*flashback on
"Pelan-pelan!"
Terdengar suara derap langkah kaki yang sedang mengendap-endap penuh kehati-hatian ditengah lorong gelap. Waktu memang belum menunjukkan tengah malam, namun dengan suasana malam yang sepi dan sunyi, tak cukup untuk membuat mereka merasa aman. Bisa saja tiba-tiba ada security yang sedang bertugas berkeliling untuk melakukan tugas patroli pengecekan secara rutin.
Langkah kaki itu membawa mereka pada sebuah ruangan yang telah terkunci rapat dengan security locked, sehingga tak memungkinkan untuk sembarang orang lain bisa memasukinya. Namun hal itu salah, dengan diam-diam mereka telah menduplikat kunci itu sebelumnya hingga memudahkan bagi mereka membuka pintu dan masuk kedalamnya.
Setelah berhasil membuka pintu tanpa suara dan tanpa jejak, mereka berhasil masuk dengan menyalakan lampu senter sebagai pencahayaan. Lampu senter itu sedikit redup guna mengurangi memancing kecurigaan orang kalau-kalau memang ada petugas security yang lewat untuk mengecek. Ya, tanpa jejak! mereka rupanya memakai sarung tangan untuk meminimalisir tanda sidik jari ditiap barang atau benda yang akan mereka sentuh nantinya.
Mata mereka dengan jeli mencari sesuatu yang pasti penting sebagai jalan untuk menuntaskan misi mereka.
Ya, mereka sedang mencari sebuah laptop. Laptop yang menyimpan banyak data dan dokumen penting berisi kegiatan dan data-data mahasiswa didalamnya.
Setelah beberapa lama mencari dan hampir putus asa, rupanya keberuntungan berpihak pada mereka. Diambilnya laptop itu, lalu dengan tergesa-gesa mereka mencari sebuah file yang tersimpan dan tersusun dengan rapi pada sebuah dokumen yang cukup ter-rahasia. Butuh kejelian mata dan kecekatan untuk menemukannya. Ya, mereka adalah Sisil dan teman prianya, Beno.
Beno Aryatama, merupakan mantan mahasiswa tempat dimana Sisil kuliah, namun karena sebuah masalah yang membuatnya di drop-out dari kampus, akhirnya keberadaannya tak diketahui oleh siapapun, kecuali Sisil. Beno sangat ahli dibidang teknologi, khususnya komputer. Tidak salah jika Sisil mengajaknya kerja sama untuk menuntaskan misinya melakukan konspirasi kebocoran data sekaligus mewujudkan rasa irinya yang telah lama ia pendam.
"Cepet cari file yang gue bilang tadi." perintah Sisil pada Beno sambil menatap ke arah laptop. Penampilan Beno memang cukup rapi, dan hampir tidak mudah dikenali. Dia mengenakan jacket hoodie berwarna gelap dengan sarung tangan senada. Dia telah memikirkan segalanya dengan matang begitu Sisil menghubunginya dan meminta bantuan secara terang-terangan padanya.
Seperti kerbau yang dipecut hidungnya, dengan patuh Beno melakukan perintah tanpa membantah, meski aura kegugupan tak bisa dibohongi diwajahnya ketika dengan lambat dia mengayunkan kursor saat memulai pencarian data. Ya, meski sedikit lambat, tapi kejelian mata dan kecekatannya patut diacungi jempol.
"Lo yakin, sil... mau ngelakuin ini? Lo tau konsekuensinya kan, kalo kita... sampe katauan?" Sekali lagi dengan terbata, Beno bertanya pada Sisil untuk meyakinkan dengan menyisipkan sedikit nada peringatan didalamnya agar Sisil berubah pikiran.
"Itu urusan nanti! Sekarang cepet lakuin apa yang gue minta. Inget, jangan sampe ninggalin jejak sedikitpun." Perintahnya tanpa bantahan. Rupanya peringatan Beno tak digubrisnya sama sekali, malah dia ingin misinya terselesaikan dengan cepat tanpa kendala dan banyak pertanyaan lagi.
"Ap-apa... file yang ini?" seru Beno ketika dia menemukan file yang dicari sambil mengarahkan layar laptop pada Sisil. Dan Sisil pun langsung memposisikan dirinya disamping Beno. Dan benar saja, matanya langsung berbinar kegirangan ketika melihat apa yang dicarinya telah ditemukan.
Sisil menyipitkan mata dan senyum licik langsung terbentuk dibibirnya. Tanpa mengulur waktu lagi, dia langsung memerintahkan Beno untuk menyelesaikan misinya dengan cepat sebelum petugas keamanan mencurigai aksi mereka.
"Cepetan, waktu kita nggak banyak! gue gak mau ketahuan." Sisil terus memerintah dengan mengintimidasi sehingga membuat Beno mau tak mau mengarahkan seluruh keahliannya meretas seluruh data-data penting yang telah tersimpan. Dibutuhkan waktu beberapa menit untuk menunggu beberapa file hilang.
"Selesai... Sil," ucap Beno tanpa menutupi rasa cemas dalam nada suaranya.
Dengan cepat, Sisil memastikan sekali lagi jika misinya benar-benar terselesaikan dan berjalan lancar. Senyum licik memenuhi bibirnya.
Kita lihat, akan ada kehebohan apa besok...
Ketika dia telah memastikan semuanya telah berhasil dilakukan tanpa cela, diarahkan kembali laptop itu pada Beno, dia mulai mematikan layar laptop dan kemudian kembali meletakkan laptop itu ke tempat semula, sama persis seperti posisi sebelumnya. Kemudian mereka keluar dengan pencahayaan minim melalui lampu senter kecil yang mereka bawa tadi.
Ketika tangan Sisil hampir menggapai knop pintu, terdengar suara langkah kaki bersepatu boot dengan lampu senter menyala terang sedang melakukan patroli pengecekan rutin disekitar koridor kampus secara berkala.
Sisil mengurungkan niatnya dan memilih menunduk dengan mematikan cahaya lampu agar tak mencurigakan dan malah membuatnya terjebak dan ketahuan. Sisil sama sekali tak mau jika misinya yang telah setengah jalan itu menjadi sia-sia hanya karena gerakan yang mudah dicurigai.
Mereka memastikan sampai security itu benar-benar berpindah tempat dibarengi dengan suara langkah kaki yang menghilang diujung lorong dan situasi kembali aman. Sisil terus saja tak henti-hentinya memberikan isyarat tanda peringatan agar Beno tak mengeluarkan suara atau melakukan hal konyol yang akan membuat mereka ketahuan. Sampai dikiranya tak didengar lagi suara langkah kaki, mereka mulai keluar tak lupa mengunci kembali pintu seperti semula, kemudian mengendap-endap dengan langkah cepat sebelum petugas keamanan kembali.
*flashback off
●●●
"Gue liat, lo makin deket sama adek gue!"
Rendy memberikan sekaleng minuman dingin bersoda pada Dimas yang sedang bersantai disebuah balkon yang langsung menghubungkannya pada ruang tamu yang hanya tersekat oleh jendela kaca besar sebagai pemisah.
"Adek lo? Siapa? setau gue lo gak punya adek?," setelah Dimas menyesap minumannya dan kemudian mengernyitkan sebelah alisnya, Dimas bertanya dengan nada tak percaya. Beruntung kata-kata Rendy dikeluarkan ketika Dimas tak sedang menyesap minuman, jika hal itu terjadi, mungkin Dimas sudah tersedak karena merasa terkejut dengan ucapan sahabatnya itu.
"Meila..." Rendy berhenti sejenak sebelum kemudian berucap kembali. "...dia adek gue!" Rendy meletakkan minuman soda itu di meja sambil menyelipkan nada tengil. "Kita emang gak sedarah, tapi gue udah anggap dia sebagai adek gue, Dim. Adek kesayangan gue! jadi, kalo lo mau deketin dia, lo harus hati-hati sama gue." ucapnya yang dilanjut dengan gelak tawa ringan.
Dimas menarik ujung bibirnya dan senyum jahil membentuk bibirnya. "Lo gak pernah ngenalin ke gue dulu. Dan setau gue, lo paling anti sama yang namanya cewek. Jadi gimana ceritanya lo bisa anggep Meila sebagai adek kesayangan lo?" Dimas memiringkan kepalanya dengan mata menatap lurus pada mata Rendy seolah ingin tahu.
"Dia berbeda, Dim. Sikap manja dan sifat polos yang kadang merubah pandangan gue itu bisa berubah lembut kalo lagi sama dia. Rasa ingin melindungi yang dengan sukarela tumbuh." Rendy melirik Dimas sejenak, memastikan bahwa lawan bicaranya sedang mendengarkan ucapannya. "Gue rasa dua hal itu juga berhasil mengusik diri lo bahkan mungkin udah sampe ke hati lo saat ini. Hingga lo bertekad untuk selalu membuatnya nyaman kalo dia lagi disamping lo, bukan? gue sempet mengutarakan isi hati gue. Tapi dengan lantang, Meila nolak pernyataan gue. Miris, bukan?" Rendy tersenyum penuh ironi seolah sedang menertawakan dirinya sendiri.
"Gue bilang soal ini, karena gue mulai menyadari tingkah kalian berdua akhir-akhir ini." Rendy mengambil minumannya dan mulai menyesap kembali.
Dimas berpikir sambil sesekali menggoyangkan minuman kaleng ditangannya, "gue juga enggak tau, hal apa yang berhasil mengusik diri gue. Seperti yang lo bilang tadi, Meila itu berbeda dari cewek lain. Rasa ingin melindungi yang kuat dan dengan gamblang gue bilang sama lo, mungkin rasa ingin memiliki yang kuat yang membuat gue gak bisa membiarkan Meila terluka sedikitpun. Jadi, tanpa bertele-tele lagi gue minta izin sama lo yang udah mengklaimkan diri lo sebagai kakaknya." Dimas tertawa geli mendengar ucapannya sendiri.
Hal itu tertular pada Rendy, dia terkekeh tak percaya kalau Dimas yang ia kenal sudah sedewasa ini. Tak pernah dia berpikir bahwa seorang Dimas Alexsander dengan gentle mengutarakan perasaannya. Jika mengingat Dimas yang dulu tak pernah menggunakan perasaannya sedikitpun jika ingin mengambil tindakan sebelumnya.
"Gue seneng lo udah berubah, Dim." Rendy menyandarkan bahunya pada sandaran kursi. "Sejak ketemu lagi sama lo, mendengar cara bicara dan sikap lo yang lebih tenang, gue yakin lo udah bisa memposisikan diri lo ke arah yang lebih dewasa."
Dimas sedikit menyunggingkan ujung bibirnya sebelum berucap. "Perlu lo tau, Ren. Gue berusaha keras mengubur jati diri gue yang dulu. Dan itu gak gampang, Ren...! Gue yakin lo ngerti itu." senyum puas nan penuh rasa lega terbentuk dibibirnya.
Rendy menarik nafas dan akhirnya menjawab dengan anggukan tegas dan terlihat berpikir sebelum akhirnya mengutarakan apa yang ada dipikirannya, "Dan... apa menurut lo... adek gue itu udah mulai terusik juga hatinya?"
Dimas tercenung sambil mengangkat sebelah alisnya, ditatapnya Rendy dengan tatapan mata penuh selidik. Tapi tak lama sebentuk seringaian senyum lebar membingkai wajahnya. Hal itu langsung ditangkap oleh Rendy, tanpa bertanya lagi seringaian lebar juga terbentuk di bibir Rendy, mereka terkekeh bersama sambil memadukan minuman kaleng mereka ke udara secara bersamaan.
"Lo bisa tenang sekarang. Seperti permintaan lo, gue bakal ngelindungin Meila sebisa gue. Okay, kakak ipar?" kalimat terakhir Dimas terdengar menggelitik, membuat mereka tergelak dan terbahak-bahak bersama kemudian menyesap minuman kembali.
●●●
Ditempat lain tampak Meila sedang menatap langit sore sambil menyesap strawberry milk juice favoritnya. Dia berdiri di balkon kamarnya yang langsung terhubung dengan suasana langit terbuka yang bagi siapa saja mampu membuat teduh yang melihatnya.
Sepintas bayangan ketika Dimas menciumnya muncul di pikirannya ketika dia menghirup udara sore yang menyejukkan kemudian menengadah menatap langit yang mulai berubah senja tanda matahari mulai terbenam.
Dengan cepat, pipinya langsung merona, rasa malu mulai merayapinya kembali. Bahkan tidak berada disampingnya saja sudah membuatnya malu bukan kepalang ditambah dengan jantungnya yang mulai berdegub kencang. Sebisa mungkin dia menguasai diri, menarik nafas dalam, menetralkan nafasnya agar teratur kembali.
Sejenak Meila terdiam, sekali lagi menarik nafas berusaha mengembalikan pikirannya kembali serta menggelengkan kepalanya kuat-kuat sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangannya.
Astaga! Bisa-bisanya gue mikirin kejadian itu... lupain... lupain...
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Hai, readers... 🙋🏻♀️
Mimin mau ucapin,
Selamat Hari raya Idul Fitri...
Minal Aidin wal faidzin...
Mohon maaf lahir & bathin...
Semoga pandemi ini segera berakhir, kita bisa beraktivitas kembali seperti semula tanpa rasa cemas untuk keluar rumah😃🤓 Amiiiiinnnn🤲🏻😇
karena mimin juga pengen ke toko buku buat nyari referensi novel/komik baru, heheheh🤭 *curhat
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments