"Masih ada setengah jam lagi. Cukup buat sarapan!" Ucap Meila yang sedang menatap jam dinding kamarnya sambil memasukkan buku ke dalam tas. Tak lupa ia juga memasukkan beberapa berkas tugas yang diminta oleh Rendy semalam guna pengumpulan data untuk mengkoordinir kemudian disinkronkan dengan data digital yang ada di laptop.
Meila menuruni anak tangga dengan santai. Pagi ini memang cukup cerah, jadi ia memutuskan untuk mengendarai mobil sendiri. Beberapa kali ia terlihat mengambil kaca kecil dari sisi saku tasnya untuk mengecek apakah make-up yang ia pakai hari ini cukup untuk menutupi matanya yang sedikit membengkak akibat drama adegan tangis menonton film semalam.
Ya, setelah membaca pesan yang ia terima dari Dimas semalam, dengan perasaan yang tak karuan, jantung yang berdegub kencang dan pipi yang kembali merona karena menahan malu, tanpa aba-aba bayangan adegan ciuman mereka terlintas kembali ketika di taman kemarin. Akhirnya, Meila memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan menonton film turki favoritnya.
Meila menjatuhkan bokongnya pada kursi meja makan yang langsung terhubung dengan dapur. Di depannya telah siap berbagai macam roti dan beberapa jenis selai terpisah untuk ia padu padankan dengan suka hati. Tak lupa juga segelas coklat hangat kesukaannya. Tanpa mengulur-ulur waktu, Meila mengambil selembar roti tawar dan memoles dengan selai strawberry kemudian langsung menikmati sarapannya dan menyesap coklat hangat sampai tandas.
"Bi, aku berangkat ya." lapor Meila pada bi inah yang langsung di hampiri olehnya sambil menganggukan kepala. Meila keluar berjalan menuju halaman dan menghampiri mobilnya dengan senyum keriangan. Ya, sudah beberapa hari ia tak mengemudikan mobilnya.
Perjalanannya pagi itu tak semacet biasanya, kalau biasanya jika menggunakan taksi ia akan terjebak kemacetan, namun beruntung untuk kali ini. Ia menyetir sambil menyenandungkan irama musik yang ia putar dan memenuhi isi ruangan kabin mobilnya.
"Syukur deh gak semacet biasanya, kalo iya, pasti bakalan telat. Dan berkas yang disuruh bawa sama kak Rendy pasti bakal telat juga sampe ke tangannya." Meila menyerukan kalimat itu dengan geli, seperti sedang menertawakan dirinya sendiri.
●●●
Meila menginjakkan kakinya menuju koridor begitu ia telah memarkirkan mobilnya di bawah pepohonan rindang nan teduh. Tak lupa ia mengenggam berkas yang ia bawa untuk diberikan pada Rendy terlebih dahulu.
"Mei..." Suara panggilan dari kejauhan. Itu adalah suara Airin yang sedang berlari sambil terengah-engah seolah memang sedang mencarinya. Meila langsung menengok ketika hanya tinggal sejangkauan saja Airin menghampiri. Meila mengerutkan kening bingung ketika Airin yang telah berhenti dihadapannya sedang berusaha mengatur nafasnya dengan susah payah.
"Ada apaan, rin? kenapa lo lari-lari gitu?" tanya Meila penasaran.
"L-lo, lo ditunggu... ditunggu diruang senat sama kak Rendy. Ada yang gawat." Airin berusaha menjelaskan ditengah nafasnya yang mulai teratur.
Meila mengerutkan kening dalam, "gawat apaan, Rin? gue emang pengen ke sana ngasih berkas ini ke kak Rendy."
"Pokoknya buruan, Mei. Lo liat sendiri dan biar nanti kak Rendy yang jelasin. Gue capek nungguin lo dari tadi." tanpa menunggu sanggahan Meila yang masih memasang ekspresi bingung, Airin langsung menyeret Meila menuju ruang senat.
Ketika mereka sampai, sudah ada Rendy, Axel, Briant dan tak lupa juga Dimas dengan wajah tegang mereka yang semakin menambah kebingungan Meila. Atmosfer ruangan itu pun berubah seketika. Meila yang tak tahan dengan apa yang ia lihat, langsung mengeluarkan suaranya tak sabar.
"Ada apa? Kenapa kalian semua tegang?" tak sabar Meila bertanya. Berharap salah satu dari mereka ada yang menjawab.
"Ada kebocoran data yang keluar dari laptop kita. Sebagian data yang udah disortir tiba-tiba menghilang seakan dihapus dengan sengaja. Sebagai konsekuensinya, kita harus mendata ulang keseluruhan berkas dan menyinkronkan lagi dari awal." Rendy yang kali ini berusaha menjelaskan pada Meila.
"Hah, hilang? kok bisa? kemarin... aku cek masih ada, kak. Dan gak ada satupun dari data yang tersimpan itu keluar atau hilang." jelas Meila sambil mengingat kejadian terakhir kali ia melakukan pengecekan data harian menggunakan laptop itu. Tatapan para pria langsung tertuju pada Meila begitu mendengar kalau dialah orang terakhir yang menggunakan laptop. Seketika itu juga kecemasan langsung melingkupinya.
Mungkinkah mereka sedang... menuduhnya?
"Kalian semua... nggak lagi nuduh aku, kan? mengingat aku orang terakhir yang pakai laptop itu untuk pengecekan harian..."
"Nggak, dek! sama sekali enggak. Kakak cuma bingung kenapa data-data bisa hilang. Sedangkan nggak ada orang luar yang bisa sembarang masuk ke ruangan ini." Rendy dengan cepat menyanggah ucapan Meila begitu melihat kecemasan dalam matanya.
"Minimal berapa data yang harus terkumpul lagi, kak?" terlihat rasa bersalah di wajah Meila ketika berucap. Meski bukan dia, dan memang sama sekali bukan dia pelakunya.
Rendy menarik nafas dalam, "minimal 70% data harus terkumpul secepatnya." Rendy berusaha menimbang-nimbang sebelum akhirnya berucap kembali. "dan.... jangan sampai kejadian ini sampai ke telinga dosen pembimbing kita dan mengetahuinya, oke?" Rendy berusaha memberikan pengertian pada semua anggota tanpa ada satupun yang membantah.
Tampak Dimas dengan seksama menatap Meila seolah memberikan pengertian padanya. Dia yang berada di sisi Rendy tampak menganggukkan kepala tipis dibarengi dengan kedipan mata lembut yang ditujukan untuk Meila seolah memberikan kekuatan dan memberikan isyarat kalau semua akan baik-baik saja. Hal itu disambut oleh Meila yang langsung menangkap maksud dari isyarat Dimas. Ia lalu menjawab dengan memberikan senyuman tipis tanda mengiyakan.
"Tenang aja, manis. Kita semua percaya sama kamu. Disini gak ada yang nuduh kamu. Jadi, jangan terlalu diambil pusing, oke?!" Axel yang tak tahan akhirnya bersuara juga mengutarakan pendapatnya dengan nada sedikit menggoda pada Meila dan langsung ditanggapi Meila dengan senyuman tanpa kata.
"Terus, langkah pertama yang harus kita lakuin apa sekarang?" seru Dimas ingin tahu.
Rendy tampak sedikit berpikir sebelum akhirnya menjawab, "Kita harus mengumpulkan data sebisa kita. Ya, meskipun nggak sebanyak di awal, minimal sebagian bisa kita amankan, dan yang paling penting usahakan semua data ter-input dengan benar tanpa celah sedikitpun."
Rendy menarik nafas dengan gusar, "Oke guys, kalo gitu sampai disini dulu pertemuan kita. Kita lanjut nanti. Ingat, jangan bertindak yang akan mencurigakan orang lain." perintah Rendy dengan ultimatum dan seketika itu juga semua anggota membubarkan diri tanpa ada suara lagi.
●●●
Meila dan Airin jalan beriringan sambil berpikir keras siapa kira-kira yang dengan teganya membuat ulah.
"Mungkin gak sih pelakunya anak mahasiswa kampus kita?"
Airin yang memang ceplas ceplos, akhirnya tak sabar mengeluarkan pendapatnya yang sempat ia tahan sejak tadi.
"Rin... jangan nuduh sembarangan. Kita belum tau jelas siapa pelakunya." Meila mencoba menjelaskan pada Airin dengan nada mengingatkan.
Kemudian rasa bersalah kembali dirasakannya mengingat dialah orang terakhir yang menggunakan laptop tersebut.
"Tapi, rin. Gue juga ngerasa bersalah, karena gue yang terakhir pake laptop itu buat pengecekan harian kemarin lusa." sesalnya pada Airin. Pada saat itu juga perasaan tak enak menggayuti Airin, secara tidak langsung ia telah membuat Meila merasa tersudutkan karena ucapannya.
"Yaudah, Mei. gak usah lo pikirin. Lo liat kan tadi kak Rendy dan lainnya gak ada yang nuduh lo. Ya, mereka memang sedikit kaget, khususnya kak Rendy yang pemegang tanggung jawab besar karena dia ketua senat. Tapi gue yakin kok, selebihnya akan bisa diatasi lagi." ucap Airin berusaha menguatkan Meila sambil merangkul dan mengusap punggungnya dengan lembut, "Percaya deh sama gue!"
"Oiya, hampir aja lupa. Tadi gue dapet kabar kalo dosen kita pak Wilson akan telat mungkin juga gak masuk." Airin memberikan informasi yang sempat tertahan tadi ketika dia mendapat kabar tak enak dari Briant begitu sampai di kampus. Senyumnya begitu merekah seperti anak sekolah dasar yang mendapati kabar bahwa guru tak datang untuk mengajar.
Meila memiringkan kepala sedikit tak percaya, "Oh ya?" dan langsung di jawab anggukan semangat oleh Airin. "Yaudah kalo gitu gue ke perpustakaan aja, nyari referensi Novel baru. Siapa tau ada yang bagus." jawabnya tak kalah antusias.
"Yaudah kalo gitu gue mau ke ruang dosen dulu ada urusan, mau ngasih tugas ini," sambil memperlihatkan tugas yang di bawanya pada Meila. "Lo duluan aja, entar gue nyusul." sambil menepuk bahu Meila perlahan setelahnya dia berjalan menuju ruangan yang ditujunya.
Melihat tingkah Airin membuat Meila menyunggingkan senyumnya dan kembali berjalan menuju perpustakaan.
Sampai terdengar suara langkah kaki menghampirinya dan berjalan beriringan dengannya.
"Mau kemana? perlu ditemenin, gak?" suara itu begitu khas di telinga, suara berat namun lembut dan mengandung nada perhatian didalamnya, sampai tak perlu dua kali untuk Meila meyakinkan.
Meila berusaha menoleh namun ternyata posisi Dimas terlalu dekat dengannya, sehingga dengan refleks Meila sedikit terkejut dan tersentak begitu kedekatan mereka tanpa jarak. "P-perpus... perpustakaan!" sambil tergeragap, Meila menunjuk ke arah perpus sambil berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup memukul-mukul rongga dadanya. Lagi, kekehan Dimas begitu renyah kali ini dengan lesung pipi mengembang dipipinya dan rahang tegas miliknya.
"Emang kak Dimas gak ada mata kuliah?" masih berusaha menetralkan perasaannya, Meila bertanya dengan rasa ingin tahu.
"Tenang aja... aman." jawabnya dengan kedipan sebelah mata dan senyum misterius melingkupi bibirnya.
Hal itu malah membuat Meila salah tingkah. Entah kenapa ketika bersama Dimas, dirinya selalu dibuat seperti itu.
Berusaha membuang perasaan aneh yang melingkupinya, Meila memutuskan kontak mata antara mereka terlebih dulu, dan berjalan beriringan tanpa bertanya lagi.
Hal pertama ketika sampai di perpustakaan, Meila langsung melangkahkan kakinya menuju rak-rak yang menyusun Novel dengan berbagai genre didalamnya. Dan itu adalah spot ternyaman untuknya dimanapun ketika mengunjungi tempat sunyi seperti perpustakaan atau ruang baca. Dimas mengikuti kemanapun langkah Meila, sampai pada akhirnya ia bersuara,
"Kamu suka banget sama Novel?" sambil memiringkan kepala ke arah Meila yang telah berhenti pada genre bertema Romantis.
"Iya." sambil menyunggingkan senyumnya dan membolak-balik Novel yang ia pegang. "Kenapa kak? Kamu nggak suka, ya?" dengan cepat Meila menoleh, ingin tahu reaksi Dimas.
"Enggak dua-duanya." jawabnya singkat dengan senyum misterius.
Meskipun seperti kode, namun jawaban Dimas langsung bisa ditangkap oleh Meila. "Novel itu seru tau, kak. Membuat imajinasi kita bermain. Apalagi ketika menemukan jalan cerita yang gak bisa ditebak, itu jadi tantangan dan kesenangan kita sendiri, loh. Ya... meskipun nggak semua cerita di Novel bisa nyata seperti yang kita mau." jawabnya antusias. Hal itu memancing ide jail Dimas untuk lagi-lagi menggodanya.
"Kalo aku bisa bikin salah satu cerita seperti yang ada di Novel jadi nyata, gimana?" tanya Dimas dengan nada menggoda yang kental.
Meila menolehkan kepala dan terkekeh santai menanggapi ucapan Dimas. "Jangan bercanda deh, kak!" setelahnya ia terfokus untuk mencari Novel kembali.
Dimas yang sedang menyandarkan punggungnya santai pada lemari rak-rak buku langsung melangkah, memajukan dirinya, menggenggam tangan Meila, berusaha mengalihkan padangan Meila untuk beralih padanya, dan memepetnya hingga sedikit membentur dinding rak.
Jarak mereka begitu dekat, hingga sejangkauan saja. Bahkan mereka bisa saling merasakan hembusan panas nafas mereka masing-masing. Mata mereka saling bertemu, jantung Meila berdegup kencang, ditatap intens seperti itu membuat pipinya langsung merona. Dimas mengangkat tangannya dan mengeluskan jarinya ke pipi Meila yang halus dengan sentuhan lembut.
"K-kak Dimas... kita lagi di perpus," Meila sedikit berbisik cemas sambil melirik ke arah sekitar dengan waspada ketika merasakan bulu-bulu halusnya meremang begitu kontak kulit terjadi dan sentuhan jemari Dimas di pipinya. Namun, sepertinya Dimas tak menghiraukan kecemasan Meila.
"Cantik!" lagi, Dimas merapalkan satu kata layaknya mantra. Kemudian, tanpa aba-aba ia menangkup kedua tangannya ke sisi wajah Meila dengan lembut. Tangan Dimas terasa hangat di pipinya. Dimas semakin mendekatkan wajahnya pada gadis dihadapannya itu, kemudian menggesekkan bibirnya pada bibir Meila yang terasa sedikit bergetar.
Perlahan, dia mengecup bibir manis itu, ********** dengan lembut, dan berusaha tak menyakiti. Dimas merasakan jika gadis yang menerima cumbuannya sedikit kaget karena ciuman yang tiba-tiba, namun hanya beberapa detik saja Meila berusaha menguasai diri dan memegang tangan Dimas yang saat itu menangkup sisi wajahnya dengan tegas namun dengan kelembutan yang tak tertandingi.
Dimas melepaskan pertautan bibir mereka namun tak sepenuhnya menjauh. Kening mereka masih saling menempel sambil berusaha menetralkan nafas masing-masing yang tersengal. Tangan kekar itu masih menangkup wajah gadis yang habis dicumbunya, begitu juga gadis itu yang masih memegang tangan Dimas dengan erat sambil mengatur nafasnya.
Senyuman nakal membentuk di bibir Dimas ketika memandang gadis dihadapannya itu mengerutkan kening dalam sambil menarik nafas setelah beberapa detik mengatur irama detak jantung untuk meraih pasokan oksigen masuk ke paru-parunya. Perlahan Meila membuka mata dengan pipi merona begitu kontak mata terjadi, Dimas yang memasang wajah tak bersalah dengan kurang ajar sedang menunjukkan senyum manis menghipnotis yang selalu ia tunjukkan ketika bersama Meila.
"Gimana? seperti adegan di Novel-novel yang kamu baca itu, kan?" Dimas berbisik tepat didepan wajahnya dengan tatapan lembut dan menyisipkan nada menggoda yang kental.
Meila mengerucutkan bibirnya seiring dengan rona dipipinya yang sudah mulai memudar dan senada dengan kulitnya. Kemudian, mata Dimas tertuju pada bibir merah gadis yang baru saja dicumbunya, Dia mengusap bibir itu dengan lembut dan mengelus kepala Meila gemas dengan kekehan di bibirnya yang belum hilang.
"Astaga... bisa-bisanya gue diem aja dicium kayak gitu?
Dan... di perpustakaan pula. Airin... lo dimana sih? lama banget ke ruang dosennya. Please, gue gak bisa kalo harus ditahan berdua sama kak Dimas kayak gini. Gue nggak sanggup untuk.... untuk menolakny**a!" Meila berkata dalam hati ketika disudutkan dengan tatapan dan senyuman Dimas yang menghanyutkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments