Mereka tergelak bersama.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia bergegas menuju pintu dan keluar kelas. Dilangkahkan kaki-kakinya dengan langkah ringan seolah tanpa beban. Meila juga tak tau untuk apa ia dipanggil ke ruangan dosen pembimbing jika memang dosen itu masuk, tapi kenapa tak memasuki kelasnya? Mungkinkah sang dosen akan memberikan sejumlah tugas dan harus ia sampaikan pada teman-temannya dikelas?
Meila sendiri tak bisa menerka pertanyaan yang ada dalam benaknya.
Ia sampai di depan pintu dosen. Meski sudah terbiasa bertatap muka dikelas setiap harinya, tapi entah kenapa selalu menimbulkan rasa gugup seperti anak sekolah dasar yang dapat giliran untuk ambil raport disekolahnya. Diketuknya pintu, memastikan keadaan sebelum memasuki ruangan, setelah didengar ada jawaban persetujuan dari dalam, ia memutar knop pintu dan tak lupa memberi salam.
"Selamat pagi, Pak.. Ada apa memanggil saya?" tanya Meila sambil sedikit membungkuk.
'Mahendra Gunawan' . Nama dosen itu tertera di papan nama kayu besar di atas meja kaca tempat ia menumpukan kedua tangannya. Terlihat banyak tumpukan buku-buku tebal di samping kiri tempat ia meletakkan pulpennya.
"Ah, Ya Meila. Bisa tolong saya bawakan buku-buku ini ke perpustakaan dan merapikannya?" sambil menunjuk ke tumpukan buku, pak Hendra memberikan perintah dengan nada sedikit tegas.
Mata Meila langsung tertuju ke arah buku-buku yang dimaksud. Ada sedikit rasa menyesal didalam hati, andai saja ia mengajak Airin tadi, pasti tugasnya akan sedikit lebih ringan. Meila menarik nafas dalam, tak urung ia melangkahkan kakinya menuju meja tempat tumpukan buku-buku itu diletakkan. Di susunnya satu persatu agar tak terjatuh. Lalu setelah ia yakin kalau sudah rapi dalam susunan di tangannya, segera ia meminta izin untuk keluar dan langsung menuju ke perpustakaan.
Langkahnya agak sedikit sulit, pandangannya sedikit terhalangi sehingga untuk berjalan saja, ia harus dengan hati-hati agar tidak menjatuhkan seluruh buku ditangannya.
"Kalo tau gini, ngajak Airin aja tadi.. Kan bisa di bagi dua, gak repot kayak gini juga kan jadinya!" Gumamnya sedikit kesal.
●●●
Dimas memasuki halaman parkir dengan begitu banyak kendaraan didalamnya. Hanya telat 10 menit saja, lahan parkir tempat ia biasa memarkirkan mobilnya sudah di isi oleh orang lain. Alhasil, ia harus memutari seluruh lahan dan mencari lokasi yang cukup strategis untuk memarkirkan mobilnya.
Ketika dilihatnya ada lahan parkir kosong, tanpa pikir panjang ia langsung memarkirkan mobilnya. Tak masalah dimanapun tempatnya asalkan mobilnya bisa terparkir dengan aman. Ia menarik rem tangan kemudian keluar dari kursi kemudi. Dilihatnya jam tangan yang menempel di pergelangan tangan kirinya, masih ada waktu satu jam lagi jam kuliah dimulai, ia berpikir akan ke kantin dulu untuk sekedar sarapan mengisi perutnya karena ia tak sempat untuk membuatnya dirumah.
Ia mulai memasuki koridor. Ketika langkahnya akan berbelok ke arah kantin, perhatiannya teralihkan pada sesosok gadis yang sudah tak asing baginya sedang bersusah payah dan berhati-hati sekuat tenaga menjaga langkahnya agar tak terselip.
Dimas menghampiri gadis itu, senyumnya terurai ketika dugaannya tepat sasaran tentang sosok itu. Langkahnya perlahan hampir tak terdengar seolah fokus gadis itu memang tak teralihkan sedikitpun. Rencana awal untuk ke kantin langsung ia ubah ketika ada hal yang lebih menarik perahatiannya. Karena kesempatan tak mungkin datang dua kali bukan?
"Perlu bantuan, Dek?" sambil mengulurkan tangannya mengisyaratkan tawarannya agar Meila membagi kepadanya buku-buku yang di bawanya.
Suara Dimas langsung masuk ke telinga dan langsung dapat dicerna oleh Meila siapa yang sedang menawarkan bantuan kepadanya. Tak urung ia sedikit menoleh meski untuk menoleh saja ia harus sangat berhati-hati.
"Ah. Kak Dimas! mmm.. Sebenernya sedikit sih, harusnya aku ngajak Airin tadi, padahal jelas-jelas dia nawarin diri ke aku." jawab Meila sedikit mendumel sambil memberengutkan bibirnya.
"Yaudah sini, jangan diliatin aja. Biar cepet selesai dan lebih ringan, kan?" perintah Dimas dengan nada sedikit memaksa.
Dengan sedikit canggung, Meila akhirnya memberikan sebagian tumpukan buku-buku itu kepada Dimas dan dengan senang hati langsung diterimanya. Meila menarik nafas dalam, sedikit lega karena akhirnya bebannya sedikit lebih ringan.
"Maaf kak Dimas, Aku ngerepotin." Sambil berdehem, Meila mengucapkan dengan malu-malu.
Bibir Dimas membentuk senyum penuh ironi mendengar pernyataan Meila. Baginya, jika menyangkut gadis ini, ia tak merasa direpotkan sama sekali. Justru kalau ia boleh meminta, ia akan sangat senang jika setiap harinya direpotkan dengan gadis itu.
"Emang muka aku keliatan kerepotan banget sampe kamu berpikir kayak gitu, hm?" Dengan nada penekanan, Dimas memiringkan kepalanya ke arah Meila sambil mengangkat kedua alisnya.
Pertanyaan Dimas langsung tepat sasaran, Meila sedikit tergeragap, sedikit kaku namun ia berhasil mengusir pikiran yang mengganggunya. Ia kehabisan kata untuk menjawab pertanyaan Dimas. Akhirnya yang bisa dilakukannya adalah menggelengkan kepalanya sambil mengeluarkan cengirannya yang khas.
Tingkahnya itu membuat Dimas gemas. Jika tidak sedang membawa tumpukan buku-buku itu, mungkin ia sudah mendaratkan tangannya ke kepala Meila dan mengusaknya lembut seperti mengusak kepala anak kecil.
Jangan masang muka imut didepan gue kayak gitu, Please!
Gue gak bisa tahan buat ngelakuan hal konyol yang belom pernah gue lakuin sama cewek manapun..
Dimas merapalkan kalimat itu didalam hati.
Perhatiannya kembali terfokus pada buku-buku itu. Ia menolehkan kepala sambil berusaha menyeimbangkan langkahnya agar tetap seimbang.
"Mau taruh dimana buku-buku ini, Mei?"
"Ke perpustakaan kak.. Di suruh di rapihin juga sama pak Hendra." jawab Meila tegas.
"Yaudah sekalian aku bantuin, biar cepet selesai." Dimas menawarkan bantuan seakan ia telah memastikan kalau jam mata kuliahnya memang masih lama.
Meila mengernyitkan alisnya penuh tanya.
E**mang kak Dimas gak ada jam kuliah sampe mau bantuin aku rapihin buku-buku ke perpustakaan?
Dimas mengerti apa yang ada dipikiran Meila. Seakan ingin menjawab pertanyaan yang ada di benak gadis itu, Ia menggelengkan kepalanya cepat sambil berucap.
"Jam mata kuliah aku masih 1 jam lagi. Jadi masih bisa buat bantuin kamu rapihin buku-buku ini ke rak nya, kan?"
Ucapan Dimas hanya di jawab anggukan oleh Meila. Meski ia sedikit terkejut karena jawaban Dimas kepadanya seolah tepat sasaran dengan pertanyaan yang ada dipikirannya.
Mereka berdua melangkah menuju perpustakaan sambil sesekali mengobrol ringan. Hingga mereka sampai ke perpustakaan dan masuk sebelum meminta izin terlebih dahulu kepada petugas perpustakaan untuk merapikan buku-buku yang mereka bawa atas perintah pak Hendra.
●●●
Mereka mulai merapikan buku-buku sesuai dengan judul di tiap rak yang seharusnya. Meila menemukan ada beberapa buku yang harus diletakkan di rak bagian atas. Dengan tubuh tinggi semampainya yang ia yakin dapat meletakkan dengan mudah, ia sedikit menjinjit namun usahanya masih belum juga sampai. Akhirnya ia menumpukan sebelah kakinya pada rak paling bawah sambil menggunakan ujung kakinya untuk melompat.
Benar saja, Meila akan terjatuh dan tertimpa buku-buku yang terlepas dari raknya kalau saja tangan Dimas tidak cepat menahan lemari rak tersebut dan sebelah tangannya lagi menahan tubuh Meila agar tak jatuh.
Secara refleks Meila langsung melingkarkan tangannya ke leher Dimas dan mata keduanya saling bertemu. Sempat terjadi insiden saling pandang untuk beberapa detik, namun keduanya berhasil mengatasi kecanggungan dan degupan jantung mereka masing-masing.
"Hati-hati, dek. Kamu bisa jatuh. Kamu gak apa-apa, kan?" tanya Dimas sedikit cemas sambil berusaha menetralkan perasaannya yang tak terkendali.
Pipinya merona, seketika Meila berdehem dan langsung melompat dari rangkulan Dimas yang membuat seisi ruangan itu berubah menjadi panas.
"N-nggak apa-apa kak, T-terimakasih. Aku mau taruh buku itu di rak bagian atas itu... Aku pikir... bakalan nyampe, eh ternyata nggak juga." Dengan pipi yang masih merona sambil berusaha menetralkan perasaannya, Meila berucap terbata-bata. Hal itu tak lepas dari pengamatan Dimas, membuat jantungnya kembali berdetak tak terkendali.
Dari kejauhan, rupanya ada sepasang mata yang sedang memperhatikan adegan yang bahkan bisa dibilang ironis namun romantis baru saja terjadi. Tatapan mata itu tidak menunjukkan kekaguman atau keterpesonaan, melainkan tatapan mata penuh rasa iri. Ya, tatapan mata itu milik Sisil, teman sekelas Meila sekaligus satu-satunya gadis yang menganggap Meila sebagai saingannya. Rupanya dengan melihat adegan tersebut tak membuat rasa iri Sisil berkurang melainkan semakin menjadi.
Bisa-bisanya mereka mesra-mesraan didepan gue? Liat aja nanti, gue gak akan biarin kebahagiaan ini bertahan lama.
Ucapan itu terlontar di hatinya. Di tatapnya Meila dan Dimas dengan tatapan sinis dan iri dari kejauhan yang bahkan tak di sadari oleh keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments